Jumat, 12 Desember 2014

Iman yang Compang Camping



Ujian iman akan selalu datang bagi mereka yang belum kokoh imannya atau mereka yang masih mempertanyakan keimanannya. Pada dasarnya seseorang akan diuji dengan ujian yang sama sampai ia benar-benar bisa melewatinya. Kita akan selalu diuji tentang ikhlas jika kita belum juga berhasil menguasainya minimal belajar mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari.

Ujian selalu berat apabila dikaitkan dengan keimanan yang telah dipegang oleh seorang muslim dalam hidupnya. Paul Ekman berkata dalam sebuah bukunya, "sesuatu yang berat bukan berarti tidak bisa diperbaiki bukan?". Dalam hal ini, mempertahankan keimanan sungguh hal yang berat. Namun selalu ada banyak kemudahan [solusi] dibalik kesulitan yang datang menguji. [Al Insyirah: 5-6]. Allah memberikan kita sakit dan obat dalam waktu yang bersamaan. Tinggal kita berusaha jeli untuk memahami segala rahmat Nya dalam bermacam bentuk.

Keimanan terlalu global untuk dibahas singkat, saya akan mencoba membahas tentang batas pergaulan seorang muslim dengan non muslim agar lebih spesifik. Sejak SMP saya mengenal beberapa orang teman yang non muslim mulai dari Kristen, Katholik, atau Hindu. Kemudian pada masa SMA ketika mendapat teman yang nasrani sudah terbiasa melihat perbedaan agama sejak SMP. Saya tidak pernah berbincang soal agama, keyakinan, ibadah, atau perayaan bersama teman non muslim saya. Pertama karena saya belum paham dengan detail akidah. Yang kedua karena saya belum tertarik membahas urusan yang tidak umum dalam kehidupan sehari-hari saya. Pertemanan yang saya jalin terbilang biasa. Kami berada dalam satu kelas yang sama. Jajan ke kantin bersama. Mengerjakan tugas kelas bersama. Kami pun mengikuti kegiatan ekstrakurikuler bersama. Semua aktivitas tidak menemui kendala berarti dan tidak bermusuh-musuhan. Hanya saja ada teman saya yang agak jahil sehingga sering membuat jengkel jika tengah meledek atau menjahili temannya.

All iz Well kata Amir Khan dalam 3 Idiots. Masa SMA memberikan kesempatan memiliki teman non muslim lebih banyak dari SMP. Teman SMP yang non muslim kebanyakan melanjutkan SMA di Bandung, Purwokerto atau kota besar lainnya. Pengalaman berteman dengan mereka tidak menghadirkan masalah berarti. Kami berorganisasi bersama dan kenal dengan akrab. Meskipun saya tidak berteman dekat dengan mereka, hubungan kami baik dan mengalir.

Di Kampus da beberapa orang teman yang non muslim dan kami tidak terlalu dekat karena berbeda kelas. Saling sapa dan bekerja sama dalam mengerjakan tugas sudah cukup bagi kami dalam berinteraksi. Selebihnya kami lebih memilih teman-teman satu daerah atau yang merasa KLIK dengan kami. Banyak diskusi menarik dan menyenangkan dengan mereka sekalipun tidak membahas bagaimana kamu dan aku. Kami menganggap, diskusi semacam itu terkesan sensitif karena mempertajam perbedaan diantara kami. Daripada bergesekan pada isu sensitif lebih baik menghindarinya. Toh pertemanan kami terbatas keilmuan dan terjebak indah dalam satu jurusan yang sama.   

Perjalanan masa kuliah merupakan perjalanan fluktuasi iman yang luar biasa. Ada romansa penolakan, pertanyaan, keresahan, hingga pencarian hakikat islam, iman, dan ihsan. Ruhiyah yang compang camping bahkan hingga saat ini masih butuh suplemen khusus untuk menguatkannya agar senantiasa kokoh menopang hidup. Segala petunjuk memang hanya datang dari Allah, manusia berada pada wilayah memohon dan menangkap petunjuk yang diberikan kepadanya.

Semester tujuh saya memutuskan untuk pindah kos-kosan dari tempat yang lama karena berbagai alasan. Saya bukan orang yang tergolong pandai mencari tempat kos. Kebetulan ada senior yang sudah mendapatkannya. Saya kemudian meminta ijin untuk tinggal satu kamar dengannya. Kamar kos baru cukup luas, bersih dan nyaman. Ibu kos yang baru rajin sekali bersih-bersih. Kebetulan Ibu kos tinggal masih satu bangunan dengan anak kosnya yang berdampak pada terbebasnya kami dari kewajiban membersihkan teras dan sapu menyapu.

Saya tidak terlalu mempedulikan apa dia muslim atau bukan. Saya pikir sama saja. Yang penting perangainya baik dan mau berkomunikasi dengan saya. Banyak sekali yang muslim tetapi shalatnya sering bolong, tabiatnya tidak begitu bagus, atau memiliki kebiasaan buruk. Secara umum saya bisa berbagi kamar dengannya. Usaha untuk mengenal baik dengan orang lain apalagi orang satu rumah berhasil. Kami semua akrab dengannya. Makan, mengantri untuk mandi, mencuci, memarkir kendaraan dan sebagainya.

Teman-teman saya yang akhwat kebetulan tahu dengan kondisi tersebut. Respon mereka hampir seragam "Pindah Jiiill". Jika mereka kebetulan menginap, teman sekamar saya akan numpang tidur di kamar lain. Saya selalu mengatakan kepada akhwat tersebut kalau teman saya non muslim. Karena tidak lucu kalau mereka berteriak histeris melihat mushaf saya bersebelahan dengan injil sementara teman sekamar saya mendengarnya. Saya bertahan sampai senior tersebut akhirnya memutuskan untuk pindah kerja di daerah asalnya. Kebersamaan satu setengah tahun yang cukup berkesan bagi saya. Banyak aktivitas yang kami lakukan bersama. Tidak ada yang sulit untuk dijalani. 

Pertanyaan "Gak ke gereja mbak?" atau "Udaaah sana mandi, dandan yang cantik. Nanti telat ke gereja lho" sangat sering saya lontarkan. Makan bersama dan melihatnya menyalibkan tangan sebelum menyantap nasi membuat saya tertegun. Ah sial. Apakah saya serelijius itu sekalipun mengenakan rok lebar dan kerudung menutupi dada? Tamparan pertama. Iman seperti dicolek dan cukup memalukan bagi saya pribadi. Rasulullah mengajarkan doa sebelum makan kepada kita. Terlebih sering kita berdoa dalam keadaan tidak sempurna alias ala kadarnya sembari menyendok sana sini.  Astaghfirullah. Justru kita belajar banyak bukan dari saudara kita, melainkan dari orang lain yang justru berbeda keyakinan dengan kita. Itulah pembelajaran yang membekas.

Sangat sering kita melihat keimanan saudara kita dibeli dengan beasiswa pendidikan atau satu paket sembako. Tidak dapat ditampik bahwa hal itu terjadi di sekitar kita dan menimpa saudara kita yang lemah imannya. Keterbatasan ekonomi dan pemahaman iman yang terbatas membuat sebagian orang terambil hatinya untuk mengatakan tidak apa-apa atas agenda yang terselubung itu. Kita yang sudah tahu akan kemungkinan tersebut ada baiknya untuk menjaga jarak komunikasi jika merasa belum mampu untuk menghadapinya. Karena taruhan iman itu sungguh berat.

Lain lagi cerita untuk hal-hal yang banyak orang bilang agenda misionaris. Saya menanggapinya agak santai. Toh tidak sekentara itu sepertinya. Kami makan dikos bersama teman-teman yang lain. Kebiasaan untuk membeli perlengkapan memang bergantian. Adakalany Ibu saya membekali saya stok logistik jika pulang ke rumah. Kalau saya membeli stok logistik, kadang teman saya mengatakan tidak perlu. Disamping alasan jarak rumah-kos yang sangat jauh, rasanya merepotkan membawa yang bisa dibawa dari jarak yang lebih dekat. Akhirnya, saya jarang membelinya karena sudah di supply oleh teman saya.

Sebenarnya sepele dan semua orang bisa saja berbuat demikian. Apalagi keluarga teman saya ada yang muslim. Campuran begitu kondisinya. Ia bisa melafalkan surat Al Fatihah dengan baik. Namun saya selalu teringat pada misi gospel. Untukmu agamamu, untukku agamaku. Deal. Tidak ada kompromi untuk hal ini.

Sayangnya hidup tak sesederhana yang kita bayangkan. Segala aktivitas dapat terlibat satu sama lain. Bertemu dalam satu kelas, satu kantor, bahkan satu kamar seperti saya. Bertransaksi dalam perdagangan [jual-beli], pergaulan, atau sekadar berteman di jejaring sosial akan menimbulkan sebuah frasa "aku dan kamu".
Sejak melihat mushaf saya bersebelahan dengan injil didalam rak buku, sejak kalimat "gak ke gereja mbak?" atau sekadar melihat teman saya berhias didepan cermin, ada satu kesadaran yang mulai muncul. Kita bisa terbahak-bahak dengan mereka, makan bersama atau sekadar satu kelas. Namun keimanan semakin berteriak meminta batasannya. Ada batas yang tidak bisa kita tembus yaitu pengakuan Tuhan dan segala konsekuensinya. Banyak yang berkata tidak apa-apa toh kita tidak ditodong untuk mengakui Tuhan mereka. But, heey.. Justru disitulah celah yang seringkali kita sepelekan.

Satu minggu yang lalu teman saya menawari sebuah pekerjaan di salah satu yayasan. Kerabatnya bekerja disana sebagai kepala cabang yang tengah mencari partner kerja di cabang yang baru. Setelah berbincang tentang manajemen yayasan tersebut saya tertarik untuk mencoba merintis karir disana. Ada waktu dua hari untuk memikirkannya. Saya iseng membuka situs atau track record yayasan tersebut. Manajemen yang bagus dengan cabang di kota besar dan tema yang diangkat menarik. Tiba-tiba saya sadar tentang satu hal. Semua yang dirintis oleh kaum muslim tidak seperti ini. Saya tidak bermaksud under-estimate dengan kemampuan pengusaha muslim atau yang sejenisnya. Hanya saja, kaum muslim yang saya kenal belum mampu sehebat ini apalagi dalam urusan mengembangkan sebuah sistem. Rasa penasaran membuat saya bertanya pada kerabat teman saya. Benar saja, jawaban yang saya peroleh mematahkan harapan saya untuk memulai karir disana. Mungkin Kristen, mungkin juga Katholik. Saya langsung tolak tawaran tersebut meski kepala cabang sepertinya sudah respect sejak pertama kali bertemu dengan saya.

Dengan berbagai argumen, orang tersebut meminta saya untuk tidak diskriminatif terhadap orang non muslim. Bahkan menimbulkan perdebatan yang sangat saya hindari jika bertemu dengan orang. Saya tidak suka berdebat atau berbicara isu sensitif seperti itu. Apalagi dengan orang yang baru dikenal dua hari. Orang tersebut masih mengontak saya untuk bergabung bersama. 

"Sistem yang dibentuk oleh muslim tentu berbeda dengan non muslim. Hukum yang menjadi dasarnya bisa berbeda bahkan cenderung berbeda. Ketika hukum agama diinternalisasikan dalam kerja, pendidikan, atau aktivitas lainnya akan berakibat pada cara bergaul, pola pikir perilaku, sistem kerja dsb. Kalau ada pilihan untuk berpartner dengan siapa, saya memilih dengan saudara saya sendiri".

"Saya berharap bisa bekerja dengan saudara seiman saya, minimal mendukung sistemnya dengan membeli produk atau menggunakan jasanya. Lagi-lagi soal pilihan bukan? Dan setiap orang bertanggungjawab terhadap pilihannya masing-masing."
[jawaban yang saya berikan kepada orang tersebut]

Fiuh..
Sejak dinyatakan lulus akhir Agustus saya selalu berpikir tentang kemungkinan ujian semacam ini. Jika idealisme bertemu dengan realita akan melahirkan sikap baru dan nilai baru yang kita pegang. Saya menyebutnya pragmatis. Ya. Nilai-nilai ideal yang sudah saya pelajari di kampus menemui materi ujinya setelah menikmati gerbang luar kampus. Kita ingin berbuat ini dan itu tetapi kenyataan mengharuskan kita melakukan yang ini dan itu. Akhirnya benturan berulang semacam ini membuat kita semakin waspada dalam bertindak. Taruhan iman? Saya berpikir untuk cari aman daripada kehilangan iman perlahan.

Pergulatan batin tentang bagaimana kita bersikap terhadap saudara non muslim di luar sana akan terus terjadi selama komunikasi dengan mereka terjalin. Saya tidak menghindari kontak tersebut karena pada hakikatnya kita harus bisa bergaul dengan orang non muslim dalam banyak hal. Mungkin ini semacam keberuntungan atau tidak semua orang mengalaminya. Perenungan panjang saya kadang menggiring saya pada kebersyukuran yang dalam bahwa saya masih berada dalam lingkungan iman yang terjaga. Meskipun jarak antara ketaatan dan keengganan itu kadang membuat diri futur maksimal, nikmat iman adalah segalanya. .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...