Senin, 31 Juli 2017

The Power of Saying NO

Setiap orang pernah berada dalam kondisi tidak bisa mengiyakan permintaan orang lain. Dalam kehidupan yang serba mudah tanpa disadari, rasa tidak enak kepada teman sejawat atau atasan seringkali membuat kita melakukan hal-hal yang tidak kita kehendaki. Diantaranya adalah hange out ditengah kondisi keluarga tengah berhemat atau membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan karena dipaksa teman. Patti Breitman dan rekannya pernah membuat terbitan dengan judul 'How to Say No Without Feeling Guilty' yang berisi tentang salah satu bentuk assertive training. Mereka memberikan inspirasi dan masukan agar seseorang dapat menolak sesuatu yang tidak sesuai dengan dirinya tanpa merasa bersalah dan tidak enak kepada orang lain. Tulisan ini membuat kita sadar bahwa mengatakan TIDAK bukan berarti sebuah bencana bagi suatu hubungan.

Kata TIDAK merupakan hal yang sangat sulit dilakukan terutama bagi mereka kaum melankolis. Mengapa sulit? Karena kata TIDAK memiliki kekuatan yang membahagiakan dan membahayakan. Kita bahagia jika menolak ajakan teman untuk makan siang ditengah masa berhemat. Dikatakan membahayakan karena kata TIDAK berpotensi menyakiti perasaan orang lain yang berharap kepada kita.

Meskipun memiliki dua sisi berkebalikan, adakalanya kita harus mengatakan TIDAK agar kita dapat menyelesaikan urusan yang lebih mendesak untuk dilakukan dan itu dianggap lebih membahagiakan daripada harus melakukan sesuatu tanpa perasaan ikhlas. Apabila kita melakukan sesuatu dengan terpaksa, kita menjadi terbebani oleh hal tersebut. Makan siang yang semestinya mampu mengembalikan energi justru menambah hal yang tidak diinginkan. Dengan mengatakan TIDAK, kita dapat memangkas segala kesibukan, menciptakan waktu luang dan kepuasan untuk melakukan target kita.

Sekalipun saya belum menemukan penelitian yang mendukung, namun kata TIDAK menjadi bentuk penolakan paling sarkas dan jahat bagi sebagian orang. Dibalik anggapan jahat tersebut, kita tentu memiliki alasan yang masuk akal. Pada prinsipnya sesuatu yang dikerjakan dengan penuh keikhlasan akan berbuah manis. Seperti kita dengan senang hati memberikan sebagian bekal makan siang kita kepada teman sebelah. Kita menjadi lebih akrab dengan mereka dan berpeluang membuka hubungan yang lebih berkualitas. Mengatakan TIDAK pun harus diungkapkan dengan tegas. Kita tidak boleh plin plan dalam menolak. Penjelasan yang masuk akal akan membuat orang lain merasa fair.

Breitman memberikan masukan  bermanfaat bagi mereka yang ingin belajar mengatakan TIDAK dengan lebih baik. Ada 5 hal yang harus diperhatikan agar kita lebih siap mengatakan TIDAK. Kelima hal tersebut yaitu:
1. Semua orang pasti pernah kecewa.
2. Belajarlah untuk menerima jawaban TIDAK.
3. Belajar dari orang lain.
4. Katakan saja.
5. Tirulah orang lain sampai bisa.
Nah, awalnya memang sulit dilakukan. Akan ada rasa canggung, tidak enak hati, takut dan perasaan semacam itu. Tetapi kita bisa memilih untuk terus belajar. Semakin kita memahami konsepnya, kita lebih siap untuk melatihnya step by step.

*tulisan ini sepenuhnya hasil dari membaca dan mengambil poin besar, kalau terasa sangat text book saya mohon maaf :)

Kamis, 27 Juli 2017

Pesan Kematian

Ketika sedang melihat timeline twitter ada sebuah postingan yang menyebut kamboja. Bunga yang lebih akrab dilihat orang didaerah pemakaman ini memang yang saya maksudkan. Siapapun akrab dengan bunga cantik berwarna putih dengan aksen yang berbeda-beda. Ada yang putih dengan aksen kekuning-kuningan. Ada pula yang putih dengan aksen merah muda. Keduanya sama menawannya. Apalagi jika di potret oleh fotografer profesional. Kamboja yang teronggok di atas tanah basah pun mampu membuat mata terpana. Tidak hanya di area pemakaman, kamboja dapat ditemukan di taman-taman kota atau taman bunga.

Di Ende, Flores saya melihat bunga kamboja di sebuah rumah di depan gang basecamp. Satu pohon kamboja yang berguguran bunganya membuat diri merasa terbawa suasana. Penampakan pohonnya berbatang keabu-abuan seperti kering tapi masih bisa tumbuh dengan baik. Daunnya yang hijau lebih sering rontok dan menyisakan bunga yang berjatuhan setiap hari. Saya tidak tahu filosofi bunga kamboja di pemakaman. Sebagian besar pengurus pemakaman muslim di Indonesia menumbuhkan kamboja di banyak sudutnya. Kami menyapa yang punya rumah dengan panggilan No'o. Dalam bahasa Indonesia kita biasa memanggil Bibi, Bulek, Budhe atau Tante pada nyonya rumah. No'o selalu menyapa tiap saya berangkat ke sekolah. Pun ketika saya pergi atau pulang dari bepergian. Beliau ramah dan sering menawari kami untuk mampir sambil mengobrol.

Dibawah kamboja No'o ada makam yang setiap hari kami lewati. Letaknya cukup strategis, di halaman rumah yang tidak memiliki taman atau tanaman lain kecuali kamboja tersebut. Setiap hari kami melewatinya dan melihat kamboja yang bunganya berjatuhan di atas makam. Sesekali pikiran berkelana memikirkan mati ketika melihat bunga-bunga itu berserakan di tanah. Kamboja adalah pengingat kematian. Bahwa segala yang hidup akan mati pada akhirnya seperti gugurnya bunga dan daunnya yang sudah layu. Manusia akan mati. Tanpa tahu kapan, dimana dan bagaimana.

Pertama kali melihat makam dipekarangan rumah, kami sempat parno. Antara berpikir bahwa hal tersebut aneh dan perasaan takut akan kejadian-kejadian mistis. Setelah melihatnya ada di sebagian besar rumah warga, kami mulai terbiasa. Meskipun ada rasa was was ketika mendengar upacara kematian di sebelah rumah saat bertandang ke salah satu kampung. Lonceng Romo begitu nyaring di telinga saat prosesi pemakaman. Perbedaan keyakinan tidak meluluhkan rasa aneh dalam diri. Kami tidak mengimani apa yang mereka yakini. Mereka pun demikian. Hanya saja, yang namanya kematian tetaplah kematian. Menjadi pengingat setiap yang orang bahwa hidup akan diakhiri dengan mati.

Saya berkesempatan mengunjungi Kampung Wolotopo yang 100% Katholik. Jaraknya cukup dekat dari kota kabupaten yaitu sekitar 15 menit perjalanan menggunakan sepeda motor. Kami melihat makam di teras rumah, di samping rumah atau di pekarangan. Bentuknya pun sudah dibuat sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk duduk-duduk di kala siang hari. Nisannya ada yang dihias dengan keramik warna warni dengan gambar Bunda Maria ditengahnya. Ada pula yang polos dan cukup menggunakan adukan semen. Awalnya merasa kikuk untuk duduk bercengkrama diatas makam sesepuh. Karena mereka terbiasa dan menganggapnya tidak apa-apa, kami pun berusaha tidak kikuk lagi.

Lain di Ende, lain pula di Tana Toraja. Saya menginap di rumah seorang kenalan selama 2 minggu di Enrekang yang kebetulan keturunan Toraja, Sulawesi Selatan. Sambil menanti datangnya Idul Fitri, keluarga teman saya berbaik hati membawa saya ke Toraja. Kunjungannya hanya satu malam dan berpesiar hanya ke bukit Yesus dan pasar tradisional di Makale. Tana Toraja memiliki pemandangan yang menakjubkan. Sejuk dengan hutan tropis di kanan kiri. Selain itu persawahan yang menguning begitu semarak menyambut siapapun yang datang. Rumah khas orang Toraja bernama tongkonan yang secara khusus digunakan untuk menyimpan jenazah keluarga. Teman saya berkata 'kami susah payah kerja hanya untuk mempersiapkan upacara kematian'. Ternyata upacara kematian tidaklah semurah yang dibayangkan. Butuh ratusan juta untuk mengurus jenazah keluarga sampai benar-benar dimakamkan. Adik teman saya menceritakan bahwa jenazah kerabat yang baru meninggal disemayamkan selama berhari-hari didalam rumah. Sebelum disimpan di dalam tongkonan atau sembari menunggu upacara kematian kolektif yang diselenggarakan masyarakat adat setempat.

Setelah melihat makam di teras rumah di Ende, kemudian melihat tongkonan yang diperuntukkan bagi jenazah keluarga di Tana Toraja, saya merasa begitu relijiusnya masyarakat kita. Kita betul-betul memaknai kematian sebagai tahap kehidupan yang sakral. Diiringi dengan doa-doa memohon ampunan dan upacara yang khidmat, kita diminta untuk sadar akan panjangnya proses kehidupan. Bahwa setelah kematian, ada masa untuk benar-benar menghadap Tuhan yang Maha Pencipta. Mereka yang telah pergi meninggalkan kita selalu membawa pesan 'innalillahi wa ina ilaihi roji'un' — sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan hanya kepada Nya lah kami kembali — Bagaimanakah kita yang masih hidup menerima pesan itu? Semoga ibadah dan doa-doa yang kita panjatkan diterima Allah yang Maha Rahiim.

Jumat, 21 Juli 2017

Undangan dan Mengundang

Pagi ini pembicaraan seputar kabar pernikahan sedikit menggelitik di akal pikiran. Saya menanyakan perihal undangan dari teman SMA kepada teman sebangku. Awalnya dia bertanya-tanya kemungkinan alasan tidak diterimanya undangan tersebut. Bisa jadi calon mempelai tidak mengundang semua teman satu kelasnya karena sedang merantau. Atau sebab lainnya seperti lupa karena persiapan pernikahan menyita banyak energi dan pikiran. Setelah berkelakar ini itu dan memikirkan hal lain dia merasa bersyukur. Jatah 1 undangan tersalurkan untuk susu anak. Dia lebih realistis mengira bahwa calon mempelai tidak tahu dirinya sudah kembali ke kampung halaman.

Yang mengganjal adalah pesta pernikahan seorang teman sekelas yang simpang siur kabarnya. Yang ditanya tidak pernah menjawab dengan pasti kapan waktunya. Selalu menghindar dan menyediakan jawaban yang menyebalkan. Akhirnya teman saya gondok sambil mengomel di chatt yang dia tulis. Entah karena dia menganggap pertemananya cukup dekat atau hanya ingin tetap berinteraksi (*eksis) dengan teman sekolah.

Dua pernikahan yang merupakan kabar bahagia bagi teman sekelas seyogyanya menjadikan komunikasi lebih berkualitas. Dimana kabar satu teman menjaga keberlanjutan percakapan di grup sosial media. Masa sekarang ditandai dengan kabar pernikahan. Sesekali diselingi wajah-wajah lucu menggemaskan dari mereka yang menikah lebih dulu. Akan ada masanya dimana setiap orang unjuk kesuksesannya. Si A sudah membeli kendaraan roda empat. Si B sudah mengantarkan anaknya masuk SD. Si C, Si D dan seterusnya.

Kembali lagi kepada jengkelnya teman sebangku saya. Rasa jengkelnya ibarat dalam kisah percintaan disebut 'bertepuk sebelah tangan'. Dimana seseorang yang ingin menunjukkan perasaannya ternyata ditolak. Sakit? Tentu. Tetapi apakah itu akan menghambat hidupmu? Saya pikir kita akan melupakan hal-hal yang tidak terlalu penting bagi kita. Ditolak tidak selalu hadir dalam percintaan. Dalam keluarga, ada anak yang ditolak orangtuanya saat meminta dibantu mengerjakan PR. Di sekolah, ada murid yang dibiarkan begitu saja ketika kelakuannya diluar kendali. Di tempat kerja, ada teman yang berusaha join dengan kelompok tertentu tetapi selalu diacuhkan dan tidak pernah dimintai pendapat. Penolakan selalu ada disekitar kita. Kapanpun dan dimanapun. Pada kasus teman saya, dia ditolak calon mempelai (*sebenarnya sudah akad nikah) dengan tidak memberinya kabar berita pesta pernikahan.

Berhubungan dengan teman memang ada tingkat kedekatannya. Ada yang hanya kenal nama. Ada pula yang setiap hari chat di handphone. Ada yang rela datang jauh-jauh untuk mengunjungi temannya. Ada pula yang tidak saling bertemu meski satu kota.

Kekecewaan teman saya karena tidak diundang dan tidak dianggap sebenarnya wajar. Dia memandang 'kita teman, sudah selayaknya saling memberi kabar. Apalagi ini berita besar. Apa salahnya mengirim undangan walau via inbox?'. Dia sangat menghargai undangan dari temannya. Sesederhana apapun pesta pernikahan yang digelar. Dia merasa senang bertemu dengan teman lama sambil bercengkrama tentang kehidupan sekarang.

Teman semacam ini layak dipertahankan sampai kakek nenek. Mereka tidak menetapkan standar yang tinggi dalam pertemanan. Bahkan cenderung royal. Kelemahannya mungkin rasa kepemilikan yang terlampau besar. Sehingga hal mengecewakan baginya akan dianggap sesuatu yang besar dan penting. Padahal ini hanya pesta pernikahan. Hidup akan terus berlanjut. Akan ada anak-anak yang lahir. Kemudian masa kanak-kanak hingga mereka menikah.

Orang yang menikah punya harapannya masing-masing mengenai konsep pernikahan mereka. Teman sekelas yang lain tidak mengadakan resepsi. Yang lain rela mengadakan pesta yang wah demi momen sekali seumur hidup. Perihal undang mengundang pun demikian. Ada kendala teknis seperti lupa, terlalu sibuk dengan waktu yang mepet atau mereka tahu teman-temannya tidak ada dirumah. Perkara yang sederhana bukan?

Ini bukan perkara yang hebat lagi prinsipil. Setiap hari kita mungkin menjumpainya disekitar rumah. Namun kita bisa memilih untuk menganggapnya sebagai bumbu kehidupan. Ada bumbu yang pedas menggoda. Ada yang manis menggigit. Semuanya enak. Kita diminta untuk menikmatinya. Jangan sampai terlalu banyak cabai yang akhirnya membuat perut mulas atau terlalu banyak gula yang akhirnya terkena diabetes. Na'udzubillah.

The last, semoga mereka yang menggenapkan separuh keimanan bisa menggenapkan separuh keimanan lainnya dengan taqwa yang sebenar-benarnya serta sakinah mawaddah dan warahmah kehidupan rumah tangganya. Aamiin allahuma aamiin

Rabu, 19 Juli 2017

I am Not Running Again

Sore ini Fina merengek lagi tentang roomate-nya. Kejengkelannya sudah dipendamnya sejak 6 bulan yang lalu. Ia memiliki teman seruangan yang dianggapnya tidak peka dan hedonis. Alih-alih menarik meja untuk diskusi dengannya, ia memilih untuk kabur atau tetap berada diluar ruangannya sampai benar-benar harus pulang.

Hal ini sangat mengganggunya meski bisa dihindari. Umpamanya kita takut tikus yang memasuki lemari, kita justru menutup rapat dan mengunci lemari tersebut. Kemudian memilih pergi. Bukankah itu tidak membantu sama sekali? Mengapa tidak meminta tolong orang lain untuk memeriksa isi dalam lemari? Atau kita bisa sok berani dengan mengeluarkannya dari sana.

Ditengah kehidupan yang serba mudah dan praktis ini orang-orang lebih memilih jalan yang mudah dilalui. Tidak peduli apakah lebih efisien atau tidak. Tidak mau tahu apakah solutif atau destruktif. Kebanyakan dari kita tidak mau repot menggunakan akal pikiran, tenaga dan waktu untuk menyelesaikan sampai tuntas masalah yang ada.

Fina memilih kabur dan menghindari masalahnya dengan dalih 'tidak mau merusak hubungan yang sudah ada'. Dengan begitu, ia malah menyiksa dirinya sendiri. Ia sadsr bahwa kejengkelannya logis bahwa ketidakpekaan roomate-nya membuat Fina tidak nyaman. Sayangnya, ia memilih 'mundur sebelum bertanding'.

Bagaimana kita hendak membangun sebuah hubungan jika enggan bersikap terbuka? Saling menyapa, pinjam meminjam barang, bertukar cerita, berbagi makanan atau bepergian bersama adalah tanda kedekatan hubungan. Itu pola yang sehat dan dianjurkan. Apabila kita merasa tidak nyaman dengan sesuatu hal, kita bisa mengutarakannya melalui instant messaging, berbicara langsung atau mediasi dengan pihak ketiga. Ketakutan akan retaknya hubungan memang manusiawi. Kita cemas dengan resiko bahwa mereka tidak mau berteman lagi. Kita juga cemas dengan ketidaknyamanan yang ada. Satu hal yang pasti adalah kita tidak bisa memaksakan setiap kondisi akan berjalan baik-baik saja. Akan ada masanya silang pendapat. Pertengkaran itu hal yang lumrah. Dalam sebuah pertemanan kita selalu belajar lebih tahu tentang mereka. Selanjutnya kita akan belajar untuk memahami bagaimana seharusnya sikap kita setelah mengetahui karakter mereka. Hal itu terjadi sepanjang waktu. Suka atau tidak suka.

Ah iya. Ada pertanyaan yang tiba-tiba menggelitik dalam kepala.

'Seberapa jauh kamu menghargai mereka sebagai teman? Apakah kamu mendengarkan ocehan tidak penting dari mereka? Apakah kamu menyapa mereka, menawari cemilan, mengajak hange out?'

Saya pikir semua hal kembali pada diri kita. Bagaimana kita memandang sebuah hubungan, bagaimana menjaganya, dan bagaimana kita menempatkannya dalam hirarki prioritas.

Fina tidak menyatakan dengan terang-terangan bagaimana pandangannya terhadap suatu hubungan. Namun ia merasa telah menjadi korban. Siapa yang akan nyaman dengan perlakuan dianggap remeh, diacuhkan dan tidak dihargai? Dalam 6 bulan kedepan Fina akan tetap bersama roomate-nya. Saya tidak tahu tindakan apa yang akan diambilnya jika temannya tidak berubah. Saya harap dia tidak lari (*lagi) darinya dan lebih bijaksana dalam menghadapinya.

Tetap semangat Fina.

*Namanya disamarkan ya demi kebaikan bersama 👒

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...