Pagi ini,
Seorang suami mengendarai sepeda motor
dan menurunkan istrinya di pertigaan jalan yang ramai. Anak lelaki yang bersama
Ibunya kurang lebih 8 tahun atau lebih muda dari itu. Kedua suami-istri itu
berpakaian PSH [pakaian seragam harian]. Saya menduga pasangan tersebut PNS
atau tenaga honorer suatu yayasan/instansi.
Sang istri dan anak lelakinya berdiri
di pertigaan jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan masyarakat yang akan
berangkat kerja atau mengantarkan anaknya ke sekolah. Sementara sang suami berlenggang
dengan anak perempuannya yang berusia kurang lebih 5 tahun. Saya perlu
memperhatikan sang suami yang mengenakan ransel dipunggung dan anaknya yang
duduk cantik didepannya. Anak yang mengenakan kerudung coklat tersebut
berpegangan pada spion didepannya. 15 detik untuk memperhatikan sang Ayah dan
putrinya berlalu dari pertigaan.
Kembali pada sang istri dan anak
lelakinya yang masih berdiri dipertigaan jalan. Saya pikir mereka akan
menyeberang jalan tetapi didekat pertigaan tidak ada sekolah atau instansi
kecuali SMP yang berjarak 200 meter. Cukup jauh untuk dicapai dengan berjalan
kaki dan sang suami tentu akan menurunkan istrinya di SMP jika itu tujuan
istrinya.
Kemudian saya berpikir tempat kerja
sang istri harus dicapai dengan menumpang bus ke arah timur. Sedangkan suaminya
bekerja di tempat yang lebih dekat dengan sekolah anak perempuannya. Akan
merepotkan jika sang istri harus mengantarkan suaminya baru berangkat ke tempat
kerjanya. Membutuhkan waktu yang lumayan lama dan memakan waktu padahal pagi
hari merupakan jam sibuk.
Mendadak hening dengan adegan didepan mata yang berhasil
menyibukkan pikiran itu.
Mencari nafkah
merupakan kewajiban suami, urusan domestik cenderung diserahkan kepada istri.
Begitulah pendapat umum yang berkembang di masyarakat. Teman, saudara, atau
kebanyakan masyarakat menerapkan hukum tersebut. Pagi ini saya menemukan hukum
lain yang sudah diterapkan orang lain. Setiap pasangan baik yang belum ada 1
dekade menikah atau yang sudah bertahun-tahun menikah dapat menerapkan hukum
yang paling sesuai dengan kesepakatan mereka.
Isu kesetaraan gender sudah bergulir selama puluhan tahun di
Eropa, begitupun di Indonesia. Kita mendengar merebaknya pembelaan terhadap
hak-hak perempuan dan persamaannya dengan laki-laki mulai tahun 2000-an.
Aktivis perempuan yang memulai kegiatannya sejak bertahun-tahun sebelumnya
muncul bak polisi dalam film yang menyelesaikan sengketa. Aktor yang mengusung
isu kesetaraan gender semakin bermunculan dengan berbagai temuan yang membuat
miris masyarakat. Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, diskriminasi
pada tempat kerja atau pembatasan akses dunia luar sehingga mengkerdilkan
sumber daya perempuan menjadi kasus seksi untuk digarap.
Sebenarnya kondisi di lapangan tidak seburuk yang ada dalam
temuan karena bersifat kasuistik atau terjadi pada kasus tertentu dalam suatu
wilayah. Masyarakat yang semakin dewasa sudah menempatkan perempuan sejajar
dengan laki-laki dalam peran di bidang ekonomi dan politik pemerintahan.
Kesetaraan gender dalam upaya memaksimalkan sumber daya
perempuan dan aktualisasi diri tidak dapat berdiri sendiri tanpa sokongan kuat.
Pasangan [suami], keluarga dan sistem yang suportif akan membantu pendayagunaan
potensi perempuan dalam masyarakat. Dalam contoh adegan suami-istri yang
terjadi tadi pagi, sang suami telah mendukung istri untuk melakukan sesuatu
yang positif. Alasan istri untuk bekerja tidak hanya satu. Alasan tersebut
misalnya membantu memenuhi kebutuhan keluarga, merencanakan target jangka
panjang [membeli rumah, pendidikan anak, umroh/haji], memanfaatkan waktu luang
dan kebutuhan aktualisasi diri. Dukungan suami sangat penting dalam membantu
istri agar tetap memiliki kegiatan yang baik sehingga dapat menciptakan manfaat
tidak hanya untuk diri dan keluarga tetapi juga masyarakat.
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh
baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman maka sesungguhnya akan
Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang elah mereka
kerjakan [Q.S An Nahl: 97]
Kita tidak akan berdebat soal penghasilan istri atau waktu
yang dibutuhkan untuk bekerja oleh masing-masing mereka. Dukungan suami-istri
dalam pekerjaan akan melahirkan pemahaman akan manfaat dan resiko dari
kesibukan keduanya. Pengasuhan anak, pemeliharaan keluarga, quality time, hak afektif, atau
perencanaan jangka panjang keluarga akan terakomodasi dalam komunikasi yang
baik antara suami dan istri serta anak-anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar