Senin, 27 Juni 2016

7 jam menuju Enrekang

Kijang berwarna metal meluncur dari ibukota Propinsi Sulawesi selatan dengan kecepatan tinggi. Supir yang sudah berpengalaman pulang pergi Enrekang-Makassar tahu betul letak gang, gedung dan tata letak kota meskipun dalam tengah malam gelap. Mobil yang sempit itu diisi dengan formasi 3-4-3. Bagian depan diisi dengan 3 orang, bagian tengah 4 orang dan bagian belakang 3 orang. Praktis kami hanya bisa duduk sebisanya yang beresiko kesemutan dan pegal-pegal seluruh badan.

Kontur tanah yang stabil menjadikan rute etape pertama mulus dan tanpa tanjakan. Lurus dan lurus. Saya merasa berada di jalan tol Cipularang. Selalu menyalip mobil kontainer, truk dan yang sejenis didepan. Lagu populer 2008 hingga sekarang yang diputar justru membuat saya tidak bisa tidur. Hembusan angin dr kaca samping dan pemandangan diluar yang gelap sukses membuat 'baper'. Rumah panggung dengan berbagai model berderet sepanjang perjalanan. Oke. Antara baper, pegel dan angin malam saya memilih menutup mata. Siapa tahu bisa tertidur beberapa saat.

Enrekang merupakan jalur menuju daerah Tana Toraja. Setelah memasuki wilayanya, kita akan disuguhi dengan pemandangan hijau yang subur. Samping kanan dan kiri terasa basah khas dataran tinggi. Sisa hujan semalam menambah kesan basah dan dingin dibanyak sudut. Jalannya berkelok-kelok. Beberapa titik mengalami aspal lepas sehingga supir harus mengerem untuk menghindari goncangan keras. Meski berada pada dataran tinggi dengan orientasi penghidupan dari berkebun, rute menanjaknya masih aman untuk dilalui. SPBU dapat ditemukan dibanyak titik. Masjid pun banyak berdiri megah disana sini.

Waktu menunjukkan 5.30 waktu Indonesia timur. Udara terasa lebih dingin. Barisan bukit dan tebing membentang dengan kokoh. Ternyata tebing disini tidak kalah cantik dengan tebing di Flores. Sama-sama spektakuler dan anggun. Supir membawa kami lebih dalam memasuki gang-gang. Menurunkan dan menaikkan penumpang dikawasan pemukiman. Setelah melewati tebing mempesona, kami diturunkan disebuah tempat. Oke. Kami sampai ditempat tujuan.

Benar saja. Rumah teman saya memang panggung. Antik sekali. Kayu-kayu, cat, ornamen dan perabot didalamnya menyadarkan saya satu hal, Alhamdulillah Sulawesi luar biasa dan kaya.

Kamis, 23 Juni 2016

Kuda dan Rumah Panggung

Inilah Jeneponto, salah satu kabupaten Sulawesi Selatan. Induk semang saya di Makassar mewanti-wanti untuk makan sup daging kuda. Yihaaaa, makanan apa itu? Agak kikuk juga pertama kali mendengar sup daging kuda. Biasanya kuda dipakai untuk transportasi, hobi, mahar atau mas kawin, dan peternakan. Ternyata ada di daerah Sulawesi yang memakan kuda sebagai kebiasaan lokal. Mengesankan (bukan mengenaskan lho ya).

Untuk dapat menjangkau daerah ini kita tidak perlu susah payah mengingat rute atau peta. Hanya jalan lurus saja. Jika ada pertigaan atau perempatan ambillah jalan lurus. Kebetulan saya berkesempatan membawa sepeda motor teman saya. Memang benar. Jalannya lurus mendatar. Aman untuk pengendara amatir atau yang tidak terbiasa berkendara jauh. Kita akan disuguhi pemandangan kebun semangka, persawahan, pasar dan sesekali penjual buah-buahan dipinggir jalan. Jika ingin berhenti sejenak dan shalat, ada tersedia banyak masjid di sepanjang jalan yang dilalui. Pun dengan gerai alfamart/indomart dan SPBU.

Saya diberitahu teman saya bahwa di Jeneponto mayoritas rumahnya berupa rumah panggung. Ia menceritakan betapa susahnya jika hendak ke kamar kecil pada tengah malam. Dalam benak saya sudah muncul model rumah panggung seperti apa yang ada disana. Imajinasi dan realita nyatanya berbeda lumayan jauh. Teman saya memiliki rumah panggung tetapi tidak digunakan sehari-hari. Fungsinya lebih pada ruang penyimpanan perkakas rumah tangga dan sembako. Keluarganya memiliki 'rumah batu' atau rumah tembok yang umum dimiliki orang modern. Masyarakat berkeyakinna bahwa kearifan lokal nenek moyang harus dilestarikan. Meskipun mereka memiliki rumah permanen, mereka tetap membangun rumah panggung. Sesederhana apapun bentuknya. Dari rumah panggung yang saya lihat di sepanjang jalan, ada beberapa yang sudah berarsitektur modern. Kayu bagian depan rumah diukir dengan sangat cantik bahkan ada yang megah. Beberapa menggunakan kaca jendela yang beraneka rupa, memiliki halaman yang cukup luas dan berpagar semen. Kekayaan lokal yang begitu kaya dari masyarakat Jeneponto.

Kemana mata memandang, ada rumah panggung. Dari yang sederhana hingga yang megah. Tidak sedikit yang memiliki armada roda empat dan desain rumah yang wah. Disisi lain, kehidupan sosial masyarakat dikatakan mampu karena banyak yang sudah ke tanah suci dan memiliki mobil. Rata-rata masyarakatnya bekerja sebagai pengusaha. Generasi mudanya sudah dikenalkan usaha dan pekerjaan sejak usia remaja hingga menjelang dewasa. Tidak heran jika pendidikan di kampung teman saya tidak begitu menggembirakan. Mereka bekerja dengan baik dan mampu membuat rumah panggung yang bagus. Namun sebagian anak-anak tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi sekalipun mampu. Hal inilah yang disesalkan teman saya dari kampungnya.

Dari Makassar yang eksotis dengan Losari dan kehidupan metropolitannya, Jeneponto menghadirkan pemandangan pantai-rumah panggung-kuda-tambak garam. Luar biasa. Suasana perkampungan yang khas dan dialek Makassar yang kental.

Rabu, 15 Juni 2016

Reuni

Di kampung halaman JK saya bertemu dengan teman SMA, satu kelas. Kami pun dulu satu organisasi di kepramukaan. Saya sebagai ketua putri, sedangkan teman saya bendahara putra. Keakraban kami sama seperti yang lain. Kebetulan rumahnya jauh dari sekolah. Ketika jelang latihan pramuka kami terbiasa nongkrong di ruangan bersama. Makan siang, ngobrol dan melakukan aktivitas lainnya bersama membuat kami mengenal satu sama lain. Saya pikir dia agak pemalu kala itu. 2009 kami lulus. Praktis setiap anak akan memutuskan hendak kemana. Saya bersama puluhan teman mengambil tes masuk d Semarang.

Selama lebih dari 7 tahun kami menjalani hidup masing-masing. Saya sibuk dengan tugas kuliah dan organisasi. Dia entah kemana. Timbul tenggelam tapi lebih banyak menghilang. Kontak pun jarang. Apalagi untuk sekadar nongkrong dan ngopi-ngopi. Bahkan reuni yang dihelat pengurus kelas hanya menghadirkan pemain lama dan semakin sepi. Dia tidak pernah hadir.

Pada pertengahan 2015 saya ke Flores. Target saya di Indonesia timur adalah mengunjungi Makassar. Siapa yang tidak tahu kota besar Sultan Hasanudin? Inilah bandar pelabuhan terbesar di timur dengan kapal besar yang mampu mengarungi samudera. Dengan modal keberanian, saya mendarat disini sepekan yang lalu.

Siapa sangka, dia tiba-tiba aktif di sosial media dan menemukan saya. Kami akhirnya mengobrol dan merencanakan reuni. Sejak 2010, bahkan 2009 usai kelulusan kami hampir tidak bertemu. Beberapa kali kontak sosial media.  Kemudian hilang lagi. Selalu begitu.

Sepertiga ramadhan pertama, dia tidak jauh berbeda. Sekurus itu. Sediam itu. Bahkan cara berpikir dan sikapnya tidak jauh berbeda dengan yang dulu. Bagaimana dengan saya? Kami pun banyak bercerita tentang pekerjaan, keluarga, cinta, dan pengalaman selama bertahun-tahun. Dia hampir menyesal tidak mengikuti saran orang tua untuk kuliah. Namun, dia pikir sudah terlalu jauh untuk kembali belajar.

Dia berkata akan mudik awal Juli. Beruntungnya setiap Idul Fitri dia mendapat tiket gratis kembali ke Jawa. Andai uang saya cukup sudah terbelilah tiket ke rumah.

Dia 25 sekarang. Seperti lelaki dewasa pada umumnya. Bulan depan saya sudah 26. Diantara teman-teman kami beberapa sudah menikah. Bahkan memiliki anak yang lucu dan menggemaskan. Diusia kami yang sudah tidak muda lagi, bekerja pun belum seserius teman lain. Kami membicarakan peluang beberapa puluh tahun mendatang. Memikirkan akan menetap dimana dan bagaimana. Tapi seolah perenungan yang tak membuahkan jawaban. Kami pun kembali bertanya pada diri masing-masing dan diam.

Ketika saya hendak pulang, dia masih keheranan dengan kehadiran saya di kota perantauannya.

"Kok bisa sih Pie? Kamu sendiri kesini. Emang gak takut? Heran aku. Cewek lagi. Lebih herannya lagi diijinin sama orang tua kamu". Saya hanya tersenyum menanggapi deret pertanyaannya. Kemudian dia menambahkan, "Kalau ada apa-apa gimana? Kan cuma aku yang disini. Nanti khawatir juga kalau kamu kenapa-kenapa". Saya sempat terdiam untuk beberapa saat. Kemudian kembali tersenyum. Entahlah, apakah saya harus sedih atau senang dengan kekhawatirannya. Ada satu haru yang kemudian menelusup dan akhirnya saya mendadak sedih.

Dia berkata lagi "Jangan pergi-pergi sendiri lagi lain kali". Kali ini nadanya benar-benar khawatir. Saya pun terpaksa mengiyakan dan sok menasehatinya. Setelah 'say hello' gagal berkali-kali, dia beranjak juga dari tempat saya berdiri. This is the time to go home Jil.



Jumat, 10 Juni 2016

Di Kota Bersejarah nan Megah

Sejak dibeli Sabtu, 4 Juni tiket kapal gagal hangus. Lambelu yang gagah mengantarkanku pada pulau yang menyerupai huruf K besar. Selasa siang, saya diantar Arin, Alfin dan Ernawati (*Cupang) ke Port of L. Say Maumere. Ada sebersit haru, sedih, senang dan perasaan tidak percaya. Mereka yang baik hati mengantarkan saya jauh-jauh meski rute yang dilewati lumayan menantang. Saya sampai berkata 'Kalian cepat pulang, nanti aku bisa sedih kalau kalian masih disini'. Drama-drama terus berlanjut. Waktu yang semakin sore mengharuskan teman-teman saya pulang ke Maurole.

Di masa penantian tersebut saya berkeliling sambil memotret, memakan bekal saya di pinggir dermaga, dan menghubungi beberapa orang. Kenekatan itu belum menimbulkan efeknya. Senja turun menandakan waktu berbuka puasa. Penumpang memenuhi peron pelabuhan dengan ditemani kopi. Pukul 6 lewat, penumpang berbondong-bondong mendekati dermaga. Kapal yang entah seperti apa belum menampakkan ujung moncongnya. 45 menit kemudian, bayangan di kaca memantulkan kilatan cahaya. Apa itu kapalnya? Penumpang lain tetap berduyun mendekati dermaga. Saya memastikan kapal tengah bersandar. Selama di Jawa sudah 3 kali saya naik kapal dengan rute yang berbeda. Ketika menyeberang ke Bali, menyeberangi laut Jawa ke Karimun Jawa, dan selat Sunda menuju Sumatera. Kapal yang pernah saya naiki besarnya sedang saja. Kali ini kapal yang akan membawa saya berlayar sungguh besar. Memang tidak sebesar kapal pesiar tetapi saya merasa senang melihatnya.

Dengan berebut naik tangga, akhirnya saya masuk kapal. Mengikuti arahan petugas kelas ekonomi. Berebut lagi mendapatkan tempat tidur. Setelah mencari dan mencari, saya menemukan posisi yang baik. Disebelah saya ada perempuan seumuran dan yang masih kuliah. Bermodalkan tampang lusuh dan lugu, saya berhasil meminta anak kuliahan tersebut mencarikan tempat tinggal. 

Pelabuhan Makassar yang besar dan megah menyambut saya. Keramaiannya sungguh membangunkan saya dari heningnya Ende. Ini kota terbesar di Indonesia timur. Peti kemas bertumpuk-tumpuk di sepanjang pelabuhan. Kendaraan berplat DD mendominasi jalan raya. Inilah kampung halaman wapres RI. Kotanya belum banyak dipenuhi gedung pencakar langit. Beberapa skyacrapper merupakan hotel dan kawasan komersil, bukan kantor pemerintahan setempat.

Saya sampai di jantungnya cotto, konro dan es pisang ijo. Waw., wisata kuliner dimulai.

Pencarian tempat tinggal yang serba cepat memaksa saya membayar tarif seperti di Jakarta. Kenalan anak kuliah yang membantu saya menemukan tempat tinggal, tidak dapat memberikan tumpangan untuk sementara. Alhamdulillah, tempat yang saya dapatkan berada dalam lingkungan yang baik. Orangnya pun baik-baik.

*Ditulis beberapa hari setelah sampai Makassar

Minggu, 05 Juni 2016

So hot, Maumere

Wilayah administrasi Ende memiliki batas paling timur yaitu Kecamatan Kotabaru. Beberapa bulan yang lalu wilayah tersebut diterjang banjir bandang yang masih tersisa kerusakannya sampai hari ini. Dibeberapa titik terdapat sampah banjir berupa batang kayu yang hanyut terbawa air. Jarak dari Ende ke Maumere 147 kilometer dengan melalui perbukitan, gunung dan dataran pantai. Setelah memulai 82 kilometer dari Ende kemarin, saya masih memiliki 65 kilometer lagi.

Matahari sudah sumringah sejak pagi. Kami meninggalkan Maurole pukul 7.30. Kilometer pertama aman jaya dengan sedikit berhadapan dengan jalab retak dan debu. Kelokan perbukitan bervariasi ketinggiannya membuat kami harus ekstra hati-hati. Kelokan menanjak, turunan tajam, belokan ekstrem, dan semak rindang mewarnai rute ke Maumere. Kotabaru memiliki area pantai yang terkena abrasi cukup parah hingga menggerus aspal jalanan. Meskipun tembok penahan abrasi masih kokoh, beberapa sudah berlubang dan rusak. Bahkan jalan aspal tersebut amblas tidak beraturan.

Usai melewati abrasi pantai, kami sedikit lega dengan kondisi jalan yang lebih baik. Bukit-bukit yang kami tinggalkan menyisakan pemandangan menakjubkan dibelakang. Udara tidak sepanas Maurole. Pun tidak sesejuk Bajawa. Namun kelokan hijau menyegarkan pandangan.

Kami memilih berhenti di bukit salib. Menanjaki bukit kecil tersebut untuk menikmati lanskap pantai dari ketinggian minimalis. Bertemu dengan pasangan muda yang mengunjungi bukit salib, kami memuncak bersama.

Yeeeeeay, tidak berapa lama kami sudah memasuki area kota Maumere. Ide untuk mampir di rekan guru teman saya masih ada. Kebetulan beliau tinggal di Maumere. Kami menyengajakan mampir setelah mengingat jalan masuk ke alamatnya. Berhasil! Kami menemukan rumah rekan guru yang dimaksud. Karena ada kebutuhan yang harus dicari, kami meminta ijin pergi keluar.

Maumere lebih ramai dari Ende dan Bajawa. Tata kotanya sudah baik dan teratur. Pohon-pohon di jalan protokol lumayan banyak. Fasilitas umum yang ada tergolong lengkap. Akhirnya kami menemukan Gramedia. Sedikit mahal dari harga di Jawa memang. Tapi cukup berhasil mengobati kerinduan akan glamouritas kampung halaman.

Ini Maumere. Pelabuhan pertama yang akan memindahkan saya ke Celebes. Semoga Makassar bersahabat dan memberikan kesempatan berkarya lebih banyak.

Sabtu, 04 Juni 2016

Maurole!!!

Musim libur telah tiba. Jelang ramadhan 1437 H beserta berakhirnya tahun ajaran 2015/2016 merupakan bonus plus-plus. Prakiraan libur dan agenda sekolah telah jauh hari direncanakan. Akhir semester ini saya memutuskan untuk libur full. Satu bulan yang penuh pahala saya harap bisa maksimalkan dengan aktivitas bermakna di suatu tempat baru.

Tempat baru itu adalah Makassar. Ya, kota terbesar di Indonesia timur dengan sapaan lama 'Ujung Pandang'. Saya belum pernah mengunjunginya. Pun membayangkannya selalu gagal karena setiap kota selalu berkembang disana-sininya. Usai mempertimbangkan banyak hal, akhirnya saya berangkat ke kantor Pelni. Saya bertanya pada orang-orang yang sedang menunggu kantor buka. Yang pada akhirnya, saya berhasil mendapatkan tiket Lambelu seharga Rp. 173.000 plus biaya admin menjadi 177.000 dan Rp. 1000 yang direlakan karena tidak ada kembalian. Di dalam tiket tertera bahwa saya mendapatkan jadwal pelayaran pada 7 Juni 2016 lusa.

Bermodalkan niat kuat dan restu orang tua serta pakdhe-budhe, saya bergegas menuju pantai utara Flores. Saya harus menyusuri tebing curam untuk mendapatkan kapal yang dimaksud.

Lepas tengah hari yang panas, sepeda motor kesayangan saya pacu dengan laju sedang. Meninggalkan Ende yang membentang di pantai selatan Flores kemudian menyusuri kelok-kelok lembah menuju pantai utara.

Rutenya melewati Ende—Detusoko—Wewaria—Maurole. Percayalah, hanya Detusoko yang menawarkan udara sejuk dan menyegarkan sepanjang jalan. Jika kita lepas dari Detusoko, udara perlahan mengering dan berdebu. Kelilipan wajar. Haus lumrah. Ini Flores Bung. Wewaria lebih hangat dari Detusoko. Kebetulan hari sedang cerah (*panas) karena lewat tengah hari. Silau matahari membuat lelah. Kondisi jalanan yang diperbaiki pada beberapa ruas melambatkan laju kendaraan.

Wajah mendadak sumringah ketika melihat tulisan MAUROLE. Kecamatan ini ternyata cukup memanjang sehingga membuat saya belum juga sampai di daerah tujuan. Oh God. Mata merah akibat kelilipan kembali memerah dengan semburan debu dari otto kayu (*truk yang dibuat komersil dengan ditambahkan papan kayu untuk duduk penumpang). Saya berteriak dalam hati "Mana kotanyaaaaa? Kenapa belum sampai juga?".

Sampai saya melihat dari kejauhan kelokan pantai pasir putih, harapan mencuat. Disusul dengan armada batubara di pantai untuk PLTU. Ahaaa!! Saya sebentar lagi sampai.

Butuh 8 menit lagi untuk sampai ke kosan Arin. Malunya di 'ciye ciye' anak muda didekat pertigaan kos Arin. Selidik punya selidik, mereka adalah murid Arin. Ckckckck.

Karena hari sudah sore, Arin membawa saya ke pantai. Amboooooi. Pantai sare! (pantai indah). Surutnya permukaan air laut sampai membuat tanjung-tanjung mini di pantai. It's great. Allah Maha Indah dengan ciptaan Nya.

Ini Maurole, seluruh sudut pantainya adalah anugerah.

* Ditulis ketika lampu sudah mati. Arin sudah pulas tidur. Terimakasih Arin yang bersedia memberikan bantuan menginap dan merawat Rio selama saya pergi. Ika yang sudah menemani di Pelni dan membagi kue sarapan paginya.

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...