Siang ini petugas
perpustakaan pusat disibukkan oleh aktivitas menyampuli buku koleksi yang
tertata di rak-rak kayu. Ada sekitar 10 petugas di salah satu sisi perpustakaan
yang menjadi spot buku yang sering
saya cari. Beberapa meja ditata dengan dipenuhi buku-buku lawas yang sampulnya
sudah berganti rupa dan desain. Saya langsung berharap, semoga buku yang sudah usang
akan segera diganti dengan yang lebih up
to date. Nampaknya kesibukan petugas akan berlanjut sampai esok dan esoknya
lagi mengingat buku yang digarap masih berada pada kode awal.
Komplek buku
pendidikan, psikologi, hukum, sosiologi antropologi, ekonomi dan ilmu sosial
lainnya masuk dalam rak kubu kiri. Sedangkan buku teknik, matematika, IPA,
kesehatan, sastra dan ilmu eksak lainnya masuk dalam rak kubu kanan. Petugas
masih berlalu lalang di rak sebelah kiri dan saya lihat baru menjamah buku
pendidikan dan Bimbingan Konseling. Apakah ini kegiatan rutin yang memang sudah
diagendakan atau memang akan ada monitoring/akreditasi atau semacamnya? Ah, itu
hanya pikiran mahasiswa iseng.
Tidak hanya petugas
yang ramai di perpustakaan, pengunjung pun terlihat ramai disana-sini. Hampir
tidak menemukan tempat duduk di pojok yang dekat rak buku tujuan saya, mulailah
mencari kursi yang tersisa. Kursi langganan saya kosong tetapi ada dua orang
mahasiswa hukum yang tengah berdiskusi. Masa bodoh dengan urusan mereka. Toh
kursi saya tidak ada yang menempati. Akhirnya tanpa permisi saya meletakkan
buku yang saya ambil dari rak.
Angin dari kipas angin yang
berputar terasa lebih kencang dari biasanya. Disemarakkan oleh diskusi dua
mahasiswa hukum yang tidak saya mengerti arahmya. Petugas hilir mudik
dibelakang saya mengembalikan buku pinjaman kemudian menatanya di rak. Bau khas
rerumputan dari halaman perpustakaan terasa lebih segar padahal jam masih
menunjukkan angka 3. Meski ramai oleh dua mahasiswa yang asik berdiskusi,
pikiran saya kacau melihat lembar demi lembar buku yang saya pinjam.
Kembali pada buku dan
perpustakaan. Banyak pengguna perpustakaan yang mengatakan bahwa koleksi buku
yang ada sudah usang dan tidak relevan dengan tuntutan akademik. Buku terbitan
80-90an masih bertebaran di rak-rak hingga begitu antik terpasang di bagian
paling bawah. Beberapa diantara buku tersebut saya lihat cukup menarik dan
ilmunya masih bisa digunakan. Namun jika digunakan untuk referensi skripsi
tidak pernah cocok dengan tuntutan dosen pembimbing yang menghendaki buku baru
minimal 10 tahun ke belakang.
Saya iri jika pada
akhirnya buku koleksi perpustakaan berisikan karya akademisi dari barat dan
Jawa bagian barat. Akademisi barat bisa kita contohkan ilmuwan Eropa dan
Amerika. Sedangkan akademisi Jawa bagian barat misalkan dosen dari UPI, UNJ,
UI, dan sebagainya. Koleksi dosen saya mana? Apakah kita akan selamanya
berpatokan pada orang tua yang jauh sementara orang tua sendiri pun idenya tidak
kalah hebat dengan yang diluar sana? Termasuk dosen saya pun kurang produktif
dalam hal tulis menulis buku, padahal penelitian yang dilakukan tidak pernah ecek-ecek dan temanya selalu menarik (maaf
jika terlalu jujur). Akhirnya referensi yang saya gunakan banyak yang berasal
dari dosen UPI. Apakah terlalu berlebihan jika berharap mencantumkan nama orang
tua saya dalam skripsi? Sebenarnya bangga berganda jika skripsi saya banyak
menggunakan teori dari orang tua saya sendiri. Mungkinkah 5 tahun lagi akan
bisa demikian? Semoga.
Budaya menulis di
kampus sudah digalakkan dengan pemberlakuan wajib pembuatan PKM (Program
Kreativitas Mahasiswa) tetapi saya lihat itu tidak berdampak banyak pada
motivasi mahasiswa untuk menulis. Kebanyakan diantara mereka terpaksa membuat
PKM karena status beasiswa yang disandangnya. Saya mendengar dari beberapa
mahasiswa yang membuat PKM, ide dan tulisan yang ada mereka buat tanpa motivasi
untuk berprestasi melainkan hanya menggugurkan kewajiban birokrat.
Sebuah harapan yang
paling ideal dalam benak saya yaitu memenuhi rak-rak perpustakaan dengan karya
dosen dan mahasiswa kampus sendiri. Apakah tidak mungkin untuk melakukan hal
itu? Saya yakin mungkin.
Persaingan sehat antara
dosen dan mahasiswa dalam produktivitas tulisan tak melulu soal penelitian yang
sifatnya sangat ilmiah. Dalam hal teknis, mahasiswa dapat meminta bimbingan
kepada dosen untuk membuat dan menerbitkan buku yang ingin ditulisnya. Selama
mahasiswa dapat mengikuti kaidah pengutipan dan etika menulis saya rasa tulisan
jenis apapun bisa dibukukan dengan syarat layak terbit. Pun sebaliknya apabila
dosen menginginkan informasi up to date
di lapangan dapat meminta bantuan mahasiswa yang berasal dari daerah.
Buku-buku yang
diterbitkan dosen seharusnya masuk rak perpustakaan agar dapat digunakan oleh
mahasiswa tidak hanya dari lingkup jurusan sendiri melainkan dapat dinikmati
oleh mahasiswa secara umum. Mahasiswa yang telah menerbitkan buku sendiri baik
itu cerpen, novel atau buku bacaan ringan pun seharusnya diberikan tempat untuk
membagikan hasil jerih payah mereka sendiri sehingga ilmu atau pengalaman yang
mereka tuangkan dalam buku dapat dinikmati lebih banyak orang.