Jumat, 13 Mei 2016

Karena Lukanya Ada Didalam



Anak yang terluka meringis menahan sakit di pipi. Beberapa rekan lain hanya menggerutu dengan bahasa yang sulit dimengerti. Guru yng menangani keluar arena dan mempercayakan kepada saya.
“Kalau Andi memukul kamu, apakah kamu marah?”.
“Pastilah Bu”. Seorang anak menjawab.
“Bagaimana kalau saya yang cekik kamu Farid? Kamu marah?”.
“Tidak Bu”. Mereka menjawab secara serempak dan lebih perlahan.
“Kalian tidak salah apa-apa. Saya suka saja dan langsung mencekik. Kalian akan marah?”
“Tidak Bu”.
“kenapa? Kan saya salah”.
“Karena Ibu, guru”. Suara itu perlahan menghilang.
“Kalau saya guru, saya juga bisa salah. Pak Heri, Pak Faisal atau yang lain bisa salah juga”. Suasana masih diam dan mereka saling pandang satu sama lain. Masih dengan bahasa yang tidak saya mengerti, mereka riuh kembali.

“Kalian pun demikian. Dia bisa mencekik kamu, menampar atau apapun itu. Coba lihat luka yang disini (menunjuk pelipis yang lecet). Bisa hilang dalam dua minggu saja. Kalau lukanya didalam sini (menunjuk dada), kalian susah menyembuhkannya. Dan dia memiliki luka didalam sini.

Pikiran saya bercabang-cabang. Teringat sebuah judul film Korealama berjudul “Happiness for Sale”. Alasan kita tidak menyukai orang mungkin sayangat sepele. Namun kita mencela dan menunjuk tepat di hatinya. Sakitnya ada di dalam. Bukan luka seperti di pelipis atau tangan. Kita dengan mudah menyembuhkan luka di tangan sementara luka di hati, apakah kita benar-benar tahu jika itu sudah sembuh? Sulit sekali menyembuhkan luka di hati. Bahkan beberapa orang membutuhkan waktu seumur hidup untuk melakukannya. 

Ende,
March 8th2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...