Kamis, 24 Juli 2014

Untuk Partner PPL

Hey partner PPL saya,

Sudah lama sekali ya kita meninggalkan Tengaran, angka waktu itu jatuh pada hitungan ke 2012. Ada banyak suka dan duka terjadi tanpa kita duga disana. Mungkin agak menggelikan bila diingat dengan logika tetapi begitulah takdir Tuhan yang sesungguhnya.

Dalam ramadhan yang teramat dingin untuk penghuni pantura dan pansela kala itu ada nuansa yang membuat kita selalu tersenyum kecil. Sepulang tarawih, kita akan dibekali dengan jajanan ala kadarnya yang selalu tidak sedikit. Ada saja yang dibawa pulang anak kosan. Yang berbinar biasanya teman perempuan yang sedang tidak tarawih. Selalu jaga kosan dan disuguhi jajanan dari mushala dekat kosan.

Malam ini, di masjid dekat rumah saya juga begitu. Ada seseorang yang ingin berbagi rezeki rupanya. Dibagikannya kurma dan botol minuman ringan kepada jamaah shalat tarawih. Hal itu mengingatkan saya pada tarawih, jajan, dan dinginnya Tengaran saat Ramadhan menyambut kita disana. Tiba-tiba saya tersenyum sendiri. Mungkin karena banyak hal yang kadang terlalu naif untuk dilakukan mahasiswa semester 7.

Hey partner PPL saya,

Sudah lama sekali ya kita meninggalkan Tengaran, pun teman-teman kita yang dahulu membersamai kita. Kini satu per satu sudah menekuni profesinya masing-masing. Bagaimana dengan kita? Adakah jalan indah sudah kita tempuh, atau stuck dengan pilihan hidup yang tidak bisa kita perbaiki menggunakan akselerasi? Memang jalan kita sedikit berbeda dengan mereka. Pilihan yang kita ambil juga tidak sama dengan mereka. Tapi apakah hidup akan semenarik yang kita bayangkan andaikata kita masih berlari dalam ritme yang sama seperti dulu?

Hey partner PPL saya,

#WakeUp guy! Hidup harus dihadapi dengan sumringah seperti saat download-an anime/manga telah selesai. Hidup tidak hanya untuk berjalan sesuai kehendak kita seperti membicarakan konflik-konflik menggelikan saat kita disana. Adakalanya kita harus berjuang untuk sebuah prestasi atau setidaknya target hidup yang lumrah. Tidak ada yang dapat merubah nasib kita selain diri kita sendiri.

Hey partner PPL saya,
Terimakasih telah membersamai saya dalam kehidupan 3 bulan yang absurd. Dari keabsurdan mahasiswa semester 7 saya belajar banyak dan mendengarkan banyak hal. Banyak yang negatif tetapi jauh lebih banyak yang positif. Saya bahagia, walau rencana ke negeri jiran pada akhirnya batal. Tuhan memberikan kesempatan untuk saya belajar dari seorang teman. Tentu dalam kapasitas sebagai partner profesional dan saudara seiman.

Lantas apa yang sudah kita temukan untuk memacu hidup yang lebih semarak selain pembelajaran demi pembelajaran yang telah kita peroleh dibelakang sana? Bergegaslah karena berjuang sendiri rasanya akan sepi sekali ..

Minggu, 20 Juli 2014

Karena Kita Tetap Berbeda


Ketika membaca biografi Soekarno mata terhenti pada bahasan agama dan kebanggaan umat terhadap agamanya. Isinya tentang perenungan Bung Karno saat dalam penjara Sukamiskin dan Banceuy Bandung. Bung Karno merenungkan soal kegiatan keagamaan tahanan nasrani yang begitu dilayani oleh para pendeta dan ulamanya. Di suppport dengan berbagai buku keagamaan, diberikan jam konsultasi, mengisi gereja dengan berbagai aktivitas.
Ia melihat bahwa tahanan muslim hanya di imami shalat jumat oleh imam kampung sebelah dengan penampilan yang katanya mirip teroris. Bagaimana tahanan akan berubah atau bertobat jika pemenuhan kebutuhan rohani apa adanya dan tidak di fasilitasi. Sebagai muslim, Bung Karno merasa ciut dengan perjuangan para ulama nasrani tersebut. Ia merasa bahwa umat muslim belumlah sekokoh itu dalam menguatkan saudara semuslimnya yang berada dalam tahanan. Padahal dari tahananlah, menurut Bung Karno manusia baru bisa dilahirkan kembali.
Kita sendiri seringkali merasa enggan untuk menunjukkan keIslaman kita di depan publik. Kurang pede untuk menunjukkan identitas agama kita di tempat kerja. Lantas kita hendak menyalahkan siapa jika misionaris berhasil memurtadkan banyak saudara kita? Mereka diiming-imingi dengan mie instan, biaya pendidikan, fasilitas kesehatan dsb. Dimana kita saat saudara kita kelaparan di siang hari nan terik? Dimana kita saat saudara kita merasa putus asa dengan hidup sementara kita bingung hendak menghabiskan uang dengan cara apa?
Memang menjadi keberuntungan tersendiri jika kita terlahir dalam keluarga muslim karena ada banyak saudara kita yang lahir dari orang tua beda agama. Ada pula mereka yang beruntung terlahir dari keluarga muslim tetapi miskin akan pendidikan agama dari keluarga. Anak-anak yang miskin pengetahuan agama akan kesulitan dalam menjalani hidup. Apapun alasan yang melatarbelakanginya.
Seorang teman menuturkan bahwa ia berasal dari orang tua yang beda agama. Ayahnya seorang muslim dan Ibunya nasrani. Sebagian dari saudaranya pun banyak yang nasrani.
Dalam sebuah ujian praktik shalat di sekolahnya teman saya mendapat giliran praktik shalat shubuh. Sang guru tiba-tiba menanyakan “Orang tuamu ada yang non muslim ya?”, “Kok Bapak tahu?”, “Ibu?”. Teman saya hanya menganggukan kepala. “Pendidikan agama itu dasarnya dari Ibu”.
Disadarinya bahwa pengetahuan agama yang dimiliki sebatas pengetahuan formal yang ia dapat dari sekolah. Tidak ada yang mengajarinya puasa, shalat, bahkan ayahnya tidak ambil pusing soal itu. Setelah masuk perguruan tinggi ia mendapatkan pacar yang tahu tentang agama dan sabar mengajarinya dari nol. Perlahan ia puasa, shalat dan tahu banyak tentang fiqh. Harapannya kini, semoga ibunya masuk Islam. Aamiin
Menjaga Islam dalam diri dan saudara kita memang sudah menjadi suatu keharusan bagi setiap insan. kita menjaga orangtua kita, anak kita, saudara, pasangan, teman, rekan kerja dan sebagainya. Menjaga dari yang paling dekat dengan kita kemudian berangsur kepada mereka yang diluar sana. Kebanggaan menampakkan identitas kemusliman kita bersama keluarga dan sahabat adalah hal yang akan mengibarkan bendera Islam diatas bumi Nya.
Jika kita menjaga Nya, Allah akan menjaga kita jauh lebih baik dari yang disangkakan.. Aamiin

Sabtu, 19 Juli 2014

Menghadapi Kematian dengan Kuat

Teringat satu tahun yang lalu dalam sebuah silaturahim yang sederhana pada salah satu kerabat ibu..

Ia seorang perempuan tua yang sudah ditinggal mati suaminya. Kemudian hidup berdua dengan seorang bujang kesayangannya yang gagap dalam berbicara. Sebagai anak, sang bujang setia menemani ibunya menikmati masa senja di sebuah rumah yang sudah termakan usia. Bahkan ketika umurnya mungkin 3-5 tahun diatas saya, ia tetap berada disisi ibunya. Sebagai ibu, ia begitu setia merawat anaknya yang tidak sempurna dalam kesabaran tidak berbatas. Tiada teman dekat apalagi pasangan.

Kehidupan yang mereka jalani begitu apa adanya. Dinding bambu yang di cat putih, meja kursi kayu dan beberapa karung padi kering yang siap giling. Saya tertarik pada sebuah majalah yang tergeletak di bangku panjang sambil mendengarkan ibu mengobrol dengan nyonya rumah. Kubolak-balik, ternyata majalah terbitan Malaysia berangka tahun 1997-an. Apakah kehidupan mereka terputus dari realita dan harapan hingga hanya mampu mengejar hidup sampai angka 1997 saja?

Dari pembicaraan yang kudengarkan sepotong-potong, ada sebuah pernyataan yang diberikan oleh perempuan tua itu. "Si A meninggal sebulan yang lalu. Selang beberapa hari, istrinya meninggal bahkan belum tujuh hari sejak suaminya meninggal. Ada yang suaminya meninggal, lantas tidak selang beberapa lama disusul oleh istrinya. Ada pula yang takdirnya berbeda, jika sang suami meninggal dan tidak disusul kematian istrinya maka istrinya akan panjang umur. Umur dan jodoh memang tidak ada yang bisa menebak".

Pagi ini mendengar lagi berita kematian dimana seorang istri meninggal kemudian selang beberapa waktu sang suami meninggal pula. Hidup tak serumit yang dibayangkan, ternyata. Namun tak sesederhana yang diduga dalam hitungan tangan manusia.

Seperti kehidupan sang perempuan tua dan seorang anaknya. Apakah kamu pikir mereka telah tertinggal dari kehidupan orang lain? Apakah hidup mereka terhenti ketika tidak bisa melesat sekencang yang lain dalam menjalani hidup? Apakah mereka bahagia dengan hidup mereka?

Terlepas dari anggapan bahagia atau tidak, bagiku mereka memberikan pelajaran yang sangat berharga. Untuk mengerti bahwa keberadaan satu orang sangat penting bagi orang lain. Meskipun tidak kita sadari betul. Untuk mengerti bahwa umur dan jodoh hanya Allah yang punya wewenang memberikan yang terbaik. Manusia selalu berusaha dan berdoa agar mendapatkan pilihan yang terbaik. Dan untuk mengajarkan syukur atas hidup yang sudah dilimpahi nikmat dari Nya..

Minggu, 13 Juli 2014

Happy 24 to Me



Selamat ulang tahun Jilvia Indyarti
Happy 24 ya !!
[semoga tidak ada orang lain yang mengucapkannya lagi hari ini]

Sedari kemarin cukup nge-blank untuk merenda harapan baru dan mengumpulkan tenaga untuk mengikhtiyarkan ratusan impian. Apakah karena sudah melewati 23 putaran kali nuansa serupa? Barangkali begitu.

Terimakasih ya Rabb sudah memberikanku kesempatan untuk hidup dengan iman kepada Mu.
Subhanallah Walhamdulillah Walailahailallah Wallahuakbar. 

Sungguh banyak cerita yang terangkai dalam jejak 23 kali putaran matari. Ada senang, sedih, riang, kelu, takut, bimbang, ceria, marah, haru, bingung, cemas, atau luapan emosi yang terungkap dalam wajah 24 tahun ini.

Tidak ada satupun kejadian yang terjadi di atas bumi dan di bawah langit Mu kecuali dengan kehendak Mu. Ujian hidup yang mendewasakan begitu apik tergambar di belakang sana. Melambaikan tangan dan dukungan untuk terus maju dengan kesemangatan kerja yang menggelora. Pujian hidup serupa gula yang memberi manis liku ikhtiyar. Aku sadar, tidak perlu mempertanyakan keihklasan pujian. Nyata-nyata mereka peduli untuk menyempatkan diri memperhatikan fase hidup yang tengah kulewati. Aku pun tidak begitu mempersoalkan seistimewa apa mereka selama ini. Yang aku tahu, mereka ada dan menunjukkan kepedulian. Bukankah aku harus berterimakasih kepada mereka, Tuhan?

Terimakasih telah menguji dengan penuh makna..
Terimakasih telah memuji dengan penuh cinta..
Ujian dan pujian yang senantiasa hadir membantu banyak dalam seluruh pembelajaran hidupku. Barakallah..

Terimakasih atas kelulusan yang diberikan, umur yang semakin mantap dan ilmu yang semakin beragam. 5 tahun di Semarang yang luar biasa. Meski selalu membenci jika menjejakkan kaki di tanah ini dan selalu gempita manakala meninggalkannya. Waktu selama itu tentu memberikan atmosfer tersendiri untuk disyukuri. 

Menghitung teman, ilmu, guru, pengalaman, dan cinta rasanya tidak terhitung banyaknya yang menorehkan kebijaksanaan. Terimakasih teman dan sahabat, guru dan murabbi, BEM dan PKMU, keluarga dalam rumah-rumah yang pernah kusinggahi. Terimakasih ilmu dan pengalaman, cinta dan prestasi, impian dan ikhtiyar.

Jalanan yang terik di luar sana membangunkan diri dari egosentris generasi penerus,  aku akan merindukan almamater yang berderet warna-warni seperti pelangi. Di jalanan mana lagi akan kutemui pemuda berani seperti kalian? Jika memandang dari kejauhan ruang, jalanan dan segala hal yang terjadi di sana apakah akan lebih baik setelah kita tinggalkan? 

Akhir dari akademik kampus merupakan titik tolak menuju fase selanjutnya. Tentu lebih menantang, lebih dewasa dan bertanggungjawab. Mari merencanakan target hidup yang penuh manfaat.
Akhirnya,

Selamat menjelang pemakaian toga!!
Selamat datang di dunia profesional
Selamat mengistiqomahkan cinta yang satu J



Kamis, 10 Juli 2014

Jangan Pernah Menjadi Tua



Jangan pernah menjad tua, tanpa pernah menjadi dewasa
[Dom Helder Camara]

Menapaki angka yang tidak muda lagi adalah suatu hal yang pasti terjadi dalam diri setiap orang. Aku pernah meringkuk hangat dalam rahim seorang ibu yang sabar menanti kehadiranku hingga hitungan bulan ke sembilan. Akupun pernah merasakan perih diatas luka yang tercipta karena jatuh dari sepeda. Kini, angka yang sudah tidak kekanak-kanakan lagi mengingatkan bahwa masa itu sudah berlalu jauh dibelakang sana. Menyisakan teriakan nakal dari kakak perempuan kita yang cerewet. Lantas mengantarkan raga pada realitas hari yang mengucap lirih, “Selamat Ulang Tahun yang ke-24”.

Apakah waktu sudah sejauh ini terlampaui? Ronanya baru kemarin aku meminta ijin untuk berkemah selama beberapa hari kepada Bapak yang selalu di rumah. Aku masih terbiasa merengek minta dibelikan ini dan itu bahkan hingga hari ini. Bedanya adalah aku sekarang tidak menolak bekal atau makanan yang diberikan Ibu jika akan bepergian.

Angka yang sudah tidak remaja lagi untuk tetap emosional dan kekanak-kanakan. Apakah menikmati hidup tidak boleh dengan keceriaan yang meremaja?

Menepikan berbagai realitas bahwa nyatanya aku masih kekanak-kanakan, hari ini selalu kujadikan permulaan untuk memulai mimpi yang baru. Sembari merekonstruksi mimpi-mimpi kemarin yang harus edit ulang. Kenapa masih saja nekat untuk menuliskan mimpi-mimpi yang terlintas dalam benak? Aku hanya mempercayai bahwa tidak ada yang hina untuk diimpikan jika Tuhan pun mengiyakan.

Allah hanya mengabulkan doa mereka yang berikhtiyar keras dan berdoa terus menerus, serta percaya, Allah lebih tahu takdir terbaik untuk hamba Nya

14.24 pm

Rabu, 09 Juli 2014

Mengajarkan Shalat kepada Anak



Melihat polah dan tingkah anak ketika ikut orang tuanya shalat merupakan moment yang membahagiakan. Kita akan tahu bagaimana Ayah atau Ibu mengenalkan Tuhan kepada anak dengan cara mereka masing-masing. Begitupun dengan mengajarkan shalat pada anak. Kita sebagai orang tua akan menentukan bagaimana keimanan anak kita akan terbentuk. 
Dalam sebuah hadist, disebutkan bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Perintahkan anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berumur 7 tahun dan pukullah apabila mereka tidak mau mengerjakannya ketika berusia 10 tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka (laki-laki dan wanita)”. [ HR. Ahmad] 

Malam ini saya melihat momen pembiasaan shalat secara sederhana. Mungkin kita sering melihat bahkan melakukannya saat berjamaah di masjid. Begini kisahnya:

“Seorang Ayah baru saja mengakhiri shalat tarawih berjamaah dengan salamnya. Disebelah kanannya duduk seorang anak laki-laki sekitar 5tahun dan berkaos Neymar. Bagi penggemar sepakbola pasti tahu siapa Neymar. Begitu tahu Ayahnya selesai shalat, sang Anak langsung merangkul Ayahnya dan berbisik. Karena berjarak lebih dari 5 meter, bisik-bisik itu tidak terdengar sampai jamaah perempuan dibelakangnya”.

“Shalat tarawih dilanjutkan tetapi sang Anak bermain sendiri dibelakang shaf Ayahnya. Dua raka’at selesai ditunaikan dan jamaah masih belum memulai shalat berikutnya. Anak tersebut lalu bertanya lagi kepada Ayahnya dan saudara disebelahnya yang 10 tahun lebih tua darinya mengajaknya bergurau. Ayahnya hanya menjawab dengan mengacungkan dua jari. Artinya shalat tarawihnya tinggal dua kali salam lagi”.

“Meski tidak shalat sempurna seperti Ayahnya, dalam artian hanya ikut kalau sedang mood. Sang anak tetap berada disekitar sang Ayah. Ia pun tidak bermain-main diluar mushala seperti anak pada umumnya. Jika melihat sekeliling, malam ini memang sepi dengan anak-anak”.
Betapa romantisnya pembiasaan shalat sang Ayah kepada anaknya yang baru berusia sekitar 5 tahunan. Ketidaksabaran sang Anak menjadi hal yang wajar bagi siapapun yang baru belajar sesuatu yang baru. Sama seperti saat kita duduk di bangku SMA dimana bel pulang adalah hal yang dinantikan.

Pembiasaan untuk mengajak anak shalat bersama kita membutuhkan waktu dan kesabaran. Kadang kita harus merayu-rayu agar anak kesayangan mau ikut shalat dengan kita. Bahkan menyita waktu shalat yang tidak panjang seperti shalat maghrib. Hadits diatas memerintahkan anak yang berusia 7 tahun untuk shalat yang artinya pembelajaran shalatnya harus dimulai sebelum mereka berusia 7 tahun. Maka akan lebih baik jika mengajak anak shalat sedini mungkin. 

Apa yang saya lihat tadi di mushala mengingatkan pada saya bahwa pengenalan islam dan seluruh ibadah di dalamnya dilakukan sepanjang hidup dan melibatkan seluruh unsur kehidupan. Karena memang islam itu rahmatan lil’alamiin. 

Ramadhan, 11

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...