Minggu, 08 Desember 2013

Pulang Sendiri II

4 Desember 2013 pukul 10:12

[catatan perjalanan]

Mengawal cerita lagi agaknya sedikit horor jika diawali dengan kematian karena biasanya awal selalu dimulai dengan kelahiran, pagi atau kesemangatan. Bukit Damai Soropadan yang tidak lain kuburan/pemakaman non muslim mengambil lokasi strategis ditepi jalan raya yang ramai. Letaknya diperbukitan kecil dan berjejer-jejer rapi makam yang tidak horor menurut saya. Yang horor itu yang isinya mayat dengan kain kafan didalamnya.

I am here, Magelang Kota Harapan.

Mengapa Pemkot mengambil tagline yang penuh fisosofi itu? Sebuah harapan, tentu harapan hidup yang lebih baik dan lebih baik dalam artian sejahtera lahir dan batin. Ingat Magelang, ingat Artos. Pusat perbelanjaan baru yang mencolok dipertigaan paling strategis kota itu. Armada Town Square (Artos) yang berdiri megah belum ada dua tahun eksis dikawasan tersebut mampu mencuri mata setiap pengguna jalan. Konsep pusat perbelanjaan, hotel dan wisata menjadi satu. Saya sih belum pernah masuk kedalam dan melihat-lihat kekhasan dari Artos tetapi palingan juga tidak jauh beda dengan shopping center lain. Kawasan strategis ini dikelilingi oleh kompleks pertokoan yang terletak dijalan protokol arah Yogya dan disambut gedung DPRD ke arah Purworejo-Kebumen. Kalau disangkut pautkan dengan tagline Magelang, Artos boleh jadi sebuah harapan untuk masyarakat bekerja sebagai apapun itu disana. Pajak yang didapatkan pemkot juga bisa lumayan lho ya. Disisi lain kita melihat life style masyarakat yang mau tidak mau semakin hedonis dengan adanya Artos. Semoga sih ya memang masyrakat mengambil sisi baik dari itu semua.

Didepan sana ada RSJ Prof. Dr. Soerojo yang sudah terkenal dimana-mana. Bahkan dosen pemahaman individu, konseling agama, dan kesehetan mental saya berharap mahasiswanya bisa berkunjung kesana. Sekadar belajar bagaimana memberikan treatment kepada penyandang gangguang kejiwaan oleh para ahli. Hore-horelah anak satu kelas dan sudah cekikikan membayangkan betapa kerennya jika bisa berkunjung dan mendengarkan pengalaman ahli jiwa yang berkompeten. Harapan tinggal harapan. Mahasiswa disibukkan dengan tugas resume dan power point.

Melenggang dari Terminal Secang ditemanilah saya oleh pengamen yang membawakan lagu "Masih Ada Waktu"nya Om Ebiet. Maaf mas, uang saya tinggal 1200 perak. Nanti saya bayar pipisnya pakai apa kalo ini dikasih semua ke masnya. Ditengah lagu masnya sempat melebaikan diri -__- Suasana seperti ini mengingatkan saya pada kelakuan Menlu Unnes 2011 yang iseng merekam aksi pengamen di bus. Saat itu perjalanan menuju Yogyakarya dalam sebuah bus ekonomi yang penuh sesak. Gratis dari Mas Mentri. Asik. Kalau kami aktor jalanan yang akan turun ke jalan bersama teman-teman kami maka dia adalah aktor bus yang aksi setiap hari demi sesuap nasi. Beda tipis ya. Sama-sama dijalanan. Oke. Apakah rekaman itu masih ada? Bisa dishare dong ya Kak? :) Sekarang, mahal juga rasanya mendengarkan pengamen mesti merogoh 95K. Aw aw aw.

Selesai melakukan aksinya, si pengamen seperti biasa nodong penumpang yang masih punya recehan. Bukan hanya suara dan aksi yang lebai, penampilannya pun rada lebai untuk saya. Ebusyet. Kacamata warna coklat menutupi kedua matanya. Berbaju kotak-kotak. Aduh. Kenapa pula saya sampai tahu? Heuu -_-

Saya pikir harapan hidup di Magelang cukup tinggi, biaya hidupnya pun saya rasa begitu. Kendati demikian, menjadikan Magelang sebagai referensi tempat tinggal tidak akan mengecewakan. Transportasi lancar, akses ke Semarang atau Yogyakarta pun tidak sulit, banyak lembaga bimbingan belajar dan kursus, sekolah bertebaran, beberapa kampus swasta, komplek pertokoan dan pusat perbelanjaan, rumah sakit, balai rehabilitasi, pasar tradisional, show room mobil dan sepeda motor, bengkel, dan sebagainya. Disini terdapat SMA terbaik se-Indonesia (lupa tahun berapa) yang digandrungi anak-anak daerah, Taruna Nusantara.

Magelang yang mendung, dibuat shock dengan kehadiran pengamen suara cempreng didalam bus. Astaghfirullah. Kaget beneran. Genjrengan pertama sungguh memecah keheningan penumpang yang cuma beberapa orang. Lagu nyindir. Suara aneh. Masih kaget. Pengamen usil yang membuat tangan dan kaki saya lemas mendadak karena kaget.

Masih di Magelang

Pulang Sendiri III

8 Desember 2013 pukul 12:20

[Catatan Perjalanan]

Armada Town Square yang mencolok didepan mata menyita perhatian. Terpaksa menoleh kearah kiri jalan sebelum bus membelok ke arah kanan. Serangan pengamen yang cetar masih menyisakan detak jantung yang tinggi. Beberapa ratus meter kita akan menjumpai Komplek Akmil.

Akmil dan Magelang. Sesaat mengembalikan memori pada akad dan resepsi adik angkatan saya. Setelah melewati berbagai aral melintang yang menguras emosi, upacara sakral itu toh terlaksana juga. Bahagia? Saya turut berbahagia walau sebelumnya dibuat geger dengan insiden demi insiden tidak mengenakkan. Di malam sebelum dia melepas masa lajangnya, kami sempat mengobrol banyak. Bahkan diam pun menyiratkan banyak makna. Tidak ada airmata yang menetes sekalipun keharuan membuncah. Dia bahagia. Saya lebih bahagia melihatnya bahagia. Ya. Malam itu, saya menemaninya dan menatapnya menutup mata untuk menyambut hari bahagia.

Beralih ke soal teknis. Perempuan saya memang tidak punya saudara kandung perempuan. Wajarlah saya didaulat jadi asisten pribadi semalam sehari. Bukan hanya pengiring atau asisten tetapi merangkap jadi tukang poto. Bersebelahan dengan juru sosmed dari pengantin laki-laki yang kebetulan atasan saya di BEM dulu. Hayyaah -_-

Eits, saya merasa belum dapat pelangkah. Inget ya Arma dan Mas Didik, saya belum dapat pelangkah.

Melewati Komplek Akmil, kita dapat mengintip SMA terbaik dan terfavorit seluruh Indonesia. Sekolah yang sudah seumuran dengan saya ini memiliki konsep boarding school dengan aturan ketat ala tentara. Namun jangan disamakan persis dengan proses pendidikan di Akmil atau Akpol. Pendidikan disini sama dengan sekolah pada umumnya dan mengikuti kurikulum yang berlaku nasional. Balairung Pancasilanya berdiri megah dan nampak dari gerbang depan. Ya, inilah SMA Taruna Nusantara yang terkenal seantero negeri terutama oleh keluarga tentara dan yang seprofesi ^_^

Berdasarkan cerita seru dari adik angkatan saya yang praktik mengajar disana, setiap pagi anak-anak olahraga kemudian apel sebelum masuk kelas. Sorenya bimbingan atau belajar bersama diruang yang disediakan bersama guru piket. Menyenangkan ya? Sayangnya, guru perempuan tidak diperkenankan berjilbab. Oke.

Meski pagi sudah menghabiskan semangkuk pop-bihun, perut terasa keruyukan. Padahal saya naik bus belum ada 4 jam dan cuaca cukup bersahabat. Lapaaarrrr!!!  Sudah tidak ada pop-mie atau indomie goreng hingga yang tersisa hanya pop-bihun. Saya mulai beralih menu mie menjadi bihun karena menurut saya lebih sehat. Kalau nanti ada pop-bihun yang kemasan cup bolehlah saya coba. Waw, terpaksa pikiran terbang ke Prancis dan flash back obrolan dengan salah satu aktivis BEM SI yang tengah belajar disana. Bagaimana stock indomie di Montplier bung, amankah? Ini ceritaku, apa ceritamu?

Magelangnya sudah hampir habis dan sudah mendekati kecamatan terakhir. Selamat datang di Kecamatan Salaman yang sejuk dan lumayan sepi. Disalah satu pasarnya, ramai penjual bertransaksi dengan pembeli. Seorang penjual memarkir sepeda motornya dan membiarkan ayam warna-warni bercuit diatasnya. Ayamnya dicat pink, ungu, kuning dan semaraklah kandang itu dengan warnanya. Dulu tetangga saya yang membeli ayam warna-warni itu dengan harga 1500-2000 rupiah per ekor. Kira-kira sasaran pembeli dari ayam-ayam itu siapa ya? Sembari pikiran-pikiran itu nakal bermain dikepala, Magelang sudah tertinggal jauh dibelakang sana.

Pulang Sendiri II


4 Desember 2013 pukul 10:12

[catatan perjalanan]

Mengawal cerita lagi agaknya sedikit horor jika diawali dengan kematian karena biasanya awal selalu dimulai dengan kelahiran, pagi atau kesemangatan. Bukit Damai Soropadan yang tidak lain kuburan/pemakaman non muslim mengambil lokasi strategis ditepi jalan raya yang ramai. Letaknya diperbukitan kecil dan berjejer-jejer rapi makam yang tidak horor menurut saya. Yang horor itu yang isinya mayat dengan kain kafan didalamnya.

I am here, Magelang Kota Harapan.

Mengapa Pemkot mengambil tagline yang penuh fisosofi itu? Sebuah harapan, tentu harapan hidup yang lebih baik dan lebih baik dalam artian sejahtera lahir dan batin. Ingat Magelang, ingat Artos. Pusat perbelanjaan baru yang mencolok dipertigaan paling strategis kota itu. Armada Town Square (Artos) yang berdiri megah belum ada dua tahun eksis dikawasan tersebut mampu mencuri mata setiap pengguna jalan. Konsep pusat perbelanjaan, hotel dan wisata menjadi satu. Saya sih belum pernah masuk kedalam dan melihat-lihat kekhasan dari Artos tetapi palingan juga tidak jauh beda dengan shopping center lain. Kawasan strategis ini dikelilingi oleh kompleks pertokoan yang terletak dijalan protokol arah Yogya dan disambut gedung DPRD ke arah Purworejo-Kebumen. Kalau disangkut pautkan dengan tagline Magelang, Artos boleh jadi sebuah harapan untuk masyarakat bekerja sebagai apapun itu disana. Pajak yang didapatkan pemkot juga bisa lumayan lho ya. Disisi lain kita melihat life style masyarakat yang mau tidak mau semakin hedonis dengan adanya Artos. Semoga sih ya memang masyrakat mengambil sisi baik dari itu semua.

Didepan sana ada RSJ Prof. Dr. Soerojo yang sudah terkenal dimana-mana. Bahkan dosen pemahaman individu, konseling agama, dan kesehetan mental saya berharap mahasiswanya bisa berkunjung kesana. Sekadar belajar bagaimana memberikan treatment kepada penyandang gangguang kejiwaan oleh para ahli. Hore-horelah anak satu kelas dan sudah cekikikan membayangkan betapa kerennya jika bisa berkunjung dan mendengarkan pengalaman ahli jiwa yang berkompeten. Harapan tinggal harapan. Mahasiswa disibukkan dengan tugas resume dan power point.

Melenggang dari Terminal Secang ditemanilah saya oleh pengamen yang membawakan lagu "Masih Ada Waktu"nya Om Ebiet. Maaf mas, uang saya tinggal 1200 perak. Nanti saya bayar pipisnya pakai apa kalo ini dikasih semua ke masnya. Ditengah lagu masnya sempat melebaikan diri -__- Suasana seperti ini mengingatkan saya pada kelakuan Menlu Unnes 2011 yang iseng merekam aksi pengamen di bus. Saat itu perjalanan menuju Yogyakarya dalam sebuah bus ekonomi yang penuh sesak. Gratis dari Mas Mentri. Asik. Kalau kami aktor jalanan yang akan turun ke jalan bersama teman-teman kami maka dia adalah aktor bus yang aksi setiap hari demi sesuap nasi. Beda tipis ya. Sama-sama dijalanan. Oke. Apakah rekaman itu masih ada? Bisa dishare dong ya Kak? :) Sekarang, mahal juga rasanya mendengarkan pengamen mesti merogoh 95K. Aw aw aw.

Selesai melakukan aksinya, si pengamen seperti biasa nodong penumpang yang masih punya recehan. Bukan hanya suara dan aksi yang lebai, penampilannya pun rada lebai untuk saya. Ebusyet. Kacamata warna coklat menutupi kedua matanya. Berbaju kotak-kotak. Aduh. Kenapa pula saya sampai tahu? Heuu -_-

Saya pikir harapan hidup di Magelang cukup tinggi, biaya hidupnya pun saya rasa begitu. Kendati demikian, menjadikan Magelang sebagai referensi tempat tinggal tidak akan mengecewakan. Transportasi lancar, akses ke Semarang atau Yogyakarta pun tidak sulit, banyak lembaga bimbingan belajar dan kursus, sekolah bertebaran, beberapa kampus swasta, komplek pertokoan dan pusat perbelanjaan, rumah sakit, balai rehabilitasi, pasar tradisional, show room mobil dan sepeda motor, bengkel, dan sebagainya. Disini terdapat SMA terbaik se-Indonesia (lupa tahun berapa) yang digandrungi anak-anak daerah, Taruna Nusantara.

Magelang yang mendung, dibuat shock dengan kehadiran pengamen suara cempreng didalam bus. Astaghfirullah. Kaget beneran. Genjrengan pertama sungguh memecah keheningan penumpang yang cuma beberapa orang. Lagu nyindir. Suara aneh. Masih kaget. Pengamen usil yang membuat tangan dan kaki saya lemas mendadak karena kaget.

Masih di Magelang

Pulang Sendiri I

4 Desember 2013 pukul 7:53

[Catatan Perjalanan]

Rute yang menohok untuk perjalanan panjang dari ibukota propinsi pagi itu. Kedua gadget kesayangan teronggok diatas meja. Oke. Dua hari tanpa sinyal Indosat dan Telkomsel yang sudah seperti gandengan kemana-mana. Terpaksa membawa hanya 95K dikantong dan recehan untuk ke toilet saat dipemberhentian. Saya baru sadar kalau 95K pasti pas untuk melenggang meninggalkan kota Atlas. Sembari menyerahkan uang terakhir kepada kondektur yang terlampau ramah untuk ukuran bapak-bapak, menelan ludah. Masih menatap lembaran itu dan berharap, ah sudahlah. Untung saja makan siang masuk dalam hitungan 95. Allah masih memberikan nyawa setidaknya sampai alun-alun nanti.

Hei, Kampung Rawa disebelah kiri saya! Beberapa foto yang diambil teman sejurusan saya banyak yang mengambil setting di daerah ini. Hasilnya pun jauh dari lumayan yang artinya bagus. Dihias dengan gunung-gunung dibelakangnya, kampung rawa yang masih terbilang baru usianya mendapatkan poin pentingnya, strategis manis. Jalur baru yang terbilang seumur jagung ini memanjakan pengendara yang melintas dengan lanskap rawa, persawahan, kemudian menyatu dengan gunung dan perbukitan disana sini. Jalur ini dibuka untuk menghindari kemacetan di pasar ambarawa yang selalu padat kendaran dan keramaian. Rute yang lumayan memutar jauh terbayar dengan lanskap Allah yang lengkap memanjakan mata. Kampung Rawa yang menghampar diatas Rawa Pening menyediakan kuliner khas, permainan, dan ATV.

Jika kita melintas di pagi atau siang hari mata akan langsung disuguhi hamparan sawah menghijau, kadang kala perahu nelayan disalah satu sisinya. Lampu yang mendaki di sederet bukit-bukit disekelilingnya spektakuler ketika kebetulan kita melintas malam hari. Apabila kita pernah melihat Jakarta dari teluknya, disini kita melihat lampu dikanan dan kiri kita.

Kita akan menemui perempatan lampu merah yang dijaga oleh sekelompok pengamen tradisional. Mereka menari ditengah traffic light dengan busana daerah  plus make up lengkap. Saya sempat memikirkan pendapatan yang mereka peroleh dari pengguna jalan. Apakah sebanding dengan pengeluaran mereka untuk gamelan, make up, busana, dan kebutuhan sehari-hari. Yaa, namanya kerja. Tidak ada yang enak Jil jika tidak berawal dari kesenangan. Bahkan mereka yang mengaku senang pun kadangkala terbentur kebutuhan hidup anak dan istri.

Di Ambarawa berdiri sebuah museum yang dahulunya merupakan sebuah stasiun, Museum Kereta Api Ambarawa. Dibangun pada abad 19 atau tahun 1800an oleh pemerintah Belanda. Museum ini menjadi favorit calon pengantin untuk menggelar pre wedding karena ada belasan lokomotif bertengger di museum ini. Kita bisa melihat jejak-jejak rel bersebelahan dengan jalan raya karena pernah beroperasi rute Semarang-Ambarawa-Solo. Sekarang, rel-rel tersebut sudah usang karena lama tidak beroperasi. Semoga Gubernur yang sudah lebih dari 100 hari mau memaksimalkan transportasi masal favorit tersebut.

Rute Ambarawa tidak akan lengkap sampai kita menoleh rumah megah warna hijau disebelah kanan jalan. Bukankah kita masih ingat peristiwa seorang syeh yang menikahi gadis berusia 14 tahun? Sebentar lagi saya akan melewati kediaman syeh kontroversial itu. Bahkan ia sempat membuat sel untuk dirinya sendiri. Rumah berpagar hijau motif pot bunga tersebut begitu mencolok diantara rumah warga yang terbilang biasa. Meski luas dan memiliki garasi berkapasitas sekitar 4 mobil, rumah tersebut tidak terkesan mewah berlebih.

Warung Kopi Banaran akan menyegarkan pikiran kita selepas mengingat-ingat kasus dan kontrovesi pemilik pondok pesantren. Pertama kali ke Semarang awal tahun 2009, saya masih melihat sisi perbukitan yang gundul dan menyisakan bibit kecil. Sekarang bukit-bukit itu sudah tertutup pohon yang semakin meninggi. Alhamdulillah. Warung Kopi Banaran menyediakan aneka macam kopi yang rasanya khas. Selain kopi, tempat ini menyajikan berbagai permainan dan wisata keliling kebun kopi karena memang warkop yang berdiri sejak 2002 ini terletak persis di area perkebunan kopi milik PTPN IX. Luasnya perkebunan ini dan rute yang unik, akhirnya pengembang membuat dua spot. Disepanjang rute Semarang-Solo tepatnya di area Bawen dan di jalur yang tengah saya lewati. Ada yang mau menikmati secangkir kopi disana bareng saya? ^_^

Melangkah dari Warung Kopi Banaran, kita dilepas oleh Gapura "Selamat Jalan, Kabupaten Semarang" dan menuruni jalanan kemudian disambut dengan "Selamat Datang, Kabupaten Temanggung". Area ini favorit para pengendara truk untuk berguling atau sekadar tergelincir sukses di tanjakannya. Saya pun pernah terjebak kemacetan panjang gegara kontainer mengguling ke salah satu sisinya. Akibatnya terpaksa menikmati macet berjam-jam. Beruntung, ada mushala yang berada didalam kawasan pabrik untuk shalat dhuhur. Memang Allah yang mengatur rejeki hamba Nya, disiang bolong yang serba tidak pasti melengganglah seorang penjual baso mini disekitar biang kemacetan. Macet yang menyenangkan. Menikmati baso mini bersama teman yang melakukan perjalanan serupa.

Ini Temanggung ya? Saya ingat kasus kerusuhan di bulan Februari 2011 lalu. Kerusuhan yang dipicu oleh kasus penistaan agama tersebut punya cerita panjang sejak 2010. Saya yang sempat melintas ketika kota berada dalam kondisi darurat merinding juga melihat masa yang berkeliaran di penjuru kota. Bahkan beberapa konvoi didatangkan dari Brimob dan Polda Jateng untuk mengantisipasi kerusuhan yang semakin melebar. Tetapi perjalanan saya tidak akan melewati rute Temanggung-Wonosobo karena lebih lama dari rute Magelang-Purworejo.

Bersiap-siap masuk kota harapan >> Magelang. Go go go!!

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...