Ujian iman akan selalu datang bagi mereka yang belum kokoh
imannya atau mereka yang masih mempertanyakan keimanannya. Pada dasarnya
seseorang akan diuji dengan ujian yang sama sampai ia benar-benar bisa
melewatinya. Kita akan selalu diuji tentang ikhlas jika kita belum juga
berhasil menguasainya minimal belajar mempraktekannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Ujian selalu berat apabila dikaitkan dengan keimanan yang telah
dipegang oleh seorang muslim dalam hidupnya. Paul Ekman berkata dalam sebuah
bukunya, "sesuatu yang berat bukan berarti tidak bisa diperbaiki
bukan?". Dalam hal ini, mempertahankan keimanan sungguh hal yang berat.
Namun selalu ada banyak kemudahan [solusi] dibalik kesulitan yang datang
menguji. [Al Insyirah: 5-6]. Allah memberikan kita sakit dan obat dalam waktu
yang bersamaan. Tinggal kita berusaha jeli untuk memahami segala rahmat Nya
dalam bermacam bentuk.
Keimanan terlalu global untuk dibahas singkat, saya akan mencoba
membahas tentang batas pergaulan seorang muslim dengan non muslim agar lebih
spesifik. Sejak SMP saya mengenal beberapa orang teman yang non muslim mulai
dari Kristen, Katholik, atau Hindu. Kemudian pada masa SMA ketika mendapat
teman yang nasrani sudah terbiasa melihat perbedaan agama sejak SMP. Saya tidak
pernah berbincang soal agama, keyakinan, ibadah, atau perayaan bersama teman
non muslim saya. Pertama karena saya belum paham dengan detail akidah. Yang
kedua karena saya belum tertarik membahas urusan yang tidak umum dalam
kehidupan sehari-hari saya. Pertemanan yang saya jalin terbilang biasa. Kami
berada dalam satu kelas yang sama. Jajan ke kantin bersama. Mengerjakan tugas
kelas bersama. Kami pun mengikuti kegiatan ekstrakurikuler bersama. Semua
aktivitas tidak menemui kendala berarti dan tidak bermusuh-musuhan. Hanya saja
ada teman saya yang agak jahil sehingga sering membuat jengkel jika tengah
meledek atau menjahili temannya.
All iz Well kata Amir Khan dalam 3 Idiots. Masa SMA memberikan
kesempatan memiliki teman non muslim lebih banyak dari SMP. Teman SMP yang non
muslim kebanyakan melanjutkan SMA di Bandung, Purwokerto atau kota besar
lainnya. Pengalaman berteman dengan mereka tidak menghadirkan masalah berarti.
Kami berorganisasi bersama dan kenal dengan akrab. Meskipun saya tidak berteman
dekat dengan mereka, hubungan kami baik dan mengalir.
Di Kampus da beberapa orang teman yang non muslim dan kami tidak
terlalu dekat karena berbeda kelas. Saling sapa dan bekerja sama dalam
mengerjakan tugas sudah cukup bagi kami dalam berinteraksi. Selebihnya kami
lebih memilih teman-teman satu daerah atau yang merasa KLIK dengan kami. Banyak
diskusi menarik dan menyenangkan dengan mereka sekalipun tidak membahas
bagaimana kamu dan aku. Kami menganggap, diskusi semacam itu terkesan sensitif
karena mempertajam perbedaan diantara kami. Daripada bergesekan pada isu
sensitif lebih baik menghindarinya. Toh pertemanan kami terbatas keilmuan dan
terjebak indah dalam satu jurusan yang sama.
Perjalanan masa kuliah merupakan perjalanan fluktuasi iman yang
luar biasa. Ada romansa penolakan, pertanyaan, keresahan, hingga pencarian
hakikat islam, iman, dan ihsan. Ruhiyah yang compang camping bahkan hingga saat
ini masih butuh suplemen khusus untuk menguatkannya agar senantiasa kokoh
menopang hidup. Segala petunjuk memang hanya datang dari Allah, manusia berada
pada wilayah memohon dan menangkap petunjuk yang diberikan kepadanya.
Semester tujuh saya memutuskan untuk pindah kos-kosan dari
tempat yang lama karena berbagai alasan. Saya bukan orang yang tergolong pandai
mencari tempat kos. Kebetulan ada senior yang sudah mendapatkannya. Saya
kemudian meminta ijin untuk tinggal satu kamar dengannya. Kamar kos baru cukup
luas, bersih dan nyaman. Ibu kos yang baru rajin sekali bersih-bersih.
Kebetulan Ibu kos tinggal masih satu bangunan dengan anak kosnya yang berdampak
pada terbebasnya kami dari kewajiban membersihkan teras dan sapu menyapu.
Saya tidak terlalu mempedulikan apa dia muslim atau bukan. Saya
pikir sama saja. Yang penting perangainya baik dan mau berkomunikasi dengan
saya. Banyak sekali yang muslim tetapi shalatnya sering bolong, tabiatnya tidak
begitu bagus, atau memiliki kebiasaan buruk. Secara umum saya bisa berbagi
kamar dengannya. Usaha untuk mengenal baik dengan orang lain apalagi orang satu
rumah berhasil. Kami semua akrab dengannya. Makan, mengantri untuk mandi,
mencuci, memarkir kendaraan dan sebagainya.
Teman-teman saya yang akhwat kebetulan tahu dengan kondisi
tersebut. Respon mereka hampir seragam "Pindah Jiiill". Jika mereka
kebetulan menginap, teman sekamar saya akan numpang tidur di kamar lain. Saya
selalu mengatakan kepada akhwat tersebut kalau teman saya non muslim. Karena
tidak lucu kalau mereka berteriak histeris melihat mushaf saya bersebelahan
dengan injil sementara teman sekamar saya mendengarnya. Saya bertahan sampai
senior tersebut akhirnya memutuskan untuk pindah kerja di daerah asalnya.
Kebersamaan satu setengah tahun yang cukup berkesan bagi saya. Banyak aktivitas
yang kami lakukan bersama. Tidak ada yang sulit untuk dijalani.
Pertanyaan "Gak ke gereja mbak?" atau "Udaaah
sana mandi, dandan yang cantik. Nanti telat ke gereja lho" sangat sering
saya lontarkan. Makan bersama dan melihatnya menyalibkan tangan sebelum
menyantap nasi membuat saya tertegun. Ah sial. Apakah saya serelijius itu sekalipun
mengenakan rok lebar dan kerudung menutupi dada? Tamparan pertama. Iman seperti
dicolek dan cukup memalukan bagi saya pribadi. Rasulullah mengajarkan doa
sebelum makan kepada kita. Terlebih sering kita berdoa dalam keadaan tidak
sempurna alias ala kadarnya sembari menyendok sana sini. Astaghfirullah. Justru kita belajar banyak
bukan dari saudara kita, melainkan dari orang lain yang justru berbeda
keyakinan dengan kita. Itulah pembelajaran yang membekas.
Sangat sering kita melihat keimanan saudara kita dibeli dengan
beasiswa pendidikan atau satu paket sembako. Tidak dapat ditampik bahwa hal itu
terjadi di sekitar kita dan menimpa saudara kita yang lemah imannya.
Keterbatasan ekonomi dan pemahaman iman yang terbatas membuat sebagian orang
terambil hatinya untuk mengatakan tidak apa-apa atas agenda yang terselubung
itu. Kita yang sudah tahu akan kemungkinan tersebut ada baiknya untuk menjaga
jarak komunikasi jika merasa belum mampu untuk menghadapinya. Karena taruhan
iman itu sungguh berat.
Lain lagi cerita untuk hal-hal yang banyak orang bilang agenda
misionaris. Saya menanggapinya agak santai. Toh tidak sekentara itu sepertinya.
Kami makan dikos bersama teman-teman yang lain. Kebiasaan untuk membeli perlengkapan
memang bergantian. Adakalany Ibu saya membekali saya stok logistik jika pulang
ke rumah. Kalau saya membeli stok logistik, kadang teman saya mengatakan tidak
perlu. Disamping alasan jarak rumah-kos yang sangat jauh, rasanya merepotkan
membawa yang bisa dibawa dari jarak yang lebih dekat. Akhirnya, saya jarang
membelinya karena sudah di supply
oleh teman saya.
Sebenarnya sepele dan semua orang bisa saja berbuat demikian.
Apalagi keluarga teman saya ada yang muslim. Campuran begitu kondisinya. Ia bisa
melafalkan surat Al Fatihah dengan baik. Namun saya selalu teringat pada misi
gospel. Untukmu agamamu, untukku agamaku. Deal. Tidak ada kompromi untuk hal
ini.
Sayangnya hidup tak sesederhana yang kita bayangkan. Segala
aktivitas dapat terlibat satu sama lain. Bertemu dalam satu kelas, satu kantor,
bahkan satu kamar seperti saya. Bertransaksi dalam perdagangan [jual-beli],
pergaulan, atau sekadar berteman di jejaring sosial akan menimbulkan sebuah
frasa "aku dan kamu".
Sejak melihat mushaf saya bersebelahan dengan injil didalam rak
buku, sejak kalimat "gak ke gereja mbak?" atau sekadar melihat teman
saya berhias didepan cermin, ada satu kesadaran yang mulai muncul. Kita bisa
terbahak-bahak dengan mereka, makan bersama atau sekadar satu kelas. Namun keimanan
semakin berteriak meminta batasannya. Ada batas yang tidak bisa kita tembus
yaitu pengakuan Tuhan dan segala konsekuensinya. Banyak yang berkata tidak
apa-apa toh kita tidak ditodong untuk mengakui Tuhan mereka. But, heey.. Justru
disitulah celah yang seringkali kita sepelekan.
Satu minggu yang lalu teman saya menawari sebuah pekerjaan di
salah satu yayasan. Kerabatnya bekerja disana sebagai kepala cabang yang tengah
mencari partner kerja di cabang yang baru. Setelah berbincang tentang manajemen
yayasan tersebut saya tertarik untuk mencoba merintis karir disana. Ada waktu
dua hari untuk memikirkannya. Saya iseng membuka situs atau track record
yayasan tersebut. Manajemen yang bagus dengan cabang di kota besar dan tema
yang diangkat menarik. Tiba-tiba saya sadar tentang satu hal. Semua yang
dirintis oleh kaum muslim tidak seperti ini. Saya tidak bermaksud under-estimate dengan kemampuan
pengusaha muslim atau yang sejenisnya. Hanya saja, kaum muslim yang saya kenal
belum mampu sehebat ini apalagi dalam urusan mengembangkan sebuah sistem. Rasa
penasaran membuat saya bertanya pada kerabat teman saya. Benar saja, jawaban
yang saya peroleh mematahkan harapan saya untuk memulai karir disana. Mungkin
Kristen, mungkin juga Katholik. Saya langsung tolak tawaran tersebut meski
kepala cabang sepertinya sudah respect sejak pertama kali bertemu dengan saya.
Dengan berbagai argumen, orang tersebut meminta saya untuk tidak
diskriminatif terhadap orang non muslim. Bahkan menimbulkan perdebatan yang
sangat saya hindari jika bertemu dengan orang. Saya tidak suka berdebat atau
berbicara isu sensitif seperti itu. Apalagi dengan orang yang baru dikenal dua
hari. Orang tersebut masih mengontak saya untuk bergabung bersama.
"Sistem yang dibentuk oleh muslim
tentu berbeda dengan non muslim. Hukum yang menjadi dasarnya bisa berbeda
bahkan cenderung berbeda. Ketika hukum agama diinternalisasikan dalam kerja,
pendidikan, atau aktivitas lainnya akan berakibat pada cara bergaul, pola pikir
perilaku, sistem kerja dsb. Kalau ada pilihan untuk berpartner dengan siapa,
saya memilih dengan saudara saya sendiri".
"Saya berharap bisa bekerja dengan
saudara seiman saya, minimal mendukung sistemnya dengan membeli produk atau
menggunakan jasanya. Lagi-lagi soal pilihan bukan? Dan setiap orang
bertanggungjawab terhadap pilihannya masing-masing."
[jawaban yang saya berikan kepada orang tersebut]
Fiuh..
Sejak dinyatakan lulus akhir Agustus saya selalu berpikir
tentang kemungkinan ujian semacam ini. Jika idealisme bertemu dengan realita
akan melahirkan sikap baru dan nilai baru yang kita pegang. Saya menyebutnya
pragmatis. Ya. Nilai-nilai ideal yang sudah saya pelajari di kampus menemui
materi ujinya setelah menikmati gerbang luar kampus. Kita ingin berbuat ini dan
itu tetapi kenyataan mengharuskan kita melakukan yang ini dan itu. Akhirnya
benturan berulang semacam ini membuat kita semakin waspada dalam bertindak.
Taruhan iman? Saya berpikir untuk cari aman daripada kehilangan iman perlahan.
Pergulatan batin tentang bagaimana kita bersikap terhadap
saudara non muslim di luar sana akan terus terjadi selama komunikasi dengan
mereka terjalin. Saya tidak menghindari kontak tersebut karena pada hakikatnya
kita harus bisa bergaul dengan orang non muslim dalam banyak hal. Mungkin ini
semacam keberuntungan atau tidak semua orang mengalaminya. Perenungan panjang
saya kadang menggiring saya pada kebersyukuran yang dalam bahwa saya masih
berada dalam lingkungan iman yang terjaga. Meskipun jarak antara ketaatan dan
keengganan itu kadang membuat diri futur maksimal, nikmat iman adalah
segalanya. .