Jumat, 13 April 2018

Memiliki Anak

Di sebuah komentar akun twitter yang muncul di timeline saya, seorang perempuan dengan tenang menyatakan bahwa dirinya tidak ingin memiliki anak meski usia pernikahannya sudah 5 tahun. Detik pertama saya terdiam, meresapi setiap kata demi kata perempuan tersebut. Tidak ada yang salah. Muncullah berbagai asumsi dalam kepala saya. Rasa penasaran membuat saya scroll komentar lain yang jumlahnya puluhan. Membaca komen demi komen begitu nano nano. Antara yang support dan menyayangkan cukup imbang. Namun selalu ada doa yang menyejukkan diantara itu semua.

Menyalin kalimat dari seorang penulis, "Orang tua sudah selayaknya tidak mewariskan luka batin kepada anak-anak mereka". Anak-anak yang lahir sudah semestinya mendapatkan kasih sayang, didikan dan asuhan yang tepat dari orang tua mereka. Bukannya bentakan, tuntutan atau pelampiasan emosi yang timbul dari pengalaman sehari-hari. Sebagai orangtua, kita tidak dapat terlepas begitu saja dari pegalaman masa lalu. Bagaimanapun pengalaman tersebut membentuk karakter kita. Ada kesedihan, kekecewaan, kehilangan, ketidakberdayaan, dan sebagainya yang turut serta dalam batin setiap orangtua. Ada yang berhasil menerima pengalaman tersebut menjadi bekal yang berguna bagi kehidupan mereka sekarang. Sayangnya ada yang belum berdamai dengan luka batin mereka hingga masanya memiliki keturunan.

Perempuan tersebut sudah menikah selama 5 tahun dan berkomitmen dengan pasangannya untuk tidak memiliki anak. Keduanya baik-baik saja hingga hari ini. Bahagia dan tenang dengan pandangan hidup yang mereka miliki. Mereka tidak mengatakan "tidak ingin memiliki anak sendiri". Mungkin nanti ada saatnya mereka ingin punya anak.

Pro kontra komentar yang menanggapi sikap mereka di dunia nyata begitu nyaring terdengar. Ia menyadari bahwa komentar tersebut tidak bisa tidak mereka dengar. Selalu ada celah untuk memandang mereka sebagai pihak yang aneh, salah atau gak lumrah. Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, keduanya hidup harmonis. Tidak ada tuntutan untuk segera memiliki anak. Ketika saya mencoba untuk bergabung dengan netizen lain, ia menanggapi dengan santai dan terbuka. Mungkin sudah terbiasa dengan doa dan cibiran meski tidak sedikit yang menyemangati atau mendukung.

Anak adalah wewenang mutlak dari Allah. Cerita tentang penantian anak selama belasan tahun banyak tersebar didunia maya. Sungguh kesabaran yang luar biasa bagi mereka yang tetap bersyukur dan bahagia dalam menanti seorang buah hati. Teman-teman saya beruntung karena lekas memiliki anak dalam setahun dua tahun pernikahan mereka. Apakah mereka sudah siap? Saya tidak tahu. Semoga siap dengan tanggungjawab sebagai orangtua untuk mendidik dan mengasuh dengan sebaik-baiknya.

Bila perempuan tersebut merasa belum siap, banyak orang yang belum siap tetapi berani untuk mengikhtiyarkan punya anak. Apakah mereka berpotensi mewariskan luka batin kepada anak mereka kelak? Kita tidak pernah bisa menebak apa-apa yang diluar kuasa kita. Orang yang berkata siap, belum tentu benar-benar siap tetapi mereka berani. Orang yang berkata belum siap pun mungkin justru jauh lebih siap menghadapi segala macam konsekuensi. Mbak-mbak yang dipanggil Kak Cib memandang bahwa pernikahan bukan tujuan, melainkan cara. Untuk hidup lebih bahagia dan bermakna. Menyadari setiap keputusan yang diambil menjadi begitu penting bagi pasangan, mbak Cib berhasil mengkomunikasikan pandangannya kepada suami. Well, mereka menikmati hidup tanpa harus memenuhi tuntutan masyarakat yang memang belum menjadi kebutuhan mereka berdua.

Be a wise 🙏

KEINGINAN

Pernah suatu kali pengen es cendol. Pengennya banget. Trus ada ide buat lobby pikiran sendiri "Besok lagi aja beli cendolnya" padahal baru lihat abang² jual cendol seger banget. Sampai sekarang beli es cendolnya belum kesampaian.

Pernah juga sampe kepikiran berhari-hari pengen pisang. Parahnya tiap hari lewat abang² jualan pisang (*impor) di pinggir jalan. Berkali² lihat pisang yang ditata abangnya, gak pernah sampai pada dialog "Bang pisangnya berapaan?" Sampai suatu sore mau pulang, atasan whatsapp "Bu, itu ada pisang di loker depan ruang saya. Buat Ibu aja ya" Terharu. Berasa baru dapet tiket ke Old Trafford. Yeay!!!!

Lobby pikiran itu berhasil sekalipun diiringi dengan ngiler² drama kalau lihat cendol atau pisang. Kalau ada yang bilang "Pie, cendol atau pisang kan paling 10000 doang". Please, ini bukan soal nominalnya. "Pie, tinggal beli aja. Gak pake berantem juga kan sama Abangnya?". Haha, yang ada ngobrol asik tauu sambil dirayu "Neng, melonnya sekalian atau buah naganya?" Asooooy. Godaan kan?

Dan sederet pengen² lainnya yang bikin shock sendiri. Are you sure? Apa sih yang gak dipenginin manusia? The point is how to manage our "pengen" terealisasi sesuai dengan urgensinya. Jika berhasil dengan yang kecil², kita berpeluang berhasil terhadap pengen yang lebih besar. Ini bukan soal kemampuan, andaikan mampu beli mobil sport ya beli aja. Bukan. Misalnya, gue pengen nikah. Seada-adanya calon dan restu orangtua, gak langsung saat itu juga kan menikah. Karena tidak semua keinginan kita bisa terwujud. Ada banyak faktor dan aktor yang mempengaruhi perwujudan keinginan kita. Lagi, kita hidup tidak hanya untuk memenuhi keinginan yang kadang semu alias bawaan suasana atau bawaan perasaan. Aku ingin ini ingin itu banyak sekali..

Terus gue kalau pengen makan nasi uduk pagi ini kudu nunggu seminggu kemudian? 😱😨

In the world like ours, ada keinginan yang memang tidak perlu diwujudkan atau dikejar sebegitu kerasnya. Pun ada keinginan yang sudah selayaknya diperjuangkan sebagaimana mestinya. Tinggal bagaimana kita menempatkan tingkat urgensinya agar tidak terdistorsi oleh keinginan yang semu.

Happy Friday!!

Kamis, 12 April 2018

SAYANG ANAK

Kemarin siang saya melihat tayangan yang mewawancarai Anggun C Sasmi di stasiun TV swasta. Eksistensi Anggun di dunia musik sudah tidak diragukan masyarakat. Lagu-lagunya pun dinikmati masyarakat dunia. Sebagai perempuan yang berdarah Indonesia, Anggun menjadi kebanggaan tersendiri bagi penikmat musik tanah air. Karir yang mulus ternyata tidak sejalan dengan kehidupan pribadinya. Ia jatuh bangun membangun bahtera rumah tangga hingga kini pernikahannya yang keempat.

Dibalik suka dukanya menjalani kehidupan sebagai penyanyi, ada statement Anggun yang memikat saya. Presenter yang luwes mengulik kehidupannya bertanya tentang putrinya yang sudah remaja. "Aku gak mau membebani dia dengan status aku yang seorang artis. Dia gak pernah aku foto kelihatan mukanya. Kadang aku foto dari belakang atau aku tutup pake sesuatu. Aku gak mau mengganggu kehidupan pribadinya dengan ketenaran ibunya". Saya merenungi kalimat itu cukup dalam. Banyak artis yang memposting tingkah menggemaskan anak mereka bahkan sampai live siaran infotainment saat melahirkan. Setiap fase perkembangan tidak pernah luput dari sorotan media. Meskipun tidak sedikit yang agak tertutup perihal kehidupan anak mereka.

Apakah setiap anak yang terlahir dari public figure, artis, pengusaha terkenal atau pejabat publik mendapatkan beban psikologis yang lebih berat ketimbang teman-temannya yang lahir dari kalangan biasa? Apakah anak tersebut memiliki beban atau tanggungjawab yang lebih besar untuk menjaga nama baik orangtunya ketimbang mereka yang orangtuanya berstatus sosial bukan sorotan media? Apakah mereka terbatasi gerak geriknya karena selalu tersorot kamera dan rentan gunjingan masyarakat?

Sudah menjadi tugas anak untuk menjaga nama baik orang tua dan keluarganya. Anak-anak menjadi representasi dari cara hidup orangtuanya. Jika orangtuanya pejabat publik, masyarakat meletakkan peran tambahan yang harud dilakukan anak yaitu berprestasi dimanapun ia berada. Hal ini menjadi berat jika penanaman karakter kepada anak terganggu dengan sibuknya orangtua pada karir mereka. Anggun menyadari statusnya sebagai publik figur yang dituntut masyarakat agar tanpa cela dalam bersikap dan mendidik anak. Ia mampu melakukan pencitraan bagi dirinya sendiri. Akan tetapi ia tidak ingin anaknya merasakan beban tersebut. "Kamu gak harus gitu, kamu bebas berekspresi seperti remaja lain diluar sana. Jangan terbebani dengan status ibu".

Selera dalam mendidik anak tidak sama antar satu orang dengan orang lain. Kita melihat Anggun begitu menjaga privasi anaknya agar tumbuh berkembang tanpa batasan sosial yang tidak perlu menurutnya. Bagaimana dengan orangtua lain? Tidak sedikit mereka yang suka membagikan foto-foto anaknya dan bagaimana tumbuh kembang mereka. Itu sah saja. Toh anak sendiri yang mereka (*dapatkan dan) besarkan susah payah. Kita bisa melihatnya sebagai bentuk syukur dan perwujudan rasa bahagia. Sejatinya saya pun bahagia melihat wajah polos merah menghias timeline.

😄

*Ditulis 7 April 2018

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...