Senin, 28 April 2014

Semut

Ada seekor semut hitam yang berjalan diantara sela jari tangan kananku. Mencari kemanisan dari sisa puding dalam waktu yang cukup lama. Pernah kutiup dengan semangat beberapa kali. Senyum kegirangan kurasai. Tiupan yang bagiku tak seberapa kencang ibarat badai yang mengguncang mereka. Apakah kamu kedinginan?

Lantas kupandangi ia sampai pergi mencari tempat lain. Tersadar sesaat, tanganku masih manis oleh puding susu. Mereka, para semut mendekat pada yang mengandung gula. Sama seperti kita. Mendekat pada apa yang menghidupkan. Kita pun punya pekerjaan lain yang akan segera dilakukan ketika sumber kehidupan berkurang, lenyap atau habis. Hijrah.

Mereka pergi lagi pada apa-apa yang mengandung gula. Merayap kesana kemari diantara kami yang tengah berdiskusi. Apakah kamu kelaparan?

Bersemangatlah mencari apa apa yang menghidupkan

Minggu, 27 April 2014

Doa

Kita tidak mungkin berbalik ke masa lalu. Karena kita hidup di masa sekarang dan tengah berjalan ke masa depan.
Aku adalah manusia masa kini yang terus berjalan ke masa depan. Biar aku yang berlari ke masa depan untuk menemukanmu disana.
Tuhan mengabulkan semua permintaanku atasmu. Semua permintaanku telah dikabulkan. Maka hari ini dan setrerusnya aku memintamu lebih sering.
Aku akan memintamu dalam kebaikan, bukan seperti kemarin yang penuh dengan kemarahan. Aku akan memintamu baik-baik. Lebih sering dan lebih keras dari sebelumnya

Selasa, 22 April 2014

Selera


Siapa yang hendak menyalahkan jika kamu menyukai korespondensi dengan seseorang yang jauh dari rumahmu? Memilih untuk meninggalkan kecanggihan teknologi dan melangkah ke kantor pos mungkin merepotkan bagi sebagian orang. Tetapi tangan sudah selesai melipat kertas dan amplop sudah tergeletak di sebelahnya. Pertanyaan yang selalu sama dari petugas jaga nyaring terdengar, “Isinya apa, kode posnya berapa?”. Saya tidak tahu apakah kamu merasakan kebahagiaan dalam menanti surat dari tukang pos atau tidak karena teknologi sungguh memanjakan kita dalam fasilitas waktu yang semakin efisien. Saya memilih untuk menuliskan banyak kisah diatas kertas, mengemasnya dalam amlop coklat, kemudian mengantarkannya pada petugas berkumis tipis yang ramah di kantornya. 
Siapa yang hendak berkomentar panjang lebar jika nyatanya kamu menyukai film kolosal dengan ribuan prajurit dan feodalisme kerajaan ratusan tahun lalu? Aksi laga di layar memang menyenangkan untuk disimak. Dengan sedikit permainan sains pada penggarapannya, banyak film menghabiskan ratusan juta dolar untuk memuaskan penggemarnya. Saya lebih memilih manusia-manusia masa kini dalam rupa masa lalu yang mengajarkan banyak kebijaksanaan hidup. Peristiwa tempo dulu yang dapat dilacak secara ilmiah lebih menarik untuk disimak. Kisah didalamnya mewariskan kepada kita kegagalan dan kejayaan yang dapat kita maknai masing-masing. 
Siapa yang akan mencemooh jika kamu lebih memilih untuk membeli buku yang ingin kamu baca daripada memperbaharui fashion atau gadget? Kamu akan lebih nyaman menghabiskan gaji atau uang bulanan untuk mencari buku idaman yang diincar sejak beberapa bulan yang lalu. Hal menyenangkan itu ketika memberi sampul pada buku baru dan menyelipkannya diantara koleksi di rak buku. Saya lebih suka memenuhi ransel terlebih dahulu dengan buku sebelum pergi kemana-mana daripada mengisinya dengan make up atau gadget. Yang aneh bukannya asyik dengan buku sementara teman terbahak-bahak oleh cerita teman yang lain. Tetapi aneh rasanya jika menghabiskan waktu untuk menertawakan hidup yang cuma sekali. Bagi saya, menyapa adalah suatu kewajiban sekaligus kebutuhan. Namun menghabiskan waktu dengan sia-sia tidak bijak untuk dijadikan pilihan. 
Hal lain yang pasti akan selalu menyenangkan adalah menikmati perjalanan panjang dari suatu kota ke kota lain dalam kesendirian. Kamu bisa selftalk sesukamu dalam berbagai lini hidup. Membicarakan banyak masa yang terjadi disekitarmu dalam rute panjang yang hikmat. Kamu lebih suka duduk dikursi yang tidak ada penghuninya dan memandang kejauhan yang mungkin hanya areal hijau menghampar, kelokan perbukitan yang tidak kunjung habis, atau menciumi rel sepanjang bibir pantai. Dalam deru laju kendaraan, hatimu ramai bercengkrama tentang hidup. Kamu mungkin tertegun dalam meratapi kesedihan kemarin yang menggelikan untuk diingat dengan logika. Di jam kemudian ada serangkaian peristiwa menyenangkan yang menggeliat di memori ketika membaca sebuah pesan singkat. Bahkan dalam kesendirian kamu masih bisa meramaikannya dengan aktivitas otak dan hati. 
Menemukan orang yang memiliki selera sama justru lebih membahagiakan. Seperti bercermin dihadapan cermin besar dan melihat diri kita disana. Bila ada yang lugu diseberang sana, kita seolah menertawakan diri sendiri. Menemukan cacat dalam cermin adalah menemukan cacat dalam diri sendiri. 
Apakah selera akan mempertemukan saya dan kamu? Saya tidak tahu. Saya hanya yakin bahwa bertemu kamu merupakan kebahagiaan bagi saya.

Senin, 21 April 2014

Antara Kartini dan Kami



Andai bukan Kartini yang menulis surat, mungkin Cut Nyak Dien atau Dewi Sartika.
Andai bukan dengan orang Belanda yang punya kepentingan praktis kala itu, mungkin Inggris atau Prancis.
Sebentuk curhatan dalam lembar kertas tidak akan menjadi titik tolak sebuah kajian mendalam dan hebat tentang dunia perempuan di Indonesia.
Sebuah pernikahan tidak akan dianggap sebagai pelemahan gerak seorang perempuan di akhir abad 19.

Tapi kami mengerti, setiap peristiwa sejarah memberikan pelajaran bagi kita untuk sadar bahwa kala itu kita tengah sama-sama membangun kepercayaan diri untuk diakui. Meski belum ada satu kata "merdeka" sebagai tujuan. Meski auranya masih pasang surut di masing-masing jiwa.

Titik tolak itu sudah sangat jauh dari masa ledaknya. Aku dan kamu akan melanjutkannya dalam pembangunan perempuan masa kini.
Yang mana pembahasan soal gender sudah memasuki masa aktualisasi, bukan lagi redefinisi.

Yang tidak ingin kami lihat dan sadari dari pemikiran Kartini adalah...

"kami tidak percaya bahwa hidup kami akan berakhir begitu lumrah dan tawar sebagaimana halnya ribuan orang sebelum dan sesudah kami"

Kami tidak akan sebiasa itu. Tidak akan.

Sabtu, 05 April 2014

Karena Dia Tidak Hanya Hidup Denganmu

Apakah kita terlalu sering mengharapkan dia untuk begini dan begitu? Mereka harus melakukan ini dan itu. Menetapkan standar yang semestinya mereka lakukan karena telah begini dan begitu kemarin? Mereka harus memilih ini dan meninggalkan itu. Lulus di tahun kesekian, bekerja di suatu tempat, atau menikah dengan siapa. Semua atas penilaian dan standar yang kita berikan.

Apakah berharap kepada orang lain seperti menanamkan apa yang kita persepsikan terjadi dan dilakukan oleh mereka?

Kita berharap orang ini begini dan begitu karena ia telah begini dan begitu. Padahal dunia berubah, jarum jam bergerak, bumi berotasi. Perihelium pada akhirnya berlalu hingga suatu hari dipenghujung tahun kita akan sangat jauh dari matahari.

Segala yang kita harapkan dari orang lain untuk dilakukan dan dipikirkan terlihat memaksa bukan?

Bacaan mampu mengubah pemahaman yang kemudian melandasi perubahan perilaku. Kawan diskusi menambah wawasan, mengajari seseorang menilai karakter, membelajarkan kedewasaan sikap bahkan mengubah pandangan hidup yang prinsipil. Pun peristiwa yang datang silih berganti akan sangat membekas bagi dirinya untuk bersikap sesuai tuntutan hidup.

Ia bersamamu. Mereka tidak pernah meninggalkanmu. Menemukan banyak pengalaman dan mengukir berpuluh kenangan. Ia menemani disaat tersulit. Mereka mengusap airmata diujung derita. Sayangnya, ia ada ditengah-tengah milyaran manusia. Mereka memiliki kamu yang lain di tempat lain. Bukan hanya dengan kamu seorang. Ia bisa berubah dan perubahan itu tidak hanya berasal dari kamu.

Ada yang bilang bahwa berharap kepada manusia harus siap dikecewakan. Mereka bisa berbalik arah, berpikir hal lain, atau sama sekali tidak mempersoalkan harapan yang kita kembangkan. Maka berharap kepada Tuhan lebih membahagiakan. Merengek dalam renungan panjang di waktu-waktu terbaik malah membuat Nya makin mencintai kita.

Apakah kita masih berpikir ia hidup hanya untuk  kita? Kadangkala itu benar. Terlebih banyak salah karena ada orang tua yang sekarang harus dirawat dan diperhatikan seperti kita kecil dahulu. Ada anak-anak yang memanja dipenghujung jam kerja saat ia masuk rumah. Setumpuk kertas yang menyita waktu dan energi tidak mungkin ditinggalkan hanya untuk menyenangkanmu.

Serupa pohon rindang yang teduh di tanah lapang nan hijau. Ia bisa saja menerima anak kecil yang menumpang duduk dibawah sejuknya dedaunan yang rimbun. Kemudian mereka menyandarkan sepeda mereka pada batangnya dan berlarian disekitarnya karena merasa nyaman bermain.

Lain kali kawanan burung menghinggap sampai bertelur dan menetaskan anak burung yang lemah. Bukankah menyenangkan ada kicauan setiap saat dari anak burung yang masih belum sanggup terbang menemani induknya menjelajah bumi?

Berbagi hidup dengan mereka yang membutuhkannya akan lebih membahagiakan daripada memintanya hidup hanya untuk kita. Bahwa Ia memberikan kebahagian pula untuk orang lain bahkan mahluk lain. Apakah kamu merasakan kebahagiaan berbagi?

Biarkan mereka memberikan perlakuan terbaik untuk memaknai kebaikan dalam sikap. Mereka butuh menuangkan kesegaran ide pada orang di jalanan. Sesekali kamu pun perlu untuk menemani mereka menjadi diri mereka sendiri. Terlepas dari sangkaanmu akan mereka selama ini.

Karena dia tidak hanya hidup denganmu, berbagilah kebahagiaan yang kamu peroleh meski kamu baru mendapatkan sedikit.

Tentang Rasa Sakit yang Harus Diakui

Penyangkalan terhadap rasa sakit akibat orang lain terasa menyedihkan ya? Mereka yang mengoreksi kesalahanmu dengan cara yang tidak kita sukai memang menyebalkan. Kita pun menjadi berpikir “Apakah mereka tidak punya kalimat lain yang lebih lembut?” Mungkin mereka adalah orang spesial yang benar-benar kamu hargai. Mereka benar-benar kamu gambarkan dalam keadaan seideal-idealnya manusia. Padahal mereka toh manusia biasa seperti kamu yang tidak bisa 100% seperti yang kamu inginkan.

Sungguh kalimat itu begitu menusuk. Seolah aku terdakwa yang sangat salah dan harus dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Mereka bahkan sempat tertawa tanpa dosa dengan meninggalkan luka di jiwa kita. Kamu tahu, itu cukup menyakitkan dan dapat dijadikan alasan untukku meninggalkan ruangan tanpa permisi.

Tapi pada akhirnya kamu hanya duduk patuh dan mengucapkan beberapa patah kata yang tidak dari hatimu. Kamu malah membenarkan sikap kurang ajar itu menginjak-injakmu dengan bangga. Yang paling menjijikkan adalah segumpal air yang menggenang di pelupuk mata kini hanya terdiam disitu. Perwujudan dari rasa sakit yang tertahan.

Kamu akan tahu suatu hari rasa itu akan muncul jika kamu tekan semakin hebat ke pedalaman hatimu. Ia akan naik dalam tempo lambat dan sampai dipermukaan suatu hari nanti. Bisa saja kamu memarahi seseorang dengan luapan emosi maksimal padahal ia hanya memecahkan gelas seharga 2000 rupiah. Ia akan naik jika tidak kau keluarkan dengan bijak. Pasti.

Tapi kamu sebenarnya tidak perlu memaki dalam hati. Menangislah untuk dirimu sendiri. Merataplah untuk hati yang sedang belajar dewasa. Memakilah dalam susunan kalimat. Ungkapkan yang ingin kamu katakan. Jujur terhadap diri sendiri jika ingin memaki dan menangis. Karena menahan sakit justru mematikanmu lebih cepat dan menyeramkan. Sebab memendam kesedihan hanya membuatmu terlihat lebih menyedihkan.

Memakilah.
Menangislah.
Agar hatimu lepas dari bibit dendam.

Bukankah menangis menguras energimu hingga kamu harus makan banyak-banyak setelahnya? Bukankah memaki membuatmu kehausan dan kelelahan? Meski demikian, energi negatif akan hilang bersamaan dengan lenyapnya makianmu.

Badanmu terasa lebih ringan dan kepalamu lebih mudah ditegakkan. Dadamu sudah tidak sesak lagi. Tanganmu tidak lagi berat untuk digerakkan. Yang pasti kamu ingin keluar rumah dan bertemu banyak orang.
Sesederhana itu rasa sakit diekspresikan setelah sebelumnya diakui dalam diri.

Sekaran, 31 Maret 2014

Selamat Pagi


Menemukan pagi yang menyenangkan adalah ketika mata terbuka, hati begitu lapang menghirup udara pertama hari ini. Walaupun setelah 10 menit kita akan teringat segudang agenda dan janji padat seharian. Biarkan dirimu terbebas dari menjadu mahasiswa tingkat akhir yang ditagih kelulusannya. Lupakan sejenak bahwa kamu adalah pegawai rendahan suatu perusahaan multinasional. Acuhkan kalau hari ini karyawan menanti gaji dari tandatanganmu. Manjakan dirimu di pagi yang diberkahi Tuhan dengan dzikir pagi yang semarak. 10 menit untuk merasa mungil dan polos dipeluk bumi yang belum hangat oleh mentari.

Ayam baru saja berkokok di ujung gang sana dan membangunkan tuannya yang memanja dibalik selimut. Ada juga yang masih terjaga dan masih disibukkan dengan pekerjaan. Yang lain sudah mengunci bilik untuk bergegas ke ladang, menyalakan mesin kendaraan bahkan sudha bercengkrama dengan pelanggan membicarakan hujan semalam.

Aku ingin kamu disini menikmati sajian Tuhan yang menakjubkan. Hanya 10 menit setiap harinya. Usai ritual pagi kita bisa beranjak untuk mewujudkan satu per satu impian yang kita tuliskan dalam kesadaran penuh. Daftar yang kita coret perlahan karena sudah terwujud dalam realitas. Apakah kamu akan terus membersamai hingga kutuliskan impian yang lebih banyak dari ini semua?

Seredup lampu diujung jalan yang sudah kala dengan neon di ufuk. Langkah kaki mereka sudah tidak terdengar lagi dalam hening. Hiruk pikuk menggeser gelap dan sepi yang mengungkung semalam. Tanah nampak tak berair karena hujan. Airnya sudah meresap hanya dalam hitungan jam tanpa kita sadari.

Apakah sudah 10 menit? Rasanya ingin berlama-lama merenungi keagungan pagi-Nya. Banyak-banyak bersyukur akan setiap peristiwa unik di setiap detik yang terlewati. Tuhan, apakah aku bisa merasakan pagi yang menakjubkan lagi esok? Apakah Engkau masih mengijinkanku untuk menemui pagi-Mu dengannya? Jangan pernah biarkan aku mencintainya lebih dari aku mencintai-Mu.

Buku dan kertas kubiarkan berserak di lantai. Tulisan-tulisan kecil yang mencuat dilembarnya akan kubaca lain waktu. Pemikiran tentang tipuan sejarah manusia penghuni benua emas masih menari di kepala. Seolah penjelasan ilmuwan dan sejarawan belum memuaskan rasa penasaran. Seburuk itukah pelaku sejarah menuliskan dirinya? Ajisaka tetap terpatri dalam benak manusia keraton sementara orang di luar istana sudah tidak peduli.

Kita akan menuliskan catatan sejarah terbaik untuk negeri ini bukan? Menuliskan apa yang sebenarnya berlaku atas diri kita. Maka aku akan melakukan yang terbaik untuk hidup.

Tuesday. 05.45 pm
April 1st, 2014

Apa Kabar Impian?



 Dalam rentang lima kali putaran bumi mengelilingi matahari, ratusan impian tertulis. Bahkan diucapkan dihadapan kepala anak muda. Justru tersenyum senang tanpa pesimis sebagai konsekuensi logis dari kesemangatan darah muda. Lupa kalau hidup seperti pohon yang bisa menggugurkan daunnya, terhinnggapi ulat-ulat nakal atau ditebas pemiliknya sewaktu-waktu.

Aku menuliskan banyak impian diatas kertas kemudian merapalkannya diujung doa. Biar saja aku mati dalam memperjuangkan semua impian itu. Aku juga menulismu untuk sisa hidup esok dan setelah kematian datang. Mungkin Tuhan sudah hafal permintaanku dan menuliskannya terus menerus. Setidaknya aku berusaha untuk mengungkapkannya. Bersedia menceritakan satu demi satu dari apa yang aku pikirkan. Sembari mencari kawan untuk menemaniku menikmati ikhtiyar penuh cinta.

Disini, perjalanan terasa hingar oleh desah teman-teman. Ada yang tanpa impian dan sekadar mengikuti siklus. Mereka menjalani hidup dengan sewajarnya. Berusaha seperti yang diusahakan orang kebanyakan. Yang pungkasan mengecap kesuksesan dengan standar manusia biasa. Bahagia seperti yang dimaksud semua orang.

Diseberang jalan ada yang terburu-buru waktu. Seolah tidak ada spasi dalam kalimat hidupnya. Padat oleh pemenuhan kebutuhan pribadinya tanpa menengok orang lain. Ia yang tidak menikmati setiap tarikan nafas yang diberikan Tuhan kepadanya. Mesin pun berirama meski tidak selamanya. Yang mereka tahu, tak ada waktu untuk bergurau karena kesempatan hanya datang sekali. Bulan pun berputar ratusan kali.

Ada saja orang yang ingin diam ditempat tanpa ingin beranjak. Ia nyaman dengan kursinya, teduh oleh atapnya, semilir anginnya, atau rona bintang yang terlihat lebih tajam dari tempat lain. Ia tidak akan mendapatkan apa-apa selain apa yang ada disekitarnya. Apa yang jatuh dari langit diatasnya, apa yang keluar dari bumi yang dipijaknya. Itulah yang Ia dapatkan.

Ah. Mana mau orang digolongkan seperti ini dan itu. Mana boleh aku memvonis mereka seperti ini dan seperti itu. Semua orang pasti ingin dicap terbaik. Mengakui kekurangannya dalam sepi manusia dan ditepian keramaian pekerjaan. Mereka tidak melulu sama seperti yang ada dalam pikiranku, juga pikiranmu. 

Setiap saat selalu ada harapan untuk lebih baik dan lebih bahagia. Dengan imian-impian, ada arah kemana hidup mesti ditapaki. Menulis impian tentu dengan pertimbangan-pertimbangan akal serta kemampuan. Apalah jadinya jika Tuhan mengabulkan kita dapat hidup di kutub? Semanis perjalanan keliling negeri nan indah atau memotret banyak kepunyaan Nya. Ia mengabulkan apa yang kita butuhkan sesuai kadarnya.

Apa kabar impian? Ia mewujud dalam bahasa langit lantas meretas dalam tetes takdir. Aamiin

March, 24th 2014

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...