Minggu, 24 September 2017

Listen First

Sebuah baliho besar di pinggir jalan Kabupaten Ciamis menarik perhatian saya. Pesan BNN kepada masyarakat khususnya orang tua bertuliskan 'Listen First' diikuti penjelasan singkat di bagian bawahnya. Sekilas membaca pesan itu mengingatkan saya pada masa-masa kuliah dulu. Duet Pak Sunawan dan Pak Mulawarman memang kelas golongan muda intelektual. Keduanya masih muda dan punya skill berbeda tetapi berjodoh dengan sempurna ketika bertemu di kelas. Beliau berkata yang kira-kira, "Mendengarkan adalah pekerjaan yang melelahkan. Sangat melelahkan. Butuh energi besar untuk itu". Sebuah pesan kepada orang tua yang disampaikan BNN Kabupaten Ciamis berupa kesediaan orang tua untuk mendengarkan anak-anak mereka. Hidup sebagai orang tua dipenuhi tanggung jawab untuk menafkahi dan mendidik mereka. Peran seumur hidup itu mencakup pemenuhan kebutuhan pendidikan (*formal maupun nonformal), kasih sayang, penetrasi norma dan dukungan lahir batin bagi anak-anak. Pekerjaan sehari-hari yang sudah melelahkan tak serta merta menghilangkan kewajiban parenting mereka. Bagi sebagian orang tua, istilah mendengarkan dianggap tidak begitu penting mengingat susah payahnya mereka dalam bekerja. Namun hal sederhana ini justru menjadi kebutuhan yang didambakan anak-anak. Orang tua yang tidak belajar mendengarkan anak mereka tidak akan didengarkan oleh anak mereka. Itu hukum timbal balik yang nyata dimana-mana. Nasehat dan larangan orang tua seperti angin yang berlalu tanpa bekas. Sementara anak-anak memilih alternatif lain sebagai hiburannya. Kebut-kebutan, perilaku membolos sekolah, obat-obatan, free sex, hingga kriminalitas bukan barang asing untuk mereka yang melek dunia.

Begitu sederhana perihal mendengarkan dan didengarkan. Hal tersebut ternyata berdampak besar pada perkembangan anak-anak. Mereka yang tidak mendapat simpati untuk menyampaikan isi hati dan kepala mereka bisa memilih obat-obatan terlarang sebagai pelampiasan. Bahaya besar itu dapat dihindari dengan kesediaan orang tua untuk mendengarkan anak mereka.

Saya bisa memastikan butuh energi luar biasa untuk mendengarkan seseorang. Aktivitas tersebut butuh kesediaan dari orang yang bersangkutan plus kemampuan untuk fokus. Meski tidak semua orang pandai mendengarkan, orang tua bisa menyediakan waktu untuk mulai berbicara dengan anak-anak. Obrolan bisa tentang aktivitas di sekolah, studi lanjut, teman-teman sebaya, peristiwa kekinian, cita-cita atau yang lainnya. Apabila sudah terbiasa berbicara santai tentang kegiatan sehari yang dilakukan, mendengarkan unek-unek mereka tak akan jadi masalah pelik. Nilai kehidupan yang disampaikan orang tua akan lebih mudah untuk disampaikan dan diresapi anak.

Tentu prosesnya tidak akan mudah pada awalnya. Bisa jadi ada keengganan untuk melakukannya bagi sebagian orang tua. Akan tetapi jika kita memikirkan segala yang terbaik untuk anak dan bersedia untuk memberikan yang terbaik, peran besar aktivitas mendengarkan bukan omong kosong belaka. Keberhasilan tersebut bisa dirasakan semua orang bukan hanya anak dan orang tua, tetapi juga masyarakat pada umumnya. Tumbuh kembang anak-anak yang menyenangkan adalah kabar baik untuk masa depan dan obat bagi masa lalu yang menumbuhkan harapan. Semoga.

Terimakasih BNN Kabupaten Ciamis 🙏

Sabtu, 16 September 2017

Mindset

7.56 pm

Keponakan saya memasuki tahun ketiga di sekolah dasar. Orang tuanya terbiasa memintanya belajar pada malam hari. Minimnya buku referensi yang dimiliki membuatnya berinisiatif untuk mengerjakan soal-soal latihan di lembar kerja siswa. Hal tersebut ternyata tidak disukai guru kelasnya. Murid tidak diperkenankan mengerjakan soal latihan dirumah atau sebelum ada perintah mengerjakan. Alasannya karena guru biasa menggunakan soal tersebut untuk mengisi jam mengajar. Alih-alih memberikan tugas di kelas, guru mengobrol didepan kelas. Bukan hanya saya yang gemas, orang tuanya pun menyesalkan kondisi tersebut.

Wali murid sekolah keponakan saya mayoritas bekerja sebagai buruh pabrik. Beberapa diantaranya berdagang di pasar, berjualan keliling atau membuat tenda di pinggir jalan. Saya tahu bagaimana lingkungan orang tua dan murid yang bekerja sebagai buruh. Mereka bukan orang berpendidikan tinggi yang bisa meminta anak-anaknya menjadi polisi, dokter, perawat, desainer, insinyur, tentara, atau pengacara. Bahkan ketika ada label "anak buruh ya paling jadi buruh", orang tersebut tidak akan tersinggung. Karena mungkin sedikit saja yang berusaha sungguh-sungguh mengubah nasib keturunannya. Sedangkan yang bernasib baik bisa membuat perekonomian keluarga meningkat lebih sedikit lagi jumlahnya.

Kondisi sosial ekonomi murid seharusnya menginspirasi guru untuk mendukung perkembangan prestasi siswa. Anak presiden tidak selalu menjadi presiden. Anak buruh pun tidak selalu menjadi buruh. Hanya karena mereka anak buruh yang penghasilannya pas-pasan, guru tidak berhak memutuskan harapan dan cita-cita murid. Pendidikan adalah jawaban dari segala permasalahan sosial ekonomi. Guru adalah instrumen yang memegang peran sentral bagi pengembangan diri murid. Dengan guru yang mengerti tugas pokok dan fungsinya dalam permasalahan ekonomi, orang tua memiliki harapan atas kehidupan yang lebih baik melalui anak-anak mereka.

Usia 8 tahun merupakan masa dimana anak-anak mengakses sebanyak-banyaknya informasi. Mereka melihat bagaimana guru mengajar di kelas dan mengingatnya sepanjang hidup mereka. Di saat besar dan dewasa mereka akan mengingat "Guru A mengajarnya begini, begitu. Sering meninggalkan kelas dan menyuruh murid mengerjakan tugas", "Guru B sangat galak. Murid berbicara di kelas langsung dikeluarkan atau dihukum", dan seterusnya. Anak-anak pun merekam seluruh karakter orang tua di rumah. Mereka akan membongkar ingatan mereka saat menemukan persoalan terkait. Dewasa nanti mereka akan berseloroh dengan teman-teman sekantor tentang guru mereka. Apa yang sudah kita berikan untuk murid di masa depan mereka? Ajaran yang benar pun belum tentu diterapkan dengan benar oleh mereka. Apalagi teladan dan contoh yang kurang baik.

Jika kehidupan mereka kedepan jauh lebih baik dari generasi sebelumnya, kita telah melakukan sesuatu yang berguna bagi mereka. Namun jika pada akhirnya kehidupan tak semanis harapan dan cita-cita, setidaknya kita berusaha menumbuhkan bibit-bibit tersebut dengan menyiraminya agar tetap hidup.

14 September 2017

Jumat, 15 September 2017

Kamu Boleh Milih Kok

Seorang teman bercerita tentang mantan kekasihnya yang masih 'mengganggu' meski hubungan keduanya sudah berakhir. Dengan situasi yang mengharuskan mereka untuk intens bertemu, dia kesulitan untuk menyikapi orang-orang yang ingin mendekatinya. Semua orang bermodus berharap memperoleh informasi berguna darinya. Alih-alih inhin menata hati, dia justru harus meladeni urusan yang bukan areanya lagi.

Sebal? Pasti. Jengah? Iya. Teman saya memilih untik meladeni satu per satu orang yang menanyakan mantan kekasihnya. Ketika saya bertanya bagaimana perasaannya saat ini, dia menjawab "Aku mau move on. Enyahlah segala tentangnya. Aku gak peduli dia berhubungan dengan siapa. Kenapa mereka datang ke aku sih?" Ternyata move on bukan hanya tentang hati kita terlepas dari harapan bersamanya. Ini tentang kehidupanmu yang harus terus maju kedepan. Rasa sakit yang termaafkan tentang masa lalu bersamanya. Yang paling penting adalah optimisme untuk menemukan orang baru dan jatuh cinta lagi. Ada yang mengakhiri hubungan kemudian pindah kerja atau pindah kota. Ada yang sudah berlainan kota tetapi masih terbawa perasaan dan suasana. Ada pula mereka yang setiap hari tetap berjumpa di tempat kerja atau kampus. Dengan situasi yang tidak terprediksi, kita memang tidak bisa melakukan semua hal seperti keinginan kita. Teman saya tidak bisa pindah kampus atau kota. Pun tidak bisa mengacuhkan orang-orang yang datang kepadanya. Oleh karena itu dia meladeni mereka dengan setengah hati. Saya pikir hal itu tidak menyenangkan sama sekali. Tetapi dia tidak siap dengan resiko yang mungkin diterimanya ketika mengabaikan mereka.

Dalam konteks yang lebih luas kita bertemu dengan bermacam-macam orang. Ada yang menyenangkan. Ada pula yang menjengkelkan. Mudah bagi kita untuk maju dan berkarya dengan mereka yang seide dan memiliki selera yang sama. Kita bersedia menghabiskan tenaga dan usaha demi karya yang hebat. Akan berbanding terbalik dengan mereka yang kehadirannya memperburuk mood. Satu pesan darinya selalu dipenuhi kecurigaan "ada apa lagi nih orang?", atau "dia inbox 🙄 males amat mau buka". Hal yang tidak diinginkan bukan? Ajaibnya selalubada orang yang berjodoh dengan kita dalam soal cinta, kerja dan komunitas yang lebih besar. Selebihnya? Orang-orang yang meramaikan suasana. Mereka berperan untuk melengkapi cerita agar lebih pedas, asin dan panas. Apakah kita memiliki waktu dan tenaga untuk sebuah ketidakcocokan? Dalam hidup yang serba dipenuhi tanggungjawab, membiarkan diri bersama dengan orang-orang yang kita cintai dan sebaliknya adalah satu pilihan. Kita bertanggungjawab atas pilihan kita. Dengan menyadari bahwa kita berhak memilih tanggungjawab yang sanggup kita tunaikan, kita telah menyayangi diri kita sendiri. Setidaknya kita bisa menghabiskan segala daya dan upaya untuk orang-orang terbaik di tempat terbaik.

So, don't waste your time to libe with someone you don't love.

10.21 am
8 September 2017

Kamu Boleh Milih Kok

Seorang teman bercerita tentang mantan kekasihnya yang masih 'mengganggu' meski hubungan keduanya sudah berakhir. Dengan situasi yang mengharuskan mereka untuk intens bertemu, dia kesulitan untuk menyikapi orang-orang yang ingin mendekatinya. Semua orang bermodus berharap memperoleh informasi berguna darinya. Alih-alih inhin menata hati, dia justru harus meladeni urusan yang bukan areanya lagi.

Sebal? Pasti. Jengah? Iya. Teman saya memilih untik meladeni satu per satu orang yang menanyakan mantan kekasihnya. Ketika saya bertanya bagaimana perasaannya saat ini, dia menjawab "Aku mau move on. Enyahlah segala tentangnya. Aku gak peduli dia berhubungan dengan siapa. Kenapa mereka datang ke aku sih?" Ternyata move on bukan hanya tentang hati kita terlepas dari harapan bersamanya. Ini tentang kehidupanmu yang harus terus maju kedepan. Rasa sakit yang termaafkan tentang masa lalu bersamanya. Yang paling penting adalah optimisme untuk menemukan orang baru dan jatuh cinta lagi. Ada yang mengakhiri hubungan kemudian pindah kerja atau pindah kota. Ada yang sudah berlainan kota tetapi masih terbawa perasaan dan suasana. Ada pula mereka yang setiap hari tetap berjumpa di tempat kerja atau kampus. Dengan situasi yang tidak terprediksi, kita memang tidak bisa melakukan semua hal seperti keinginan kita. Teman saya tidak bisa pindah kampus atau kota. Pun tidak bisa mengacuhkan orang-orang yang datang kepadanya. Oleh karena itu dia meladeni mereka dengan setengah hati. Saya pikir hal itu tidak menyenangkan sama sekali. Tetapi dia tidak siap dengan resiko yang mungkin diterimanya ketika mengabaikan mereka.

Dalam konteks yang lebih luas kita bertemu dengan bermacam-macam orang. Ada yang menyenangkan. Ada pula yang menjengkelkan. Mudah bagi kita untuk maju dan berkarya dengan mereka yang seide dan memiliki selera yang sama. Kita bersedia menghabiskan tenaga dan usaha demi karya yang hebat. Akan berbanding terbalik dengan mereka yang kehadirannya memperburuk mood. Satu pesan darinya selalu dipenuhi kecurigaan "ada apa lagi nih orang?", atau "dia inbox 🙄 males amat mau buka". Hal yang tidak diinginkan bukan? Ajaibnya selalubada orang yang berjodoh dengan kita dalam soal cinta, kerja dan komunitas yang lebih besar. Selebihnya? Orang-orang yang meramaikan suasana. Mereka berperan untuk melengkapi cerita agar lebih pedas, asin dan panas. Apakah kita memiliki waktu dan tenaga untuk sebuah ketidakcocokan? Dalam hidup yang serba dipenuhi tanggungjawab, membiarkan diri bersama dengan orang-orang yang kita cintai dan sebaliknya adalah satu pilihan. Kita bertanggungjawab atas pilihan kita. Dengan menyadari bahwa kita berhak memilih tanggungjawab yang sanggup kita tunaikan, kita telah menyayangi diri kita sendiri. Setidaknya kita bisa menghabiskan segala daya dan upaya untuk orang-orang terbaik di tempat terbaik.

So, don't waste your time to libe with someone you don't love.

10.21 am
8 September 2017

Mie Instan

Saya suka makan mie instan goreng dengan telur ceplok matang diatasnya. Dengan alasan kesehatan lambung, bahan pengawet yang berlimpah hingga mie instan KW yang beredar di pasaran tidak menyurutkan niat saya untuk makan mie instan. Varian mie instan goreng memang lebih menggoda saya sejak SD. Pada kondisi tertentu seperti kiriman uang belum datang, saya harus ikhlas makan mie instan dengan tanbahan kuah. 🙁

Mengapa disebut mie instan padahal kita harus repot memasaknya terlebih dahulu? Bukankah tidak jauh berbeda dengan mie telor yang biasa diiklankan di TV? Dengan menang 'lebih praktis', mie tersebut diberi label instan. Mie cup atau mie yang di gelas bagi saya lebih instan. Kita hanya menuangkan air panas dan memasukkan bumbu. Kemudian menunggu selama 3 menit (*jika tahan untuk tidak mencicipi kuahnya sedikit demi sedikit) untuk menikmati mie cup yang super instan.

Menengok kehadiran mie instan dan jenis makanan instan lainnya menjadikan manusia modern benar-benar dimanjakan. Jika ingin kosmetik tinggal klik, ingin pesan hotel tinggal klik, pergi ke kantor tinggal pesan ojek/taksi online. Fenomena "mager" alias malas bergerak atau malas gerak menjadi penyakit anak muda kekinian. Ada kemungkinan orang dewasa juga mengalaminya. Justru lebih parah dengan didukung kondisi kesehatan yang memburuk, derajat kesibukan dan keuangan yang stabil.

Segala sesuatu yang instan pada hakikatnya menjauhkan kita dari makna proses. Manusia melupakan satu fase penting dalam hidup. Dengan mengantri di gerai makanan kita belajar melakukan detail demi detail aktivitas. Kita belajar mandiri dari semua aktivitas tersebut. Nilai plus lainnya kita lebih menghargai waktu dan kemampuan. Pada saat kita di restoran atau kafe, mengamati proses kita masuk hingga keluar membutuhkan banyak variabel didalamnya. Kita memanggil pelayan untuk mengantarkan menu, berdiskusi dengan teman terkait pesanan, menunggu pesanan datang, baru kemudian kita makan dengan lahap. Tidak. Tidak berhenti sampai disitu. Kita kadang meminta tambahan minum atau meminta lada. Adakalanya kita butuh membayar dengan kartu kredit yang tentu memakan waktu seperti pembayaran tunai. Setelah pembayaran selesai kita baru bisa keluar dengan lega. Hidup ternyata merepotkan andai dipikir dan dilihat secara terperinci.

Pada era digital, kita lebih jarang menulis dengan tangan. Bon belanjaan telah digantikan struk. Tugas kuliah bisa ditumpuk keesokan hari. Hidup menjadi lebih mudah bukan? Bagaimana tulisan tangan anak muda jaman sekarang? Masih adakah yang menulis dengan sangat indah seperti orangtua/nenek mereka? Lalu mengapa mereka masih diajarkan  menulis dengan tangan jika banyak pekerjaan tulisan telah beralih ke versi digital? Ya. Menulis membuat garis sebanyak dua halaman penuh, mendatar, melengkung, vertikal begitu setiap hari. Saya mengalaminya ketika SD pada jaman dahulu. Ibu Guru membuat garis miring di papan tulis dan murid diharuskan menyalin dengan jumlah ratusan di buku. Momentum bisa membaca seolah seperti proklamasi kemerdekaan. Kami bebas dan merdeka dari garis-garis yang membentuk pagar di buku. Lega karena terbebas dari pemborosan buku, pensil dan penghapus.

Lalu apa tujuan dari semua itu? Ide jahil guru kelas? Yang pasti bukan itu. Melainkan belajar proses. Semua hal dipelajari dari yang sifatnya sederhana dan mudah. Kemudian beranjak kepada hal yang lebih sulit dan rumit serta lebih krusial. Mahasiswa akan mengeluh jika diminta mengerjakan tugas dengan tulisan tangan asli. Mereka membayangkan beban berton-ton jatuh di atas pundak. Satu alasan lucu tetapi faktual adalah mereka menganggap tulisan di kertas tugas akan memburuk seiring berjalannya waktu. Pada saat awal menulis mereka begitu percaya diri dengan penampilannya. Perlahan dan pasti tulisan tersebut berubah menjadi tidak beraturan. Akhirnya yang nampak benar-benar tulisan dari tangan yang terlanjur pegal. Kita bersyukur dengan fasilitas kehidupan modern yang sangat berguna. Mereka yang beruntung adalah mereka yang menikmati modernitas tetapi tidak meninggalkan esensi dari sebuah proses. Sementara mereka yang tenggelam, merasa diri sudah kekinian dengan meninggalkan mutiara kebebasan dan kemandirian.

Saya masih memiliki banyak mie instan di lemari. Pernah berpikir untuk menggantinya dengan bihun yang lebih sehat. Sayangnya belum terlaksana dengan baik hingga sekarang. Namun semua orang berhak berubah dari dalam niat. Semuanya bisa dimulai dari sini dan sekarang.

10.25 pm
11 September 2017

Kamis, 14 September 2017

Dari Seorang Ibu

Pekerjaan seorang Ibu sungguh tidak pernah mudah tetapi tidak boleh salah. Apalagi untuk seorang anak di masa kecilnya. Ibu tidak boleh salah dalam mengiyakan sesuatu atau melarang sesuatu. Kamu boleh salah Nak, justru kamu harus melakukan banyak kesalahan agar kamu terbiasa berjuang. Sekalipun lelah dan menjengkelkan, kamu akan lupa dengan semua itu ketika sudah dewasa nantinya. Kalau kamu ingin menangis dan berguling-guling, lakukanlah tetapi jangan pernah berhenti berjuang, belajar.

Ibu tahu kamu belum sepenuhnya paham dengan pembicaraan ini. Maka kamu hanya perlu mendengarkan dan mengingatnya.

Orang bilang menjadi pemain film atau sinetron sangat melelahkan. Menjadi Ibu persis seperti pemain sinetron yang harus stripping seumur hidup. Ibu memainkan peran yang berlaku sejak bangun tidur sampai hendak tidur. Kamu memang tidak perlu menilai apa-apa karena kamu akan menirunya entah satu atau dua kebiasaan Ibu. Entah itu kata-kata, pemikiran, senyuman, keluh kesah, canda tawa, kesedihan atau airmata. Kamu mampu menirunya dengan baik bahkan tanpa niat sekalipun. Tuhan adalah sutradaranya. Ibu harus memainkan peran untuk mengenalkanmu huruf dan angka, mengajakmu menyiram tanaman, mengantarkanmu mengaji di mushala, hingga mendongengimu dengan kisah-kisah mashyur tokoh hebat dunia. Kamu sering kali menggerutu jika mendapatkan sesuatu yang tidak seperti kehendakmu. Ibu melihatnya sekalipun kamu berlari jauh dan terisak-isak. Apakah kamu baik-baik saja? Ibu yakin kamu tidak baik-baik saja. Sayangnya Tuhan mengharuskan Ibu untuk diam dan hanya memperhatikan. Namun Dia menyuruh Ibu untuk menyiapkanmu makanan yang enak sehabis kamu menangis sejadinya.

Nak, apakah sekolahmu berjalan dengan lancar? Apakah teman-temanmu di sekolah mengasyikkan? Ibu tidak tahu bagaimana mendidik yang baik dan benar. Oleh karena itu Ibu meminta bantuan kepada sekolah untuk mengajarimu banyak hal tentang hidup. Kamu boleh mengajukan protes atas hal-hal yang tidak sesuai. Jangan hanya diam. Kalau gurumu memberikanmu banyak hal berguna, berterimakasihlah dengan prestasi yang membanggakan. Andai jaman memberikan keleluasaan pada Ibu untuk mendidikmu, tentu sudah Ibu lakukan sejak dulu. Ibu ajari berkebun, membaca buku-buku ilmu pengetahuan dan dongeng menakjubkan dari seluruh dunia, mengenal masyarakat dari dekat, mengimani 1 Tuhan, membuat berbagai barang, berbelanja di pasar tradisional, dan belajar apapun yang kamu suka. Namun kemajuan jaman mengharuskanmu memasuki lembaga pendidikan dan belajar di sana. Kamu tidak boleh tertinggal dalam komunitas usiamu. Setidaknya kamu akan belajar bagaimana hidup ditengah teman-teman seusiamu dan meneriakkan "2+2=4" bersama mereka.

Sekolah tidak hanya mengajarkan angka melainkan etika. Di sekolah kamu akan bertemu dengan berbagai macam orang kemudian berdebat, bertengkar, bermain dan berkembang bersama. Akan ada teman yang malas belajar dan berangkat sekolah. Yang lain tahunya bermain dan bermain ketika guru menerangkan pelajaran di depan kelas. Kamu akan menjadi seperti apa? Pilihlah sosok hebat di sekolahmu. Sosok itu bisa jadi guru yang menyenangkan ketika mengajarimu atau teman yang solid tetapi baik.

Ingatlah bahwa selalu ada hal yang kurang baik yang terjadi di rumah atau di sekolahmu. Satu-satunya yang harus kamu lakukan adalah bersikap dengan baik dan benar. Jika Ibumu marah-marah setiap hari, hiburlah. Kamu bisa membantu dengan tidak mengotori rumah, makan dengan baik dan tidak membuat gaduh. Adakalanya Ibu lelah dengan pekerjaan di rumah. Kamu mungkin lelah dengan pelajaran di sekolah. Bukankah kita seharusnya bekerjasama agar lelah kita bisa hilang tanpa marah-marah dan jengkel? Mudah-mudahan kita bisa saling berbicara dengan baik. Jika ada sesuatu yang kurang menyenangkan di sekolah, selesaikan dengan baik. Minta tolonglah kepada teman atau gurumu. Andaipun belum terselesaikan, kamu bisa minta tolong pada Ibu. Dengan senang hati Ibu akan menolongmu. Apapun yang kamu hadapi di sekolah, Ibu akan berdiri di tempat yang tepat. Ibu akan marah pada hal yang salah dan akan memuji pada hal baik. Jangan menawar hal semacam itu dengan Ibu karena Ibu harus menjalankan peran dari Tuhan.

Di tengah kehidupan yang keras, kamu harus kuat. Berjuanglah dengan sungguh-sungguh. Beranilah memiliki mimpi besar bagaimanapun keadaanmu kini. Mimpi itu ibarat cahaya yang akan menuntunmu ke jalan yang benar. Jangan berpikir untuk hari ini dan besok tapi berpikirlah untuk 20 atau 30 tahun lagi. Dengan begitu kamu akan melakukan hal yang sangat perlu untuk masa depanmu sembari meninggalkan godaan-godaan yang datang silih berganti. Ibu akan melihatmu dari sini. Tentu doa Ibu tidak terlihat, tidak terdengar dan tidak terasa tetapi itu yang akan sampai kepada Tuhan. Kamu akan jatuh dan bangun bahkan ketika kamu sudah dewasa. Pada saat itu tambahlah mimpimu dan usahamu. Doa ibu akan sampai kepada Tuhan. Apa yang kamu takutkan?

Nak, hari ini Ibu masih menyebalkan. Besok Ibu masih menyebalkan. Ibu mohon, bicarakanlah sesuatu yang berguna atas kehidupan kita kepada orang lain. Marahmu, tuangkanlah kepadaku. Kekhawatiranmu, lepaskanlah kepadaku.

Nak, salah Ibu terlalu banyak bahkan lebih banyak dari hal baik yang Ibu mampu berikan. Maafkan mimpi-mimpimu yang terhalang karena Ibu. Maafkan kesempatan yang terlewatkan karena Ibu. Tumbuhlah dengan baik. Hidulah dengan sebaik-baiknya. Itu semua akan membuat Tuhanmu suka dan ridha.

Jilvia Indyarti
*Terinspirasi dari kisah nyata 👒

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...