Dalam rentang lima kali putaran bumi
mengelilingi matahari, ratusan impian tertulis. Bahkan diucapkan dihadapan
kepala anak muda. Justru tersenyum senang tanpa pesimis sebagai konsekuensi
logis dari kesemangatan darah muda. Lupa kalau hidup seperti pohon yang bisa
menggugurkan daunnya, terhinnggapi ulat-ulat nakal atau ditebas pemiliknya
sewaktu-waktu.
Aku menuliskan banyak impian diatas kertas
kemudian merapalkannya diujung doa. Biar saja aku mati dalam memperjuangkan
semua impian itu. Aku juga menulismu untuk sisa hidup esok dan setelah kematian
datang. Mungkin Tuhan sudah hafal permintaanku dan menuliskannya terus menerus.
Setidaknya aku berusaha untuk mengungkapkannya. Bersedia menceritakan satu demi
satu dari apa yang aku pikirkan. Sembari mencari kawan untuk menemaniku
menikmati ikhtiyar penuh cinta.
Disini, perjalanan terasa hingar oleh desah
teman-teman. Ada yang tanpa impian dan sekadar mengikuti siklus. Mereka
menjalani hidup dengan sewajarnya. Berusaha seperti yang diusahakan orang
kebanyakan. Yang pungkasan mengecap kesuksesan dengan standar manusia biasa.
Bahagia seperti yang dimaksud semua orang.
Diseberang jalan ada yang terburu-buru
waktu. Seolah tidak ada spasi dalam kalimat hidupnya. Padat oleh pemenuhan
kebutuhan pribadinya tanpa menengok orang lain. Ia yang tidak menikmati setiap
tarikan nafas yang diberikan Tuhan kepadanya. Mesin pun berirama meski tidak
selamanya. Yang mereka tahu, tak ada waktu untuk bergurau karena kesempatan
hanya datang sekali. Bulan pun berputar ratusan kali.
Ada saja orang yang ingin diam ditempat
tanpa ingin beranjak. Ia nyaman dengan kursinya, teduh oleh atapnya, semilir
anginnya, atau rona bintang yang terlihat lebih tajam dari tempat lain. Ia
tidak akan mendapatkan apa-apa selain apa yang ada disekitarnya. Apa yang jatuh
dari langit diatasnya, apa yang keluar dari bumi yang dipijaknya. Itulah yang
Ia dapatkan.
Ah. Mana mau orang digolongkan seperti ini
dan itu. Mana boleh aku memvonis mereka seperti ini dan seperti itu. Semua
orang pasti ingin dicap terbaik. Mengakui kekurangannya dalam sepi manusia dan
ditepian keramaian pekerjaan. Mereka tidak melulu sama seperti yang ada dalam
pikiranku, juga pikiranmu.
Setiap saat selalu ada harapan untuk lebih
baik dan lebih bahagia. Dengan imian-impian, ada arah kemana hidup mesti
ditapaki. Menulis impian tentu dengan pertimbangan-pertimbangan akal serta
kemampuan. Apalah jadinya jika Tuhan mengabulkan kita dapat hidup di kutub?
Semanis perjalanan keliling negeri nan indah atau memotret banyak kepunyaan
Nya. Ia mengabulkan apa yang kita butuhkan sesuai kadarnya.
Apa kabar impian? Ia mewujud dalam bahasa
langit lantas meretas dalam tetes takdir. Aamiin
March, 24th 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar