Selasa, 22 April 2014

Selera


Siapa yang hendak menyalahkan jika kamu menyukai korespondensi dengan seseorang yang jauh dari rumahmu? Memilih untuk meninggalkan kecanggihan teknologi dan melangkah ke kantor pos mungkin merepotkan bagi sebagian orang. Tetapi tangan sudah selesai melipat kertas dan amplop sudah tergeletak di sebelahnya. Pertanyaan yang selalu sama dari petugas jaga nyaring terdengar, “Isinya apa, kode posnya berapa?”. Saya tidak tahu apakah kamu merasakan kebahagiaan dalam menanti surat dari tukang pos atau tidak karena teknologi sungguh memanjakan kita dalam fasilitas waktu yang semakin efisien. Saya memilih untuk menuliskan banyak kisah diatas kertas, mengemasnya dalam amlop coklat, kemudian mengantarkannya pada petugas berkumis tipis yang ramah di kantornya. 
Siapa yang hendak berkomentar panjang lebar jika nyatanya kamu menyukai film kolosal dengan ribuan prajurit dan feodalisme kerajaan ratusan tahun lalu? Aksi laga di layar memang menyenangkan untuk disimak. Dengan sedikit permainan sains pada penggarapannya, banyak film menghabiskan ratusan juta dolar untuk memuaskan penggemarnya. Saya lebih memilih manusia-manusia masa kini dalam rupa masa lalu yang mengajarkan banyak kebijaksanaan hidup. Peristiwa tempo dulu yang dapat dilacak secara ilmiah lebih menarik untuk disimak. Kisah didalamnya mewariskan kepada kita kegagalan dan kejayaan yang dapat kita maknai masing-masing. 
Siapa yang akan mencemooh jika kamu lebih memilih untuk membeli buku yang ingin kamu baca daripada memperbaharui fashion atau gadget? Kamu akan lebih nyaman menghabiskan gaji atau uang bulanan untuk mencari buku idaman yang diincar sejak beberapa bulan yang lalu. Hal menyenangkan itu ketika memberi sampul pada buku baru dan menyelipkannya diantara koleksi di rak buku. Saya lebih suka memenuhi ransel terlebih dahulu dengan buku sebelum pergi kemana-mana daripada mengisinya dengan make up atau gadget. Yang aneh bukannya asyik dengan buku sementara teman terbahak-bahak oleh cerita teman yang lain. Tetapi aneh rasanya jika menghabiskan waktu untuk menertawakan hidup yang cuma sekali. Bagi saya, menyapa adalah suatu kewajiban sekaligus kebutuhan. Namun menghabiskan waktu dengan sia-sia tidak bijak untuk dijadikan pilihan. 
Hal lain yang pasti akan selalu menyenangkan adalah menikmati perjalanan panjang dari suatu kota ke kota lain dalam kesendirian. Kamu bisa selftalk sesukamu dalam berbagai lini hidup. Membicarakan banyak masa yang terjadi disekitarmu dalam rute panjang yang hikmat. Kamu lebih suka duduk dikursi yang tidak ada penghuninya dan memandang kejauhan yang mungkin hanya areal hijau menghampar, kelokan perbukitan yang tidak kunjung habis, atau menciumi rel sepanjang bibir pantai. Dalam deru laju kendaraan, hatimu ramai bercengkrama tentang hidup. Kamu mungkin tertegun dalam meratapi kesedihan kemarin yang menggelikan untuk diingat dengan logika. Di jam kemudian ada serangkaian peristiwa menyenangkan yang menggeliat di memori ketika membaca sebuah pesan singkat. Bahkan dalam kesendirian kamu masih bisa meramaikannya dengan aktivitas otak dan hati. 
Menemukan orang yang memiliki selera sama justru lebih membahagiakan. Seperti bercermin dihadapan cermin besar dan melihat diri kita disana. Bila ada yang lugu diseberang sana, kita seolah menertawakan diri sendiri. Menemukan cacat dalam cermin adalah menemukan cacat dalam diri sendiri. 
Apakah selera akan mempertemukan saya dan kamu? Saya tidak tahu. Saya hanya yakin bahwa bertemu kamu merupakan kebahagiaan bagi saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...