Anak
yang terluka meringis menahan sakit di pipi. Beberapa rekan lain hanya
menggerutu dengan bahasa yang sulit dimengerti. Guru yng menangani keluar arena
dan mempercayakan kepada saya.
“Kalau
Andi memukul kamu, apakah kamu marah?”.
“Pastilah
Bu”. Seorang anak menjawab.
“Bagaimana
kalau saya yang cekik kamu Farid? Kamu marah?”.
“Tidak
Bu”. Mereka menjawab secara serempak dan lebih perlahan.
“Kalian
tidak salah apa-apa. Saya suka saja dan langsung mencekik. Kalian akan marah?”
“Tidak
Bu”.
“kenapa?
Kan saya salah”.
“Karena
Ibu, guru”. Suara itu perlahan menghilang.
“Kalau
saya guru, saya juga bisa salah. Pak Heri, Pak Faisal atau yang lain bisa salah
juga”. Suasana masih diam dan mereka saling pandang satu sama lain. Masih dengan
bahasa yang tidak saya mengerti, mereka riuh kembali.
“Kalian
pun demikian. Dia bisa mencekik kamu, menampar atau apapun itu. Coba lihat luka
yang disini (menunjuk pelipis yang lecet). Bisa hilang dalam dua minggu saja.
Kalau lukanya didalam sini (menunjuk dada), kalian susah menyembuhkannya. Dan
dia memiliki luka didalam sini.
Pikiran
saya bercabang-cabang. Teringat sebuah judul film Korealama berjudul “Happiness
for Sale”. Alasan kita tidak menyukai orang mungkin sayangat sepele. Namun kita
mencela dan menunjuk tepat di hatinya. Sakitnya ada di dalam. Bukan luka
seperti di pelipis atau tangan. Kita dengan mudah menyembuhkan luka di tangan
sementara luka di hati, apakah kita benar-benar tahu jika itu sudah sembuh?
Sulit sekali menyembuhkan luka di hati. Bahkan beberapa orang membutuhkan waktu
seumur hidup untuk melakukannya.
Ende,
March
8th2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar