Senin, 21 April 2014

Antara Kartini dan Kami



Andai bukan Kartini yang menulis surat, mungkin Cut Nyak Dien atau Dewi Sartika.
Andai bukan dengan orang Belanda yang punya kepentingan praktis kala itu, mungkin Inggris atau Prancis.
Sebentuk curhatan dalam lembar kertas tidak akan menjadi titik tolak sebuah kajian mendalam dan hebat tentang dunia perempuan di Indonesia.
Sebuah pernikahan tidak akan dianggap sebagai pelemahan gerak seorang perempuan di akhir abad 19.

Tapi kami mengerti, setiap peristiwa sejarah memberikan pelajaran bagi kita untuk sadar bahwa kala itu kita tengah sama-sama membangun kepercayaan diri untuk diakui. Meski belum ada satu kata "merdeka" sebagai tujuan. Meski auranya masih pasang surut di masing-masing jiwa.

Titik tolak itu sudah sangat jauh dari masa ledaknya. Aku dan kamu akan melanjutkannya dalam pembangunan perempuan masa kini.
Yang mana pembahasan soal gender sudah memasuki masa aktualisasi, bukan lagi redefinisi.

Yang tidak ingin kami lihat dan sadari dari pemikiran Kartini adalah...

"kami tidak percaya bahwa hidup kami akan berakhir begitu lumrah dan tawar sebagaimana halnya ribuan orang sebelum dan sesudah kami"

Kami tidak akan sebiasa itu. Tidak akan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...