Indonesia yang multikultural mewariskan berbagai macam perangkat
hidup yang digunakan oleh setiap orang. Daerah yang satu dengan yang lain
memiliki bahasa, keyakinan, mata pencaharian, sistem pemerintahan, dan kesenian
yang berbeda. Tak jarang antara satu daerah dengan daerah yang lain ada
kemiripan. Apalagi untuk daerah perbatasan yang harus akrab dengan daerah
asalnya dan daerah tetangga.
Lebih dari 500 etnis dan suku berkembang di Indonesia. Semuanya
memiliki nilai hidup yang luar biasa beragam. Selama ratusan tahun suku
tersebut hidup berdampingan dengan memegang keyakinan masing-masing. Ada yang
beberapa kali menunjukkan ketidakcocokan hingga menimbulkan perang antar suku.
Namun lebih banyak lagi yang lestari dalam sistem hidup yang mereka jalani sejak
ratusan tahun bahkan ribuan tahun silam.
Suku-suku besar terpelihara dengan sistem adat yang kuat.
Sementara yang lemah sistemnya akan tergerus oleh globalisasi hingga kehilangan
jati diri. Suka atau tidak suka, tantangan perkembangan jaman mengharuskan kita
menunjukkan "siapa kita" diberbagai kesempatan. Keyakinan dalam
memegang teguh adat istiadat, nilai, dan sistem hidup yang kuat akan melahirkan
kebanggaan sebagai bagian dari sebuah suku. Yang lemah akan hilang, sedangkan
yang terlampau kuat melahirkan sikap sukuisme.
Keluhuran budi yang diwariskan oleh
generasi terdahulu mengajarkan keseimbangan hidup dengan menghormati sesama,
menyayangi mahluk hidup lain, dan menjaga alam lingkungan. Semua orang
tua/tetua mengajarkan kebaikan serupa dengan cara yang berbeda-beda. Mereka
tidak mengajarkan anak-anak untuk bangga berlebih. Kita diajarkan untuk
menjaganya agar tetap digunakan untuk menunjang kebutuhan hidup. Apa yang
disebut sukuisme itu lahir karena nilai-nilai hidup yang disampaikan tetua
tidak sampai kepada generasi selanjutnya dengan baik. Ada banyak faktor yang
mempengaruhi ketidaksempurnaan pewarisan nilai tersebut.
Sukuisme itu tidak bisa dihindari sekalipun
kita berusaha untuk netral dalam komunikasi antarbudaya. Jika dikaitkan dengan
pemerataan kesejahteraan dari pemerintah akan lebih beragam lagi reaksi yang
terjadi dalam masyarakat. Ada yang menganggap diri anak tiri karena tidak
diperhatikan secara serius. Ada pula yang merasa pemerintah telah melakukan
porsinya dalam menyikapi suatu bencana atau persoalan.
Saya memiliki beberapa orang teman dan bertemu dengan orang yang
berasal dari suku berbeda. Pertama kali bertemu, mereka nyaman dan senanng
berkenalan dengan orang Jawa yang tinggal di Jawa. Dengan segala akses dan
fasilitas hidup yang saya miliki, mereka lebih menghormati saya meskipun saya
tidak sepintar dan sebaik mereka. Untuk hal-hal umum mereka respect
secara wajar. Namun ketika membicarakan hal sensitif seperti biaya hidup,
pemerataan ekonomi, infrastruktur, akses dan fasilitas mereka membentengi diri
menjadi lebih bernuansa 'kami' dan 'kalian'.
Saya tidak menganggap sedang berlebihan atau sentimentil
terhadap komunikasi yang kami jalin. Hanya saja nuansa ‘kami’ dan ‘kalian’
begitu terasa sekalipun kami tidak menyinggungnya. Komunikasi antarbudaya
memang cenderung rawan konflik jika tidak disikapi dengan bijak. Persepsi,
konsep diri, ilmu pengetahuan dan wawasan serta kebiasaan-kebiasaan yang
berbeda akan menghadirkan karakter yang berbeda pula.
Tantangan masyarakat multikultural di era global tidak hanya soal
sukuisme. Masih ada banyak hal yang bisa dijadikan isu bersama untuk dihadapi
secara bersama-sama pula. Salah satunya yaitu upaya untuk menjaga setiap nilai-nilai
luhur yang kita miliki agar tetap lestari. Sekalipun berbeda budaya, apabila
niat awal menjaga nilai tersebut tentu usaha yang diperlukan tidak jauh berbeda
antara budaya yang satu dengan budaya yang lain. Misalnya dengan mengadakan
festival bersama yang menampilkan hasil budaya setempat.
Backsound Rasa Sayange By Ten2five
Tidak ada komentar:
Posting Komentar