Assalamu'alaikum Jakarta,
Subhanallah, walhamdulillah, lailaa hailallah, Allahu akbar.
Seperti film yang diadaptasi dari sebuah novel karya Asma Nadia
berjudul Assalamu'alaikum Beijing, hijrah ke ibukota bukan hal yang luar biasa
karena memang sudah terbiasa bolak balik dalam berbagai urusan. Kendati
demikian, novel yang sempat saya lirik dalam kamar sebelah saat kos di Sekaran
belum juga dilahap habis. Tentang Jakarta, tidak lagi asing. Meski belum akrab
dengan setiap sudut jalanan sempitnya. Aura dari ibukota sudah dapat diterima
akal sehat dan banyak pemakluman. Untuk berapa lama? Adakah yang bisa menebak
akan kemana kaki ini ditapakkan lagi setelah peristiwa demi peristiwa datang
karena kehendak Nya?
Hijrah memiliki tempat tersendiri bagi setiap muslim. Nabi saw
berhijrah dari kehidupan yang jahiliyah di Arab kepada nilai-nilai Islam. Kemudia
beliau hijrah dari Mekkah ke Madinah setelah melihat situasi yang kurang
menguntungkan bagi dakwah. Sekalipun toh kembali lagi dalam sebuah kemenangan
merebut Mekkah. Poin manis dari hijrah adalah adanya suatu keinginan untuk
berubah lebih baik. Kita lihat, hijrah dari tanpa hijab kemudian berhijab.
Kerudung kepada jilbab. Semuanya memang membutuhkan perenungan dalam proses
menemukan keputusan untuk hijrah. Ada yang harus melewati ujian berat, ada pula
yang cukup menimbang untung rugi dari hidup yang memilih untuk menetap. Hijrah
dalam sesi hidup kali ini, memiliki harapan yang lebih dari sekadar berubah
dalam rupa fisik melainkan juga psikis yang lebih baik dalam pandangan Nya.
Di sudut ruang ada satu perenungan untuk yang ditinggalkan
seperti keluarga dan teman di rumah. Keluarga yang harus kembali berjauhan
dengan anak. Teman yang bersliweran dalam keseharian. Sisi melankolis begitu
saja meluap. Mendadak sedih dan bahagia dalam satu waktu. Semarang yang sudah 5
kali putaran bumi mengelilingi matahari didiami harus ditinggalkan pula.
Momentum mencari hidayah, ilmu, pengalaman dan teman di kota Atlas sudah jadi
kenangan yang sungguh masih hidup sampai detik ini. Dengan durasi yang cukup
lama itu, agaknya jutaan pemikiran telah tertuang dalam kolong langitnya. Kini
tinggal aksi untuk membuktikan pemikiran sederhana ala mahasiswa.
Inilah hidup. Disini saya menghirup udara, makan dengan
lahapnya, berangkat pagi-pagi buta dan layaknya orang lain yang sama-sama
merantau, kami harus bersikap sebaik-baik perantau. Beriktikad untuk menabung,
membeli buku-buku baru, mengirimi orang tua sepersekian gaji atau menikmati
masa-masa kerja. Mencintai setiap hal yang berada di Jakarta memang membutuhkan
waktu. Apalagi Semarang begitu indah untuk urusan apapun. Dari sini dan hari
ini, akan selalu ada harapan untuk hidup yang lebih baik dan bijak.
Tentang cinta, dalam kardus kecil itu semua harap dan khilaf
telah tersimpan. Semuanya telah ditutup untuk mengakhiri masa-masa
menjengkelkan. Saya pikir, it's just the
beginning, this isn't the end. Saya mengakhirinya untuk memulai bagian yang
lebih dewasa dan bijaksana.
Menanti adzan 'Isya
@Jakarta