Jumat, 19 Desember 2014

Hari Ibu

Apa yang kamu ingat tentang 22 Desember? Hari nasional yang ditetapkan sebagai Hari Ibu? Ulang tahun seseorang atau ulang tahunmu sendiri?

22 Desember ditetapkan sebagai hari ibu untuk memperingati momentum bersejarah perempuan Indonesia mengawali pergerakan mereka pasca kemerdekaan. Kongres Perempuan Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta dimaksudkan untuk menumbuhkan nasionalisme dan kesadaran bernegara dalam diri rakyat Indonesia. Ada banyak gerakan yang digagas oleh perempuan dari berbagai lintas jaman. Cut Nyak Meutia, Nyai Ahmad Dahlan, Maria Christina Tiahahu, Dewi Sartika dan sebagainya telah mendahului eksistensi perempuan dalam aksi masing-masing. Begitu banyaknya perempuan yang telah berjasa untuk Indonesia sehingga presiden Soekarno menetapkan tanggal 22 Desember sebagai hari ibu. 

Sampai hari ini saya masih saja menantikan 22 Desember setiap tahunnya. Bukan untuk hari Ibu melainkan untuk hal lain. Saya selalu menatap langit di sebelah timur ketika berada dibelakang rumah. Pada pagi hari yang sejuk, ada dua pemandangan yang harus saya saksikan. Pertama sisa puncak Gunung Slamet yang menjulang jauh dari tempat saya berdiri. Puncak yang sudah hilang akibat erupsi entah tahun kapan. Lebih sering ia tertutup kabut ketika saya jumpai pagi hari. Yang kedua, semburat sinar surya yang mulai menampakkan diri. Dipojok langit itu, matahari akan terbit tidak dari timur persis. Dalam hitungan matematis kita menemukan matahari berada pada 23,5 derajat lintang selatan. Saya menyebutnya matahari terbit dari timur menjorok ke selatan. Anehnya, saya hanya menantikan 22 Desember. Padahal ada tiga kali lagi matahari berada pada 23,5 lintang selatan dan utara yaitu Maret, Juni, dan September.
[mohon koreksi kalau ada yang salah]

Sudah seumur ini, saya masih melakukan hal-hal absurd yang mungkin tidak dibayangkan orang lain. Akan menyiksa jika kita makan oseng kangkung kemudian repot bertanya berapa orang yang menanam kangkung, bagaimana kangkung-kangkung itu dirawat, apakah menggunakan pestisida atau sejenisnya. Atau di lain waktu ketika menjumpai pasangan suami istri dalam perjalanan ke tempat kerja masing-masing kemudian bertanya dalam hati bagaimana mereka berkompromi soal parenting, urusan domestik, memaknainya sebagai isu gender masa kini dan sebagainya.

Apapun itu, saya menantikan langit cerah 22 Desember. Melihat sorot matahari pagi dan mengatakan "Itu yang saya nantikan setiap tahun dipenghujung masehi".

Senin, 15 Desember 2014

Universalitas Emosi


-Paul Ekman yang Menginspirasi-

Paul Ekman menyatakan dalam "Membaca Emosi Orang" [terjemahan] bahwa emosi bersifat universal yang artinya berlaku sama dimanapun kita berada. Emosi yang universal itu menurut Ekman meliputi kesedihan, kemarahan, rasa terkejut, ketakutan, kebencian, kemuakan, dan kebahagiaan.

Ekman menyatakan bahwa jika ekspresi wajah benar-benar dipelajari, kita akan menemukan ekspresi wajah yang berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menyatakan kebahagiaan, kesedihan mendalam atau rasa muak dan jijik. Pada kenyataannya kita menemukan ekspresi wajah yang serupa yang menggambarkan rasa takut, terkejut, muak, atau sesuatu yang menyenangkan. Ini menandakan bahwa emosi bersifat universal yang hampir sama diberbagai belahan bumi manapun bahkan didaerah paling terpencil.

Selain kesamaan ekspresi wajah, bukti lain bahwa emosi bersifat universal yaitu kebaruan ekspresi yang dimunculkan oleh orang dengan budaya terpencil dan tidak memiliki akses pada dunia luar. Orang asing yang tiba-tiba masuk ke dalam komunitas terpencil tersebut akan sulit mengartikan ekspresi orang terpencil tersebut. Nyatanya orang asing [Ekman dkk] dapat mengartikan ekspresi wajah yang dimunculkan oleh orang terpencil tersebut.

Kita akan menemukan kesamaan ekspresi yang sama dari orang diberbagai belahan dunia tentang satu pesoalan misalnya lulus kuliah. Orang Korea yang tersenyum bahagia karena lulus kuliah akan sama ekspresinya dengan orang Argentina yang mendapatkan pengalaman serupa. Pun akan sama keadaannya ketika kita kehilangan pasangan karena meninggal dunia, kesedihan yang mendalam yang dimunculkan akan menampakkan raut wajah yang serupa siapapun subyeknya. Tidak peduli apakah ia seorang buruh bangunan, presiden, eksekutif atau artis. Kesedihan akan selalu nampak bagi mereka yang kehilangan pasangan karena sesuatu hal yang tidak diinginkan dan selalu sama dimanapun.

Universalitas emosi membantu kita untuk mempelajari dengan lebih mudah bagaimana menyikapi emosi dalam diri dan orang lain terutama jika emosi yang ditimbulkan rawan konflik. Karena saya pikir kesamaan ini akan membuat kita tanpa perlu susah payah menerjemahkan arti dari alis yang terangkat, bibir yang terbuka dari setiap orang yang berbeda budaya. Ekspresi senang, sedih, muak, takut, terkejut, jijik, benci, dan marah berlaku sama meski kita berbeda budaya dengan orang lain. Kita sering melihat orang yang tiba-tiba meninju lawan bicaranya karena marah akan sebuah pernyataan. Selain mencegah hal-hal yang tidak diinginkan kita dapat belajar untuk mengenali ekspresi yang paling halus dari wajah yang kita jumpai sehingga dapat memutuskan respon yang paling adaptif dari diri kita.

Akan menyenangkan jika kita dapat mengenal perubahan ekspresi wajah seorang teman, pasangan, anggota keluarga atau teman kantor untuk hubungan yang lebih berkualitas. Semoga selalu bahagia dan beruntung dalam berbagai relasi Anda :)

Pasangan Hidup



#SentimentilPernikahan

Kedekatan kita terhadap teman, senior maupun junior seringkali membuat kita memperhatikannya bahkan sampai urusan pasangan hidup. Duga prasangka yang entah positif dan bermanfaat atau tidak akan selalu timbul tenggelam. Apabila umur sudah rawan untuk melenggang ke pelaminan akan lebih semarak lagi pertanyaan kapan, dengan siapa, dan dimana.

Ada teman yang sangat dekat yang ketika mereka melepas masa lajang kita akan berkaca-kaca. Bahagia pasti dengan iringan perasaan yang lega, terkejut, bahkan sedih. Tak jarang dalam pernikahan teman saya yang terdekat harus menguras emosi yang menyenangkan dan menyedihkan. Senang karena teman baik akan mendapatkan teman terbaik dalam hidupnya. Akan ada orang yang stay 24 jam untuknya dalam keadaan apapun. Berbagi persoalan remeh temen soal hidup dan mencurahkan segala isi hati. Bisa dikatakan sedih karena orang yang akan kita ajak bercanda, tertawa lepas, atau katarsis akan berkurang. Pasti akan ada teman-teman baru yang baik dan berada disamping kita nantinya. Tetapi kebersamaan dengan satu orang teman tetaplah membekas nyata dan tidak tergantikan. Dia yang keras kepala, egois, galak tapi di lain kesempatan ia begitu rela berkorban untuk kepentingan kita yang tidak ada sangkut pautnya dengan urusannya. Wajar jika setiap dari kita merasakan kebahagiaan dan kesedihan sekaligus dari pernikahan teman kita.

Melewati berbagai sinema yang melahirkan banyak peristiwa berkesan membuat kita merasa perlu untuk menetapkan siapa yang memiliki kehormatan untuk berbagi hidup dengan kita. Hidup sendiri sangat tidak menyenangkan. Apalagi keputusan untuk melajang sangat dibenci oleh Rasulullah. Orang memutuskan untuk mengambil seseorang dari tempat kerjanya, satu organisasi, kampus yang sama sedangkan orang lain memilih mereka yang sama sekali baru dalam hidupnya misalnya dalam momen perkenalan dengan teman lain kemudian memutuskan untuk serius menjalani hubungan. Arah hidup tidak tertebak, jodoh pun demikian. Mencari yang terjauh, ternyata ada hati yang menanti disebelah kita. Sudah begitu dekat dengan orang yang satu atap dengan kita nyatanya tidak pernah bertemu hati apalagi visi misi.

Banyak orang memutuskan untuk menikahi teman satu kantornya karena sudah putus asa mencari kemana-mana. Saudara saya menikah dengan orang yang rumahnya dekat dengan keluarganya dan bertemu di tempat kerja. Yang lain sibuk mencari diluar area nyamannya atau wilayah yang biasa ia tinggali. Yang penting, bukan putus asa yang membuat kita menikahi A atau B. Melainkan keputusan untuk hidup berdua yang sudah dibicarakan bersama.

Pasangan hidup menjadi pilihan setiap orang. Setiap orang berhak menentukan jalan cintanya sesuai dengan apa yang ada dalam dirinya. Kita selalu memiliki pengalaman berbeda yang mempengaruhi keputusan hidup. Dari sekian banyak perbedaan dalam hidup, kita menemukan satu kesamaan yaitu kemauan untuk menjalani dan berbagi hidup berdua.

Sabtu, 13 Desember 2014

Dari Pleasure Prinsiple, Strategi Marketing hingga Behaviorisme


Diumur yang hampir seperempat abad, saya masih senang membeli snack yang bertuliskan "berhadiah mainan didalam" atau "berhadiah bila beruntung". Berapapun harganya dari yang lima ratus rupiah sampai ribuan. Tertantang untuk bertaruh sepertinya. Mempertaruhkan kesempatan untuk mendapatkan mainan atau hadiah didalam kemasan snack berukuran mini. Tidak beresiko sehingga kita tidak akan rugi jika tidak mendapatkan hadiah. Toh hanya hadiah tidak berharga yang mungkin akan kita acuhkan setelah melihatnya.

Usia SD kelas 2 dan 3 saat saya berumur 8 tahunan, Bapak saya rutin membelikan susu Dancow yang berhadiah buku cerita didalam kemasannya. Bermacam-macam cerita yang diangkat. Buku cerita yang saya ingat tentang asal usul daerah Salatiga. Ada pula snack Chiki dengan varian rasa coklat dan keju yang bungkusnya berwarna kuning. Didalamnya kita akan mendapatkan hadiah mainan berhologram dengan gambar tokoh kartun. Koleksi hadiah dari Chiki yang saya kumpulkan mencapai puluhan dan itu dapat dianggap prestasi. Lain lagi snack genre potato yang bentuknya mirip potongan irisan batang daun bawang. Produsen potato pada saat awal promosi memberi label "berhadian mainan" yang menandakan kepastian mendapatkan hadiah. Belakangan saya sadar bahwa ada embel-embel "berhadiah mainan jika beruntung" yang menyurutkan niat saya untuk membelinya.

Berapa umurmu? Apakah masih antusias untuk membeli snack dengan iming-iming hadiah didalam kemasan? Perkembangan jaman menggeser trik marketing hadiah didalam kemasan menjadi bonus berupa produk lain atau potongan harga setiap pembelian dengan syarat tertentu. Target pembelinya tentu bukan anak-anak lagi atau orang seperti saya melainkan ibu rumah tangga atau mereka yang berusaha untuk mendapatkan banyak barang dengan uang yang terbatas.

Dalam konsep behaviorisme prinsip memberikan hadiah dikenal dengan istilah reinforcement [penguatan]. Ada reinforcement yang positif yaitu pemberian sesuatu yang menyenangkan seperti hadiah, pujian, atau pemberian lainnya. Yang negatif berupa pengurangan atau penghilangan sesuatu yang tidak menyenangkan seperti potongan pajak, potongan masa tahanan dsb. Hadiah mainan di dalam kemasan snack merupakan reinforcement positif karena produsen memberikan sesuatu yang menyenangkan kepada konsumen. Tujuan utama pemberian reinforcement oleh produsen yaitu tidak lain untuk peningkatan penjualan produk mereka. Mereka cenderung memberikan sesuatu yang disenangi pasar untuk menarik kembali konsumen yang "kabur" dari produk mereka. Konsumen pun punya pertimbangan kemampuan, selera, dan keteguhan hati untuk memilih produk mana yang mereka pilih.


Perempuan dan Karir



Pagi ini,

Seorang suami mengendarai sepeda motor dan menurunkan istrinya di pertigaan jalan yang ramai. Anak lelaki yang bersama Ibunya kurang lebih 8 tahun atau lebih muda dari itu. Kedua suami-istri itu berpakaian PSH [pakaian seragam harian]. Saya menduga pasangan tersebut PNS atau tenaga honorer suatu yayasan/instansi.

Sang istri dan anak lelakinya berdiri di pertigaan jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan masyarakat yang akan berangkat kerja atau mengantarkan anaknya ke sekolah. Sementara sang suami berlenggang dengan anak perempuannya yang berusia kurang lebih 5 tahun. Saya perlu memperhatikan sang suami yang mengenakan ransel dipunggung dan anaknya yang duduk cantik didepannya. Anak yang mengenakan kerudung coklat tersebut berpegangan pada spion didepannya. 15 detik untuk memperhatikan sang Ayah dan putrinya berlalu dari pertigaan.

Kembali pada sang istri dan anak lelakinya yang masih berdiri dipertigaan jalan. Saya pikir mereka akan menyeberang jalan tetapi didekat pertigaan tidak ada sekolah atau instansi kecuali SMP yang berjarak 200 meter. Cukup jauh untuk dicapai dengan berjalan kaki dan sang suami tentu akan menurunkan istrinya di SMP jika itu tujuan istrinya.

Kemudian saya berpikir tempat kerja sang istri harus dicapai dengan menumpang bus ke arah timur. Sedangkan suaminya bekerja di tempat yang lebih dekat dengan sekolah anak perempuannya. Akan merepotkan jika sang istri harus mengantarkan suaminya baru berangkat ke tempat kerjanya. Membutuhkan waktu yang lumayan lama dan memakan waktu padahal pagi hari merupakan jam sibuk.

Mendadak hening dengan adegan didepan mata yang berhasil menyibukkan pikiran itu.

 Mencari nafkah merupakan kewajiban suami, urusan domestik cenderung diserahkan kepada istri. Begitulah pendapat umum yang berkembang di masyarakat. Teman, saudara, atau kebanyakan masyarakat menerapkan hukum tersebut. Pagi ini saya menemukan hukum lain yang sudah diterapkan orang lain. Setiap pasangan baik yang belum ada 1 dekade menikah atau yang sudah bertahun-tahun menikah dapat menerapkan hukum yang paling sesuai dengan kesepakatan mereka.

Isu kesetaraan gender sudah bergulir selama puluhan tahun di Eropa, begitupun di Indonesia. Kita mendengar merebaknya pembelaan terhadap hak-hak perempuan dan persamaannya dengan laki-laki mulai tahun 2000-an. Aktivis perempuan yang memulai kegiatannya sejak bertahun-tahun sebelumnya muncul bak polisi dalam film yang menyelesaikan sengketa. Aktor yang mengusung isu kesetaraan gender semakin bermunculan dengan berbagai temuan yang membuat miris masyarakat. Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, diskriminasi pada tempat kerja atau pembatasan akses dunia luar sehingga mengkerdilkan sumber daya perempuan menjadi kasus seksi untuk digarap.

Sebenarnya kondisi di lapangan tidak seburuk yang ada dalam temuan karena bersifat kasuistik atau terjadi pada kasus tertentu dalam suatu wilayah. Masyarakat yang semakin dewasa sudah menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki dalam peran di bidang ekonomi dan politik pemerintahan.

Kesetaraan gender dalam upaya memaksimalkan sumber daya perempuan dan aktualisasi diri tidak dapat berdiri sendiri tanpa sokongan kuat. Pasangan [suami], keluarga dan sistem yang suportif akan membantu pendayagunaan potensi perempuan dalam masyarakat. Dalam contoh adegan suami-istri yang terjadi tadi pagi, sang suami telah mendukung istri untuk melakukan sesuatu yang positif. Alasan istri untuk bekerja tidak hanya satu. Alasan tersebut misalnya membantu memenuhi kebutuhan keluarga, merencanakan target jangka panjang [membeli rumah, pendidikan anak, umroh/haji], memanfaatkan waktu luang dan kebutuhan aktualisasi diri. Dukungan suami sangat penting dalam membantu istri agar tetap memiliki kegiatan yang baik sehingga dapat menciptakan manfaat tidak hanya untuk diri dan keluarga tetapi juga masyarakat.

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang elah mereka kerjakan [Q.S An Nahl: 97]

Kita tidak akan berdebat soal penghasilan istri atau waktu yang dibutuhkan untuk bekerja oleh masing-masing mereka. Dukungan suami-istri dalam pekerjaan akan melahirkan pemahaman akan manfaat dan resiko dari kesibukan keduanya. Pengasuhan anak, pemeliharaan keluarga, quality time, hak afektif, atau perencanaan jangka panjang keluarga akan terakomodasi dalam komunikasi yang baik antara suami dan istri serta anak-anak.   

Jumat, 12 Desember 2014

Iman yang Compang Camping



Ujian iman akan selalu datang bagi mereka yang belum kokoh imannya atau mereka yang masih mempertanyakan keimanannya. Pada dasarnya seseorang akan diuji dengan ujian yang sama sampai ia benar-benar bisa melewatinya. Kita akan selalu diuji tentang ikhlas jika kita belum juga berhasil menguasainya minimal belajar mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari.

Ujian selalu berat apabila dikaitkan dengan keimanan yang telah dipegang oleh seorang muslim dalam hidupnya. Paul Ekman berkata dalam sebuah bukunya, "sesuatu yang berat bukan berarti tidak bisa diperbaiki bukan?". Dalam hal ini, mempertahankan keimanan sungguh hal yang berat. Namun selalu ada banyak kemudahan [solusi] dibalik kesulitan yang datang menguji. [Al Insyirah: 5-6]. Allah memberikan kita sakit dan obat dalam waktu yang bersamaan. Tinggal kita berusaha jeli untuk memahami segala rahmat Nya dalam bermacam bentuk.

Keimanan terlalu global untuk dibahas singkat, saya akan mencoba membahas tentang batas pergaulan seorang muslim dengan non muslim agar lebih spesifik. Sejak SMP saya mengenal beberapa orang teman yang non muslim mulai dari Kristen, Katholik, atau Hindu. Kemudian pada masa SMA ketika mendapat teman yang nasrani sudah terbiasa melihat perbedaan agama sejak SMP. Saya tidak pernah berbincang soal agama, keyakinan, ibadah, atau perayaan bersama teman non muslim saya. Pertama karena saya belum paham dengan detail akidah. Yang kedua karena saya belum tertarik membahas urusan yang tidak umum dalam kehidupan sehari-hari saya. Pertemanan yang saya jalin terbilang biasa. Kami berada dalam satu kelas yang sama. Jajan ke kantin bersama. Mengerjakan tugas kelas bersama. Kami pun mengikuti kegiatan ekstrakurikuler bersama. Semua aktivitas tidak menemui kendala berarti dan tidak bermusuh-musuhan. Hanya saja ada teman saya yang agak jahil sehingga sering membuat jengkel jika tengah meledek atau menjahili temannya.

All iz Well kata Amir Khan dalam 3 Idiots. Masa SMA memberikan kesempatan memiliki teman non muslim lebih banyak dari SMP. Teman SMP yang non muslim kebanyakan melanjutkan SMA di Bandung, Purwokerto atau kota besar lainnya. Pengalaman berteman dengan mereka tidak menghadirkan masalah berarti. Kami berorganisasi bersama dan kenal dengan akrab. Meskipun saya tidak berteman dekat dengan mereka, hubungan kami baik dan mengalir.

Di Kampus da beberapa orang teman yang non muslim dan kami tidak terlalu dekat karena berbeda kelas. Saling sapa dan bekerja sama dalam mengerjakan tugas sudah cukup bagi kami dalam berinteraksi. Selebihnya kami lebih memilih teman-teman satu daerah atau yang merasa KLIK dengan kami. Banyak diskusi menarik dan menyenangkan dengan mereka sekalipun tidak membahas bagaimana kamu dan aku. Kami menganggap, diskusi semacam itu terkesan sensitif karena mempertajam perbedaan diantara kami. Daripada bergesekan pada isu sensitif lebih baik menghindarinya. Toh pertemanan kami terbatas keilmuan dan terjebak indah dalam satu jurusan yang sama.   

Perjalanan masa kuliah merupakan perjalanan fluktuasi iman yang luar biasa. Ada romansa penolakan, pertanyaan, keresahan, hingga pencarian hakikat islam, iman, dan ihsan. Ruhiyah yang compang camping bahkan hingga saat ini masih butuh suplemen khusus untuk menguatkannya agar senantiasa kokoh menopang hidup. Segala petunjuk memang hanya datang dari Allah, manusia berada pada wilayah memohon dan menangkap petunjuk yang diberikan kepadanya.

Semester tujuh saya memutuskan untuk pindah kos-kosan dari tempat yang lama karena berbagai alasan. Saya bukan orang yang tergolong pandai mencari tempat kos. Kebetulan ada senior yang sudah mendapatkannya. Saya kemudian meminta ijin untuk tinggal satu kamar dengannya. Kamar kos baru cukup luas, bersih dan nyaman. Ibu kos yang baru rajin sekali bersih-bersih. Kebetulan Ibu kos tinggal masih satu bangunan dengan anak kosnya yang berdampak pada terbebasnya kami dari kewajiban membersihkan teras dan sapu menyapu.

Saya tidak terlalu mempedulikan apa dia muslim atau bukan. Saya pikir sama saja. Yang penting perangainya baik dan mau berkomunikasi dengan saya. Banyak sekali yang muslim tetapi shalatnya sering bolong, tabiatnya tidak begitu bagus, atau memiliki kebiasaan buruk. Secara umum saya bisa berbagi kamar dengannya. Usaha untuk mengenal baik dengan orang lain apalagi orang satu rumah berhasil. Kami semua akrab dengannya. Makan, mengantri untuk mandi, mencuci, memarkir kendaraan dan sebagainya.

Teman-teman saya yang akhwat kebetulan tahu dengan kondisi tersebut. Respon mereka hampir seragam "Pindah Jiiill". Jika mereka kebetulan menginap, teman sekamar saya akan numpang tidur di kamar lain. Saya selalu mengatakan kepada akhwat tersebut kalau teman saya non muslim. Karena tidak lucu kalau mereka berteriak histeris melihat mushaf saya bersebelahan dengan injil sementara teman sekamar saya mendengarnya. Saya bertahan sampai senior tersebut akhirnya memutuskan untuk pindah kerja di daerah asalnya. Kebersamaan satu setengah tahun yang cukup berkesan bagi saya. Banyak aktivitas yang kami lakukan bersama. Tidak ada yang sulit untuk dijalani. 

Pertanyaan "Gak ke gereja mbak?" atau "Udaaah sana mandi, dandan yang cantik. Nanti telat ke gereja lho" sangat sering saya lontarkan. Makan bersama dan melihatnya menyalibkan tangan sebelum menyantap nasi membuat saya tertegun. Ah sial. Apakah saya serelijius itu sekalipun mengenakan rok lebar dan kerudung menutupi dada? Tamparan pertama. Iman seperti dicolek dan cukup memalukan bagi saya pribadi. Rasulullah mengajarkan doa sebelum makan kepada kita. Terlebih sering kita berdoa dalam keadaan tidak sempurna alias ala kadarnya sembari menyendok sana sini.  Astaghfirullah. Justru kita belajar banyak bukan dari saudara kita, melainkan dari orang lain yang justru berbeda keyakinan dengan kita. Itulah pembelajaran yang membekas.

Sangat sering kita melihat keimanan saudara kita dibeli dengan beasiswa pendidikan atau satu paket sembako. Tidak dapat ditampik bahwa hal itu terjadi di sekitar kita dan menimpa saudara kita yang lemah imannya. Keterbatasan ekonomi dan pemahaman iman yang terbatas membuat sebagian orang terambil hatinya untuk mengatakan tidak apa-apa atas agenda yang terselubung itu. Kita yang sudah tahu akan kemungkinan tersebut ada baiknya untuk menjaga jarak komunikasi jika merasa belum mampu untuk menghadapinya. Karena taruhan iman itu sungguh berat.

Lain lagi cerita untuk hal-hal yang banyak orang bilang agenda misionaris. Saya menanggapinya agak santai. Toh tidak sekentara itu sepertinya. Kami makan dikos bersama teman-teman yang lain. Kebiasaan untuk membeli perlengkapan memang bergantian. Adakalany Ibu saya membekali saya stok logistik jika pulang ke rumah. Kalau saya membeli stok logistik, kadang teman saya mengatakan tidak perlu. Disamping alasan jarak rumah-kos yang sangat jauh, rasanya merepotkan membawa yang bisa dibawa dari jarak yang lebih dekat. Akhirnya, saya jarang membelinya karena sudah di supply oleh teman saya.

Sebenarnya sepele dan semua orang bisa saja berbuat demikian. Apalagi keluarga teman saya ada yang muslim. Campuran begitu kondisinya. Ia bisa melafalkan surat Al Fatihah dengan baik. Namun saya selalu teringat pada misi gospel. Untukmu agamamu, untukku agamaku. Deal. Tidak ada kompromi untuk hal ini.

Sayangnya hidup tak sesederhana yang kita bayangkan. Segala aktivitas dapat terlibat satu sama lain. Bertemu dalam satu kelas, satu kantor, bahkan satu kamar seperti saya. Bertransaksi dalam perdagangan [jual-beli], pergaulan, atau sekadar berteman di jejaring sosial akan menimbulkan sebuah frasa "aku dan kamu".
Sejak melihat mushaf saya bersebelahan dengan injil didalam rak buku, sejak kalimat "gak ke gereja mbak?" atau sekadar melihat teman saya berhias didepan cermin, ada satu kesadaran yang mulai muncul. Kita bisa terbahak-bahak dengan mereka, makan bersama atau sekadar satu kelas. Namun keimanan semakin berteriak meminta batasannya. Ada batas yang tidak bisa kita tembus yaitu pengakuan Tuhan dan segala konsekuensinya. Banyak yang berkata tidak apa-apa toh kita tidak ditodong untuk mengakui Tuhan mereka. But, heey.. Justru disitulah celah yang seringkali kita sepelekan.

Satu minggu yang lalu teman saya menawari sebuah pekerjaan di salah satu yayasan. Kerabatnya bekerja disana sebagai kepala cabang yang tengah mencari partner kerja di cabang yang baru. Setelah berbincang tentang manajemen yayasan tersebut saya tertarik untuk mencoba merintis karir disana. Ada waktu dua hari untuk memikirkannya. Saya iseng membuka situs atau track record yayasan tersebut. Manajemen yang bagus dengan cabang di kota besar dan tema yang diangkat menarik. Tiba-tiba saya sadar tentang satu hal. Semua yang dirintis oleh kaum muslim tidak seperti ini. Saya tidak bermaksud under-estimate dengan kemampuan pengusaha muslim atau yang sejenisnya. Hanya saja, kaum muslim yang saya kenal belum mampu sehebat ini apalagi dalam urusan mengembangkan sebuah sistem. Rasa penasaran membuat saya bertanya pada kerabat teman saya. Benar saja, jawaban yang saya peroleh mematahkan harapan saya untuk memulai karir disana. Mungkin Kristen, mungkin juga Katholik. Saya langsung tolak tawaran tersebut meski kepala cabang sepertinya sudah respect sejak pertama kali bertemu dengan saya.

Dengan berbagai argumen, orang tersebut meminta saya untuk tidak diskriminatif terhadap orang non muslim. Bahkan menimbulkan perdebatan yang sangat saya hindari jika bertemu dengan orang. Saya tidak suka berdebat atau berbicara isu sensitif seperti itu. Apalagi dengan orang yang baru dikenal dua hari. Orang tersebut masih mengontak saya untuk bergabung bersama. 

"Sistem yang dibentuk oleh muslim tentu berbeda dengan non muslim. Hukum yang menjadi dasarnya bisa berbeda bahkan cenderung berbeda. Ketika hukum agama diinternalisasikan dalam kerja, pendidikan, atau aktivitas lainnya akan berakibat pada cara bergaul, pola pikir perilaku, sistem kerja dsb. Kalau ada pilihan untuk berpartner dengan siapa, saya memilih dengan saudara saya sendiri".

"Saya berharap bisa bekerja dengan saudara seiman saya, minimal mendukung sistemnya dengan membeli produk atau menggunakan jasanya. Lagi-lagi soal pilihan bukan? Dan setiap orang bertanggungjawab terhadap pilihannya masing-masing."
[jawaban yang saya berikan kepada orang tersebut]

Fiuh..
Sejak dinyatakan lulus akhir Agustus saya selalu berpikir tentang kemungkinan ujian semacam ini. Jika idealisme bertemu dengan realita akan melahirkan sikap baru dan nilai baru yang kita pegang. Saya menyebutnya pragmatis. Ya. Nilai-nilai ideal yang sudah saya pelajari di kampus menemui materi ujinya setelah menikmati gerbang luar kampus. Kita ingin berbuat ini dan itu tetapi kenyataan mengharuskan kita melakukan yang ini dan itu. Akhirnya benturan berulang semacam ini membuat kita semakin waspada dalam bertindak. Taruhan iman? Saya berpikir untuk cari aman daripada kehilangan iman perlahan.

Pergulatan batin tentang bagaimana kita bersikap terhadap saudara non muslim di luar sana akan terus terjadi selama komunikasi dengan mereka terjalin. Saya tidak menghindari kontak tersebut karena pada hakikatnya kita harus bisa bergaul dengan orang non muslim dalam banyak hal. Mungkin ini semacam keberuntungan atau tidak semua orang mengalaminya. Perenungan panjang saya kadang menggiring saya pada kebersyukuran yang dalam bahwa saya masih berada dalam lingkungan iman yang terjaga. Meskipun jarak antara ketaatan dan keengganan itu kadang membuat diri futur maksimal, nikmat iman adalah segalanya. .

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...