Rabu, 13 Juni 2012

Ini Ayah Saya

Malam itu sejenak terasa begitu mengharukan. . Sungguh, airmata tak akan bisa menggambarkan apa yang berkelebat dalam benak dan emosi ini

Senja di Selasa itu sudah beranjak menjadi malam. Padatnya aktivitas masyarakat seolah menyemangati langkah kaki untuk memulangkan tuannya kembali ke rumah. Disana sudah ada seorang teman yang siap untuk memanas-manasi saya dengan diskusi pergerakan yang hampir setiap hari dilakukan. Dia sudah menunggu saya yang sengaja mengcopy beberapa surat untuk agenda angkatan saya di akhir semester ini.

Dengan sisa kekuatan yang saya punya, langkah gontai terus saja meneriaki badan saya yang sudah lelah dengan aktivitas lahir batin hari itu. Teman saya sudah menunggu dengan ditemani orang rumah. Obrolan pun berawal dari bertanya kabar hingga gosip-gosip politik yang tidak terlalu menggairahkan.  

Membicarakan masalah gerakan kampus dan permasalahan akademik beserta curhat colongan membuat kami tertawa gelisah dengan realita gerakan di kampus yang hidup segan mati pun tak mau. Saya pun saat itu tengan berpesan ria dengan teman dan ayah saya. 

Semester depan saya mengikuti PPL di salah satu Sekolah di Kabupaten Semarang. Hasil dari perundingan yang entah ikhlas atau tidak menempatkan saya di SMA 1 Tengaran untuk mencurahkan apa yang sudah saya dapatkan dibangku kuliah selama 6 semester lalu.

Saya sudah merengek meminta kendaraan pada ayah saya sudah sejak lama. Mungkin sekitar satu tahunan yang lalu ketika mobilitas saya sudah cukup tinggi. Semakin banyak semester maka semakin meningkat pula aktivitas saya baik di kampus maupun di lembaga kemahasiswaan. Namun kondisi ekonomi rupanaya belum mengijinkan saya untuk bergerak lebih mobile. Akhirnya, keinginan untuk difasilitasi kendaraan oleh orang tua mesti pupus.

Kali ini rasanya semakin sulit. Saya tahu kondisi ekonomi keluarga kami sedang tidak baik tahun ini. Belum lagi segala macam biaya bulanan yang harus kami keluarkan untuk seluruh keluarga. OK. Saya memberanikan diri untuk meminta kendaraan kepada ayah saya. Format sms seperti biasa awalnya kurang saya mengerti meski berulang kali ayah saya menjelaskan. Begini kira-kira dialognya :
“ kira-kira kalo saya bawa motor bisa ga pak?”
“ disana ada motor sewaan ga?”
“motor sewaan gimana?”
“ya motor sewaan”
“maksudnya?”
“ntar nyewa motor disana. ada ga?”
“maksudnya gimana? ga paham”
“kalo ada motor yang sering mogok nyewa aja. nanti aku pake yang itu aja. yg dirumah kamu bawa. katanya kosannya jauh” Ini maksudnya apa? Ayah saya memang tidak neko-neko. Mau menerima apapun asalkan masih baik untuknya. Namun mendengar keputusan yang begitu menusuk nurani saya rasanya begitu jahatnya saya sebagai anak membiarkan orang tua saya ikhlas menderita untuk kepentingan anaknya sendiri.
“nanti coba pinjem kakak aja kalo bisa” akhirnya saya melibatkan kakak saya yang sudah menikah. walaupun kondisi ekonominya belum mapan setidaknya ada harapan untuk meminjam motor dalam jangka satu semester.
“kalo ada duit nanti kredit motor” kalimat itu lebih mustahil lagi untuk kondisi ekonomi kami yang sedang tidak menentu. ada harapan yang saya tahu itu sangat sulit.
“kalo ga ada ya ga usah.. ntar nyari kosan yg lebih murah aja”
.........................................................................................................................................................
Saya akhirnya meninggalkan teman saya yang daritadi berbicara ini itu tanpa saya pahami maksudnya dengan baik. Airmata saya tidak bisa tertumpah begitu saja dihadapan teman saya. Cukup lama saya meninggalkannya saat itu, mungkin sekitar 10-15 menit. Rasanya sungguh tak adil meninggalkannya sendiri. Akhirnya saya keluar dengan wajah yang sedikit aneh. Entah dia menyadarinya atau tidak. 


Begitulah cinta ayah saya. Tidak terucap. Tidak terlimpah ruah dala materi. Ia cukup sedehana mencintai. Cukup memberi tanpa bermuluk-muluk berjanji. Dialah yang mencintai ketika segalanya berjauhan dengan saya. Dialah segala alasan mengapa saya rela jauh-jauh untuk pulang. Dia yang membuat saya menangis malu karena cintanya. .
Allah,  jika boleh. . ijinkan aku sepanjang hidup membahagiakannya dengan luapan cinta. Jika boleh, ijinkan aku meminta Mu untuk memberikanku kekuatan agar mampu berdiri kokoh disampingnya untuk senantiasa menjaga. . Allah, ijinkan aku mencintainya hingga kita sama-sama menua dan akhirnya pulang ke rumah Mu. ijinkan aku berkumpul dengannya lagi di tempat yang Kau janjikan bagi orang-orang yang shaleh. amin. .



Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...