Jumat, 13 Mei 2016

Morning Lounge

Aroeboesman Airport. 7.38 am

Matahati sudah meninggi ditimur dan mengungguli buki-bukit yang berbaris di depan mata. Kesibukan bandara terlihat di pintu arrival. petugas berlalu lalang membawa ini dan itu. Salah satu maskapai sudah memarkiran armadanya di samping pagar pembatas. Jadwal penerbangan maskapai terbaik negeri masih satu jam lagi. Di bandara yang kecil ini, penumpang bisa check-in bahkan di menit-menit terakhir. 

Waktu di ponsel menunjuk angka 7 lebih 45 menit. Seorang yang saya tunggu belum nampak juga. Penumpang sudah mulai ramai memenuhi pintu check-in. Jadwal take off maskapai tertentu sepertinya tinggal menunggu menit. Koper-koper sudah menumpuk di sana sini. Paket yang akan dikirimkan sudah menggunung di samping saya. 

Kedatangan dan keberangkatan selalu menyenangkan terutama bagi supir travel, tukang ojek dan penumpang. Mereka yang akan berangkan entah dalam keadaan terpaksa atau bahagia toh akan menanti kepulangannya. Mereka yang baru saja sampai mungkin sedang mengumpulkan segenap kekuatan dan rencana-rencana baru. Kita tidak dapat membayangkan betapa senangnya penyedia jasa transportasi yang mendapatkan orderan. Pun dengan mereka yang menemukan sana saudara di tengah kerumuman. 

 Matahari sudah setinggi itu di atas kepala. Menggugurkan kesan hangatnya menjadi lebih menyengat. Langit cukup bersahabat meski bersih tanpa awan. Saya pun akan disini untuk ‘berangkat’ pada purnama ke enam tahun ini. Sama seperti mereka yang menanti kepulangan setelah sekian lama. Pada akhirnya, sejauh apapun perjalanan yang kita tempuh akan ada lonceng kepulangan yang menyenangkan. Bukankah akan ada pelukan hangat jika kita sampai rumah?

Setiap orang yang merantau akan kembali ke rumah asalnya. Mereka membawa pulang berbagai hasil perjuangan salama masa perantauan. Alasan merantau bermacam-macam pula dari setiap orang. Sebagian bersar dari mereka menginginkan sesuatu yang lebih baik dalam hidupnya. Baik dalam hal ekonomi, pendidikan, kondisi hati atau hal lainnya. Pada intinya perantau pergi dari tempat asalnya dengan membawa alasan masing-masing tujuan masing-masing. Jangan ditanya perginya seseorang untuk merantau akan berapa lama. Bisa setahun, 5 tahun, 10 tahun bahkan berpuluh-puluh tahun. 

Ruang informasi belum mengumumkan apa-apa. Penumpang sudah agak lelah menunggu sambil berdiri. Ah ya. Ada beberapa yang memilih untuk jongkok. Sebagian yang lain berbincang dengan orang yang disebelahnya. Ketika angin tiba-tiba berhembus, sejuknya adalah sesuatu yang sangat disyukuri. 

Apakah saya harus menelpon orang yang saya tunggu?

Bandara yang kecil ini tidak terlalu sibuk dan padat. Hal inilah yang membuatnya lebih ‘sederhana’. Kita tidak perlu menunggu berjam-jam untuk penerbangan yang hanya sekitar 45 menit dari satu bandara ke bandara yang lain. Kita bisa check-in dengan lebih santai karena letaknya di tengah kota pantai ini. 

Satu maskapai sepertinya akan take off dalam beberapa menit lagi. Menunggu orang yang datang dan belum memberi kabar memang membosankan. Jari-jari hanya bisa menggeser layar sentuh. Untuk beramah tamah dengan orang-orang rasanya berlebihan. 

8.18 am

Tangis yang Tersembunyi


2.46 pm
March, 5th 2016 

Anak-anak berlarian mengejar bola voli yang disundul di tengah lapangan. Beberapa diantara mereka memilih menonton dari pinggir lapangan yang belum juga hijau meski sudah diguyur hujan hampir 1 bulan. Anak perempuan yang malas berolahraga hanya bergerombol kecil-kecil. Guru-guru belum datang untuk memulai senam. Sekolah layaknya arena bermain. Riuh.
Anak itu datang dengan senyuman lebar. Selalu begitu. Meski wajah saya tegang berkerut-kerut, ia tidak pernah lupa mengulurkan tangan dan memamerkan gigi depannya. Dia menghampiri saya sebelum anak-anak lain ramai menyalami. Ia pun sempat meminta kacang telur yang sedang saya makan. 3 orang anak datang mengambil bola. Ia pergi keluar untuk menonton. 

Meja yang terletak di dekat jendela saya ia duduki. Entah untuk alasan apa saya tidak menegurnya karena duduk di meja. Kemudian muncullah pertanyaan yang menusuk tanpa saya sadari.

“Mama kamu sudah pulangkah?” Wajahnya berubah rona sambil menggeleng.
“Pergi ke Kalimantan” Ia kembali hening dan menatap dengan kosong.
“Bapak memang dimana?”
“Bapak di Malaysia. Mama ke Kalimantan cari kerja”.
“Jadi kamu makan sama siapa?”
“Ada. Saya pergi ke Aldi. Saya kalau makan disana” Kami sama-sama hening. Menunduk dengan renungan masing-masing. Ia terlihat menutupi kesedihan dan berpura-pura baik-baik saja. Saya harus berpura-pura tidak melihat kesedihan itu. Kami seperti kikuk untuk menyambung percakapan yang jelas tidak mengenakkan itu. Akhirnya saya memiliki ide.
“Ambil sana bolanya. Main bola sepak. Atau mungkin mau main hola hop? Kamu jago mainnya kan?” Ide itu lumayan mengalihkan pembicaraan.
“Hola hop itu apa Ibu?”
“Ah. Itu plastik yang melingkar. Yang biasa kamu mainkan tu”. Suasana kembali hening.
“Malas e..” 

Anak-anak kemudian terlihat memenuhi lapangan untuk berbaris. Rupanya guru olahraga sudah datang. Anak itu bergabung dengan teman sekelasnya. 

Orang dewasa memang sering membingungkan. Apalagi bagi anak-anak. Mereka berselisih paham, bertengkar, atau berargumen seenaknya. Mereka marah. Kadang kala sambil berteriak-teriak satu sama lain. Lantas pergi. Tidak peduli dengan omongan orang banyak. Tidak bertanya bagaimana perasaan anak-anak mereka. Coba mereka bayangkan. Apakah anak mereka sudah makan? Bagaimana hidupnya sehari-hari tanpa Ayah dan Ibu? Anak sekecil itu harus melihat kesulitan orang dewasa kemudian ditinggalkan tanpa pamit.
Ia bisa tersenyum dan berpura-pura tidak ada apa-apa. Saya pun bisa demikian. Orang kebanyakan juga. Namun persoalan tidak pernah selesai. Luka tidak serta merta sembuh oleh berjalannya waktu. Ia terluka. 

Bagaimana hendak menyembuhkannya? Ia tidak tahu kepulangan seorang Ibu akan menyelesaikan persoalan atau tidak. Tetapi setidaknya ia tidak akan sendiri. Ayahnya tidak akan sendiri. Ibunya tidak akan sendiri. Mereka tidak akan sendiri-sendiri dalam usaha mempertahankan hidup.

Saya tidak tahu hatinya terbuat dari apa. Ia terlihat kuat. 

3.25 pm   

Variasi Kelas

Saya hendak menghitung sudah berapa purnama terlewatkan di pulau bunga. Delapan atau sembilan? Lalu berapa purnama sungguhan yang saya lewatkan dengan khusyuk dan syukur? Apakah sekalipun pernah mentadaburi semua hal yang nampak di langit Nya? Orang bilang, ini bagian dari potongan-potongan surganya yang indah. Ya. Mereka seharusnya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana menghirup setiap oksigen dan menyerap sinar UV yang memapar diri setiap hari. Masih bersyukur dengan anugerah pulau ini? Saya bisa meloncat kegirangan melihat air laut yang membiru meski terpapar sinar UV yang jahat. Apakah itu salah satu tanda bahagia?

Disini saya bertemu banyak orang dengan karakter yang berbeda-beda. Mereka hidup dengan nilai yang dipelajari sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang ada. Ketika saya berbicara dengan A, arah pembicaraan sudah dapat ditebak. Ketika saya berbicara dengan B, nuansa emosi dan segala macam perasaan lebih mendominasi. Saya pikir hidup saya terlalu serius sehingga mereka yang duduk-duduk berbincang tidak saya dekati. Buku dan buku menjadi alasan duduk yang paling menyenangkan bagi saya. Sampai disini apakah itu salah?
Guru, PNS, pedagang, maupun mahasiswa memiliki area hidup yang unik. Kita akan membicarakan gaji, kenaikan pangkat, dan murid-murid jika berdekatan dengan guru. Mereka mengeluh tentang pendapatan yang tidak seberapa dan tanggungjawab yang luar biasa. Murid membuat ulah yang memalukan sekolah. Semua hal di sekolah dibicarakan panjang lebar penuh dengan emosi. Sesekali kami membicarakan tas keluaran terbaru, make up yang cocok di wajah, khimar ala artis hingga sepatu. Kami memasuki kelas pada jam yang diberikan kepala sekolah. Beberapa guru mata pelajaran UN bisa panik dengan persiapan ujian yang tinggal 1 bulan lagi. 

Ende adalah sebuah kabupaten besar yang tergolong ramai dan berkembang dengan pesat. Saya berkenalan dengan PNS dari beberapa instansi berbeda. Kami mendiskusikan perkembangan daerah, peluang membangun wilayah ini, dan karakter masyarakat. Mereka lebih terbuka dan fair membicarakan diri (orang Ende-Lio) mereka. Saya melihat, diskusi dengan mereka lebih mengena dan bertanggungjawab karena mereka mewakili instansi yang dibawa. Tinggal memilih instansi mana dan kita kan mendapatkan akses untuk belajar. 

Lain guru, lain PNS. Lain pula pedagang atau pengusaha. Dengan mengedepankan kualitas, harga menjadi urusan kedua. Kekayaan tenun di Ende dan budaya yang dimilikinya menjadikan bisnis dan pariwisata merupakan peluang yang menjanjikan. Inilah yang dikejar pengusaha dibidang kerajinan dan oleh-oleh. Apabila menyasar keuntungan, kita harus pandai pula melihat dimana pusat uang. Artinya langsung membidik wisatawan dengan menawarkan barang-barang baik dan eksklusif. Turis domestik dan mancanegara yang mengunjungi Kelimutu pasti singgah di Ende dan berkeliling di sekitar pusat kota. Terkadang mereka tinggal di Ende untuk beberapa hari dan mengunjungi perkampungan dan pesta atau ritual adat. 

Ada banyak orang dan bidang pekerjaan yang digeluti masyarakat Ende. Bagaimana karakter mahasiswa, pemuda, anak sekolah, masyarakat umum? Sebagian dari mereka menunjukkan diri mereka dengan jujur bahkan sejak pertama kali berjumpa orang baru. Mereka terbuka kepada pendatang. Bergaul dengan orang yang berbeda-beda merupakan kekayaan yang sangat berharga selama di Ende. Tidak hanya sekolah dan murid. Kami bisa membicarakan sosiologi, pariwisata, pertambangan, dan sebagainya. Bukankah ini kesempatan emas untuk belajar dan berkembang?

Maka kunjungi Ende dan rasakan bagaimana rupa-rupa orangnya menyapamu! See you later.

April, 11th 2016


Ujian dan Ujian

Semester 2 merupakan masa-masa sibuk bagi yang duduk di tingkat akhir. Anak SD, SMP, hingga SMA/SMK/MA sibuk dengan persiapan ujian akhir. Jadwal berubah lebih padat, jam tambahan diberlakukan. Murid menjadi super rajin. Guru lebih panik mempersiapkan ujian yang datang bukan untuknya.

Pagi itu, sebagai seksi perbekalan alias konsumsi kami berkewajiban mengambil jatah. Janji kami akan mengambil jatah konsumsi pukul 8 pagi. Jarum menunjukkan angka 4 pada jarum panjang. Bagi saya itu suatu keterlambatan. Kami bergegas memacu sepeda motor ke tempat memesan kue. Jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolah. Kira-kira 1 kilometer dengan jalan aspal yang mulus. 

Pintu rumah terbuka menyambut kedatangan kami. Teman saya mengucapkan salam yang disahut pemilik rumah dari dalam. Saya terbiasa tepat waktu jika berjanji dengan orang yang lebih tua. Dirumah tersebut 3 orang tua bekerja membuat kue bersama. Janji kami jam 8. Pagi itu kami terlambat 20 menit. Bibi yang membuat kue mengeluh “Kami terlambat e. Mati lampu Ine”. Sedikit-sedikit saya paham bahasa yang diucapkan nyonya rumah. “Nio iwa latu. E, mana terlambat gara-gara listrik mati”. Tidak tahu harus menjawab apa, saya meraih donat di tampah dan membungkusnya dengan plastik. Donat meses yang saya bungkus mungkin 30 buah. Bahkan lebih. Selesai dengan donat saya beralih ke lapis besar. 

Bagi saya penampilan kue adalah nomor 1. Kue yang cantik lebih menarik untuk dimakan. Packaging yang pas membuatnya lebih elegan. Saya hanya membagi plastik donat menjadi dua bagian sama besar. Kemudian membalut lapis besar dengan plastik tersebut. Bibi biasa membungkusnya langsung dengan plastik yang jauh lebih besar dari ukuran lapis. Sehingga terlihat aneh dan kurang menarik. Nampaknya Bibi puas dengan penampilan lapisnya sekarang. Ia sampai berujar “Ini ilmu baru Ine. Sangat berguna. Terimakasih ya. Aaa, bagaimana membuat adonan kue yang lembut Ine?” Pujian kadang berlebihan, hingga ujungnya terasa mengganjal. Dalam hati saya menjawab “Au deh Bi. Bikin donat sendiri aja gue gak pernah”. Saya hanya menggaruk kepala kemudian “Tidak tahu Bi”. Pesanan kue saya belum juga siap. Teman saya sudah angkat tangan dari donat-donatnya. 

Hari pertama ujian dapat dilalui dengan selamat. Konsumsi pengawas terdistribusi dengan merata dan adil. Mission complete

Keterlambatan hari pertama berulang di hari kedua. Begitupun hari ketiga dan keempat. Dihari terakir, demikian adanya. Realitanya terlambat setiap hari. Saya heran melihat ini selalu terjadi? Apakah sudah menjadi budayanya?

Bibi membuat kue setiap hari untuk dijual di kota. Mereka menginginkan kue jam 1 siang. Kue masuk ke kios setiap sore hari. Begitu siklus hariannya. Saya kesal akan keterlambatan tersebut. Padahal mereka sudah menyanggupi untuk menyiapkan kue jam 8 pagi. Jika budaya ini terus berlanjut, bagaimana mereka menghadapi persaingan dengan pengusaha lain?

13 April 2016

Sekadar Hadir



Di sekolah saya yang lama, kewajiban guru BK untuk hadri setiap hari sangat ditekankan. Tidak ada jatah free untuk guru baru. Bahkan yang lebih senior hanya mendapat jatah free setengah hari dalam 6 hari kerja. Apabila jumlah guru BK mencukupi untuk dibagi shift masuk maka peluang memperoleh free day semakin besar.

Pekerjaan sehari-hari cukup santai, menurut saya. Meskipun banyak sekali hal yang sebenarnya bisa dikerjakan. Tetapi target sekolah tidak muluk-muluk membuat kami sering bingung. Berkali-kali mengajukan proposal kegiatan, pihak yayasan selalu menolak. Alasannya bermacam-macam seperti dana, waktu, kendala teknis atau kesesuaian isi kegiatan. Kami mengisi hari efektid dengan mengumpulkan ide kegiatan sebanyak-banyaknya.

Bosan? Pasti. lelahnya sebanding dengan guru lain yang mengajar di kelas. Teman saya mengeluh tetapi mengerti alasan kehadiran kami. Sesenggang appaun waktu kami di seklah, kami harus siaga setiap saat. Fungsi pendampingan terhadap murid yang tiba-tiba bermasalah merupakan tanggungjawab kami. Beberapa siswa datang dan sekadar bercerita tentang guru yang membosankan. Ada pula yang hanya mampir untuk menyapa atau membolos dari pelajaran tertentu. Satu hal yang ditekankan yaitu “kami harus ada dan tetap hadir”.

Dalam kehadiran kita di sekolah setiap harinya, selalu ada sapa dengan murid. Pukul 6 pagi kami mulai mengenali si tukang dandan, si rajin, putri terlambat dan julukan aneh lainnya. Murid SMK pandai bersilat lidah. Mereka yang terlambat terus memohon dibukakan pintu gerbang. Kami tidak menemukan kejadian lucu tersebut jika masuk beberapa hari saja. Maka kami hadir setiap hari untuk membersamai mereka. 

Apakah kita masih bertanya untuk apa hadir setiap hari? Kami memang tidak banyak melakukan hal-hal besar. Ide-ide kami terhalang perijinan dan berakhir di atas meja Kepala Sekolah. Semua hal yang kami lakukan sifatnya sebatas membantu. Kami tumbuh dan berkembang bersama mereka. Saling tahu kalau juara kelas XI AP seringkali mengenakan soft lens. Saya tahu kemarin pagi si A diantar pacarnya yang kuliah di kampus XX. Begitulah kami mengenal murid kami yang super unik.

Keakraban dengan murid bisa dilanjut ke jejaring sosial media, BBM. Mereka ABG labil yang ekspresif. Sama-sama saling komentar status dan menyemangati. Ada juga murid yang meminta kopdar di luar sekolah. Alumni yang memiliki kontak BBM saya pun masih sering menyapa dengan panggilan “Ibu baru”. Kesemuanya itu adalah dampak dari kehadiran baik di dunia nyata maupun dunia maya. 

Lambat laun mereka percaya kalau kita ada untuk mereka. Meskipun butuh proses yang tidak sebentar. Kami harus mencitrakan diri secara positif dan terbuka terhadap mereka. Mau tidak mau mereka mengenal kita dan sebaliknya. 

Di tempat yang jauh dari murid bergincu, saya semakin sadar untuk senantiasa hadir. Tidak peduli betapa kosongnya hari karena jam masuk kelas hanya 4 jam pelajaran per minggunya. Tidak peduli berapa lama dan lelahnya jarak tempuh yang harus dilalui setiap harinya. Jika setiap hari saya bisa melihat mereka belajar bersikap, apapun untuk mereka. Karena sungguh kehadiran saya tidak pernah sia-sia. Mereka belajar, begitupun saya. 

Nangapanda, February 24th 2016

Sejuta Harapan



Matahari bersinar tegas pagi ini. Seolah membalas dendam atas guyuran hebat kemarin sore. Tanah tidak sebasah ketika kami meninggalkan barisan bukit kecil. Ajaibnya, rumput yang berderet dipinggiran jalan begitu hidup. Mereka terlihat benar-benar baru dan segar. kemudian harapan menyerak diantara senyum yang mengambang.

Sebuah buku berjumlah 425 halaman mendekam hangat diatas punggung. Didalamnya terkuak aneka rupa sistem hidup. Pembicaraan seputar politik kampung, uang, pernikahan dan adat mengallir seadanya. Semua isi dibahas tuntas dan menimbulkan beberapa pertanyaan. Namun justru sebuah kesenangan tersendiri untuk membiarkan pikiran berkelana dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Yang menarik selain menemukan pertanyaan-pertanyaan ajaib. Aku menemukan teman bicara yang sepadan. Untuk sama-sama terbuka dengan wawasan, membagi ilmu yang dimiliki dan memberi dukungan atas usaha sendiri. Ini semacam hadiah yang menyenangkan dari membaca. 

Kita selalu ingin mendapatkan teman bicara yang sesuhu. Mengerti apa yang kita harapkan dan bayangkan. Tentu teman-teman seperti itu tidak banyak dan tidak semua tempat menampilkan sosok-sosok tersebut. Namun sungguh membahagiakan jika menemukannya ditengah kesendirian pikiran.

Nangapanda
March, 16th 2016

Dermaga Hujan


5.07 pm
March, 3rd 2016

Tiga lelaki melayangkan tendangan kesana kemari di tengah hujan. Tumpahan laut entah berwarna abu-abu atau masih tetap biru. Yang pasti mereka merapat ke bibir pantai dengan disertai tekanan angin yang lebih kencang. Ah. Rupanya hujan menghentikan tendangan segerombolan lelaki itu. Dermaga basah. Kapal yang tengah bersandar tetap diam. Lebih banyak air turun. Lebih banyak yang senang. Hujan adalah berkah. Mikail turun dan menyampaikan rezeki. 

Segera jala ditebar dengan sampan sederhana. Derasnya segera mereda. Suasana mendadak tidak bising oleh rintik yang menghujam. Angin lebih bersahabat dan ombak telah kembali menjadi himne abadi. Anak-anak kembali berlarian di pantai. Sementara badan kapal dimuati lagi dengan kendaraan, barang-barang dan awak kapal. Kapan kapal meninggalkan dermaga? Peluit panjang akan berbunyi sebgaai tanda bahwa jangkar telah diangkat. 

Hujan hanya sebentar mengguyur dermaga. Toh memang tidak selamanya hujan turun. Sebagai kota di tepi pantai selatan Flores, jauh di selatan sana ada tempat yang jauh lebih maju. Lebih bising dan lebih modern. Australia. Tentu jaraknya amat jauh dari dermaga ini. Bahkan orang-orang pun tidak peduli ada apa disana. Kesibukan dermaga, terminal, bandara terasa sibuk ala kadarnya. Semua berangkat dan pergi membawa urusan masing-masing. 

Tengoklah mereka yang berlalu lalang di pelabuhan. Hidup yang sibuk dari satu dermaga ke dermaga berikutnya. Pun dengan mereka yang menebar jala di perairan dalam itu. Semua orang bekerja keras. Mereka memiliki harapan ini dan itu. Semua orang memang harus bekerja keras demi sesuatu. Hujan adalah harapan bagi mereka. Benderang adalah harapan yang lain.

Matahari tinggal sejengkal di sebelah barat. Dermaga terlihst sibuk dijadikan tontonan. Banyak hal telah nampak bersiap menyambut malam. Esok akan menyajikan ujian kerja yang lebih menantang. Seperti kapal yang bersiap menantang ombak mungkin juga hujan akan menantang di siang bolong. 

Hei, matahari benar-benar nyaris tenggelam. Sedangkan kaki ini enggan melangkah barang sejengkal. Apakah tidak ada penangguhan? Aku masih ingin hujan disini tetapi aku juga ingin segera bertemu dengan Nya. Ombak terdengar mengusir, mengingatkan waktu sudah habis.
Dalam hidup, seringkali kita menjumpai hal-hal yang membuat kita harus beranjak. Aku menyukai duduk di sini tetapi bertemu dengan Nya pun bukan hal yang tidak kusenangi. Dermaga ini seolah menjadi hak. Kemudian aku sadar bahwa sesuatu yang memang milik kita tidak akan jatuh ke tangan siapapun juga. Maka pembatasan hak adalah kebijaksanaan. Kita selalu berharap hak kita cukup. Tuhanpun memberikan sesuatu yang cukup.

Aku akan beranjak dalam hitungan menit. Segala sesuatu mesti sesuai dengan kadarnya. Hakku telah di penuhi. Maka han Nya akan segera kupenuhi. Aku dan dermaag hujan telah bercengkrama. Kami melihat dan merasakan banyak hal. Senja ini bukankah sesuatu yang harus disyukuri.

Terimakasih sudah memberikan tempat.

6.05 pm

Karena Lukanya Ada Didalam



Anak yang terluka meringis menahan sakit di pipi. Beberapa rekan lain hanya menggerutu dengan bahasa yang sulit dimengerti. Guru yng menangani keluar arena dan mempercayakan kepada saya.
“Kalau Andi memukul kamu, apakah kamu marah?”.
“Pastilah Bu”. Seorang anak menjawab.
“Bagaimana kalau saya yang cekik kamu Farid? Kamu marah?”.
“Tidak Bu”. Mereka menjawab secara serempak dan lebih perlahan.
“Kalian tidak salah apa-apa. Saya suka saja dan langsung mencekik. Kalian akan marah?”
“Tidak Bu”.
“kenapa? Kan saya salah”.
“Karena Ibu, guru”. Suara itu perlahan menghilang.
“Kalau saya guru, saya juga bisa salah. Pak Heri, Pak Faisal atau yang lain bisa salah juga”. Suasana masih diam dan mereka saling pandang satu sama lain. Masih dengan bahasa yang tidak saya mengerti, mereka riuh kembali.

“Kalian pun demikian. Dia bisa mencekik kamu, menampar atau apapun itu. Coba lihat luka yang disini (menunjuk pelipis yang lecet). Bisa hilang dalam dua minggu saja. Kalau lukanya didalam sini (menunjuk dada), kalian susah menyembuhkannya. Dan dia memiliki luka didalam sini.

Pikiran saya bercabang-cabang. Teringat sebuah judul film Korealama berjudul “Happiness for Sale”. Alasan kita tidak menyukai orang mungkin sayangat sepele. Namun kita mencela dan menunjuk tepat di hatinya. Sakitnya ada di dalam. Bukan luka seperti di pelipis atau tangan. Kita dengan mudah menyembuhkan luka di tangan sementara luka di hati, apakah kita benar-benar tahu jika itu sudah sembuh? Sulit sekali menyembuhkan luka di hati. Bahkan beberapa orang membutuhkan waktu seumur hidup untuk melakukannya. 

Ende,
March 8th2016

Kamis, 12 Mei 2016

Masyarakatpun Berkembang



Perkembangan yang cepat memberikan kemudahan dalam berbagai lini kehidupan. Didukung dengan birokrasi yang semakin terintegrasi, pelayanan publik semakin meningkat. Dengan sistem perijinan satu pintu, memudahkan investor untuk datang dan membangun pusat industri baru.

Kota tumbuh dan berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Pusat industri diarahkan semakin juah dari pemukinan dan perkantoran. Kemduian muncullah daerah penyangga. Di daerah sekitar kota menjadi sasaran pembangunan pemukiman baru yang lebih ramah. Pesatnya pembangunan di daerah perkotaan dan sekitarnya sering tida dibarengi dengan pertumbuhan di pedesaan dan daerah yang agak terpencil. Alasannya macam-macam mulai dari jarak yang jauh. Sistem birokrasi di daerah yang berbelit-belit, masyarakat setempat yang belum siap serta potensi daerah yang belum tergali. Sederet kondisi di lapangan melahirkan ketimpangan sosial, ekonomi, budaya, politik, dan sebagainya. Inilah yang kita sebut dengan disparitas. 

Secara sederhana kita dapat membagi masyarakat ke dalam tiga jenis berdasarkan tingkat kemajuannya. Yang pertama, yaitu masyarakat pedesaan. Mereka adalah mayoritas masyarakat Indonesia yang mendiami wilayah-wilayah yang merata dari Sabang sampai Merauke. Sebagian besar masyarakat Indonesia tinggal di desa-desa dan kota kecil yang masih memanfaatkan produksi pertanian lokal. Yang kedua, yaitu masyarakat transisi. Mereka adalah masyarakat yang sudah mengenal kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan dan mendapatkan akses. Dilihat dari jaraknya ke kota, masyarakat transisi tinggal tidak jauh dari kota. Akses jalan raya yang sudah baik, sistem transportasi yang mulai menggeliat serta aktivitas masyarakat yang berpusat di kota. Sebagai daerah yang telah berkembang melebihi pedesaan, masyarakat transisi belum memiliki sumber daya yang memadai untuk berdiri sendiri. Dari aspek pendidikan, sebagian masyarakat memperoleh pendidikan tinggi. Hal tersebut menyebabkan mereka mencari pekerjaan di kota atau wilayah lain. SDM yang dimiliki baru memenuhi kuota dalam pos-pos tertentu. Dari aspek ekonomi, masyarakat yang memiliki keterampilan lebih akan mencari pekerjaan di kota yang lebih baik. Biaya hidup yang harus ditanggung tidak semurah di desa sehingga memaksa mereka untuk mencari penghasilan di kota. Potensi daerah belum tergali sepenuhnya tetapi masyarakat terlanjur menikmati fasilitas kota. Gaya hidup mulai berubah. Sedikit demi sedikit, masyarakat transisi belajar gaya hidup konsumtif. Kebutuhan sandang, papan dan kebutuhan tersier justru lebih penting dari kebutuhan hidup dasar. Yang ketiga, yaitu masyarakat kota. Fasilitas hidup di daerah perkotaan bisa dibilang lengkap. Sistem ekonomi, transportasi, birokrasi. budaya dan yang lainnya berkembang pesat. Aktivitas sehari-hari cenderung padat dan melelahkan. Permasalahan yang timbul di kota antara lain polusi, sampah, kemacetan, biaya hidup yang tinggi, angka kriminalitas yang tinggi dan sebagainya. Masyarakat kota yang telah lama tinggal dan menetap memiliki budaya tersendiri. Mereka keras, acuh, hedonis, konsumtif dan gila kerja. Persoalan yang dihadapi setiap hari mengharuskan warga kota gila kerja. Persaingan mendapatkan pekerjaan tidaklah mudah sehingga pekerjaan yang sudah didapatkan cenderung dipertahankan. Yang tidak cocok dengan pekerjaannya bisa memilih untuk pindah. Namun berganti pekerjaan yang belum pasti sangat tidak dianjurkan. 

Pada perkembangan selanjutnya daerah penyangga memiliki peran yang signifikan sebagai alternatif mengembangkan industri dan pemukiman. Kota akan berkembang tanpa diributi dengan polusi pabrik, wira-wiri kendaraan ekspedisi dan pemukiman kumuh. Masyarakat di deaerah transisi yang tidak siap secara pendidikan, keterampilan, dan nilai-nilai hidup akan mengalami cultural shock (gegar budaya). Mereka terjebak pada kondisi tidak bisa menolak perkembangan dan tidak punya bekal untuk bertahan. Sedangkan masyarakat pedesaan perlahan mendapatkan akses untuk bergegas menuju masyarakat transisi.

Jika masyarakat kota berkembang dengan baik maka akan memberikan dampak baik pula bagi masyarakat transisi dan pedesaan. Jika perkembangnya buruk bukan tidak mungkin dampaknya justru jauh lebih buruk. Oleh karena itu semua orang harus berbenah dan belajar. Kita mempersiapkan diri untuk berkembang dan menghadapi tantangan jaman. 

Nangapanda,
February 25th 2016

Rabu, 11 Mei 2016

Terimakasih Tuhan

Kita belajar dari apa yang terdengar, terlihat, dan terasa. Lingkungan yang tanpa batas memberikan kita referensi super lengkap. Kisah hidup orang lain dapat mengajari kita kesabaran berusaha dalam mencapai cita-cita. Pengalaman mereka dalam menjalani hidup mendorong kita untuk lebih baik dalam berjuang. Mimpi besar atau sederhana tidak jadi soal. Setiap orang memiliki harapan masing-masing. Tidak apa-apa jika mimpi itu sederhana. Dari hal sederhana tersebut mungkin saja kita memperoleh lebih banyak makna.

Detik dan menit yang berlalu tidak bisa tidak meninggalkan pelajaran. Waktu yang sedikit menyadarkan kita akan efisiensi. Orang-orang yang menyebalkan mengajarkan kita kesabaran. Teman baik memberikan kesempatan kita untuk mengasihi. Bagaimana bisa marah dengan keadaan yang belum maksimal? Sementara kita hanya kebingungan, persahabatan jadi korban. Kita mengomel-omel orang rumah ketika pekerjaan sedang rumit. Rekan sekantor kita acuhkan karena pikiran yang semrawut. Ya, kita sangat mungkin bingung dan kelelahan dalam menjalani hidup. Apakah kita benar-benar seberantakan itu?

Bernapas, bergerak, berpikir. Kita bisa melakukan aktivitas dasar seperti biasa. Hati kita hanya ingin merasakan kelapangan. Saking ramainya beban hati, kita sampai lupa untuk merawatnya. Ia bisa kelelahan juga. Kemudian menjadi buruk dan menyeramkan. Tentu hidup semakin runyam jika sikap kita selalu tanpa kontrol. Maka dari itu, berhenti sejenak adakalanya dibutuhkan.

Berhenti dari memaksa dan menuntut. Berhenti dari tergesa-gesa dan tidak sabaran. Berhenti dari aktivitas yang sungguh padat dan melelahkan. Berhentilah agar kau mengerti.

Kita tidak bisa memaksakan segala sesuatu terjadi sesuai dengan kehendak kita. Hati dan otak kita mampu berkompromi dengan berbagai kesulitan. Bersabarlah. Mie instan saja harus dimasak dulu agar matang.

Sambil melapangkan hati, tengoklah sekitarmu. Disini ada orang-orang yang bisa kita perhatikan. Mereka bisa diajak berbicara tentang fashion, film, hobi atau hal menarik lainnya. Lambat laun kita akan mengerti alasan Tuhan memberikan berbagai persoalan.

Pada akhirnya, kita akan berterimakasih kepada Tuhan. Dia yang memberikan kita kesempatan untuk hidup. Kemudian didalamnya kita belajar dan belajar.

Terimakasih Tuhan.

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...