Pagi
itu seorang senior angkatan 2007 menghadapi sidang skripsi. Ia tampak lugu dan
pendiam. Sejak mengurus sidang saya 3 bulan yang lalu, Ia sering muncul di
kampus. Bertegur sapa kami jarang. Berinteraksi pun ala kadarnya. Kami adalah
senior dan junior yang bertemu terpaksa karena satu alasan yang sama, skripsi.
Dosen
penguji dan panitia ujian sudah berada dalam ruang sidang. Saya datang ketika
Ia tengah menanti dosen yang terakhir. Wajahnya gelisah, start sidang sudah
melenceng dari ketetapan. Ia sempat bertanya kepada saya seputar suasana di
dalam ruang, pertanyaan dosen, dan poin revisi yang saya terima. Rupanya hal
itu tidak mengurangi ketegangan yang dirasakannya.
Detik
demi detik menanti dosen. Akhirnya orang yang ditunggu datang juga. Ketegangan
itu semakin memuncak dalam raut muka dan dinginnya telapak tangan.
Bagaimanapun, sidang skripsi ini harus terjadi. Tidak boleh tertunda atau
gagal.
Sang
senior memasuki ruang sidang. Beberapa orang teman yang menunggu cemas di kursi
lobby. Saya yang kebetulan menunggu PD1 ikut merasakan ketegangan teman-teman. Bahkan
ada teman satu angkatan sang senior yang menyempatkan diri untuk datang di
sidang temannya. Saya pikir karena memang tinggal beberapa orang saja yang
harus lulus sebelum tanggal 30 September. Deadlock angkatan 2007.
Satu
setengah jam berlalu. Ia keluar dengan wajah lega. Ah, rasanya wajah itu tidak
pernah berubah. Santai dan tegang tidak ada bedanya. Akhirnya kotak-kotak yang
sedari tadi tergeletak di atas kursi aluminium ditawarkan kepada teman-teman
yang lain.
Pertama
kali melihat kotak dengan ukuran 20x20cm semua orang akan berpikir isinya chiffon, cake atau roti sobek ukuran
agak besar. Semenjak saya datang pun pikiran akan tertuju pada sebentuk kue
basah atau bread yang cara makannya harus dipotong terlebih dahulu. Begitu saya
menanyakan isi dari kotak-kotak itu, Ia polos menjawab “Dimakan aja, masih
banyak kok yang lain.”
Ngeeeeek,
begitu kotak saya buka, menyeruaklah empat biji roti segenggaman tangan.
Roti-roti itu begitu cantik merayu tetapi apa daya saya terlanjur shock. Khawatir dengan respon dosen yang
membuka kotak itu dan berniat memakan barang satu atau dua biji isi dalam
kotak. Mungkin mereka berpikir ulang untuk mengambilnya. Bisa jadi ilfeel melihat pertama kali
penampilannya.
Saya
bergegas menanyakan senior yang kebetulan mendapatkan jadwal sidang skripsi
pekan depan. “Ini seriusan yang di dalam isinya sama?.” Enteng saja sang senior
tersebut menjawab, “Iya, kenapa? Ga enak ya? Aku nyobain kok gak terlalu enak.
Tapi kebanyakan temen-temen belinya itu. Menurutmu gimana?”.
“Masih
bisa diganti ga? Kalau bisa sih diganti. Masa iya makanan buat dosen isinya
begitu?”. Sang senior masih penasaran dan antusias. “Masih bisa sih kayaknya.
Emang kenapa?” Sontak saya dengan raut muka sedih menjelaskan bagaimana cara
menyajikan kudapan untuk dosen saat sidang skripsi.
-----------------------------------------------------------------
Urusan
makanan atau dapur sangat identik dengan perempuan. Saya sepakat dengan
pernyataan itu. Seiring perkembangan budaya jaman, istilah gender dan pekerjaan
sudah bergeser ke arah yang lebih baik di mana makanan sudah menjadi
pengetahuan yang general. Artinya semua orang harus paham atau setidaknya mau
belajar tentang table manner meskipun
sekilas mata. Saya paham, bahwa tidak semua laki-laki mau susah payah mengerti
makanan, dapur, urusan pekerjaan rumah tangga. Namun memiliki pengetahuan
tentang hal itu tidak akan membuat laki-laki rugi kok. Serius.
Untuk
aktor-aktor yang berada dalam cerita di atas saya mohon maaf apabila kurang
berkenan hingga malu. Saya tidak menyebut nama kan? Tolong dimaafkan kesalahan
junior yang satu ini ya kakak-kakak. Akhirnya “Selamat atas kelulusannya. Semoga
ilmunya bermanfaat.”
@Semarang