Jumat, 07 Desember 2018

Have you fight your life?

[catatan acak-acakan setelah lama hening sejenak]

Sore ini agak menohok setelah melihat tayangan di youtube tentang seorang peneliti yang mengatakan bahwa 95% hidup kita ditentukan oleh 7 tahun kehidupan pertama kita. Jika kita dibesarkan dari keluarga kaya, kita akan dididik dengan gaya hidup orang kaya. Namun sebaliknya,  jika terlahir dari keluarga miskin kita akan dididik menjadi orang yang pesimis bahwa kita mampu untuk menjadi kaya.

Yang lebih menarik dari tayangan tersebut adalah ketika membaca komentar dari warganet. Beberapa akun mengatakan hal yang sangat jujur dan mengamini pendapat sang peneliti bahkan mengulang apa yang dikatakan peneliti.

 
“Sekalipun bekerja mati-matian,  kalau kamu terlahir dari keluarga yang miskin tidak akan banyak peluang yang bisa diambil. Tapi ketika kamu terlahir dari keluarga kaya,  orang kaya bodohpun tidak akan hidup miskin”


Saya merasa tertegun dan sedikit teracuni dengan komentar warganet.  Saya tidak terlahir dari keluarga miskin pun keluarga kaya. Maka tidak ada doktrin, “hidup kamu gak akan banyak berbeda dengan orangtuamu” atau “jangan mau kerja capek-capek dan kaya babu, biar orang lain aja yang ngerjain”. Pengalaman mendapatkan prioritas karena orangtua merupakan tokoh masyarakat dan berusaha mati-matian dalam memperoleh menjadi hal yang biasa bagi saya.  Ada momen dimana saya merasa sangat disegani, dihormati, dan dianggap memiliki kelebihan (*materi atau kesempatan). Orang lain tersenyum cukup ramah jika bertemu dengan saya dan membantu dengan cekatan apabila saya meminta tolong. Keadaan yang melenakan sebenarnya tetapi saya tidak meminta itu dari mereka. Entah karena alasan apa, mereka seolah terhipnotis untuk membantu saya. Pun adakalanya berada pada situasi dimana tidak ada yang memandang saya sebagai manusia yang punya kemampuan. Menyedihkan. Mata yang melihat kearah saya tidak ada optimisnya sama sekali dan dari  pandangan mereka seolah ada pertanyaan besar yang tidak tahan untuk dilontarkan. “Kamu siapa?”. Selanjutnya bisa ditebak bagaimana keadaan tidak memihak saya sedikitpun.

“Ada hari dimana harapan sama sekali tak tumbuh, seperti kota mati. Lalu kita sama-sama melewatinya tanpa ada sedikitpun gairah untuk hidup lagi. Matahari menyingkir dan doaku naik ke langit. Keesokan harinya, langit tetap sama dan hari ini seperti hari kemarin yang tanpa nyawa”

Berapa banyak doa yang manusia panjatkan kepada Tuhan agar hidup mereka semakin membaik? Ada berapa banyak harapan yang dituliskan di akun jejaring social dan tertulis beraneka warna di sebelah cermin setiap orang? Ada juga orang yang mati-matian bekerja keras tapi tak kunjung mendapatkan hasil dari usahanya.  Lalu disebelah mereka ada orang yang seolah sangat mudah memiliki sesuatu, tanpa usaha yang melelahkan. Tidak adil? You know each person have their own way.

Too much stories that you can’t take the point but good talk always starting from good greeting such as, “Hi, What’s up?! J at the beginning of your day.

And the end of the day please ask to yourself, “have you fight your life?”.

Didikan orangtua kaya atau miskin bagi saya bukan harga mati. Toh banyak orang yang hidup miskin kemudian berusaha dengan susah payah tidak lantas hidup miskin seumur hidup mereka. Kebanyakan orang tidak langsung kaya melainkan berproses. Butuh waktu seumur hidup memang. Seringkali orang tidak menikmati apa yang diperjuangkannya selama bertahun-tahun karena meninggal terlebih dahulu.  Lalu apakah semuanya sia-sia? Tidak. Ada anak keturunan yang mewarisi apa yang sudah dikerjakan, ada keluarga yang tetap berhak atas hasil perjuangan orang tersebut. Saya menyebutnya, manfaat.

Beruntungnya terlahir dari keluarga kaya adalah mereka punya kepercayaan diri yang bagus, melakukan segala sesuatunya dengan cerdas, serta etika yang terjaga. Meskipun tidak semua keluarga demikian tapi sisi positif dari anak yang terlahir dari keluarga kaya kurang lebih begitu. Terlahir dari keluarga miskin tidak selamanya menyedihkan dan tanpa harapan. Mereka diajarkan penuh syukur bahwa segala sesuatu dalam hidup yang belum menggembirakan bukan sebuah musibah besar. Anak orang miskin cenderung jujur terhadap diri mereka sendiri. Beginilah saya dan hidup saya. Meski ini bisa jadi racun untuk membatasi mimpi mereka.

Ini hidupmu. Kaya atau miskin, berusahalah agar apa yang kamu kerjakan terasa lebih bermakna. Pun agar kamu tahu bahwa usaha yang berasal dari dirimu sendiri adalah sesuatu yang berkesan. Fight.
 

Jumat, 27 Juli 2018

Mindset tentang Detail

Saya bukan ahli detail tapi punya daya iseng yang lumayan bagus buat nemu hal² yang tidak seharusnya ada atau tidak pada tempatnya. Sejak dulu, alergi sama yang rinci-rinci atau njlimet. Udah deh mendingan capek fisik daripada ngubek-ngubek kerumitan. Sampai saya nyerah dengan analisis DCM, AUM dan teman-temannya di Bimbingan Konseling (*mungkin sekarang udah canggih bin high tech). Ditambah administrasi yang seabreg-abreg dari sebelum masuk semester baru sampai mau liburan akhir semester. Well, didukung tanpa restu orangtua finally banting setir.

Kembali ke detail. Ada pepatah, "Gak perlu menjauhi sesuatu sampai alergi karena ketakutanmu, keenggananmu mungkin akan selamanya mengejarmu. Just let it flow. Bersahabatlah dengan hal² yang tidak kita sukai". Sampai detik ini, saya belum bersahabat dengan detail hingga pemahaman itu lahir. Berbagai kemudahan justru datang dari kesulitan yang kita hadapi.

Senior agak sedih ngelihat saya yang agak bandel. "Semuanya harus kamu catet karena pasti bakal lupa. 10 style itu banyak lho. 2 style aja issue-nya banyak dan gak semuanya kelar sekali proses". Ketika ngikutin chart demi chart yang njlimet saya cuma inget, "Gak ada yang lebih menakutkan selain murka Tuhan. Ini hal baik yang mungkin mendatangkan keridhaan Tuhan terhadapmu". Sampai detik ini, otak saya masih mix and match trik mana yang paling klik dengan diri saya sembari mengingat bagaimana kebaikan demi kebaikan yang muncul selama ini. This mind is yours. Nothing happen if you're stuck here. Be brave. Be better.

Memulai hal yang bukan kesukaan kita memang sedikit menguras energi but it's okay. Setidaknya kita bisa memilih untuk belajar dari semua orang. Beruntungnya, begitu banyak pihak yang welcome dengan interupsi dari saya. Meskipun begitu saya tetap butuh waktu untuk memaknai satu demi satu poin yang ada. Saya butuh waktu untuk mencerna butiran ilmu yang ditransfer setiap harinya.

Doktrin yang saya tanamkan dalam kepala saya adalah, "Apapun yang tidak ada keburukan didalamnya akan Allah berikan jalan kemudahan. Allah berikan pertolongan dari segala arah". Saya hanya ingin berteman dengan berbagai chart, reject demi reject, dan chasing sana sini.

I know it won't be easy but i have many people who support anytime.

Andai mengingat betapa saya ogah dengan administrasi sekolah, belum jodoh untuk mengajar. Sekarang harus lebih bersahabat dengan email yang bersliweran, chart yang bikin muka kotak kaya cell di excel, atau wira wiri keliling factory demi finishnya sample-sample. I know it won't be easy but i have many people who support anytime.

Sungguh Allah Maha Kuasa, saya bersyukur dengan kesempatan terbaik yang telah dipercayakan. Tidak ada lagi beban berat dalam pikiran yang mengganggu. Walau berat, beginilah proses yang ada. Jalani, nikmati dan hargai.

👕👖

Minggu, 08 Juli 2018

Belajar Yakin (*lagi) Sama Allah

Saya pernah share pengalaman interview pada sebuah perusahaan multinasional. Interviewer (*yang asli orang Indonesia) menggunakan bahasa Inggris dalam melakukan sesi interview. Secara teknis saya bisa memahami apa yang dikatakan interviewer, tapi karena sedikit gugup jawaban saya malah kaku. Oh God. Performa yang pas-pasan membuat saya harap-harap cemas. Hasilnya? SAYA GAGAL. Sejujurnya saya berharap diterima demi karir yang semakin berkembang tapi apa daya, Gusti Allah belum ridha.

Beberapa bulan kemudian, saya mengikuti interview. Awalnya disambut orang HRD (yang ternyata adalah managernya), pertanyaan pertamanya adalah "Bahasa Inggrisnya aktif?" Beliau tidak bertanya skor TOEFL, kursus bahasa Inggris dimana dan pertanyaan lain berbau bahasa Inggris. Sambil menapaki tangga dan melalui pintu authorized people, saya menjawab mantap "Iya Pak". Sampai di ruang yang lumayan luas dan cozy, beliau memasrahkan saya kepada seorang perempuan cantik dan tinggi. Perempuan ini berbahasa Indonesia dengan terbata-bata hingga ia menyerah kemudian bertanya, "Is it okay for you if i'm.. ehm (*diselingi senyum) speak in English?" Hehe. Kami pun berbicara banyak hal selama 10 menit kemudian.

Tepat semalam, teman saya berkata "Saya meminta X tapi Allah gak ngabulin. Giliran saya minta yang terbaik, Allah justru ngasih X". Saya berharap diterima di perusahaan pertama, tapi Allah tidak memberikannya. Giliran saya minta yang terbaik, Allah berikan semua yang saya butuhkan. Jauh lebih baik daripada ekspektasi saya. Jauh memenuhi semua harapan saya sebelumnya.

Apakah saya begitu hebat? Apakah saya sudah profesional? Allah saja yang hebat. Buktinya, harapan saya diberikan satu demi satu. Adakalanya sekaligus dengan bonus teman baru yang menyenangkan, fasilitas hidup yang semakin baik, dan kesempatan untuk lebih berguna bagi orang terdekat saya. Apakah mudah untuk belajar yakin sama Allah? Bagi saya, itu tidak mudah tapi bukan berarti tidak bisa. Saya sering merasa diri tidak pantas untuk mendapatkan sesuatu yang baik. Lebih sering memaksakan sesuatu terjadi sesuai keinginan saya. Terlepas dari semua usaha untuk yakin, percayalah ketika sudah memiliki keyakinan yang kuat serta melibatkan Allah, kun fayakun. Bagi Allah, semua hal jadi serba mungkin.

Terakhir, untuk semua orang yang yakinnya sedang diuji, untuk teman-teman yang feeling useless, feeling stuck, dan kamu yang sedang menanti janji Allah yang Maha Kuasa,

.... Janganlah berputus asa terhadap rahmat Allah. Kuatkan dirimu ditengah cibiran, pertebal yakinmu untuk mendapatkan apa yang kamu butuhkan. Tanamkan dalam hati dan benak bahwa kamu layak mendapatkan yang terbaik. Tentunya dengan terus meningkatkan kapasitas diri dan berdoa....

Bukankah Allah sudah menenangkan kita dengan ayat,
~ Dan bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sesekali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu || ar Rum : 60 ~

Yakin, percaya. Kamu layak atas harapan baikmu.

Minggu, 03 Juni 2018

It's time to REUNI


Gengs, pernah gak dateng ke acara reuni ternyata suasananya gak serenyah yang dibayangkan? Ngobrolnya cuma dua orang tiga orang, fokus ke smartphone masing² atau diisi dengan obrolan yang gak penting² banget buat dibahas.

Ajang silaturahmi yang diharapkan keberkahannya justru menjadi momok bagi sebagian orang. Apa aja sih yang bisa kita siapkan buat dateng ke reuni selain budget dan bawa diri? Let's check the most important things to make our REUNI feel awesome..

1. Memulai dengan yang ringan. Lama gak ketemu teman lama, bukan lantas kita bisa langsung menodong teman kita dengan pertanyaan berat. Mulailah dengan menanyakan perjalanannya sampai ke lokasi reuni, bertanya kabarnya, wajah yang lebih segar atau menanyakan kehadiran teman yang lain. Sajian pembuka yang ringan bisa membuat teman kita merasa disambut dan menciptakan suasana hangat bersahabat.
2. Hindari isu sensitif. Pertanyaan klasik seperti "kamu belum punya anak? Rencananya kapan?", "kerja dimana kamu sekarang? Gak kedengaran kabarnya di sosmed", atau "mau nikah kapan sih? Nyari yang gimana lagi?". Better to you enjoy the time and let them share their private things by themself. Gak perlu ditanya dengan penuh semangat. Kalau mereka berkenan membagikan pengalaman mereka, kita pun akan nyaman berbincang hal² yang sensitif agar tidak menyinggung perasaan. Kamu feel OK, aku feel OK dan kita feel OK. Is it right? 
3. Tetap bersikap netral. Proses hidup setiap orang adakalanya berbeda. Ada yang kebetulan sedang berlimpah rejekinya, ada yang sedang bermasalah dalam karirnya. Mungkin kita sedang berusaha menyembuhkan anggota keluarga yang sakit kronis dan butuh dana besar. Disaat yang bersamaan teman kita baru pulang umroh. Dalam hal ini, bercandalah tentang hal² diluar diri yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan pribadi seseorang. Biar teman kita atau kita sendiri tidak merasa kecil hati atau minder.
4. Doakan. Ada banyak orang dengan jalan hidup yang berbeda. Mari doakan mereka yang sudah baik hidupnya agar semakin baik kedepannya. Lebih-lebih mereka yang masih berjuang atau sedang menyelesaikan poin besar dalam hidupnya. Doakan diri sendiri, doakan teman sendiri. Doakan semua orang.

Karena reuni yang baik bukan soal venue yang instagram-able, bukan pula tentang banyaknya teman yang datang. Reuni yang baik membuat mereka yang datang menanti reuni selanjutnya. Mereka akan bertanya "Tahun depan tetap reuni kan?" Maka tidak ada yang lebih indah selain diharapkan kehadiran kita oleh teman-teman kita. Iya kan?

Selamat Reuni!! 🙇🏻‍

Sabtu, 02 Juni 2018

Hadiah yang Tidak Layak

Diangkot, jelang maghrib. Buka puasa ditengah himpitan penuh sesak penumpang yang semuanya puasa. Banyak yang membatalkan puasa mereka dengan air putih. Menikmati perjalanan dengan diam.

Dua orang ibu tampak asyik berbincang soal pekerjaan. Mau tidak mau telinga saya mendengar pembicaraan mereka yang tepat di sebelah saya. Yang 1 nampaknya mengajar di sebuah sekolah bersama anaknya yang baru masuk sekolah setelah libur awal puasa. Tadinya saya tidak menyimak dengan cermat. Lama kelamaan ada yang menggelitik diantara mereka berdua. Si Ibu guru nyaring mengatakan bahwa setiap akhir semester ia selalu menerima bingkisan dari orangtua murid berupa tas, pakaian, sepatu, atau barang bermerk lainnya.

Seolah ada yang meninju perut saya. Mengapa saya begitu marah? Ibu guru itu tidak melakukan sesuatu yang salah kepada saya. Mengapa saya merasa terluka? Hal ini sangat subyektif. Saya tidak bisa mendengar hal semacam itu. Teman-teman mengajar saya di Ende hanya menerima 50 ribu per bulan yang diterima setiap 3 bulan sekali. Sementara ibu guru tersebut bahkan setiap 6 bulan sekali menerima hadiah-hadiah yang belum tentu menandakan keberhasilan mengajarnya.

Ah Jilvia, kamu tidak berada di tengah situasi ibu guru itu. Bagaimana perjuangannya mengajar dari tahun ke tahun tanpa gaji yang memadai untuk hidup di kota. Kamu belum merasakan untuk berangkat ke sekolah tiap hari harus menghabiskan 50 ribu rupiah. Apalagi dengan kesibukan mengurus anak dan suami serta memenuhi kebutuhan mereka. Kamu tidak pernah berada disituasi tersebut. Kamu marah untuk apa? Idealisme yang tidak pernah mau kamu kompromikan? Pengorbanan yang tidak pernah mau kamu lakukan untuk mencurahkan cinta dan karyamu kepada muridmu di sekolah. Lalu kamu marah akan hadiah yang tidak pernah diminta guru tersebut? Bukankah itu tidak adil?

Mereka tidak SEMURAHAN itu. Yang mudah dibeli dengan tas, sepatu dan barang bermerk lainnya. Namun dari lubuk hati yang tidak pernah berdusta ada tangis yang tiba-tiba pecah. Rasanya budaya itu bukan hal yang benar untuk dilestarikan. Bagaimana dengan keberhasilan mengajar mereka? Apakah anak didik mereka tumbuh dan berkembang dengan baik di sekolah? Apakah tugas perkembangan anak didik bisa tuntas selama diajar oleh guru tersebut? Apakah penghargaan dari pihak sekolah tidak cukup untuk membuat guru bersyukur?

Saya yakin, tidak semua orang tua murid berkecukupan untuk membeli barang- barang bermerk. Apalagi untuk berterimakasih kepada guru anak mereka yang entah berhasil atau tidak dalam mendidik mereka. Lagi, budaya semacam ini sungguh tidak sehat. Berterimakasih tidak harus dengan pemberian barang. Memberikan nilai yang baik, bersikap sopan santun, kasih sayang terhadap sesama dan saling menghargai adalah hadiah terbesar bagi guru. Karena itulah keberhasilan pendidikan, karakter yang lebih baik dari waktu ke waktu.

Ketika mengajar yang dihargai apa adanya kemudian digodai dengan sedikit kemewahan, apakah niat kita masih lurus? Ketika kita pada hakikatnya tidak bisa dibeli dengan tanda terimakasih yang tidak tepat, apakah orang bisa menyebut kita munafik?

Menyadari bahwa mengajar tidak serta merta sebuah pengabdian tapi kemampuan bertahan hidup, maka jangan pernah bisa dibeli dengan barang fana yang melenakan. Mereka yang memutuskan untuk mendidik, selayaknya sadar atas pilihannya. Mengajar tidak akan pernah membuat kita kaya. Hedonisme tidak ada dalam kamus guru. Kita bisa untuk mengusahakan kehidupan disisi lain agar kebutuhan untuk eksis dapat terpenuhi. Hah. Pada kenyataannya kebutuhan untuk tetap eksis menjadi barang primer bagi orang di jaman sekarang.

Saya mohon, kamu atau siapapun yang memilih mengabdi dijalan pendidikan. Mengajarlah dengan penuh kerendahan hati. Ajarkan kepada mereka sesuatu yang benar untuk dilakukan dalam hidup. Ciptakan budaya yang membiasakan mereka untuk tumbuh tanpa pamrih, berterimakasih dengan cara yang benar dan saling menghargai segala macam sikap baik. Kamu tidak bisa mengubah bangsa dengan itu semua tapi kamu membantu dengan sangat baik bagi generasi muda disekitarmu. Itu jauh lebih bermanfaat dan tepat daripada menerima hadiah² yang sebenarnya tidak layak kamu terima.

🙇

Kamis, 24 Mei 2018

Random Day


Gegara hujan lebat, terpaksa nyamperin temen yang lagi upgrade kartunya ke 4G..

Sambil menggoda teman saya yang duduk diam sangat khusyuk, kami membuka pintu dan menyebut namanya dengan lembut. Sontak yang disebut namanya langsung menengok bahkan mbak² CS-nya yang sedang bekerja turut menengok. Siang hari di jam istirahat, antrian tidak begitu panjang. Teman saya membuka obrolan renyah seputar pekerjaan dan tupoksi. Saya menyeletuk "Kata atasan saya yang dulu katanya orang Jawa sama orang Sumatera kalau nunggu beda sekali. Lihatin K'Cumi tuh. Anteng duduk nunggu dipanggil. Coba orang Sumatera yang nunggu. Udah nanya² kapan gilirannya dan kapan selesainya". Sontak teman saya langsung terbahak-bahak mengiyakan. "Haha. Iya juga ya. Orang Sumatera gak bisa nunggu. Pasti nanya kapan dipanggil, kapan antriannya habis. Padahal kita gak tahu mereka kerjaannya apa".

Teman saya selesai dengan upgrade 4Gnya, hujan pun reda. Matahari langsung cerah bersinar. Kabar buruknya jalan depan gerai digenangi air. Waktu sudah menunjukkan 12.30. Akhirnya kami mlipir² mencari rute yang aman dari genangan. Setelah berusaha mencari rute yang aman, kami justru stuck di depan warteg yang didepannya persis ada selokan yang terbuka. Tidak bisa melewatinya teman saya langsung berteriak "Naik angkot aja sampe jalan yang kering". Jadilah kami naik angkot 5000 untuk bertiga sejauh 20 meter. "Bang, sampe jalan yang kering aja ya" sembari cekikikan supir angkot menjawab, "Waaah, tadinya mau saya gendong aja" 😮 mau tidak mau, kami naik angkot 20 meter lalu menyeberang dan faktanya memang berada di seberang gerai yang tadi kami kunjungi. Sejak didalam angkot, selama berjalan menuju pabrik, hingga didalam masih tertawa-tawa dengan absurdnya kami bertiga.

Minggu, 13 Mei 2018

Yakin, Ada Tuhan yang Membantu

Seorang saudara berkata kepada saya, "Dulu pas anak-anak masih sekolah Bapaknya dapat tunjangan per bulan. Makan siang selalu dikasih entah itu dalam bentuk nasi bungkus atau uang tunai. Selalu ada recehan yang nyangkut diluar gaji. Sekarang si sulung sudah kerja dan anak kedua sudah lulus SMA. Kerasa. Kerasa banget gak punya duit. Tunjangan per bulan Bapaknya dikurangi padahal dia gak pernah cerita soal pendidikan anak, THR cuma dapat 1 juta dan aku sekarang sudah keluar dari kerjaan. Memang benar ya, rejeki anak selalu ada. Giliran sudah selesai sekolah begini, uangnya juga dikurangi. Gusti Allah Maha Adil kan?" Raut muka yang bingung dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari terlihat jelas. Dibalik kebingungannya, rejeki justru datang dari anak sulungnya yang sudah bekerja. Hampir setahun bekerja sebagai buruh pabrik, ia menabung dan memperbaiki rumahnya sedikit demi sedikit. Bahkan perempuan itu bersedia menampung Pamannya yang sudah tua dan tidak punya keluarga dirumahnya. Sampai hari ini ia bisa makan walau sederhana. Ia masih mengantar jemput anaknya ke sekolah yang cukup jauh dari rumahnya. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?

Apabila kita memikirkan kesanggupan dalam menjalani hidup, tentunya akan ada banyak kendala. Keadaan ekonomi yang sedang tidak baik, pekerjaan yang penghasilannya dibawah UMR, anggota keluarga yang saling berjauhan dan sebagainya. Namun selalu ada harapan bagi mereka yang percaya pertolongan Nya. Ditengah tanggungjawab, ada tangan tak terlihat yang senantiasa membantu. Itu pengalaman saudara saya. Ia percaya hidup hanya harus dijalani dan dihadapi. Meskipun situasinya serba terbatas dan sulit, kita harus terus berjalan. Tuntaskan satu demi satu. Ada Tuhan yang membantu.

Bagi saya, pengalaman serupa terjadi ketika masih kuliah S1. Tahun 2010 hingga awal 2013 merupakan masa sibuk saya di organisasi kampus. Setiap bulan selalu ada agenda keluar kota. Belum lagi kegiatan intra kampus yang menyita energi hampir tiap minggunya. Maha Pemurah Tuhan, beasiswa saya selalu cair per semester. IPK saya selalu cukup sebagai syarat mengajukan perpanjangan beasiswa. Pertengahan 2013 saya memutuskan untuk mundur dari organisasi kampus untuk konsentrasi skripsi. Keadaan ekonomi keluarga saya sedang tidak baik saat itu. Jatah bulanan saya berkurang drastis. Di lain sisi, perkembangan skripsi berjalan setapak demi setapak. Ketika saya mencari bahan di perpustakaan dosen ready bimbingan. Ketika saya ready bimbingan, dosen sibuk dengan agenda lain. Oke, dalam masa berhemat tersebut saya baru dinyatakan lulus pada Agustus 2014.

Kalau ada yang bertanya, "Kamu ngapain aja dari 2013 sampai 2014?". Saya lebih banyak di perpustakaan jurusan dan pusat. Membaca buku tidak hanya yang berkaitan dengan skripsi. Kalau sedang jenuh, bertemu dengan teman-teman yang menyelesaikan skripsi. Berdiskusi banyak hal tentang teori, metode penelitian dan sesekali curhat akan dosen yang susah ditemui untuk bimbingan. It means too much for me. Mereka yakin, akan ada waktu dimana bimbingan berjalan lancar dan dosen meminta untuk mengajukan jadwal sidang. Saya yakin hari-hari yang saya lalui tidak sia-sia. Tuhan melihat dan menunggu, doa apa yang akan saya panjatkan saat itu.

Seorang teman saya pernah berkata, "Tuhan menahanmu disini untuk menghindarkan badai disana". Saya meyakini lebih banyak kemudahan dibalik kesulitan setelah setahun dua tahun meninggalkan kampus. Jalan hidup masing-masing orang tidaklah sama. Dengan kekuatan yang dimiliki, orang terdekat yang support, dan "rute khusus" dari Tuhan menjadikan cerita tiap orang berbeda dari temannya, bahkan saudara sekandungnya sendiri.

Dari segala macam cerita dan pengalaman, serta lingkungan sekitar saya semakin sadar bahwa ujian hidup atau apapun namanya bisa mendekatkan seseorang pada Tuhannya atau justru sebaliknya. Andai kita mau sedikit saja memahami bahwa Tuhan selalu punya maksud baik dibalik kesulitan dan menjanjikan pertolongan, tentu kita akan bahagia berlama-lama sujud dan berdzikir. Setelah sering bersujud, berdzikir, berbuat baik kepada sesama mudah-mudahan kita sadar bahwa sujud itu semata-mata untuk menghamba bukan meminta apa-apa.

🙏

Jumat, 13 April 2018

Memiliki Anak

Di sebuah komentar akun twitter yang muncul di timeline saya, seorang perempuan dengan tenang menyatakan bahwa dirinya tidak ingin memiliki anak meski usia pernikahannya sudah 5 tahun. Detik pertama saya terdiam, meresapi setiap kata demi kata perempuan tersebut. Tidak ada yang salah. Muncullah berbagai asumsi dalam kepala saya. Rasa penasaran membuat saya scroll komentar lain yang jumlahnya puluhan. Membaca komen demi komen begitu nano nano. Antara yang support dan menyayangkan cukup imbang. Namun selalu ada doa yang menyejukkan diantara itu semua.

Menyalin kalimat dari seorang penulis, "Orang tua sudah selayaknya tidak mewariskan luka batin kepada anak-anak mereka". Anak-anak yang lahir sudah semestinya mendapatkan kasih sayang, didikan dan asuhan yang tepat dari orang tua mereka. Bukannya bentakan, tuntutan atau pelampiasan emosi yang timbul dari pengalaman sehari-hari. Sebagai orangtua, kita tidak dapat terlepas begitu saja dari pegalaman masa lalu. Bagaimanapun pengalaman tersebut membentuk karakter kita. Ada kesedihan, kekecewaan, kehilangan, ketidakberdayaan, dan sebagainya yang turut serta dalam batin setiap orangtua. Ada yang berhasil menerima pengalaman tersebut menjadi bekal yang berguna bagi kehidupan mereka sekarang. Sayangnya ada yang belum berdamai dengan luka batin mereka hingga masanya memiliki keturunan.

Perempuan tersebut sudah menikah selama 5 tahun dan berkomitmen dengan pasangannya untuk tidak memiliki anak. Keduanya baik-baik saja hingga hari ini. Bahagia dan tenang dengan pandangan hidup yang mereka miliki. Mereka tidak mengatakan "tidak ingin memiliki anak sendiri". Mungkin nanti ada saatnya mereka ingin punya anak.

Pro kontra komentar yang menanggapi sikap mereka di dunia nyata begitu nyaring terdengar. Ia menyadari bahwa komentar tersebut tidak bisa tidak mereka dengar. Selalu ada celah untuk memandang mereka sebagai pihak yang aneh, salah atau gak lumrah. Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, keduanya hidup harmonis. Tidak ada tuntutan untuk segera memiliki anak. Ketika saya mencoba untuk bergabung dengan netizen lain, ia menanggapi dengan santai dan terbuka. Mungkin sudah terbiasa dengan doa dan cibiran meski tidak sedikit yang menyemangati atau mendukung.

Anak adalah wewenang mutlak dari Allah. Cerita tentang penantian anak selama belasan tahun banyak tersebar didunia maya. Sungguh kesabaran yang luar biasa bagi mereka yang tetap bersyukur dan bahagia dalam menanti seorang buah hati. Teman-teman saya beruntung karena lekas memiliki anak dalam setahun dua tahun pernikahan mereka. Apakah mereka sudah siap? Saya tidak tahu. Semoga siap dengan tanggungjawab sebagai orangtua untuk mendidik dan mengasuh dengan sebaik-baiknya.

Bila perempuan tersebut merasa belum siap, banyak orang yang belum siap tetapi berani untuk mengikhtiyarkan punya anak. Apakah mereka berpotensi mewariskan luka batin kepada anak mereka kelak? Kita tidak pernah bisa menebak apa-apa yang diluar kuasa kita. Orang yang berkata siap, belum tentu benar-benar siap tetapi mereka berani. Orang yang berkata belum siap pun mungkin justru jauh lebih siap menghadapi segala macam konsekuensi. Mbak-mbak yang dipanggil Kak Cib memandang bahwa pernikahan bukan tujuan, melainkan cara. Untuk hidup lebih bahagia dan bermakna. Menyadari setiap keputusan yang diambil menjadi begitu penting bagi pasangan, mbak Cib berhasil mengkomunikasikan pandangannya kepada suami. Well, mereka menikmati hidup tanpa harus memenuhi tuntutan masyarakat yang memang belum menjadi kebutuhan mereka berdua.

Be a wise 🙏

KEINGINAN

Pernah suatu kali pengen es cendol. Pengennya banget. Trus ada ide buat lobby pikiran sendiri "Besok lagi aja beli cendolnya" padahal baru lihat abang² jual cendol seger banget. Sampai sekarang beli es cendolnya belum kesampaian.

Pernah juga sampe kepikiran berhari-hari pengen pisang. Parahnya tiap hari lewat abang² jualan pisang (*impor) di pinggir jalan. Berkali² lihat pisang yang ditata abangnya, gak pernah sampai pada dialog "Bang pisangnya berapaan?" Sampai suatu sore mau pulang, atasan whatsapp "Bu, itu ada pisang di loker depan ruang saya. Buat Ibu aja ya" Terharu. Berasa baru dapet tiket ke Old Trafford. Yeay!!!!

Lobby pikiran itu berhasil sekalipun diiringi dengan ngiler² drama kalau lihat cendol atau pisang. Kalau ada yang bilang "Pie, cendol atau pisang kan paling 10000 doang". Please, ini bukan soal nominalnya. "Pie, tinggal beli aja. Gak pake berantem juga kan sama Abangnya?". Haha, yang ada ngobrol asik tauu sambil dirayu "Neng, melonnya sekalian atau buah naganya?" Asooooy. Godaan kan?

Dan sederet pengen² lainnya yang bikin shock sendiri. Are you sure? Apa sih yang gak dipenginin manusia? The point is how to manage our "pengen" terealisasi sesuai dengan urgensinya. Jika berhasil dengan yang kecil², kita berpeluang berhasil terhadap pengen yang lebih besar. Ini bukan soal kemampuan, andaikan mampu beli mobil sport ya beli aja. Bukan. Misalnya, gue pengen nikah. Seada-adanya calon dan restu orangtua, gak langsung saat itu juga kan menikah. Karena tidak semua keinginan kita bisa terwujud. Ada banyak faktor dan aktor yang mempengaruhi perwujudan keinginan kita. Lagi, kita hidup tidak hanya untuk memenuhi keinginan yang kadang semu alias bawaan suasana atau bawaan perasaan. Aku ingin ini ingin itu banyak sekali..

Terus gue kalau pengen makan nasi uduk pagi ini kudu nunggu seminggu kemudian? 😱😨

In the world like ours, ada keinginan yang memang tidak perlu diwujudkan atau dikejar sebegitu kerasnya. Pun ada keinginan yang sudah selayaknya diperjuangkan sebagaimana mestinya. Tinggal bagaimana kita menempatkan tingkat urgensinya agar tidak terdistorsi oleh keinginan yang semu.

Happy Friday!!

Kamis, 12 April 2018

SAYANG ANAK

Kemarin siang saya melihat tayangan yang mewawancarai Anggun C Sasmi di stasiun TV swasta. Eksistensi Anggun di dunia musik sudah tidak diragukan masyarakat. Lagu-lagunya pun dinikmati masyarakat dunia. Sebagai perempuan yang berdarah Indonesia, Anggun menjadi kebanggaan tersendiri bagi penikmat musik tanah air. Karir yang mulus ternyata tidak sejalan dengan kehidupan pribadinya. Ia jatuh bangun membangun bahtera rumah tangga hingga kini pernikahannya yang keempat.

Dibalik suka dukanya menjalani kehidupan sebagai penyanyi, ada statement Anggun yang memikat saya. Presenter yang luwes mengulik kehidupannya bertanya tentang putrinya yang sudah remaja. "Aku gak mau membebani dia dengan status aku yang seorang artis. Dia gak pernah aku foto kelihatan mukanya. Kadang aku foto dari belakang atau aku tutup pake sesuatu. Aku gak mau mengganggu kehidupan pribadinya dengan ketenaran ibunya". Saya merenungi kalimat itu cukup dalam. Banyak artis yang memposting tingkah menggemaskan anak mereka bahkan sampai live siaran infotainment saat melahirkan. Setiap fase perkembangan tidak pernah luput dari sorotan media. Meskipun tidak sedikit yang agak tertutup perihal kehidupan anak mereka.

Apakah setiap anak yang terlahir dari public figure, artis, pengusaha terkenal atau pejabat publik mendapatkan beban psikologis yang lebih berat ketimbang teman-temannya yang lahir dari kalangan biasa? Apakah anak tersebut memiliki beban atau tanggungjawab yang lebih besar untuk menjaga nama baik orangtunya ketimbang mereka yang orangtuanya berstatus sosial bukan sorotan media? Apakah mereka terbatasi gerak geriknya karena selalu tersorot kamera dan rentan gunjingan masyarakat?

Sudah menjadi tugas anak untuk menjaga nama baik orang tua dan keluarganya. Anak-anak menjadi representasi dari cara hidup orangtuanya. Jika orangtuanya pejabat publik, masyarakat meletakkan peran tambahan yang harud dilakukan anak yaitu berprestasi dimanapun ia berada. Hal ini menjadi berat jika penanaman karakter kepada anak terganggu dengan sibuknya orangtua pada karir mereka. Anggun menyadari statusnya sebagai publik figur yang dituntut masyarakat agar tanpa cela dalam bersikap dan mendidik anak. Ia mampu melakukan pencitraan bagi dirinya sendiri. Akan tetapi ia tidak ingin anaknya merasakan beban tersebut. "Kamu gak harus gitu, kamu bebas berekspresi seperti remaja lain diluar sana. Jangan terbebani dengan status ibu".

Selera dalam mendidik anak tidak sama antar satu orang dengan orang lain. Kita melihat Anggun begitu menjaga privasi anaknya agar tumbuh berkembang tanpa batasan sosial yang tidak perlu menurutnya. Bagaimana dengan orangtua lain? Tidak sedikit mereka yang suka membagikan foto-foto anaknya dan bagaimana tumbuh kembang mereka. Itu sah saja. Toh anak sendiri yang mereka (*dapatkan dan) besarkan susah payah. Kita bisa melihatnya sebagai bentuk syukur dan perwujudan rasa bahagia. Sejatinya saya pun bahagia melihat wajah polos merah menghias timeline.

😄

*Ditulis 7 April 2018

Kamis, 29 Maret 2018

Keep Silent

Cuaca lumayan terik diangka 11.20 am dengan banyaknya calon penumpang di halte TransJakarta. Lebih dari 5 bus yang bertuliskan "TIDAK MELAYANI PNP" melaju tanpa berhenti. Sempat berpikir bus yang saya tunggu tidak beroperasi hari itu. Namun saya yakin ada bus yang beroperasi ke lokasi yang saya tuju.

Seorang ibu menjinjing tas berdiri dibelakang saya. Ia sempat menanyakan bus yang ditunggu dengan sedikit kesal. Berusaha menyalurkan kekesalannya dengan komentar yang tidak perlu kepada calon penumpang lain. Ia mengeluhkan bus yang tidak secepat yang diharapkan. Padahal belum menunggu lebih dari 5 menit. Beberapa penumpang lain yang datang hampir bersamaan dengan saya bahkan sudah menunggu lebih dari 10 menit. Mereka cemas menunggu tetapi mampu menahan diri untuk tidak protes dan mengeluh. Seorang pria membunuh kebosanan dengan bermain smartphone. Mbak-mbak dengan tas cangklong celingukan melihat setiap bus yang terlihat dari kejauhan. Yang lain terus melihat jam tangan, menghela nafas atau cemberut seperti saya. Saya cemas dan mereka cemas dalam penantian mereka. Mereka tahu bahwa tetap tenang adalah satu-satunya hal paling logis yang bisa dilakukan. Maka mereka lebih baik diam dan tidak banyak mengeluh yang membuat orang disekitar suntuk.

Saya sepakat dengan dosen yang mengatakan bahwa mengeluh adalah tindakan paling tidak efektif. Hal itu sama sekali tidak membantu apa-apa karena memang tidak menyelesaikan pokok permasalahan yang ada. Seseorang yang mengeluh justru memperparah situasi dan menularkan emosi negatif bagi orang disekitarnya. Kalau mau menanyakan satu per satu orang yang tengah menunggu bus, barangkali ada yang terancam dipecat karena terlambat masuk kantor. Namun mereka memilih untuk tenang dan diam menikmati sebuah penantian. Tidak perlu melontarkan kalimat yang cenderung memaki atau memprotes. Sungguh tidak perlu dan memang tidak membantu apa-apa.

Bus yang datang terlambat merupakan contoh keadaan yang tidak diharapkan. Banyak orang yang menuntut situasi harus begini dan begitu persis seperti harapannya. Kalau menunggu 10 menit saja kita sudah protes dan mengeluh, bagaimana dengan persoalan yang lebih besar? Bagaimana ketika kita dihadapkan pada situasi yang lebih menyita waktu, lebih melelahkan, lebih menguras energi dan memerlukan pengorbanan yang lebih besar? Ini baru perkara menunggu bus yang tidak sampai hitungan jam. Tidak perlu kita mahir program komputer, jago menembak atau berpengalaman menghadapi peperangan. Kita hanya harus berdiri, tenang dan berpikir positif.

Ibu-ibu tersebut mendapatkan bus lebih cepat dari saya. Beberapa menit kemudian bus saya datang dengan penumpang yang sudah banyak. Akhirnya saya duduk diundakan bangku paling belakang bersama Mas-mas berkemeja digulung dan celana selutut. Menyadari bahwa saya duduk diatas mesin yang hangat, saya hanya bisa menggumam "OKE, INI JAUH LEBIH BAIK DARIPADA BERDIRI DENGAN NOT FLAT SHOES"  👠👠

Selasa, 27 Maret 2018

Selftalk dan Me Time

Buku bersampul cokelat manis itu menarik perhatian saya. Di sebuah rak buku keponakan yang sudah bertahun-tahun saya letakkan disitu. Dibeli Desember 2009 silam, saya sudah lupa isinya apa. Bab terakhir dari buku tersebut berjudul "Pulang". Sejenak saya intip dan baca biografi penulisnya kemudian saya letakkan kembali.

Sampul buku itu menarik perhatian saya lagi setelah maghrib. Ada gambar seorang lelaki tua mengayuh sepeda dengan keranjang dibelakangnya. Ingatan saya langsung terbuka ke masa SMP dan SMA dimana setiap hari saya naik sepeda ke sekolah. Berangkat sekitar jam 6 pagi membuat saya bisa menghindari kemacetan dan udara panas. Cuaca yang sejuk dan segar begitu menyenangkan. Ditambah dengan pemandangan sawah dan orang yang beraktivitas di pagi hari membuat momen berangkat sekolah menjadi sibuk. Bila saya pulang sore selalu ada semilir angin yang menghilangkan penat. Ada orang-orang yang pulang kerja atau pulang membawa aneka macam hasil berkebun disawah. Sesekali matahari menggantung di ujung barat jika saya pulang terlalu sore. Meskipun berkeringat sesampainya di sekolah atau di rumah, ternyata bersepeda juga mengurangi kepenatan. Selama 30-45 menit durasi perjalanan dari rumah ke sekolah, saya bisa berbicara dengan diri saya sendiri. Selftalk (*berbicara kepada diri sendiri) mengenai pelajaran yang menyenangkan, guru-guru yang kurang kompeten (*eh), rencana hidup ke depan, masalah dengan teman, dan apapun yang sedang dihadapi.

Anak muda jaman now menyebutnya 'me time'. Dimana kita menikmati waktu yang ada seorang diri. Hanya sendiri. Me time bisa berupa aktivitas seperti membaca, olahraga, merawat diri, melakukan perjalanan, atau pergi ke suatu tempat. Mungkin karena terbiasa berangkat dan pulang sekolah sendiri, sampai sekarang agak canggung jika bepergian dengan teman. Saya bisa menulis di dalam bus, diatas kapal, atau di kereta jika bepergian sendiri. Kalau bepergian dengan teman, biasanya sharing soal hidup dan kehidupan sambil curhat. Meskipun sama menyenangkannya jika bepergian dengan teman, saya lebih sering me time dalam perjalanan seorang diri.

Selftalk dan me time menjadi kebutuhan yang (*saya pikir) harus dipenuhi. Selftalk membuat kita mampu mengurai setiap persoalan dengan lebih baik. Kita memikirkan baik buruk sikap yang akan diambil. Dengan demikian, kita tidak tergesa-gesa dalam memutuskan sesuatu dan sudah sesuai dengan keadaan kita. Me time membuat kita rehat sejenak dari hiruk pikuk hubungan interpersonal. Kadang jiwa kita pun bisa lelah setiap hari menghadapi beraneka rupa karakter orang di sekitar. Kita menikmati aktivitas untuk diri kita sendiri dimana kita sudah seharian disibukkan dengan pekerjaan yang menguras energi dan orang-orang yang nano nano.

Sampul cokelat itu mengingatkan saya yang sudah lama tidak naik sepeda. Hampir 10 tahun yang lalu sejak lulus SMA saya sudah tidak naik sepeda. Saya lupa rasanya berkeringat, ngos-ngosan, memompa ban yang kempes atau mendorongnya ketika menaiki tanjakan yang agak tinggi. Selftalk dan me time diganti dengan perjalanan di bus yang menghabiskan waktu berjam-jam.

Apakah hari ini lebih menyenangkan? Tentunya semua hal ada masanya. Semakin beranjak usia, semakin mengerti betapa hidup adalah perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain. Seperti salmon yang diceritakan Raditya Dika. Mereka berpindah untuk bertahan hidup. Dari bersepeda lalu naik bus, itu juga perpindahan dalam rangka bertahan hidup.

Akan kemana hidup membawa saya? Biar Tuhan tunjukkan jalannya.

Senin, 19 Maret 2018

MENGELUH

Dosen model-model konseling saya pernah berkata dalam sebuah sesi perkuliahan,

"MENGELUH ADALAH SALAH SATU TINDAKAN PALING TIDAK EFEKTIF"

Semua orang mengeluh tidak terkecuali. Tuhan pun telah menuliskannya, manusia bersifat kikir lagi berkeluh kesah. Kita bisa menjumpai keluhan demi keluhan di media sosial dari rakyat jelata hingga orang ternama. Apa yang dikeluhkan? Apa saja menyangkut hidup dan kehidupan baik itu urusan dirinya sendiri maupun urusan orang lain.

Keluhan dan mengeluh. Siapapun yang mendengarnya mendadak diliputi suasana tidak enak. Bagi yang mengeluhkan sesuatu pastinya bukan hal yang mengganggu. Justru bisa dianggap sebagai pelepasan emosi atau ketegangan dalam diri. Lantas apakah kita hanya akan berdiam diri dan mengutuk dalam hati saja melihat tindakan tidak efektif tersebut? Mari melihat lebih dalam perihal mengeluh dan keluhan. Barangkali ada hal baik yang bisa kita lakukan apabila menjumpainya suatu waktu.

🎭 WHY?
Mengapa seseorang mengeluh? Kok sempat-sempatnya mengeluh ditengah keadaan yang tidak enak? Ada beberapa hal yang menjadi alasan beberapa orang mengeluh, berikut diantaranya:
1. Realita yang tidak sejalan dengan harapan.
Misalnya Mita ingin rekreasi ke danau bersama teman kuliahnya. Sesampainya di danau mendadak hujan deras. Rencana awalnya mereka ingin menikmati danau dengan menyewa perahu dayung dan berkeliling. Kini mereka hanya bisa berteduh sambil menikmati teh hangat di area danau. "Hujannya bikin bete. Gagal deh rencana kita. Udah jauh-jauh hari planning, agendain jadwal barengan pula. Kalau kaya gini kan jadi sia-sia gegara hujan. Pfft".
2. Ketidakmampuan untuk mengendalikan diri.
Hambatan yang kita temui dalam melakukan sesuatu tidak serta merta bisa disikapi dengan bijak oleh semua orang. Harapan yang tidak sesuai menimbulkan kekecewaan. Semua orang pasti kecewa dengan kegagalan tetapi apakah kita akan mengumpat dan memaki? Kita jadi disibukkan dengan komentar yang sebenarnya tidak membantu saat itu. Akhirnya memperburuk suasana (*hati) yang ada.
3. Kurangnya jam terbang/pengalaman.
Seseorang yang belum pernah bekerja di bidang konstruksi bangunan dan belum memahami bahwa pekerjaan tersebut membutuhkan energi ekstra berpeluang mengeluh lebih banyak daripada mereka yang sudah berpengalaman. Logikanya, semakin kita sering menghadapi suatu masalah semakin mudah kita beradaptasi terhadap masalah yang datang kemudian. Tidak heran orang selalu berkata bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik.
4. Lingkungan (*sosial) yang tidak sehat.
Ada lho orang yang tadinya easy going, humble, tabah kemudian berubah menjadi sensitif, suka mengeluh dan mengumpat karena pergaulan yang salah. Lingkungan sosial sangat berpengaruh dalam membentuk karakter seseorang. Meskipun awalnya orang tersebut memiliki karakter yang jauh berbeda dengan lingkungan. Lambat laun ia belajar bahasa, kebiasaan hingga karakter yang ada dalam dirinya. Mengukur ini tentu agak sulit jika hanya diri sendiri yang melakukan. Cobalah minta orang lain untuk mengevaluasi perubahan yang terjadi dalam diri kita selama bertahun-tahun. Memilih teman yang obyektif juga penting agar mereka menyampaikan substansi bukan basa basi yang basi.

🎭 WHAT
Apa sih yang dikeluhkan orang-orang setiap harinya? Jawaban singkatnya adalah apapun dan siapapun. Bisa jadi Andalah salah satunya. Oh my God! But that's true dengan syarat kita menjadi orang yang memiliki karakter buruk atau melakukan sesuatu yang tidak diharapkan.
1. Apa yang dikeluhkan?
Pekerjaan yang tidak kunjung selesai, listrik mati sedangkan nasi belum matang dan baju kotor belum dicuci, jaringan ponsel yang trouble, macet, masakan yang keasinan, bangun kesiangan, hinggat bulu yang ditinggalkan kucing diatas keset pintu depan rumah.
2. Siapa yang dikeluhkan?
Pasangan yang posesif atau acuh, anak yang susah makan, atasan yang killer, dosen yang super sibuk sehingga jarang bimbingan, kasir minimarket yang lelet, hingga abang pengamen yang nodong recehan di bus antarkota.
Apapun dan siapapun bisa menjadi bahan keluhan. Dari hal sepele hingga harga bahan makanan pokok yang terus melonjak naik tanpa mau turun. Dari kebijakan pemerintah yang levelnya tingkat dewa hingga harga snack di warung yang semakin mahal tapi isinya angin doang. Haha. Sedih ya.

🎭 TREATMENT
Apa yang seharusnya kita lakukan apabila bertemu dengan orang yang suka mengeluh?
A. Dengarkan
Satu-satunya harapan mereka yaitu didengarkan. Sama sekali tidak butuh masukan dari pendengarnya. Apalagi provokasi dengan kalimat "Oh ya? Terus bagaimana?".
B. Alihkan pembicaraan
Daripada memprovokasi mereka, lebih baik mencari tema lain yang netral. Dimana nuansanya lebih meredakan ketegangan. Sampaikan hal baik dan berguna yang tidak ada hubungannya dengan itu. Ide bagus untuk menyampaikan berita gembira kepada mereka sehingga perhatian mereka teralihkan.
C. Ciptakan suasana kondusif
Mengeluh merupakan kebiasaan yang tumbuh dari pembiasaan. Orang ini akan mengurangi keluhannya jika tidak dipancing atau difasilitasi. Bayangkan jika kita mengacuhkan keluh kesah mereka dan jika kita menanggapi dengan serius? Memfasilitasi keluh kesah bukan obat yang terbaik. Justru memperparah mereka untuk melakukannya lagi dan lagi dilain waktu.

NOTES!!
📋 Seseorang mengeluh kepada orang yang dipercaya. Kabar baiknya adalah Anda dipercaya oleh mereka untuk mendengarkan luapan emosi mereka. Namun hal ini tidak selamanya benar karena ada juga orang yang sesuka hati mereka mengeluh kepada semua orang. Ada ibu-ibu yang mengeluh di bus kepada orang yang duduk disebelahnya. Kenalan pun tidak tetapi langsung tembak sana tembak sini. Rasa percaya teman Anda tentu beda kualitasnya dengan orang didalam bus tsb bukan?
📋 Jika merasa tidak tahan dengan mereka, jangan dipaksa untuk berpura-pura mendengarkan. Karakter tidak sehat ini bisa menular seiring berjalannya waktu. Anda terbiasa mendengarkan teman dekat Anda mengeluh, bisa jadi besok Anda yang mengeluh. Menjaga jarak itu penting. Memilih teman berkarakter baik itu kebutuhan.

Orang yang suka mengeluh ada di sekitar kita. Mereka adalah teman kita, pasangan kita, orang tua kita, teman satu kantor dan sebagainya. Mereka tidak harus dijauhi tetapi diarahkan ke penyaluran emosi yang positif atau treatment yang lebih menumbuhkan sikap positif. Hasilnya jangan ditunggu karena merubah sikap membutuhkan waktu yang bukan sebulan dua bulan. Mudah-mudahan kita berada dalam lingkungan sehat yang mendukung kita untuk terus bersikap bijak atau bisa melakukan hal berguna bagi mereka yang memiliki kebiasaan tidak sehat tersebut.

Happy Monday!!

Sabtu, 17 Maret 2018

Memahami Komitmen dan Konsekuensi

Perang dingin seorang artis dengan kekasih mantan suaminya begitu menggelitik logika saya. Perceraiannya telah lama terjadi dan dia memiliki seorang anak. Artis ini berkata hubunganya dengan anak dan mantan suaminya baik-baik saja. Anehnya ketika ditanya adakah peluang untuk rujuk, dia tegas menjawab tidak mau. Bagaimana sebuah pernikahan diakhiri jika suami dam istri baik-baik saja? Orang bisa merespon dengan kasarnya "Trus ngapain cerai kalau kamu ngaku baik-baik saja dengan anak dan suamimu?".

Mamah Dedeh tegas mengatakan di tausiyahnya kemarin pagi kalau Allah sangat benci dengan perceraian meskipun halal. Kondisi rumah tangga yang tidak pernah sepi oleh ujian sudah sewajarnya dipertahankan. Kecuali jika perangai pasangan kita sudah tidak bisa ditolerir lagi dan tidak ada diskusi yang bisa dilakukan. Kita benar harus memikirkan bagaimana resiko yang akan kita tanggung pasca perceraian sekecil apapun dan sesiap apapun kita.

As we know, pernikahan adalah komitmen dua orang untuk hidup bersama. Bahkan yang lebih ekstrem pernikahan dua keluarga, dua budaya, hingga dua negara. Konsekuensi dari pernikahan bermacam-macam mulai dari adaptasi karakter pasangan, pekerjaan, kehidupan sosial, parenting dan sebagainya. Ujian sehari-harinya akan sangat melelahkan karena itu akan memakan waktu seumur hidup kita. Pentingnya memahami komitmen dalam pernikahan sudah harus dipahami mereka yang memutuskan untuk menikah. Debat, perbedaan selera makanan, prioritas dalam hidup, hingga pertengkaran yang kadang diwarnai KDRT adalah konsekuensi logis dari pernikahan. Perubahan pasti terjadi usai menikah. Baik dialami istri maupun suami atau keduanya. Ada istri yang memutuskan berhenti bekerja, pindah tempat tinggal diluar kota bahkan luar negeri karena ikut suami, dan pekerjaan yang bisa saja berganti disuatu saat. Status baru secara otomatis melahirkan peran dan tanggungjawab baru. Hal tersebut begitu terasa setelah kehadiran anak dalam rumah tangga. Siapapun yang akan menikah dan menikah mau tidak mau harus memikirkannya.

Semua komitmen dalam hidup melahirkan suatu konsekuensi termasuk pernikahan. Sayangnya kita tidak bisa memilih konsekuensi yang muncul apabila kita menikah. Siap atau tidak siap, kita hanya harus menghadapinya. Percerain menjadi salah satu konsekuensi yang tidak pernah diharapkan. Saya yakin mereka yang bercerai telah melalui berbagai diskusi dan mediasi yang panjang. Yang perlu saya tekankan disini adalah bagaimana untuk menyadari perubahan status dari istri ke mantan istri. Sederhananya, ketika memutuskan untuk bercerai sadarilah bahwa urusanmu dengannya berakhir. Apapun itu. Apabila kita sebagai ibu dari seorang anak, pikirkanlah baik-baik sebelum bercerai soal biaya hidup anak, pendidikan dan masa depan. Karena sekalipun dibenarkan dalam agama untuk meminta nafkah anak dari mantan suami, rentan sekali timbul fitnah. Fitnah yang bagaimana? Respon keluarga mantan suami yang tidak tertebak atau pasangan mantan suami/istri yang memiliki perasaan untuk dijaga. Bukankah kita disarankan untuk menjaga perasaan pasangan kita daripada mantan pasangan?

Hidup selalu penuh resiko. Apakah kita siap menghadapi resiko dari sebuah pernikahan? Kita seringkali memaksa takdir segera terjadi "Aku ingin menikah, buruan nikahin aku". Namun kita seringkali lupa bahwa ada hal-hal yang akan kita hadapi setelah menikah. Kita akan diributkan soal tarif listrik, cicilan rumah, biaya sekolah anak, dan menunda kesenangan pribadi seperti travelling. Apakah kita siap menghadapi resiko perceraian? Kita pun seringkali tidak sabar, "Saya sudah tidak tahan, keputusan saya sudah bulat untuk cerai". Lalu kita kolaps setelah perceraian terjadi.

Hei perempuan, jika ingin menikah maka bersiaplah untuk menghadapi kemungkinan seperti berkurangnya waktu hange out dengan teman-teman, lelahnya bekerja seharian ditambah pekerjaan rumah tangga yang tidak pernah habis, suami yang harus dilayani, kebutuhan sehari-hari, iuran-iuran RT serta sumbangan masjid. Yang paling buruk dari itu semua adalah perceraian yang berakibat bagi pasangan dan anak. Siap menikah? Luruskan niat, mintalah kekuatan agar benar-benar siap dengan dinamika rumah tangga.

Hei perempuan, jika ingin bercerai maka bersiaplah untuk menghadapi kemungkinan seperti kembali bekerja demi menghidupi anak, menyandang gelar janda dengan stigma yang berkembang di masyarakat, tidak bebas bertemu dengan anak, krisis kepercayaan diri dan disorientasi dalam perceraian yang tidak diinginkan tapi harus terjadi, dan yang paling penting adalah tidak tergantung pada mantan suami soal nafkah anak. Apakah yakin tetap bercerai? Jika satu-satunya jalan, mudah-mudahan ada jalan dan petunjuk untuk hidup yang lebih baik.

Dari kisah artis yang sudah saya sebutkan sebelumnya saya masih menganggap aneh soal "Saya Ibunya, gak ada yang bisa melarang saya bertemu anak saya". Kalau boleh memberi saran, saya akan berkata "Jangan bercerai jika tidak pernah merasa siap untuk jarang bertemu dengan anak. Jangan bercerai jika masih baik-baik saja dengan mantan pasangan". Kalau kepentingan anak kalah dengan ego kita sebagai orang dewasa, maka kita belum siap menjadi orang tua. Kita merasa tidak cocok dengan pasangan, lalu bercerai kemudian terjadilah drama-drama hak asuh anak. Bahkan perceraian baik-baik pun tetap menimbulkan trauma tersendiri bagi anak dalam memaknai kehidupan. Sekalipun ada masanya pernikahan mengalami masa-masa gelap, pikirkanlah bahwa ada tanggungjawab dari Tuhan berupa anak yang bisa jadi menyelamatkan pernikahan dari resiko perceraian. Libatkan Tuhan dan bijaklah.

*Catatan ini ditulis oleh perempuan yang belum menikah dan belum punya anak. Wawasan, pengalaman, dan pengetahuan yang ada tentu sangat terbatas. Namun tidak menyurutkan niat saya untuk menyuarakan argumen pribadi saya. Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan 🙏

Kamis, 15 Maret 2018

Online Shop Teman

~ Mbukak beranda isine mung dodolan kabeh ~

Demikian tulis seorang teman di facebook setelah kesal melihat promosi barang dagangan yang menghias berandanya. Dia kesal melihat semua orang berduyun-duyun posting produk mereka dengan rajin. Saya menjumpai gaya promosi produk yang berbeda dari tiap teman yang menjalankan bisnis online. Saya mencoba melihatnya dari sisi konsumen atau target konsumen yang kadang jengah juga dengan isi beranda akun medsos saya.

Check it out,

1. Si pemalu karena pemula
Owner online shop ini belum punya jam terbang yang tinggi. Masih meraba-raba bahasa yang akan digunakan agar terlihat menarik. Meskipun produk yang dijualnya bagus, kalau slow response dan agresivitasnya tidak ditingkatkan dalam 2 bulan, dia akan sulit bertahan. Mental bisnis memang tidak serta merta dapat dipelajari dalam waktu singkat. Namun jika ada kemauan kuat, hal itu bisa dipelajari siapapun.

2. Owner yang sok sibuk
Orang bilang, pembeli adalah raja tapi balas chatt customer berjam-jam kemudian. Melihat pesanan tapi tidak membalasnya menjadi ciri yang kedua. Kondisi ini bisa terjadi jika online shop yang dijalankan merupakan kerja sampingan. Artinya bukan pekerjaan utama yang bisa fokus fulltime. Statusnya yang masih teman sendiri membuat kita gerah jika bertemu dengannya. Chatt pagi dibalas siang, stok kosong tidak memberi kabar secepatnya. Sedangkan mau cancel ada rasa tidak enak hati. Dilema ya?

3. Si agresif
Ini salah satu yang saya tidak sukai. Promosinya kencang dan fast response saat kita tertarik untuk survei harga dan kualitas. Padahal kita baru kepo sedikit yang artinya masih bisa 'gak jadi deh'. Beranda kita selalu dipenuhi dengan postingan owner yang satu ini entah postingan pribadi maupun dagangan. Always on social media. Bahkan rajin mengomentari status orang lain dan nimbrung yang ujungnya promosi. Saya anggap orang ini tidak tulus dalam berhubungan dengan teman-temannya. Mau bertegur sapa ramah tamah endingnya 'Jil, gabung yuk di XXX'. Tipe ini bahkan tidak segan meminta kontak whatsapp dan bergerilya via jaringan pribadi. Alamak.

4. Tukang baper
Tantangan menjalankan online shop salah satunya yaitu cibiran demi cibiran yang datang. Reaksi netizen sangat bervariasi dari yang terang-terangan kontra dan pro. Jika owner tidak kuat mental, ia bisa meluapkannya di akunnya. Tipe ini senang hati mengungkapkan perjalanan karirnya di dunia online shop, jatuh bangunnya memulai bisnis, hingga mengomentari reaksi netizen yang kejamnya melebihi ibu tiri.

5. Si profesional
Yang ini belum banyak ditemukan tapi saya menemukan satu orang teman yang bisa dibilang profesional soal online shop. Dagangannya selalu update, apabila pengirimannya tertunda ia akan mengabari kita, dan fast response. Yang membuat saya senang karena dia memperlakukan customer dengan baik. Walaupun ada kendala teknis, dia bisa mengkomunikasikannya kepada customer.

Mental bisnis memang belum mendarah daging dalam diri orang Indonesia. Terbukti dari owner online shop yang belum memahami bagaimana memperlakukan customer dengan baik. Semakin pesat kemajuan teknologi, semua aktivitas menjadi lebih mudah. Online shop merupakan berita gembira bagi penyedia jasa pengiriman barang, penjual pulsa dan tentunya produsen yang bersangkutan. Masyarakat lebih terbantu dengan adanya online shop. Checking harga bisa dilakukan dirumah atau dikendaraan umum tanpa perlu masuk ke gerai offline dan compare dari gerai ke gerai. Pun kita bisa memilih harga , kualitas dan pelayanan yang diberikan owner online shop.

Yang patut dibangun owner online shop adalah etika bisnis. Dalam melakukan ekspansi dan promosi semestinya memperhatikan strategi pemasaran yang dipilih. Alih-alih iklan produk, teman kita malah jadi malas bertemu dengan kita bahkan via sosmed. Sekalipun saya jarang belanja online, saya sering kepo produk yang ditawarkan teman-teman saya. Sebagian cukup menarik dan update. Walaupun saya belum tertarik untuk membelinya.

Sebagai konsumen, secara pribadi saya senang menjumpai owner online shop yang ramah, fast response, dan kualitas barang sebanding dengan harga yang diberikan. Sebagai owner online shop, saya mohon teman-teman saya bisa bijak dalam promosi dan sebagainya agar hubungan interpersonal yang sudah dibangun sejak lama tidak rusak karena salah memilih strategi.

THE TROUBLE IS YOU NOT THEM

Dalam menyikapi dinamika hidup kita seringkali menyalahkan orang lain, bahkan menyalahkan. Sebuah wawancara yang dilakukan atasan saya cukup menyadarkan bahwa betapa seringkali kita menyalahkan orang lain dna Tuhan setiap harinya.

Siang itu cuaca cerah. Seorang laki-laki berumur 17an masuk ruangan. Interview tersebut jelas karena ruangan yang tidak terlalu luas. Atasan saya mempersilahkannya duduk. Babibu. Banyak pertanyaan yang diajukan kepada pelamar muda di ruangan dingin kami. Sampailah pada sebuah pertanyaan..

Atasan : Rambut kamu disemir?
Pelamar : Enggak Pak.
Atasan : Kok merah begitu?
Pelamar : Enggak Pak. Ini kena matahari. Saya bantu orang tua di kebun. Kena panas jadi begini.
Atasan : Ah, yang bener. (*naluri pengacara atasan saya masih terbawa meskipun bertahun-tahun meninggalkan dunia lawyer). Ibu Jilvi lihat ini merah kan? (*atasan saya butuh opini dukungan)
Saya : Murid saya di Flores yang tiap hari kena panas matahari dan mandi di pantai gak semerah itu warnanya. Merahnya lebih gelap.
Atasan : Nah kaaan. Kamu jujur sama saya. Ini diwarnai gak?
Pelamar : (*terpojok dan bingung) Saya warnai beberapa hari yang lalu.
Mendengar pengakuan yang dilontarkan pelamar tersebut atasan saya merespon dengan sedikit pencerahan.
Atasan : Rambut kamu warnai sendiri malah nyalahin matahari. Kalau rambut merah, gosong, kering kena matahari gak secerah itu merahnya. Lagian, masa kamu bantu orang tua setiap hari. Memangnya nanam padi setiap hari pergi ke sawah? Kan ada waktunya nunggu untuk panen, sebar benih. Ini malah nyalahin matahari. Kalau kamu nyalahin matahari, berarti kamu nyalahin Tuhan dong? Gak takut dosa kamu?
Pelamar tersebut tertunduk dan mendengarkan respon atasan saya. Entah sadar atau merasa aneh dinasihati soal menyalahkan Tuhan.

Berbagai peristiwa dalam hidup tidak pernah lepas dari campur tangan Allah. Rejeki semut dan mikroba semata-mata kehendak dan kuasa Nya. Matahari terbit dari timur, menyengat di tengah hari atau hujan turun disertai petir dan menyebabkan banjir. Semua itu kekuasaan Allah. Lantas kita berkata, "Yah, hujan. Gak bisa hange out deh. Mana udah janjian lagi" atau "Duuuh, panasnya siang ini. Mau keluar tapi nyengat banget mataharinya". Kita sering mengeluh ini itu mengenai hujan, panas padahal Allah tengah membagikan rejeki dengan itu semua. Panas yang menyengat membuat pakaian bisa kering, produksi garam dan ikan asin lebih maksimal. Jika kita mengutuk nikmat yang dijatahkan Allah untuk orang lain, bagaimana Dia akan memberikan kita nikmat?

Dalam pekerjaan, kita menyalahkan teman karena tidak dapat melampaui target. Tanpa mau tahu kesulitan yang dialami teman kita. Jangan-jangan komunikasi kita yang kurang efektif. Atau kita yang tidak peduli dengan hambatan mereka dan hanya memikirkan kinerja sendiri.

Andaikan berkenan sedikit saja mengakui pola pikir kita yang membuat situasi memburuk, keadaan akan lebih mudah. Rambut merah yang dicat, target kerja yang gagal dicapai, dan cuaca yang tidak bersahabat adalah keadaan tidak menyenangkan. Ditambah dengan emosi kita dsn pola pikir yang tidak sehat akan merugikan diri kita dan orang lain.

Mengapa menyalahkan matahari jika kita bisa mengenakan topi/penutup kepala?
Mengapa menyalahkan hujan jika kita bisa menyiapkan payung atau naik bus dan kereta ke kantor?
Mengapa menyalahkan rekan kantor jika kita bisa membuat komitmen kerja yang baru?

Bisakah kita berhenti menyalahkan orang kain apalagi Tuhan? Karena bisa jadi diri kitalah penyebab dari situasi tidak menyenangkan tersebut.

Rabu, 14 Maret 2018

EVERY BEAUTY HAS A SIN

[ dalam sebuah kecantikan, ada dosa ]

Saya tidak ingin memojokkan orang cantik atau konsep kecantikan. Selain definisinya yang relatif, kecantikan adalah suatu anugerah dari Allah bagi perempuan yang sudah semestinya disyukuri dan disikapi dengan benar. Kecantikan menjadi tema menarik diseluruh dunia seperti cinta. Selalu laris manis bagaimanapun bumbu yang menyertainya. Mengapa? Karena sebagian penduduk bumi adalah perempuan dan semua orang (tidak hanya perempuan) menyukai kecantikan, keindahan dan segala sesuatu yang bagus, yang baik.

Standar cantik setiap orang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Kepandaian, fisik, etika, wawasan, kealiman, daya juang dan lain sebagainya dijadikan patokan untuk mengatakan seseorang cantik. Saya sendiri memiliki pandangan bahwa perempuan berotak itu seksi. Dalam artian saya begitu terkesan dengan perempuan yang berwawasan, tahu cara-cara bergaul dengan semua orang dari berbagai kalangan dan memiliki karakter kuat. Meskipun standar moral, etika, norma, profesional tetap menjadi pertimbangan untuk melengkapi kecantikan seorang perempuan, saya selalu kagum dengan perempuan berotak.

Saya memilih diksi otak disini bukan mendewa-dewakan ilmu pengetahuan atau hal-hal yang sifatnya teknis pragmatis. Penggunaan akal manusia sudah dianjurkan Allah dalam Alquran ribuan tahun silam. Hidayah tidak akan sampai pada mereka yang tidak berakal. Bukankah orang gila tidak bisa dimasukkan kedalam neraka atau surga? Logika/nalar mengantarkan kita pada kesadaran bahwa ada kekuatan Maha Besar yang tidak bisa digapai tetapi dari percikan kekuatan tersebut ada kehidupan semesta yang demikian menakjubkan. Subhanallah. Dengan menggunakan otak (*akal pikiran) kita dapat mempelajari banyak hal dan menentukan sikap dalam menghadapi suatu persoalan.

Kecantikan merupakan anugerah Allah bagi perempuan. Ada yang merasa "Aku gak cantik. Mana ada yang mau sama aku? Kalau kita mau sejenak berpikir, "Aku emang gak cantik tapi entah kenapa aku selalu bisa menemukan orang yang ~maaf~ gak lebih cantik dariku". Dalam hal ini saya tidak ingin membuat orang takabur atas dirinya. Hanya ingin menekankan — Aku gak seburuk itu kok. Aku gak secantik Raisa atau Natasha Willona tapi aku kuliah dengan baik bahkan IPku selalu cumlaude. Aku bekerja dengan tekun dan profesional. Keluargaku baik-baik saja. Aku pun memiliki sahabat yang selalu support. Aku bahagia dengan itu semua — Menyadari bahwa kecantikan adalah anugerah kita menjadi lebih mawas diri. Jangan-jangan kalau aku teramat cantik, hidupku tidak akan sebaik sekarang? Wallahu'alam.

Kecantikan seseorang tidak menjamin kebahagiaannya. Korban kekerasan seksual selalu perempuan cantik, tidak melulu orang cantik cepat menikah, dan ada beberapa perempuan yang iri terhadap kecantikan temannya sendiri. Bukankah kita sering mendengar celetukan "Dia enak banget ya wajahnya cantik. Gampang kan dapet kerjanya. Mau lirik sana sini juga gak akan ada yang nolak". Tanpa kita sadari, ada hati yang mendamba kecantikan seperti yang kita miliki dan merasa minder dengan dirinya sendiri. Sebenarnya bukan tanggungjawab kita untuk meminta maaf atas kecantikan kita, justru bukan begitu menyikapinya. Bersyukur atas anugerah cantik dan terus menyemangati orang lain untuk tetap menjadi baik merupakan hal yang harus dilakukan. Saya pun sering merasa "Apakah saya cukup cantik?" Atau jika sedang badmood, "Kamu kapan dapet jodohnya kalau malas perawatan?". Tetapi setiap keluhan demi keluhan yang terlontar dipatahkan oleh logika sendiri, "Cantik fisik bukan hal instan. Pelan Jil. Satu demi satu. Cintai dirimu sendiri, berikan perawatan tidak berlebihan. Ini titipan Allah. Dijaga baik-baik ya". Lalu terbitlah rasa percaya diri dan kemauan untuk merawat diri lebih baik lagi.

Every beauty benar-benar akan menjadi sin jika kita takabur akan kecantikan tersebut. Kesombongan karena merasa diri cantik bukan tidak mungkin akan melukai orang lain. Teman-teman kita bisa jadi takjub dengan kecantikan kita. Namun mereka akan berpikir untuk dekat dengan kita. Lebih baik berteman dengan teman yang parasnya biasa tetapi memiliki hati baik daripada berteman dengan orang cantik tetapi sombong. Apabila kecantikan kita membuat kita sombong, hanya orang berhati serupalah yang mau mendekati kita. Karena orang berhati baik tentu akan berpikir seribu kali untuk menjadikan kita sahabat, teman karib atau pasangan.

Apakah kamu merasa bersyukur atas kecantikanmu? Akhirnya semua berpulang kepada diri sendiri, apakah akan tersenyum didepan cermin dan berkata...

"TUHAN, TERIMAKASIH.."

atau

"AKU CANTIK MEMANGNYA KENAPA?".

Percayalah, dibalik kecantikan selalu ada pilihan untuk menatap diri sangat berarti dan mengakui Allah selalu mengasihi. Jadilah cantik yang sejati.

👒

Selasa, 13 Maret 2018

Menjaga

Siang ini teman saya mengirimi pesan apakah saya bersedia ikut kondangan teman lain yang akan menikah. Pertanyaan relfeks yang saya ajukan yaitu, "Nginep enggak?". Teman saya berkata rencananya berangkat malam hari dan sampai lokasi pagi. Muncul asumsi dalam benak saya soal bepergian dengan teman laki-laki (*sekalipun tidak hanya berdua). Beberapa waktu sebelumnya saya bertemu dengan teman dan dia sepakat jika hanya berdua lebih baik tunda saja. Kamipun bertemu walaupun beranggotakan 3 orang.

Semakin kita dewasa, ada beberapa hal yang tidak bisa dilakukan sesuka hati kita dan tanpa menimbulkan resiko. Fitnah timbul karena asumsi beraneka ragam atas suatu sikap. Bepergian dengan seorang teman lelaki atau beramai-ramai pergi dengan banyak teman laki-laki pun beresiko munculnya fitnah. Kesadaran ini terbangun setelah melihat banyak pergaulan "semau gue" dan masukan dari teman-teman. Banyak hal terjadi karena asumsi dan asumsi. Pergaulan adalah salah satu yang begitu rentan akan fitnah.

Bertukar pendapat dengan teman yang akan menikah, mereka yang mendapat hidayah ketika hubungan cintanya kandas, atau mendengarkan tausiyah memberikan masukan berarti bagi saya bahwa perempuan harus menjaga dirinya sendiri. Ikhtiyar untuk menjaga diri saya rasakan sejak beberapa tahun terakhir. Pemahaman agama saya memang belum apa-apa tetapi bertemu dengan lelaki bukan muhrim tanpa kepentingan mendesak begitu rentan fitnah. Di usia yang hampir 28, menjaga diri adalah kewajiban saya ditambah lagi dengan status single. Betapa pikiran orang lain tidak bisa dikendalikan akan tetapi kita bisa mengendalikan pikiran kita. Pemahaman bahwa 'saya menghormati laki-laki pilihan saya sendiri dengan cara menjaga pergaulan dari sekarang' selalu saya tanamkan.

Sikap dan pandangan saya tidak melulu mendapatkan dukungan. Ada seorang teman yang nyinyir 'Gimana mau nikah kalau pergaulanmu sempit. Main aja gak mau'. Memang ada benarnya juga apa yang diutarakan oleh teman saya. Logikanya kalau pergaulan kita terbatas, peluang untuk mendapatkan pasangan pun menjadi lebih kecil. Dengan catatan pergaulan yang kita lakukan tujuannya mencari pasangan. Sebentar sebentar. Ada yang menggelitik disini. Jalan jodoh sungguh kuasa Allah dalam mengaturnya. Ada yang berkenalan lalu memutuskan untuk menikah. Ada yang menikah dengan teman lama sejak sekolah. Ada yang bertahun-tahun pacaran akhirnya menikah. So many stories to tell how people falling love and decide to marry with that people. Kalau saya jarang main dan itu dianggap sebagai pintu penghalang saya mendapatkan pasangan adalah sesuatu yang konyol. Jodoh bisa datang dari mana pun dan kapan pun. Kamu sedang berpanas-panasan dijalan kemudian ada yang mau melamarmu kerumah, itu cerita yang mungkin terjadi. Apabila Allah berkehendak, kun fayakun. Jadi jodoh tidak datang melalui satu pintu saja. Bisa saja jodoh saya adalah orang yang sudah saya kenal dan hanya sekali dua kali bertemu. Pun bisa terjadi saya berkenalan dengan laki-laki dan memutuskan untuk menikah segera. Kuasa Allah berlaku untuk semua mahluk, lebih-lebih terhadap hamba Nya.

Di lain sisi, ada pula teman-teman yang support dengan pandangan saya. Sebagai perempuan kita harus menjaga izzah bagi yang belum menikah dan yang sudah menikah. Tentukan batas pergaulan dengan lawan jenis misalnya dalam berkomunikasi via sosmed. Memilih bepergian dengan teman perempuan juga menjadi alternatif yang bisa diistiqomahkan. Ketika kita tahu batas dan berikhtiyar menjaganya, Allah akan menunjukkan jalan yang baik untuk dilewati. Karena siapa lagi yang menjaga diri kita selain diri kita sendiri? Orang lain tidak 24 jam bersama kita. Orang tua, teman, saudara, bahkan pasangan kita. Kita lebih sering takut tidak punya teman daripada takut terhadap fitnah pergaulan. Saya sering menjumpai orang yang merasa tidak enak kepada temannya akhirnya meninggalkan shalat, bepergian sesuka hati, atau melakukan hal yang mubah.

Saya merasa beruntung memiliki teman-teman yang berkenan sharing pandangan mereka. Meskipun adakalanya tidak ada kesamaan tetapi mereka masih menghargai pandangan saya. Selalu ada doa baik dari teman-teman baik selama ini. Alhamdulillah. Mudah-mudahan pertanda baik dari Allah yang Maha Baik.

Selasa, 06 Maret 2018

Geliat Kota Pelabuhan (*Masa Lampau)

Hari ini saya mengunjungi Museum Kebaharian untuk pertama kalinya. Terletak di kawasan Penjaringan Jakarta Utara, museum ini benar-benar berada disepanjang aliran sungai Ciliwung. Jika menggunakan Transjakarta atau Comuter Line kita dapat berhenti di Halte/Stasiun Kota. Baru kemudian bisa menggunakan armada online agar lebih efisien. Lazimnya museum yang terletak di kawasan teluk, nuansa kapal dan aktivitas pergudangan begitu kental disekitaran sini.

Gedung utama terletak terpisah dari menara syahbandar tempat saya turun. Setelah bertanya kepada petugas, saya cukup berjalan kaki dari menara tersebut. Ada kesedihan yang tiba-tiba mencuat dalam hati begitu memasuki lobby gedung. Bangunan eropa yang dibangun 1700an ini sudah di rehab sedemikian modern sehingga tetap mentereng disebelah Ciliwung. Namun sepiiiiii. Pengunjung yang ada saat itu entah ada atau tidak. Saya mengisi buku tamu dan nampaknya hari itu pengunjungnya sedikit. Mungkin karena weekdays dan tengah hari yang panas dan menyengat. Petugas bersliweran santai sambil menikmati istirahat siang.

Saya memulai rute pertama dari spot terdekat ticket box. Ruangan yang mungkin berukuran serupa aula tersebut memajang replika kapal dari seantero negeri. Dari Indonesia bagian barat hingga timur memiliki armada laut yang terlihat kokoh. Batavia yang menjadi primadona pelabuhan teramai di Indonesia pada masanya mendominasi koleksi ruangan tersebut. Makassar atau nama lamanya Ujung Pandang menjadi kota pelabuhan tersibuk, termegah dan teramai di Indonesia bagian timur bahkan sampai sekarang. Koleksi kapal dari Makassar cukup beragam dan terdapat informasi yang cukup menambah wawasan. Di ruangan lain masih di lantai 1, kita disuguhi informasi maket kota pelabuhan dan perkembangannya dari waktu ke waktu. Seharusnya suasana museum yang minim pengunjung bisa menambah kekhusyukan kunjungan. Namun ini sungguh-sungguh sepi. Ketika saya berjalan keluar ruangan kedua, ada sepasang turis mancanegara asyik berswafoto diantara perahu-perahu yang lebih modern.

Kebakaran yang terjadi sebulan lalu masih terlihat di sudut komplek museum. Puing hitam yang tidak dapat ditutupi dan masih dalam tahap renovasi bisa dilihat dari lantai 1. Waktu itu sirine damkar nyaring terdengar dan saya sedang berada di Pademangan. Cukup dekat dan merasakan beberapa mobil damkar sibuk mengejar waktu. Banyak traveller dan penikmat museum menyayangkan insiden kebakaran tersebut dan berharap pengelola dapat merenovasi gedung yang terbakar.

Di lantai 2 kita dimanjakan dengan diorama tokoh dunia yang sempat menorehkan kisah di Batavia. Sebut saja Fatahillah, Ibnu Batutah, Fa Hien, Hitoshi Imamura, Vasco d Gama dan Lancester yang tidak asing ditelinga kita. Andai waktunya cukup, satu per satu biografi singkat dari beberapa tokoh tersebut mau saya baca. Apa daya, waktu yang terbatas membuat saya harus menikmati diorama tersebut sekilas lalu. Disebelah ruang diorama kita dapat menikmati koleksi perpustakaan Museum Kebaharian. Genrenya tidak melulu soal kapal dan laut. Kita dapat menemukan majalah, peta perang jaman dahulu, ensiklopedi, dan album kegiatan yang diadakan pengelola museum. Saya merasakan desain ala Jepang didalam perpustakaan meskipun hanya ornamen sekat kayu yang dibuat kotak-kotak dan keseluruhan furniture memang dari kayu yang menambah kesan natural.

Gedung tengah museum digunakan sebagai aula dan kantin. Lalu jika kita melewatinya masih ada gedung yang menampilkan koleksi lain museum. Disini kita bisa melihat biota laut yang diawetkan dan beberapa gerabah dalam lemari kaca. Tidak banyak memang tapi cukup memenuhi ruangan dan lemari kaca.

Dari lokal utama museum saya beranjak ke menara syahbandar untuk naik dan melihat sekeliling teluk. Nuansanya begitu chineese dengan cat merah dan hijau mendominasi tangga dan jendela. Naik ke menara yang tidak terlalu tinggi ternyata membutuhkan energi yang cukup banyak. Selain cuaca yang cerah lewat jam makan siang dan sejam lebih berkeliling museum membuat saya kehabisan energi. Sampai di puncak menara angin langsung menyirnakan letih saya. Bising kendaraan berat, pemandangan teluk Jakarta, dan lelah memgaburkan kondisi saya yang seorang diri diatas menara. Sejauh ini saya menikmati perjalanan ke Museum Kebaharian. Pengelola menyambut tamu dengan baik, dilayani dengan ramah dan sempat menghadiahi saya peta wisata Jakarta.

Terimakasih 🙏

Minggu, 04 Maret 2018

IKHLAS ITU SEPERTI POOP

Saya pernah bertanya kepada seorang teman mengenai keikhlasan. Menurutnya ikhlas itu seperti poop (*buang air besar), keluar ya sudah. Kita tidak membahasnya lagi. Tidak membicarakannya lagi. Selesai. Dalam versi relijiusnya, "Ikhlas itu seperti surat Al Ikhlas. Tidak ada kata-kata ikhlas didalamnya". Untuk mewujudkan niat ikhlas kita hanya perlu menjalaninya, tanpa batasan dan postingan di media manapun. Ya, seperti poop. Keluar dan selesai. Sesederhana itu teorinya. Aplikasinya? Bismillahirahmanirahim..

Mengalami kegagalan dalam hubungan cinta membuat kita kecewa. Kita yakin bisa melewatinta meskipun membutuhkan waktu yang tidak sehari dua hari. Bahkan ada yang membutuhkan waktu bertahun-tahun. Actually, i can't make sure that i can ikhlas dan legowo. I just let it go. Mungkin bukan gagalnya, melainkan perlakuannya yang menusuk jantung. Kalau ada yang bertanya "Apakah kamu ikhlas?" Kita tentu kesulitan menjawabnya. Karena ego, emosi masih bersliweran didalam hati.

Lagi-lagi. Ikhlas karena adanya campur tangan Tuhan jauh lebih ajaib rasanya. Dalam sebuah artikel yang saya baca secara online, "Kebaikan adalah apa yang membuat hati tentram dan keburukan membawa kegelisahan". Saat kehilangan, saya memutuskan untuk shalat. Ada aura tenang ketika sujud. Ada ketenangan ketika meluapkan emosi dalam doa. Tidak ada lagi tuntutan ini itu. Tidak ada lagi doa yang memaksa segala sesuatunya terjadi sesuai kehendak kita. Meskipun belum mendapatkan jawaban, hati ini jauh lebih tentram. Padahal sebelumnya uring-uringam dan gelisah. Sampai hari ini, saya masih berdoa dengan harapan yang sama tetapi mantapnya hati akan janji Nya menjadikan batin lebih tenang dan lapang. Apakah saya mengikhlaskan (*melepaskan) doa saya? Tidak. Saya tidak lagi meminta ini itu yang beraneka macam. Cukuplah keridhaan Allah jadi harapan. Saya yakin Allah mendengar dan melihat saya berdoa. Ada satu optimisme dalam diri bahwa Dia sedang memudahkan jalan didepan saya. Allah membukakan jalan yang lebih baik.

Lalu doa-doa kembali terucap, "Ya Allah dekatkanlah kepada kami apa-apa yang mendatangkan keridhaan Mu, keberkahan Mu dan rahmat Mu. Jauhkanlah kami dari orang-orang yang merugi dan meragukan kuasa Mu.." 🙏

9 Januari 2018

Komitmen

"Karena memang kita bukan hakim atas hidup orang lain yang berhak mengadili apa-apa yang mereka lakukan. So, do not hectic with'em. If you wanna help, just go and talk".

Status yang saya share via whatsapp sebenarnya tidak ada hubungannya dengan komitmen tetapi sedikit teringat bahwa ketika sebuah komitmen yang kita bangun berantakan, mendadak kita jadi hakim yang menilai ini itu dan memvonis mereka. Ada juga suara dalam diri yang menyadarkan "memangnya kita siapa berhak meminta loyalitas orang lain tanpa mau tahu apa dan bagaimana situasi mereka?". Lalu sebuah kalimat agak tenang mengurangi ketegangan, "Kita tidak bisa membahagiakan semua orang dalam sekali waktu. We can't do it. Kita tidak bisa mengatakan YA pada semua orang. That's too difficult to do. Tapi kita bisa memulai untuk menepati janji dengan teman, membantu orang lain yang kesulitan, menghibur teman yang sedang sedih, tersenyum ketika bertemu dengan orang lain dsb. Bagi saya, hal kecil tersebut sudah merupakan latihan untuk  berkomitmen dengan baik.

Kalau kita bida berkomitmen terhadap hal kecil, kita tidak akan kesulitan untuk berkomitmen terhadap hal yang lebih besar. Ketika seseorang mampu melakukannya, sadarilah bahwa ia adalah teman yang sejati. Dia adalah pasangan yang hebat dan bisa diandalkan. Tidak peduli apakah dia manager/CEO perusahaan ataukah seorang buruh. Apabila komitmen yang dia ambil dijalankan dengan sungguh-sungguh maka kita tidak boleh melepaskannya begitu saja. Belajarlah dari mereka tentang kebulatan tekad, fokus, kepercayaan, menghargai hubungan menikmati proses, dan profesionalitas. Merekalah guru kehidupan yang tidak nampak tapi pengaruhnya terasa. Bahkan mendengar namanya saja kita langsung salut dan takjub.

Komitmen dalam hal apapun sangat dibutuhkan karena melibatkan diri sendiri dan orang lain. Komitmen melibatkan satu kehidupan dengan kehidupan lain. Bayangkan jika seseorang berkomitmen untuk menikah dan ditengah jalan ia tidak komit. Bukan hanya kehidupannya yang berantakan, tetapi kehipan pasangannya pun demikian. Jika komitmen yang kita bangun bisa kuat dan berhasil banyak manfaat yang dirasakan orang banyak. Sebaliknya, jika komitmen yang dibangun berantakan kita hanya membawa kerugian bagi hidup orang lain. Na'udzubillah.

Ada sebuah pengalaman mengenai komitmen dalam kehidupan sehari-hari..

~ Beberapa rekan kantor berniat untuk mengunjungi atasan dikediamannya. Saya menyanggupi datang dengan membonceng seorang teman. Yang lain berkata akan menyusul dan langsung ke TKP. In the last minute, seorang teman mengirim pesan kepada saya mengenai ketidakhadirannya karena harus mengantar anaknya membeli buku. Atasan saya yang sedikit baperan langsung nerocos panjang lebar. Beliau menyayangkan sikap bawahannya yang tidak komit dengan kata-katanya. Dengan nada kesal "Nganter anak kan bisa besok, lagian ini masih Sabtu. Moment ketemu teman kantor diluar kan jarang-jarang. Mana tahu lain waktu kita bisa kumpul begini ramai-ramai". Meskipun kesal, saya tidak berkomentar banyak dihadapan atasan saya ~

Pernahkah kita membayangkan betapa kecewanya orang yang sudah kita beri komitmen lalu kita hancurkan? Mungkin mereka mengorbankan hal yang lebih besar ketimbang kita yang bukan siapa-siapa. Mungkin mereka telah membatalkan rencana liburan dengan keluarga demi menemui kita. Dan sederet kemungkinan yang kita tidak duga. Lalu kita?

Demi mengejar sesuatu yang lain, apakah kita harus menginjak-injak kepercayaan orang lain. Apakah karena mereka bukan significant others lantas kita meremehkan dan menganggap mereka tidak akan apa-apa?

Saya justru ingat bahwa "segala perbuatan baik, akan kembali baik. Sedangkan perbuatan buruk akan kembali buruk. Kalau ingin diperlakukan baik oleh orang lain, perlakukanlah mereka dengan baik terlebih dahulu".

Sabtu, 03 Maret 2018

Reminder Notes

Saya adalah pecandu internet terutama berita terkini baik di portal berita online maupun sosmed. Setiap hari saya mengecek timeline, beranda dan notifikasi dari portal berita online. Rasanya sehari tidak connected seperti ada yang hilang dan tidak lengkap. Dulu saat di daerah 3T pun saya selalu terhubung dengan teman-teman yang ada di Jawa. Saya masih bisa posting foto dan cerita diakun sosmed hingga menulis blog.

Saat kondisi psikolois saya yang sedang tidak stabil, itu membuat saya lebih sensitif. Akibatnya sering berasumsi negatif terhadap postingan yang menye-menye. Meskipun following instagram saya sedikit, postingan akun tersebut bisa disebut netral. Beberapa akun berisi foto menakjubkan yang memanjakan mata saya. Yang lain lebih banyak bertemakan resep masakan, kue, agama, dan psikologi.

Hari ini saya iseng membuka tausiyah seorang ustadz bergelar Lc. Materinya tentang keteguhan dalam berdoa. Semua orang sering membicarakannya bahkan isu seperti cinta yang belum juga datang, kegalauan diakhir 20an atau kepantasan diri seseorang tumpah ruah diberanda. Saya sendiri sering jengah melihatnya. Bukan karena merasa diceramahi/dikomporin, melainkan karena merasa ada banyak hal yang bisa dibahas selain itu.

Back to the point..

Sang ustadz membicarakan bagaimana menjemput jodoh melalui doa. Ya caranya sederhana melalui doa. Minta kepada Allah. Dia yang punya hati si dia. Bukan mendekati orangnya. Katanya yakin dulu. Minta agar dilembutkan hatinya. Pasti akan diberikan jawaban. Disertai instrumen yang melankolis dan suara ustadz yang lembut, saya tersentuh. Materi ini sudah saya dengar berkali-kali dan sama sekali tidak berdampak secara psikogis. Biasanya saya pun jarang melihat video tausiyah tentang jodoh. Namun tadi sore saya tiba-tiba ingin mendengarkan. Mendadak ingin tahu, apa yang disampaikan ustadz tersebut.

Suara ustadz yang begitu bertenaga dengan iringan instrumen membuat saya terharu. Lebih tepatnya sadar. Saya belum berdoa dengan keyakinan 100%. Tenaga saya masih 80%. Sampai saya bertanya dalam hati, "Apakah saya benar-benar meminta? Apakah saya sudah mengerahkan seluruh daya dan upaya? Apakah saya yakin bahwa Allah akan membantu saya meluluhkan hatinya? Ustadz tadi mengingatkan saya untuk kembali memanjatkan doa, memanjangkan sujud dan yang paling penting yakin bahwa Allah pasti sudah merencanakan yang terbaik.

Saya merasa bersyukur berada ditengah orang-orang baik yang senantiasa mengingatkan pada kebaikan. Mereka terus menerus menyebarkan hal positif ditengah kepedulian yang semakin tipis. Di dunia yang riuh oleh hiruk pikuk glamouritas, suara kebenaran semakin hilang. Sedangkan kita tidak tahu apakah yang kita yakini sekarang sudah benar atau belum.

Reminder notes, benar-benar mengingatkan sekalipun hal yang kecil dan sederhana. Untuk kembali pada yang hakiki dan kembali kedalam diri. Terimakasih ustadz, mudah-mudahan senantiasa sehat dan dilimpahi keberkahan dalam hidup. Aamiin allahuma aamiin

🙇

3 Januari 2018

SEEKING LOVE

Dari sebuah quote Najwa Zebian,

"Don't seek love just to be in love. Better wait years for the right person than wait years for the right love from the wrong person".

Urusan cinta tidak bisa disamakan dengan membeli rumah. Kita terbawa arus untuk segera mendapatkan pasangan dengan mengorbankan ini itu dengan keras, lalu kita mendapatkannya. Apakah kita nyaman bersamanya? Apakah ada kekhawatiran finansial? Apakah ada hal-hal prinsip yang menjadi kendala? Apakah ada energi yang mengalir ketika bersamanya? Apakah ada keinginan untuk hidup lebih baik dan lebih lama? Lebih baik menunggu lebih lama sedikit demi dia yang baik lahir batin dunia akhirat. Toh mereka yang bertemu orang yang tidak tepat melewati fase yang serupa dengan kita seperti pendekatan, menunggu, bertahan, kompromi, berdebat dan sebagainya.

Kalau sedari awal memang belum menemukan titik temu atau ada hal-hal prinsip yang mengganggu, mengapa tetap bertahan? Bukankah sulit untuk menjalani hubungan dengan orang yang tidak klik dengan kita? Apakah tidak membuang waktu dan energi?

Benar yang dikatakan Najwa, "don't seek love just to be in love". Karena cinta adalah kualitas. Ini bukan perkara membeli rumah. Faktanya, mereka yang bertemu dengan wrong person sama-sama mengorbankan waktu, tenaga, energi, dan kesempatan. Apalagi menyangkut hubungan antar pribadi. Trauma, konsep diri, harapan hidup menjadi tema yang sangat dekat dengan tetek bengek hubungan seseorang.

27 Januari 2018
12.30 wib

Seperti Katak dalam Tempurung

Dalam sebuah obrolan santai di kantor.. 🏢

Seorang perempuan usia 30an bercerita tentang pengalaman mengajarnya sebelum menekuni dunia accounting. Ia sempat mengajar di sebuah lembaga bimbingan belajar selama beberapa waktu. Pengalaman mengajarnya sehari-hari membuatnya berpikir panjang dan keras untuk keluar dari dunia pendidikan. Pergaulan yang (*menurutnya) terbatas dengan murid dan wali murid seolah mengurungnya dalam pergaulan yang sempit. Ia tidak dapat bergaul dengan orang dari beragam status sosial, karakter dan latar belakang. Bagaimana ia bisa memiliki pergaulan yang luas jika hanya mengajar di bimbel atau les privat. Memikirkan kebutuhan untuk bersosialisasi, akhirnya ia memutuskan untuk bekerja dibagian accounting sebuah perusahaan.

Semakin bertambah usia seseorang, kebutuhannya bertambah tetapi esensinya menjadi lebih sederhana dan realistis. Pernikahan, keluarga, pekerjaan, tempat tinggal adalah hal-hal yang sudah tidak perlu dipusingkan diusia kepala 3. Kita tidak lagi berkompromi apakah saya bisa membeli rumah? Apakah saya bisa menikah dalam waktu dekat? Apakah saya bisa bekerja di kantor ini sampai usia saya diatas 60? Perlahan, keinginan dalam hidup yang digagas diusia 20an menemukan jalan realisasinya sendiri. Hal absurd masa muda memasuki waktu kadaluarsanya. Diusia 30an, seseorang sudah tidak banyak protes soal kriteria pekerjaan atau pasangan. Jika bisa menjalaninya kenapa tidak dijalani? Sebuah artikel yang membahas pernikahan menyebutkan bahwa "tidak peduli apakah sekarang saya dan dia begitu berbeda dalam hal gaji, karakter, pemikiran dsb, selama ada komitmen untuk hidup berdua maka apa yang disebut similarity effect akan menemukan jalannya sendiri. Hal ini (*similarity effect) adakalanya tidak didapat diawal pernikahan. Kadangkala setelah puluhan tahun menikah, barulah mencapai similarity effect. Jadi memaksakan keadaan untuk stabil saat memulai bahtera rumah tangga adalah sesuatu yang tidak masuk akal dan tidak realistis".

Setiap orang pastilah memiliki motivasi eksternal yang berbeda satu dengan yang lain. Orangtua, pasangan, menjadi significant others yang membuat kita bertahan dalam sebuah pekerjaan. Kita membutuhkan mereka seperti mereka membutuhkan kita. Perempuan yang menganggap bahwa mengajar membatasinya dalam pergaulan mungkin tidak selamanya benar. Banyak diantara teman perempuan saya yang mengajar di SD, SMP, SMA tetap bisa berhubungan dengan dunia luar. Bahkan lebih luas pergaulan mereka ketimbang saya yang dulunya aktivis BEM. Mereka memiliki teman dari berbagai kalangan dan latarbelakang. Mereka memiliki orang-orang yang diperjuangkan dalam hidup dan mereka tidak membutuhkan semua orang untuk membuat mereka bahagia. Saya tidak menyalahkan teman saya, sama sekali tidak. Hanya saja saya memiliki pemikiran yang berbeda darinya.

Lalu, apakah yang membuat kita seolah seperti katak dalam tempurung? Bukan pekerjaan. Pekerjaan tidak pernah mengurung kita. Pikiranlah yang membatasi kita. Apabila pekerjaan menghalangi pergaulan kita, tengoklah ada berapa teman kita yang mengajar lalu menikah dengan tentara, polisi, pengusaha, dokter. Tengoklah berapa banyak kenalan kita yang kemudian pindah ke Aceh, Sulawesi, Maluku hingga luar negeri demi mengikuti pasangan mereka. Seorang ibu rumah tangga pun bisa bergaul dengan banyak kalangan andaikan ia mau mengeksplor kemampuan diri. Alternatif pilihannya adalah mengikuti komunitas hobi (*memasak, merajut, membuat barang kerajinan), bergabung d LSM, menjadi relawan atau aktif dikegiatan PKK. Apakah itu bukan pergaulan yang lebih luas dan tidak berkelas? Toh mereka bukan sembarangan orang yang tidak berprestasi, melakukan hal buruk dan merugikan orang lain. Kita punya pilihan selama kita mau membuka mata.

Kemudian saya melihat diri sendiri dan merenungi satu demi satu pilihan hidup saya. Semuanya memiliki resiko yang bervariasi. Begitupun ketika saya melihat teman-teman yang tetap tangguh dengan pilihan mereka. Ketika diri kita terbuka dengan hubungan antar personal, rasanya kita tidak memerlukan semua orang agar kita merasa bahagia. Berteman dengan siapapun akan membantu kita menemukan orang yang tepat. Dari semua teman yang ada, kita bisa memilih mana-mana yang mengajak kita kepada kebaikan dan manfaat.

Sekali lagi,
Kita tidak perlu bergaul dengan semua orang dan kalangan untuk membuat kita eksis dan bahagia. Tuntutan seperti itu justru mengekang kita untuk tidak puas/kurang bersyukur dengan apa yang kita miliki sekarang karena kita selalu mencari dan mencari. Padahal kebahagiaan itu ada dalam diri kita dan disekeliling kita.

Be well 🙏

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...