Jumat, 06 Oktober 2017

Belajar dari Ketiadaan

Beberapa hari terakhir, saya terinspirasi oleh cerita dari teman saya. Ada yang menceritakan tentang kebiasaannya meminum minuman keras selagi mudanya. Ada yang bergelut dengan godaan hal-hal yang tidak baik. Ada pula yang berjuang demi mendapatkan sesuap nasi ketika masih bersekolah. So, i have my story to tell and i wish you all will inspired from it.

Di Flores yang eksotis dengan pemandangannya tak melulu seindah yang dibayangkan kedua mata. Ketersediaan air bersih di beberapa perkampungan masih menjadi kendala besar tiap kali musim kemarau. Di daerah pesisir pantai, masyarakat mengandalkan mata air yang terbatas. Di daerah pegunungan ternyata ada yang kesulitan air meskipun berada di gunung yang berudara sejuk dan memiliki banyak pepohonan. NTT yang tersohor dengan propinsi kepulauan kecil dan sulit air ternyata benar adanya karena saya mengalaminya sendiri.

Mereka menyiasati ketiadaan air dengan mengurangi intensitas mandi untuk menghemat air. Selain itu mereka mengambil air dari mata air yang jaraknya berkilo-kilo dari rumah mereka. Situasi sulit yang menjadi langganan sepanjang hidup tak menyurutkan semangat hidup mereka. Setiap keluarga harus bertahan hidup dengan setiap kesulitan yang mereka hadapi. Setiap orang mau tidak mau harus memilih untuk survive.

Membandingkan antara kampung halaman dan Flores memang begitu tidak fair. Saya masih melakukannya (*membandingkan) bahkan sampai sekarang. Di Flores, mati listrik sudah menjadi langganan setiap hari. Bahkan ada kampung yang hanya memiliki genset yang menghidupkan lampu selama 2 jam dalam 24 jam. Tetua adat yang mereka menyebut mosalaki, menyalakan televisi saat genset menyala dijam penayangan sinetron favorit.

Di kampung saya mudah sekali menemukan gerai modern di sudut-sudut jalan. Sedangkan di Flores, untuk menikmati es dung dung saja harus menunggu penjualnya naik gunung seminggu sekali. Satu hal yang saya garis bawahi dari orang Flores adalah mereka tahan banting terhadap banyak situasi sulit. Sejak kecil, meskipun bukan dari keluarga kaya saya tidak kekurangan hal-hal seperti air, listrik, dan pemenuhan kebutuhan lainnya. Pun saya tidak berlebihan dalam hal konsumsi kebutuhan hidup. Namun daya juang saya masih kalah jauh dari mereka yang terbatas listriknya, terbatas airnya, terbatas sinyalnya, dan keterbatasan barang pemuas kebutuhan. Mereka yang serba dalam keterbatasan saja bisa bertahan hidup, mengapa saya tidak bisa melakukan lebih banyak hal? Saya menerima akses listrik full 24 jam, bisa menemukan warnet dan warung atau kios dengan sangat mudah, bisa seenaknya memilih provider yang ramah dikantong dan kemudahan akses-akses lainnya.

Mengapa saya masih mengeluh ketika mati listrik, membuang-buang air sedangkan mereka justru masih bisa tertawa-tawa meskipun tidak mandi? Kita memiliki segala yang kita butuhkan apalagi di kota yang sebesar ini. Kita memiliki kendaraan yang 24 jam nonstop, memiliki akses atau kemudahan dalam memperoleh kebutuhan sehari-hari. Kita punya semuanya. Namun kita masih mengeluh dan mengeluh.

Itulah hal yang menggelitik benak saya sampai sekarang dan saya masih belajar untuk bersyukur dengan semua nikmat. Saya masih belajar untuk tidak cengeng dan lebih mandiri. Yang lebih penting lagi saya membutuhkan banyak orang untuk belajar semua itu. Tentang kerja keras, rasa bersyukur, daya juang dan sebagainya agar menjadi manusia yang lebih baik lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...