Sabtu, 05 April 2014

Apa Kabar Impian?



 Dalam rentang lima kali putaran bumi mengelilingi matahari, ratusan impian tertulis. Bahkan diucapkan dihadapan kepala anak muda. Justru tersenyum senang tanpa pesimis sebagai konsekuensi logis dari kesemangatan darah muda. Lupa kalau hidup seperti pohon yang bisa menggugurkan daunnya, terhinnggapi ulat-ulat nakal atau ditebas pemiliknya sewaktu-waktu.

Aku menuliskan banyak impian diatas kertas kemudian merapalkannya diujung doa. Biar saja aku mati dalam memperjuangkan semua impian itu. Aku juga menulismu untuk sisa hidup esok dan setelah kematian datang. Mungkin Tuhan sudah hafal permintaanku dan menuliskannya terus menerus. Setidaknya aku berusaha untuk mengungkapkannya. Bersedia menceritakan satu demi satu dari apa yang aku pikirkan. Sembari mencari kawan untuk menemaniku menikmati ikhtiyar penuh cinta.

Disini, perjalanan terasa hingar oleh desah teman-teman. Ada yang tanpa impian dan sekadar mengikuti siklus. Mereka menjalani hidup dengan sewajarnya. Berusaha seperti yang diusahakan orang kebanyakan. Yang pungkasan mengecap kesuksesan dengan standar manusia biasa. Bahagia seperti yang dimaksud semua orang.

Diseberang jalan ada yang terburu-buru waktu. Seolah tidak ada spasi dalam kalimat hidupnya. Padat oleh pemenuhan kebutuhan pribadinya tanpa menengok orang lain. Ia yang tidak menikmati setiap tarikan nafas yang diberikan Tuhan kepadanya. Mesin pun berirama meski tidak selamanya. Yang mereka tahu, tak ada waktu untuk bergurau karena kesempatan hanya datang sekali. Bulan pun berputar ratusan kali.

Ada saja orang yang ingin diam ditempat tanpa ingin beranjak. Ia nyaman dengan kursinya, teduh oleh atapnya, semilir anginnya, atau rona bintang yang terlihat lebih tajam dari tempat lain. Ia tidak akan mendapatkan apa-apa selain apa yang ada disekitarnya. Apa yang jatuh dari langit diatasnya, apa yang keluar dari bumi yang dipijaknya. Itulah yang Ia dapatkan.

Ah. Mana mau orang digolongkan seperti ini dan itu. Mana boleh aku memvonis mereka seperti ini dan seperti itu. Semua orang pasti ingin dicap terbaik. Mengakui kekurangannya dalam sepi manusia dan ditepian keramaian pekerjaan. Mereka tidak melulu sama seperti yang ada dalam pikiranku, juga pikiranmu. 

Setiap saat selalu ada harapan untuk lebih baik dan lebih bahagia. Dengan imian-impian, ada arah kemana hidup mesti ditapaki. Menulis impian tentu dengan pertimbangan-pertimbangan akal serta kemampuan. Apalah jadinya jika Tuhan mengabulkan kita dapat hidup di kutub? Semanis perjalanan keliling negeri nan indah atau memotret banyak kepunyaan Nya. Ia mengabulkan apa yang kita butuhkan sesuai kadarnya.

Apa kabar impian? Ia mewujud dalam bahasa langit lantas meretas dalam tetes takdir. Aamiin

March, 24th 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...