Minggu, 29 Oktober 2017

Menyasar Pisang

Selama seminggu belakangan saya melirik pisang yang dijual dipinggir jalan. Selama itu pula saya menimbang-nimbang apakah akan membeli pisang atau tidak. Berjalan setiap hari melewati pisang yang dijajakan penjual buah itu membuat saya semakin berpikir. Sebenarnya saya hanya ingin makan satu pisang, tetapi kalau membelinya satu sisir tentu akan mubadzir. Ide untuk menghabiskan pisang satu sisir dalam 2 atau 3 hari pun saya urungkan.

Setiap hari, ketika saya melewatinya saya berhasrat untuk membelinya. Biasanya saya mampir ke rumah kakak kala akhir pekan. Hampir saya wujudkan niat tersebut dan menghubungi kakak saya. Tanpa disangka, sekitar pukul 6 sore kemarin atasan mengirim pesan. Beliau meminta saya membawa pulang pisang yang dibawanya untuk HRD. Terlanjur pulang dan sudah dipastikan hanya saya yang ada dikantor sesore itu, beliau meminta saya untuk membawanya. Saya tidak menghitung jumlahnya dan memandanginya sejenak. Mungkin ada 7 pisang karena HRD berjumlah 7 orang. Saya tawarkan ke teman satu kosan, OB yang kebetulan lewat dan HRD yang satu komplek dengan saya. Alhasil saya memakan satu pisang seusai shalat maghrib, satu pisang dikala malam, dan satu lagi setelah bangun tidur pagi ini. Mengingat pisang yang sudah terlalu matang, saya pikir akan sia-sia kalau dibuang. Oleh karena itu saya putuskan untuk memakannya.

Teman HRD pernah mengatakan kalau feeling atasan saya kuat dan tajam. Beliau bisa memprediksi sesuatu sebelum terjadinya. Apa yang disampaikan sekarang, bisa saja terjadi beberapa waktu kemudian. Seperti saat briefing disuatu pagi. Beliau menyinggung permainan billiard. Siang hari ketika mengunjungi perusahaan di daerah Jakarta Utara beliau hampir tertawa terbahak-bahak menemukan hiasan dinding yang bernuansakan billiard. Sampai kebingungan itu dibawa ke kesempatan briefing selanjutnya, tawa itu masih renyah dan segar.

Kejadian pisang ini terasa aneh bagi saya. Diantara semua kebetulan yang terjadi disekitar beliau, entah karena alasan apa beliau membawa pisang ke kantor dan lupa untuk memberikannya kepada HRD. Teman satu tim saya pun tidak kembali ke kantor karena sudah terlalu sore untuk perjalanan bolak balik. Biasanya teman saya selalu stand by dengan saya sampai jam 6 lebih.

Malam itu saya tersenyum-senyum sendiri bahkan sampai saat ini. Memang tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini. Semua ada alur cerita yang sudah Tuhan tuliskan dalam lauhul mahfudz. Kita yang menjalaninya terkadang bertanya dalam hati 'aneh ya' atau 'Tuhan asik banget sih. Baru juga kepengen, udah dikasih pisang aja'. Saya tidak berucap sama sekali soal pisang, Tuhan memberikan pisang. Apalagi jika mengucap satu permintaan yang jelas dan pasti. Pasti dikabulkan baik segera maupun ditunda.

Jumat, 13 Oktober 2017

Makanlah, Karena Membahagiakan Mereka Perlu Energi

Pagi ini rekan seruangan saya berkata "Duuuuh laper" sebelum berangkat kunjungan ke sebuah perusahaan ternama di Jakarta. Saya meresponnya dengan "Kalau lapar makan Pak" dan sedikit ketus karena sudah paham tabiatnya. Terbiasa makan sesuka hati dan membiarkan rasa lapar begitu saja membuatnya kreatif untuk minum obat maag secara rutin.

Di waktu sore, rekan yang lain berkata serupa "Laper euy. Dari tadi belum makan" saya menimpali dengan sekenanya "Makanlah". Dia bergegas keluar ruangan untuk makan. Sekembalinya ke ruangan, mukanya terlihat lega dengan perut yang sudah terisi.

Kedua orang ini menyikapi rasa lapar dengan sikap yang berbeda dan bertolak belakang. Yang pertama mementingkan aktivitas lain setelah merasakan lapar. Sekalipun dia tahu resiko yang bisa muncul karena mengabaikan alarm fisiknya, dia tidak makan dengan segera. Yang kedua menghilangkan lapar dengan makanan yang jelas-jelas lebih solutif. Bergegas pergi ke warung makan untuk mengisi perut jauh lebih berguna daripada meminum obat yang tidak diimbangi dengan asupan makanan. Kita bisa melihat bagaimana orang memprioritaskan hal-hal yang dianggap penting dalam hidupnya dan mengesampingkan hal lain. Karakter orang memang berbeda satu dengan yang lainnya bahkan dalam menyikapi satu hal yang jelas-jelas sama. Ketika ada dua orang sedang memesan nasi goreng akan sangat mungkin keduanya memilih detail nasi goreng yang berbeda. Misalnya si A ingin nasi goreng tanpa telur dan tanpa cabai. Si B mungkin ingin nasi goreng dengan potongan sosis dan ayam didalamnya. Bahkan untuk satu menu makanan, kita bisa berbeda selera dan pilihan. Apalagi untuk hal yang lebih besar seperti kesehatan.

Dengan jam kerja dari pukul 8 pagi hingga 6 sore, kami membutuhkan banyak energi untuk menyelesaikan tugas sehari hari. Beberapa teman membawa bekal sendiri dari rumah dan memakannya bersama dengan yang lain. Ada pula yang membeli nasi di warung makan sambil menikmati kopi di siang hari yang membuat kantuk. Jelas kami butuh tenaga untuk naik turun tangga lebih dari 10 kali setiap harinya. Otomatis asupan energi harus seimbang atau tidak boleh kurang dari yang dibutuhkan. Jika tidak? Kondisi fisik melemah kemudian sakit. Hal buruk yang bisa terjadi yaitu target kerja tidak tercapai dan penghasilan menurun. Jatah anak dan istri atau orang tua tentu menjadi tidak aman. Prestasi otomatis menurun seiring dengan menurunnya kondisi fisik. Lalu siapa yang rugi? Diri sendiri dan keluarga. Lantas perusahaan? Jelas tidak mau rugi.

Sekuat-kuatnya fisik seseorang, akan tumbang dengan sendirinya jika tidak bisa menjaganya dengan baik. Atasan saya pernah berkata "Artis-artis selalu minum suplemen biar kuat. Minum vitamin, minum obat biar apa? Biar kuat dengan aktivitas yang begitu banyak. Tapi tubuh kita gak butuh itu sebenarnya. Tubuh kita butuh makan. Bukan mengganti makanan dengan vitamin. Itu yang salah kaprah".

Merenungi hal tersebut saya teringat diri saya sendiri yang dulu sering mengabaikan kesehatan. Makan semaunya, jajan sembarangan dan pola tidur yang berantakan membuat badan saya kurang fit. Ditambah dengan seringnya bepergian keluar kota menambah payah kondisi badan. Lambat laun saya berpikir untuk mengubah mindset dan kebiasaan saya. Apalagi dengan kondisi kesehatan orang tua yang semakin menurun dengan bertambahnya usia. Saya dan kakak saya tidak bisa menjaga orang tua selama 24 jam. Kami sadar bahwa bekerja keras tidak pernah cukup membuat kami bahagia. Kesehatan jauh lebih penting dari kecukupan harta. Badan yang sehat akan memudahkan kita bekerja. Dengan begitu kita memperoleh penghasilan yang dapat digunakan untuk membeli kebutuhan pokok, membiayai sekolah, membeli keperluan tersier dan sebagainya. Kita  pun harus sehat untuk bepergian dengan pasangan kita di akhir pekan.

Nyatanya benar, badan sehat melancarkan semua aktivitas. Saya merasakannya sendiri saat menyelesaikan skripsi. Badan saya drop parah selama hampir 2 minggu. Kemudian saya memutuskan untuk mudik ke Cilacap menggunakan kendaraan umum. Baru saja membonceng sepeda motor teman selama 10 menit, saya langsung muntah-muntah dipinggir jalan. Belum selesai sampai disitu, selama di mobil saya muntah berkali-kali. Nasib baik ada ibu yang mau merawat saya sampai kondisi saya membaik.

Sekarang saya lebih berpikir rasional dalam menyikapi kondisi kesehatan. Saya makan lebih teratur dan memilih makanan yang lebih bersih dan sehat. Dalam bepergian pun saya memilih waktu siang hari agar lebih aman dan nyaman di perjalanan. Semua itu demi apa? Demi kesempatan untuk membahagiakan keluarga saya dalam keadaan sehat. Setelah melihat kedua rekan kantor saya, ada reminder untuk diri saya sendiri. Bahwa untuk hidup kita tidak hanya harus bekerja keras tetapi juga harus menjaga kesehatan dengan sebaik-baiknya agar kebersamaan dengan orang tercinta menjadi lebih berkualitas.

Jumat, 06 Oktober 2017

Belajar dari Ketiadaan

Beberapa hari terakhir, saya terinspirasi oleh cerita dari teman saya. Ada yang menceritakan tentang kebiasaannya meminum minuman keras selagi mudanya. Ada yang bergelut dengan godaan hal-hal yang tidak baik. Ada pula yang berjuang demi mendapatkan sesuap nasi ketika masih bersekolah. So, i have my story to tell and i wish you all will inspired from it.

Di Flores yang eksotis dengan pemandangannya tak melulu seindah yang dibayangkan kedua mata. Ketersediaan air bersih di beberapa perkampungan masih menjadi kendala besar tiap kali musim kemarau. Di daerah pesisir pantai, masyarakat mengandalkan mata air yang terbatas. Di daerah pegunungan ternyata ada yang kesulitan air meskipun berada di gunung yang berudara sejuk dan memiliki banyak pepohonan. NTT yang tersohor dengan propinsi kepulauan kecil dan sulit air ternyata benar adanya karena saya mengalaminya sendiri.

Mereka menyiasati ketiadaan air dengan mengurangi intensitas mandi untuk menghemat air. Selain itu mereka mengambil air dari mata air yang jaraknya berkilo-kilo dari rumah mereka. Situasi sulit yang menjadi langganan sepanjang hidup tak menyurutkan semangat hidup mereka. Setiap keluarga harus bertahan hidup dengan setiap kesulitan yang mereka hadapi. Setiap orang mau tidak mau harus memilih untuk survive.

Membandingkan antara kampung halaman dan Flores memang begitu tidak fair. Saya masih melakukannya (*membandingkan) bahkan sampai sekarang. Di Flores, mati listrik sudah menjadi langganan setiap hari. Bahkan ada kampung yang hanya memiliki genset yang menghidupkan lampu selama 2 jam dalam 24 jam. Tetua adat yang mereka menyebut mosalaki, menyalakan televisi saat genset menyala dijam penayangan sinetron favorit.

Di kampung saya mudah sekali menemukan gerai modern di sudut-sudut jalan. Sedangkan di Flores, untuk menikmati es dung dung saja harus menunggu penjualnya naik gunung seminggu sekali. Satu hal yang saya garis bawahi dari orang Flores adalah mereka tahan banting terhadap banyak situasi sulit. Sejak kecil, meskipun bukan dari keluarga kaya saya tidak kekurangan hal-hal seperti air, listrik, dan pemenuhan kebutuhan lainnya. Pun saya tidak berlebihan dalam hal konsumsi kebutuhan hidup. Namun daya juang saya masih kalah jauh dari mereka yang terbatas listriknya, terbatas airnya, terbatas sinyalnya, dan keterbatasan barang pemuas kebutuhan. Mereka yang serba dalam keterbatasan saja bisa bertahan hidup, mengapa saya tidak bisa melakukan lebih banyak hal? Saya menerima akses listrik full 24 jam, bisa menemukan warnet dan warung atau kios dengan sangat mudah, bisa seenaknya memilih provider yang ramah dikantong dan kemudahan akses-akses lainnya.

Mengapa saya masih mengeluh ketika mati listrik, membuang-buang air sedangkan mereka justru masih bisa tertawa-tawa meskipun tidak mandi? Kita memiliki segala yang kita butuhkan apalagi di kota yang sebesar ini. Kita memiliki kendaraan yang 24 jam nonstop, memiliki akses atau kemudahan dalam memperoleh kebutuhan sehari-hari. Kita punya semuanya. Namun kita masih mengeluh dan mengeluh.

Itulah hal yang menggelitik benak saya sampai sekarang dan saya masih belajar untuk bersyukur dengan semua nikmat. Saya masih belajar untuk tidak cengeng dan lebih mandiri. Yang lebih penting lagi saya membutuhkan banyak orang untuk belajar semua itu. Tentang kerja keras, rasa bersyukur, daya juang dan sebagainya agar menjadi manusia yang lebih baik lagi.

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...