Sabtu, 09 Juli 2016

Happy 26 to Me

Subhanallah
Alhamdulillah
Laailaahailallah
Allahu Akbar

Rasanya luar bisa sudah mengelilingi matahari sebanyak 25 kali. Kuasa Allah yang telah mengijinkan saya hidup seperempat abad lebih. Akan sampai hitungan keberapa nafas + iman ini masih penuh rahiim dari Nya? Apa yang sudah saya lakukan untuk Nya selalu saja terlampau sedikit dibandingkan kemurahan Nya.

Menapaki usia yang tidak lagi remaja sungguh mendebarkan. Apakah jalan yang saya ambil benar? Apakah Allah ridha dengan cara hidup saya? Apakah saya mampu bertahan dengan baik diantara milyaran manusia? Memasuki 26 tidak seperti meninggalkan 19. Menemukan pasangan, berkeluarga, memantapkan karir, membesarkan anak-anak, merawat orang tua dan mewujudkan cita-cita adalah kerja-kerja realistis di masa dewasa.

Cita-cita hari ini pasti berbeda dengan cita-cita kemarin. Siapa yang masih bercita-cita naik balon udara di usia 26? Ada yang bergeser, ada yang berubah, ada pula yang bertahan. Segala sesuatu yang diharapkan terjadi telah berimprovisasi dengan daya, upaya, realita dan dukungan masa. Sebenarnya masih memikirkan hal gila yang ingin dilakukan selama hidup. Ya, hal gila yang tidak terpikirkan sekalipun. Bukan untuk mengejar sensasionalitas tapi menghargai keunikan hidup yang Allah berikan.

Saya masih terisak mengingat Al Aqsha, dendamkah sampai ingin menginjakkan kaki disana? Entahlah. Ketidakindahan yang selalu orang hindari tapi setidaknya malaikat pernah turun dan mengangkat sang Nabi ke langit. Pertumpahan darah yang abadi selalu menyakitkan sanubari. Bagaimana kota itu bertahan? Mungkin itulah yang membuat hati ingin merasakan udara dunia-akhirat yang bersatu. Kompleksitas duniawi ukhrawi lantas menimbulkan hasrat, i wanna be there to feel the life.

Apakah itu hal gila? Mengunjungi daerah konflik paling ekstrem di dunia. Memandang segala sudut kota yang tanpa harapan. Kemudian terisak hanya dengan membayangkannya. Saya tidak tahu apakah ada kesempatan untuk melangkahkan kaki kesana. Hanya keinginan itulah yang tetap benderang menyala.

Inilah akhir seperempat abad yang gado-gado. Bahagia rasanya memperoleh hidup yang memerlukan sebesar-besarnya keberanian. Saya berani untuk meninggalkan rumah semakin jauh, berjalan ke segala arah dan kadang kehilangan arah. Hal-hal menyakitkan, menggelisahkan, mengecewakan telah berlalu. Hari buruk mungkin menyebabkan badan menggigil dan putus asa. Yang lain memberikan harapan dan kelegaan. Setidaknya kebaikan orang-orang sangat membantu untuk berlanjutnya hidup saya. Apapun yang membuat diri jatuh, hadapi saja. Angin kencang tak selamanya berhembus. Meski hujan tak selamanya mendinginkan jiwa raga.

Hari ini saya merasa baik, tahun ini tahun yang baik. Semakin dewasa terasa semakin baik. Agak berlebihan memang tapi saya tetap harus bersyukur dengan pemberian Nya.

Saya masih ingin membangun perpustakaan dirumah. Membiarkan anak-anak bermain dan belajar. Nampaknya memiliki toko buku dilengkapi cafe kecil akan menyenangkan. Ditambah sudut souvenir benda-benda kreatif dengan konsep minimalis. Itulah rumah impian, tanpa pagar tinggi. Tanaman setinggi lutut sudah cukup memberikan batas.

Ternyata, keinginan dalam hidup semakin sederhana. Tanpa piala-piala, tanpa jadwal padat merayap setiap hari. Akan menyenangkan sekali memiliki aktivitas setiap saat. Tidur dalam kondisi lelah, menulis sebagai kegiatan paling utama. Memiliki anak-anak yang ramai dan lincah. Bertetangga dengan mereka yang peduli dengan hidup sederhana dan bermakna. Saya pikir, saya masih idealis perfectionist. Menginginkan hal besar terjadi dalam hidup dengan melupakan hal sederhana dan nyata untuk dilakukan.
Saya berharap bangun segera dari mimpi. Bergegas bekerja dengan sekeras-kerasnya dan sesenang-senangnya. Dengan sepenuh hati mencintai keluarga yang akan segera dimiliki. Allah, bukankah keinginan itu tidak ada yang Kau murkai? Perkenankanlah kiranya apa-apa yang membuat Mu ridha terhadap hamba.

Enrekang, 9 Juli 2016

Selasa, 05 Juli 2016

Aku tidak Pulang

Sejauh apapun kau pergi, kembalilah pulang ke rumahmu.

Momentum Idul Fitri identik dengan mudik dan silaturahim. Kue dan aneka hidangan tumpah ruah di atas meja. Gelas-gelas dicuci bersih. Puasa tinggal 1 hari lagi. Rumah berbenah, masjid dibersihkan untuk menyambut Hari Raya nan Agung. I'tikaf tinggal penutupnya bagi para perindu Nya.

Mudik terasa sekali bagi saya yang 5 kali ramadhan berpuasa di Semarang. Dengan jarak 7-8 jam perjalanan normal, rasanya wajar kalau menyebutnya mudik seperti orang kebanyakan. Rute yang melawan arus mudik pada umumnya membuat saya tidak kentara terkena kemacetan. Pernah satu kali ketika mudik harus duduk diantara tumpukan barang-barang di bus. Berdiri kuat diantara pemudik yang terpaksa menaiki bus ekonomi yang penuh sesak. 2015, saya menunaikan Ramadhan dirumah setelah resign dari pekerjaan lama.

Sepanjang Juli 2015 hingga Juli 2016 ada berbagai peristiwa yang saya lewatkan. Pernikahan teman dekat yang tidak bisa didatangi, kelulusan teman sekampus yang meriah, kondisi keuangan yang pailit, beberapa berita kematian yang mengagetkan hingga sesuatu yang membuat diri rasanya ingin mati saja. Tawa tak bisa disembunyikan dan airmata seenaknya mengalir tanpa malu. Begitulah setahun yang mengharukan. Saya belum melihat apakah setahun ini membuat kerutan diwajah atau tidak. Tapi ada sesuatu dalam diri yang berubah. Mungkin karena saya sudah meninggalkan usia seperempat abad. Hehe.

Pulang adalah keharusan bagi saya. Alarm akan berbunyi jika saya sudah homesick. Saya beberapa kali sakit ringan seperti masuk angin, maag, atau anemia. Sampai pada suatu kali saya hampir 3 minggu unfit. Seminggu mulai ambruk, seminggu tidak berdaya, dan seminggu pertahanan tubuh memburuk. Agak berlebihan memang, saya hanya berpikir akan sekarat saja. Thank God. Setelah memaksakan diri untuk kembali hidup normal, saya perlahan mau makan dan minum obat. Vonis dokter jatuh secara mengerikan. Kurang gizi, kelelahan, dan stres. Meski agak malu mengakuinya saya berpikir wajar saya ambruk. Pola makan yang 'semau gue' dan rutinitas yang melelahkan mengikis stamina. Masih ada 4 bulan lebih untuk pulang. Saya memutuskan untuk sehat.

Memasuki Juli 2016 yang nano-nano, rasanya keinginan pulang tak terbendung.
Apalah daya, kaki malah sampai di Toraja. Antara percaya dan tidak percaya. Hidup memang misterius. Tidak menyangka bisa berkunjung ke tempat sekeren ini. Saya harus bersyukur banyak-banyak. Fix. Idul Fitri dirayakan bersama dengan orang-orang yang baru dikenal seminggu-dua minggu.

Bagaimana rasanya? Kadang rindu, lebih sering takut. Orang-orang yang saya temui berkata kalau saya pemberani. Justru disaat itulah saya merasa takut parah. Timbul dalam benak saya 'Mau sampai kapan seperti ini terus?' Adakalanya kesepian dalam perjalanan jauh dan melelahkan ini. Bosan? Sesekali. Namun banyak hal baru dan menginspirasi setiap saat. Cerita terus mengalir, potret menggambarkan banyak budaya. Bisa saja tiba-tiba rindu orang rumah. Kemudian lanskap sejuta pesona mendadak hampa. Ternyata rindu tak semudah itu disingkirkan dari benak.

Saya tidak tahu bagaimana rasanya besok malam. Pun tidak hendak membayangkan bagaimana Rabu pagi. Biarkan tangis pecah. Rindu akan membuncah. Saya hanya harus bersyukur. Bulan depan saya berkesempatan pulang memeluk realitas. Bertemu dengan orang tua luar biasa dan saudara-saudara. Saya percaya, seluruh hari tetap baik adanya. Kapanpun saya kembali akan ada sambutan hangat disana.

Pak, Bu. Taqabalallahu mina waminkum, taqabbal ya kariim. Aamiin. Mohon maaf lahir dan batin. Tunggulah kepulangan anakmu dari tanah seberang. Bahagia ya disana..

Ramadhan ke 29.

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...