Senin, 28 November 2016

Believe Me, Time is Healing

Orang bijak berkata, "biarlah waktu yang menyembuhkan lukamu". Tidak peduli kamu akan butuh waktu setahun bahkan seumur hidup. Biarkan waktu memberimu cukup pemahaman atas semua luka yang ada. Kamu kuat tetapi kekuatanmu bukan untuk meratapi luka, yang lebih sering diperparah oleh tangan sendiri.

Hari ini, seterik apapun matahari tidak akan membuatmu bersemangat. Paling hanya mengernyitkan dahi dan menutup mata dengan telapak tangan. Semenarik apapun keadaan diluar sana, bagimu lebih menarik berselonjor diruang pribadimu. Tanpa melakukan apa-apa. Tanpa memikirkan apa-apa. Rasanya berat sekali melampaui 12 jam di siang hari.  Selebihnya, kamu berlindung dibalik kenangan dan harapan. Benar-benar menyedihkan.

Satu hari terlampau, seminggu berganti bulan. Apakah lukamu sudah terobati? Aku tidak tahu. Kamu tidak mau tahu. Ketika aku bertanya, apakah masih sakit? Nafasmu mendadak tidak beraturan. Wajahmu tanpa sinar. Maka aku pun tahu. Hati itu masih berantakan.

Aku punya luka yang belum sembuh benar. Pada suatu waktu sempat meyakini, hidupku tidak punya harapan lagi. Minggu berganti bulan. Setiap bulan yang berhasil kulewati begitu kosong tanpa aura. Aku hidup asal bernafas. Sudah banyak bulan yang kulewati tanpa gairah. Sedangkan hati masih reaktif terhadap kenangan. Aku bisa tiba-tiba marah pada keadaan. Nafas yang naik turun dan airmata yang tak juga menetes. Begitu melelahkan. Sekalipun demikian, hal itu berulang lebih dari 5 kali.

Aku memohon kepada Tuhan agar bisa ikhlas menerima keadaan. Dia memberiku waktu untuk berusaha-jatuh-bangkit-pesimis-jatuh-bangkit-jatuh begitu berulang kali. Aku bosan. Hatiku tidak mau beranjak. Tuhan rindu dengan diriku yang terus meminta apapun pada Nya. Dia membolak-balikkan hati. Aku sering terdiam dan terduduk tanpa mengucapkan permintaan.

Suatu malam yang tak berhujan mengirimiku satu kesadaran. Dari sebuah gambar yang muncul di recent update aku terdiam. Kesedihan langsung menyelimutiku. Airmataku tumpah dan perasaanku begitu sedih. Gambar itu hanya beberapa balon yang difoto kemudian diberi tulisan. Satu kata. Satu kata itu cukup menusuk hati sampai berlubang. Kemudian aku menangis karena sedih yang teramat sangat. Semenit dua menit aku menikmati airmata dan perasaan yang berkecamuk.

Sebuah artikel tentang kekuatan menangis tiba-tiba muncul di ingatan. Bahwa dengan menangis kita melepaskan hormon atau zat pemicu stres. Setelah menangis kita akan merasa lega dan beban seolah luruh sedikit demi sedikit. Aku menangis dan menjadi lebih baik. Kuteruskan membuang airmata sampai kelelahan.

Satu kata itu, hanya satu kata. Aku beruntung telah disadarkan oleh Tuhan dengan cara yang manis.

PERGILAH..

Membuatku remuk tak berbentuk. Membuat nyaliku seolah menciut dan aku merasa tak memiliki apapun untuk dibanggakan.

PERGILAH.. 

Membuat airmataku yang tak bisa tumpah karena kemarahan meluap begitu saja.

Dia menyukaiku tapi tidak memilihku. Dia terkesan olehku tapi tak pernah berhasil membuatku terkesan. Dia mencintaiku tapi tak berani untuk membawaku bersamanya. Dia tidak memilihku tapi peduli terhadapku.

Aku remuk kemudian tersadar. Dia menyimpanku dalam sebuah kotak dimana dia menghargaiku dan menyayangiku sewajarnya. Meski kotak itu entah ada dimana. Aku bersyukur. Untuk apapun itu.

Ketika luka itu baru saja ditorehkan aku percaya, suatu hari aku akan paham cara kerja Nya. Jika aku baik-baik saja sebelum dia datang. Maka aku akan baik-baik saja ketika dia memilih pergi. Mungkin aku tidak tahu bagian hati mana yang terluka parah tapi aku yakin luka itu akan sembuh dengan pemahaman yang kuperoleh dari waktu.

Lukamu, biarkanlah sembuh dg sendirinya. Karena tubuh tahu cara menyembuhkannya. Begitupun hati dan jiwamu. Keduanya memiliki cara kerja yang tak pernah terbayangkan.

Seperti Tuhan yang diam-diam menyunggingkan senyuman karena aku telah mendapatkan sebuah pemahaman. Tuhan pun tersenyum padamu untuk mengajakmu berjalan bersama Nya.

Minggu, 27 November 2016

Toraja Eksotis

Ini cerita dari Tana Toraja, beberapa hari sebelum Idul Fitri.

Semalam di Tana Toraja menikmati lanskap dataran tinggi. Vegetasi berdaun jarum dari pinggir jalanan membawa aroma sejuk. Suasana hijau menghiasi destinasi wisata internasional tersebut. Saya belum sepenuhnya percaya bisa menapaki daerah ini dengan tanpa hambatan berarti. Alhamdulillah 'alaa kulli hal, Allah memudahkan semua urusan saya disini. Itu pertolongan luar biasa dan terjadi berulang kali. Saya merasa, apakah pantas menerimanya? Nyatanya, Allah-lah yang paling pemurah atas semua pemberian Nya.

Kemarin disuguhi jalangkonte (pastel) dan es campur untuk iftar. Sayuran khas mereka lumayan enak dilidah. Entah namanya apa dan bagaimana mereka tumbuh. Mungkin kalau saya tahu tidak akan sanggup memakannya. Seperti soto kuda di Jeneponto yang membuat saya enggan mencicipinya. Aromanya terburu-buru memenuhi kepala dan perut saya bahkan semenjak dipotong-potong dan masuk panci besar. Saya pikir, ini yang dinamakan mabuk soto kuda.

Seperti adat masyarakat Sulawesi Selatan lainnya, rumah yang saya singgahi berupa rumah panggung sederhana. Memiliki tangga dibagian depan sebagai gerbang masuk dan tangga belakang untuk keperluan dapur dan kamar mandi. Ada beberapa pot bunga yang tergantung di teras. Bunga dengan daun berwarna-warni itu sangat cantik menjuntai di teras. Belum lagi tongkonan yang berdiri megah ditengah sebagai sentralnya. Rumah ini berdiri kokoh bersama 2 rumah lainnya dengan 1 tongkonan. Rumah lain ada disisi lain bukit. Kita bisa membayangkan betapa sunyinya situasi di sekitar rumah. Menjelang maghrib suara binatang mulai memenuhi telinga. Gelap menyelimuti semua sisi. Lampu-lampu didalam rumah dinyalakan. Apa suhu sudah menurun? Saya rasa belum.

Buka puasa berlangsung hidmat. Menikmati sayuran khas Tana Toraja dan ayam goreng bersama-sama. Kami sebagai tamu datang bertujuh dan tuan rumah 3 orang. Ada 10 orang dirumah, ramai bukan?

Meski berada di wilayah sepi dan agak jauh dari jalur kabupaten, jaringan internet masih bagus. Sinyal provider bisa digunakan dengan baik. Listrik pun menyala 24 jam. Air tersedia di bak penampungan. Sepertinya air disini lebih baik daripada di Enrekang dengan melihat tanah yang basah dan subur disekeliling rumah. Saya merasa nyaman berada disini dengan udara sejuk dan situasi yang tenang.

Sebagian masyarakat Toraja adalah penganut Kristen, sebagian lain Muslim. Upacara yang dihelat di Rembon mayoritas diikuti oleh keluarga nasrani. Keluarga muslim yang hadir lebih sedikit jumlahnya.

Upacara kematian di Tana Toraja terbilang mahal. Selain tidak terjadi setiap saat, keluarga harus menyediakan perlengkapan seperti binatang sembelihan, pemesanan tempat keluarga yang datang, akomodasi ke tempat upacara dan sebagainya. Waktu persiapannya bisa memakan waktu bertahun-tahun. Teman saya menaksir biaya untuk upacara kematian mencapai ratusan juta bahkan sampai milyaran. Coba bayangkan untuk menyimpan jenazah mereka harus memasukkannya kedalam peti dan diletakkan di tongkonan. Berapa biaya untuk membuat 1 tongkonan? Tergantung megah atau tidaknya bentuk dari tongkonan tersebut. Semakin megah, semakin besar biayanya.

Upacara kematian disertai dengan pemotongan kerbau dan babi ditengah lapangan. Ada pula kerbau yang disiapkan untuk pertarungan di arena terbuka. Kerbau yang keluar arena dinyatakan kalah. Ada lebih dari 10 kerbau besar dan kuat yang turut meramaikan acara. Arena yang tadinya sepi dipadati oleh masyarakat yang ingin menonton. Penonton yang mengenakan pakaian serba hitam dengan ornamen tenun toraja ramai bersorak. Mereka memenuhi pinggiran arena, diatas bukit-bukit dan pematang sawah. Kerbau pun dapat berlari ke arah mana saja. Itulah yang membuat heboh dan tegang penonton. Setelah mendapatkan pemenang, satu per satu penonton pulang. Ada yang membawa kaki babi dengan dipanggul berdua. Ada yang memasukkannya ke dalam karung.

Cerita menarik lainnya pasti begitu banyak. Setiap sudut Toraja memberikan cerita yang mengesankan. Ada ketenangan, ada kemegahan dan ada kebanggaan. Itulah Tana Toraja. Semoga ada kesempatan berjumpa kembali.

Rabu, 09 November 2016

Surat untuk tahun ke 30

Jilvia Indyarti:
Untuk Diriku ketika Menapaki 30 tahun

Perempuan selalu mengkhawatirkan keriput dan usia 30an. Ini benar-benar poin yang cukup menggelisahkan nan merepotkan tapi tidak bagi perusahaan kosmetik. Keriput menjadi tantangan bagi pengembang untuk menghasilkan produk-produk anti-aging yang mutakhir. Disaat perempuan-perempuan muda menapaki usia matang mereka, perusahaan kosmetik menari diatas profit dan bersyukur atas keriput yang membuat kalang kabut kaum hawa.

Apakah semenyeramkan itu? Nyatanya tidak seburuk yang dibayangkan.

Usia 30an merupakan masa dimana perempuan mencapai titik puncak dari kecantikannya. Selain matang secara emosi, perempuan telah menemukan jalan hidupnya dengan memperoleh pekerjaan yang tetap, berkeluarga, dan melakukan aktivitas yang menantang sebelum angka 30. Atas fase hidup yang kompleks tersebut wajarlah jika perempuan yang telah matang secara fisik dan mental menunjukkan inner beauty-nya. Berbagai macam ujian dalam pekerjaan telah diperoleh dengan penuh perjuangan. Perempuan harus benar-benar berusaha untuk mencapai angka 30 dengan baik. Tentu setiap orang akan berbeda pengalamannya dengan yang lain. Pilihan hidup mengambil peran dalam hal ini.

Saya menulis ini ketika 26 tahun dan semakin panik dengan usia. Pekerjaan yang jatuh bangun menambah kegelisahan tersebut. Apalagi dengan status single yang masih bertahan hingga detik ini. Satu-satunya hal paling ajaib adalah keinginan untuk mengambil pendidikan. Bukan pilihan yang mudah memang. Penuh resiko yang berlangsung sampai seumur hidup. Benar-benar rumit.

Ada 4 tahun untuk merangkai cerita agar hidup lebih bermakna. Jujur saja, sekarang saya tidak punya ide realistis. Hanya optimis bahwa kesempatan selalu ada untuk mereka yang berusaha. Saya rindu kerja keras dan mati-matian. Bahkan sampai tidak tidur demi sebuah keinginan. Menjelang 30 yang saya tidak bisa prediksi akan datang dalam suasana yang seperti apa. Ada denyut optimis yang terus memberikan nyawa. Saya harus mencari segala macam usaha dan cara terbaik untuk memenuhi semua impian.

Mendadak saya tidak takut dengan kerutan. Artikel kesehatan dalam media online pernah membahas kerutan. Salah satu penyebab kerutan adalah tarikan otot di wajah akibat tertawa. Senyum tidak membuat otot wajah mengendur drastis. Berita baiknya adalah kerutan yang muncul boleh jadi karena kita selalu tertawa. Selain karena pertambahan usia dan perkembangan fisiologis. Saya merasa terhibur dengan pikiran tersebut. Ada baiknya tertawa selagi ada hal menggelikan dan lucu bagi kita. Itulah usaha untuk menjaga hidup agar tetap 'hore'.

Jika saya memasuki usia 30 semoga banyak hal telah diraih. Pasangan, anak, karir, orang tua  dan kehidupan pribadi yang sehat adalah harapan yang realistis. Demi semua itu saya harus mengerahkan seluruh daya dan upaya.

Selamat datang 30, semoga Allah ridha dan menggenapi semua ikhtiyar dengan takdir terbaik. Aamiin

With Love,
Jilvia Indyarti

Sabtu, 09 Juli 2016

Happy 26 to Me

Subhanallah
Alhamdulillah
Laailaahailallah
Allahu Akbar

Rasanya luar bisa sudah mengelilingi matahari sebanyak 25 kali. Kuasa Allah yang telah mengijinkan saya hidup seperempat abad lebih. Akan sampai hitungan keberapa nafas + iman ini masih penuh rahiim dari Nya? Apa yang sudah saya lakukan untuk Nya selalu saja terlampau sedikit dibandingkan kemurahan Nya.

Menapaki usia yang tidak lagi remaja sungguh mendebarkan. Apakah jalan yang saya ambil benar? Apakah Allah ridha dengan cara hidup saya? Apakah saya mampu bertahan dengan baik diantara milyaran manusia? Memasuki 26 tidak seperti meninggalkan 19. Menemukan pasangan, berkeluarga, memantapkan karir, membesarkan anak-anak, merawat orang tua dan mewujudkan cita-cita adalah kerja-kerja realistis di masa dewasa.

Cita-cita hari ini pasti berbeda dengan cita-cita kemarin. Siapa yang masih bercita-cita naik balon udara di usia 26? Ada yang bergeser, ada yang berubah, ada pula yang bertahan. Segala sesuatu yang diharapkan terjadi telah berimprovisasi dengan daya, upaya, realita dan dukungan masa. Sebenarnya masih memikirkan hal gila yang ingin dilakukan selama hidup. Ya, hal gila yang tidak terpikirkan sekalipun. Bukan untuk mengejar sensasionalitas tapi menghargai keunikan hidup yang Allah berikan.

Saya masih terisak mengingat Al Aqsha, dendamkah sampai ingin menginjakkan kaki disana? Entahlah. Ketidakindahan yang selalu orang hindari tapi setidaknya malaikat pernah turun dan mengangkat sang Nabi ke langit. Pertumpahan darah yang abadi selalu menyakitkan sanubari. Bagaimana kota itu bertahan? Mungkin itulah yang membuat hati ingin merasakan udara dunia-akhirat yang bersatu. Kompleksitas duniawi ukhrawi lantas menimbulkan hasrat, i wanna be there to feel the life.

Apakah itu hal gila? Mengunjungi daerah konflik paling ekstrem di dunia. Memandang segala sudut kota yang tanpa harapan. Kemudian terisak hanya dengan membayangkannya. Saya tidak tahu apakah ada kesempatan untuk melangkahkan kaki kesana. Hanya keinginan itulah yang tetap benderang menyala.

Inilah akhir seperempat abad yang gado-gado. Bahagia rasanya memperoleh hidup yang memerlukan sebesar-besarnya keberanian. Saya berani untuk meninggalkan rumah semakin jauh, berjalan ke segala arah dan kadang kehilangan arah. Hal-hal menyakitkan, menggelisahkan, mengecewakan telah berlalu. Hari buruk mungkin menyebabkan badan menggigil dan putus asa. Yang lain memberikan harapan dan kelegaan. Setidaknya kebaikan orang-orang sangat membantu untuk berlanjutnya hidup saya. Apapun yang membuat diri jatuh, hadapi saja. Angin kencang tak selamanya berhembus. Meski hujan tak selamanya mendinginkan jiwa raga.

Hari ini saya merasa baik, tahun ini tahun yang baik. Semakin dewasa terasa semakin baik. Agak berlebihan memang tapi saya tetap harus bersyukur dengan pemberian Nya.

Saya masih ingin membangun perpustakaan dirumah. Membiarkan anak-anak bermain dan belajar. Nampaknya memiliki toko buku dilengkapi cafe kecil akan menyenangkan. Ditambah sudut souvenir benda-benda kreatif dengan konsep minimalis. Itulah rumah impian, tanpa pagar tinggi. Tanaman setinggi lutut sudah cukup memberikan batas.

Ternyata, keinginan dalam hidup semakin sederhana. Tanpa piala-piala, tanpa jadwal padat merayap setiap hari. Akan menyenangkan sekali memiliki aktivitas setiap saat. Tidur dalam kondisi lelah, menulis sebagai kegiatan paling utama. Memiliki anak-anak yang ramai dan lincah. Bertetangga dengan mereka yang peduli dengan hidup sederhana dan bermakna. Saya pikir, saya masih idealis perfectionist. Menginginkan hal besar terjadi dalam hidup dengan melupakan hal sederhana dan nyata untuk dilakukan.
Saya berharap bangun segera dari mimpi. Bergegas bekerja dengan sekeras-kerasnya dan sesenang-senangnya. Dengan sepenuh hati mencintai keluarga yang akan segera dimiliki. Allah, bukankah keinginan itu tidak ada yang Kau murkai? Perkenankanlah kiranya apa-apa yang membuat Mu ridha terhadap hamba.

Enrekang, 9 Juli 2016

Selasa, 05 Juli 2016

Aku tidak Pulang

Sejauh apapun kau pergi, kembalilah pulang ke rumahmu.

Momentum Idul Fitri identik dengan mudik dan silaturahim. Kue dan aneka hidangan tumpah ruah di atas meja. Gelas-gelas dicuci bersih. Puasa tinggal 1 hari lagi. Rumah berbenah, masjid dibersihkan untuk menyambut Hari Raya nan Agung. I'tikaf tinggal penutupnya bagi para perindu Nya.

Mudik terasa sekali bagi saya yang 5 kali ramadhan berpuasa di Semarang. Dengan jarak 7-8 jam perjalanan normal, rasanya wajar kalau menyebutnya mudik seperti orang kebanyakan. Rute yang melawan arus mudik pada umumnya membuat saya tidak kentara terkena kemacetan. Pernah satu kali ketika mudik harus duduk diantara tumpukan barang-barang di bus. Berdiri kuat diantara pemudik yang terpaksa menaiki bus ekonomi yang penuh sesak. 2015, saya menunaikan Ramadhan dirumah setelah resign dari pekerjaan lama.

Sepanjang Juli 2015 hingga Juli 2016 ada berbagai peristiwa yang saya lewatkan. Pernikahan teman dekat yang tidak bisa didatangi, kelulusan teman sekampus yang meriah, kondisi keuangan yang pailit, beberapa berita kematian yang mengagetkan hingga sesuatu yang membuat diri rasanya ingin mati saja. Tawa tak bisa disembunyikan dan airmata seenaknya mengalir tanpa malu. Begitulah setahun yang mengharukan. Saya belum melihat apakah setahun ini membuat kerutan diwajah atau tidak. Tapi ada sesuatu dalam diri yang berubah. Mungkin karena saya sudah meninggalkan usia seperempat abad. Hehe.

Pulang adalah keharusan bagi saya. Alarm akan berbunyi jika saya sudah homesick. Saya beberapa kali sakit ringan seperti masuk angin, maag, atau anemia. Sampai pada suatu kali saya hampir 3 minggu unfit. Seminggu mulai ambruk, seminggu tidak berdaya, dan seminggu pertahanan tubuh memburuk. Agak berlebihan memang, saya hanya berpikir akan sekarat saja. Thank God. Setelah memaksakan diri untuk kembali hidup normal, saya perlahan mau makan dan minum obat. Vonis dokter jatuh secara mengerikan. Kurang gizi, kelelahan, dan stres. Meski agak malu mengakuinya saya berpikir wajar saya ambruk. Pola makan yang 'semau gue' dan rutinitas yang melelahkan mengikis stamina. Masih ada 4 bulan lebih untuk pulang. Saya memutuskan untuk sehat.

Memasuki Juli 2016 yang nano-nano, rasanya keinginan pulang tak terbendung.
Apalah daya, kaki malah sampai di Toraja. Antara percaya dan tidak percaya. Hidup memang misterius. Tidak menyangka bisa berkunjung ke tempat sekeren ini. Saya harus bersyukur banyak-banyak. Fix. Idul Fitri dirayakan bersama dengan orang-orang yang baru dikenal seminggu-dua minggu.

Bagaimana rasanya? Kadang rindu, lebih sering takut. Orang-orang yang saya temui berkata kalau saya pemberani. Justru disaat itulah saya merasa takut parah. Timbul dalam benak saya 'Mau sampai kapan seperti ini terus?' Adakalanya kesepian dalam perjalanan jauh dan melelahkan ini. Bosan? Sesekali. Namun banyak hal baru dan menginspirasi setiap saat. Cerita terus mengalir, potret menggambarkan banyak budaya. Bisa saja tiba-tiba rindu orang rumah. Kemudian lanskap sejuta pesona mendadak hampa. Ternyata rindu tak semudah itu disingkirkan dari benak.

Saya tidak tahu bagaimana rasanya besok malam. Pun tidak hendak membayangkan bagaimana Rabu pagi. Biarkan tangis pecah. Rindu akan membuncah. Saya hanya harus bersyukur. Bulan depan saya berkesempatan pulang memeluk realitas. Bertemu dengan orang tua luar biasa dan saudara-saudara. Saya percaya, seluruh hari tetap baik adanya. Kapanpun saya kembali akan ada sambutan hangat disana.

Pak, Bu. Taqabalallahu mina waminkum, taqabbal ya kariim. Aamiin. Mohon maaf lahir dan batin. Tunggulah kepulangan anakmu dari tanah seberang. Bahagia ya disana..

Ramadhan ke 29.

Senin, 27 Juni 2016

7 jam menuju Enrekang

Kijang berwarna metal meluncur dari ibukota Propinsi Sulawesi selatan dengan kecepatan tinggi. Supir yang sudah berpengalaman pulang pergi Enrekang-Makassar tahu betul letak gang, gedung dan tata letak kota meskipun dalam tengah malam gelap. Mobil yang sempit itu diisi dengan formasi 3-4-3. Bagian depan diisi dengan 3 orang, bagian tengah 4 orang dan bagian belakang 3 orang. Praktis kami hanya bisa duduk sebisanya yang beresiko kesemutan dan pegal-pegal seluruh badan.

Kontur tanah yang stabil menjadikan rute etape pertama mulus dan tanpa tanjakan. Lurus dan lurus. Saya merasa berada di jalan tol Cipularang. Selalu menyalip mobil kontainer, truk dan yang sejenis didepan. Lagu populer 2008 hingga sekarang yang diputar justru membuat saya tidak bisa tidur. Hembusan angin dr kaca samping dan pemandangan diluar yang gelap sukses membuat 'baper'. Rumah panggung dengan berbagai model berderet sepanjang perjalanan. Oke. Antara baper, pegel dan angin malam saya memilih menutup mata. Siapa tahu bisa tertidur beberapa saat.

Enrekang merupakan jalur menuju daerah Tana Toraja. Setelah memasuki wilayanya, kita akan disuguhi dengan pemandangan hijau yang subur. Samping kanan dan kiri terasa basah khas dataran tinggi. Sisa hujan semalam menambah kesan basah dan dingin dibanyak sudut. Jalannya berkelok-kelok. Beberapa titik mengalami aspal lepas sehingga supir harus mengerem untuk menghindari goncangan keras. Meski berada pada dataran tinggi dengan orientasi penghidupan dari berkebun, rute menanjaknya masih aman untuk dilalui. SPBU dapat ditemukan dibanyak titik. Masjid pun banyak berdiri megah disana sini.

Waktu menunjukkan 5.30 waktu Indonesia timur. Udara terasa lebih dingin. Barisan bukit dan tebing membentang dengan kokoh. Ternyata tebing disini tidak kalah cantik dengan tebing di Flores. Sama-sama spektakuler dan anggun. Supir membawa kami lebih dalam memasuki gang-gang. Menurunkan dan menaikkan penumpang dikawasan pemukiman. Setelah melewati tebing mempesona, kami diturunkan disebuah tempat. Oke. Kami sampai ditempat tujuan.

Benar saja. Rumah teman saya memang panggung. Antik sekali. Kayu-kayu, cat, ornamen dan perabot didalamnya menyadarkan saya satu hal, Alhamdulillah Sulawesi luar biasa dan kaya.

Kamis, 23 Juni 2016

Kuda dan Rumah Panggung

Inilah Jeneponto, salah satu kabupaten Sulawesi Selatan. Induk semang saya di Makassar mewanti-wanti untuk makan sup daging kuda. Yihaaaa, makanan apa itu? Agak kikuk juga pertama kali mendengar sup daging kuda. Biasanya kuda dipakai untuk transportasi, hobi, mahar atau mas kawin, dan peternakan. Ternyata ada di daerah Sulawesi yang memakan kuda sebagai kebiasaan lokal. Mengesankan (bukan mengenaskan lho ya).

Untuk dapat menjangkau daerah ini kita tidak perlu susah payah mengingat rute atau peta. Hanya jalan lurus saja. Jika ada pertigaan atau perempatan ambillah jalan lurus. Kebetulan saya berkesempatan membawa sepeda motor teman saya. Memang benar. Jalannya lurus mendatar. Aman untuk pengendara amatir atau yang tidak terbiasa berkendara jauh. Kita akan disuguhi pemandangan kebun semangka, persawahan, pasar dan sesekali penjual buah-buahan dipinggir jalan. Jika ingin berhenti sejenak dan shalat, ada tersedia banyak masjid di sepanjang jalan yang dilalui. Pun dengan gerai alfamart/indomart dan SPBU.

Saya diberitahu teman saya bahwa di Jeneponto mayoritas rumahnya berupa rumah panggung. Ia menceritakan betapa susahnya jika hendak ke kamar kecil pada tengah malam. Dalam benak saya sudah muncul model rumah panggung seperti apa yang ada disana. Imajinasi dan realita nyatanya berbeda lumayan jauh. Teman saya memiliki rumah panggung tetapi tidak digunakan sehari-hari. Fungsinya lebih pada ruang penyimpanan perkakas rumah tangga dan sembako. Keluarganya memiliki 'rumah batu' atau rumah tembok yang umum dimiliki orang modern. Masyarakat berkeyakinna bahwa kearifan lokal nenek moyang harus dilestarikan. Meskipun mereka memiliki rumah permanen, mereka tetap membangun rumah panggung. Sesederhana apapun bentuknya. Dari rumah panggung yang saya lihat di sepanjang jalan, ada beberapa yang sudah berarsitektur modern. Kayu bagian depan rumah diukir dengan sangat cantik bahkan ada yang megah. Beberapa menggunakan kaca jendela yang beraneka rupa, memiliki halaman yang cukup luas dan berpagar semen. Kekayaan lokal yang begitu kaya dari masyarakat Jeneponto.

Kemana mata memandang, ada rumah panggung. Dari yang sederhana hingga yang megah. Tidak sedikit yang memiliki armada roda empat dan desain rumah yang wah. Disisi lain, kehidupan sosial masyarakat dikatakan mampu karena banyak yang sudah ke tanah suci dan memiliki mobil. Rata-rata masyarakatnya bekerja sebagai pengusaha. Generasi mudanya sudah dikenalkan usaha dan pekerjaan sejak usia remaja hingga menjelang dewasa. Tidak heran jika pendidikan di kampung teman saya tidak begitu menggembirakan. Mereka bekerja dengan baik dan mampu membuat rumah panggung yang bagus. Namun sebagian anak-anak tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi sekalipun mampu. Hal inilah yang disesalkan teman saya dari kampungnya.

Dari Makassar yang eksotis dengan Losari dan kehidupan metropolitannya, Jeneponto menghadirkan pemandangan pantai-rumah panggung-kuda-tambak garam. Luar biasa. Suasana perkampungan yang khas dan dialek Makassar yang kental.

Rabu, 15 Juni 2016

Reuni

Di kampung halaman JK saya bertemu dengan teman SMA, satu kelas. Kami pun dulu satu organisasi di kepramukaan. Saya sebagai ketua putri, sedangkan teman saya bendahara putra. Keakraban kami sama seperti yang lain. Kebetulan rumahnya jauh dari sekolah. Ketika jelang latihan pramuka kami terbiasa nongkrong di ruangan bersama. Makan siang, ngobrol dan melakukan aktivitas lainnya bersama membuat kami mengenal satu sama lain. Saya pikir dia agak pemalu kala itu. 2009 kami lulus. Praktis setiap anak akan memutuskan hendak kemana. Saya bersama puluhan teman mengambil tes masuk d Semarang.

Selama lebih dari 7 tahun kami menjalani hidup masing-masing. Saya sibuk dengan tugas kuliah dan organisasi. Dia entah kemana. Timbul tenggelam tapi lebih banyak menghilang. Kontak pun jarang. Apalagi untuk sekadar nongkrong dan ngopi-ngopi. Bahkan reuni yang dihelat pengurus kelas hanya menghadirkan pemain lama dan semakin sepi. Dia tidak pernah hadir.

Pada pertengahan 2015 saya ke Flores. Target saya di Indonesia timur adalah mengunjungi Makassar. Siapa yang tidak tahu kota besar Sultan Hasanudin? Inilah bandar pelabuhan terbesar di timur dengan kapal besar yang mampu mengarungi samudera. Dengan modal keberanian, saya mendarat disini sepekan yang lalu.

Siapa sangka, dia tiba-tiba aktif di sosial media dan menemukan saya. Kami akhirnya mengobrol dan merencanakan reuni. Sejak 2010, bahkan 2009 usai kelulusan kami hampir tidak bertemu. Beberapa kali kontak sosial media.  Kemudian hilang lagi. Selalu begitu.

Sepertiga ramadhan pertama, dia tidak jauh berbeda. Sekurus itu. Sediam itu. Bahkan cara berpikir dan sikapnya tidak jauh berbeda dengan yang dulu. Bagaimana dengan saya? Kami pun banyak bercerita tentang pekerjaan, keluarga, cinta, dan pengalaman selama bertahun-tahun. Dia hampir menyesal tidak mengikuti saran orang tua untuk kuliah. Namun, dia pikir sudah terlalu jauh untuk kembali belajar.

Dia berkata akan mudik awal Juli. Beruntungnya setiap Idul Fitri dia mendapat tiket gratis kembali ke Jawa. Andai uang saya cukup sudah terbelilah tiket ke rumah.

Dia 25 sekarang. Seperti lelaki dewasa pada umumnya. Bulan depan saya sudah 26. Diantara teman-teman kami beberapa sudah menikah. Bahkan memiliki anak yang lucu dan menggemaskan. Diusia kami yang sudah tidak muda lagi, bekerja pun belum seserius teman lain. Kami membicarakan peluang beberapa puluh tahun mendatang. Memikirkan akan menetap dimana dan bagaimana. Tapi seolah perenungan yang tak membuahkan jawaban. Kami pun kembali bertanya pada diri masing-masing dan diam.

Ketika saya hendak pulang, dia masih keheranan dengan kehadiran saya di kota perantauannya.

"Kok bisa sih Pie? Kamu sendiri kesini. Emang gak takut? Heran aku. Cewek lagi. Lebih herannya lagi diijinin sama orang tua kamu". Saya hanya tersenyum menanggapi deret pertanyaannya. Kemudian dia menambahkan, "Kalau ada apa-apa gimana? Kan cuma aku yang disini. Nanti khawatir juga kalau kamu kenapa-kenapa". Saya sempat terdiam untuk beberapa saat. Kemudian kembali tersenyum. Entahlah, apakah saya harus sedih atau senang dengan kekhawatirannya. Ada satu haru yang kemudian menelusup dan akhirnya saya mendadak sedih.

Dia berkata lagi "Jangan pergi-pergi sendiri lagi lain kali". Kali ini nadanya benar-benar khawatir. Saya pun terpaksa mengiyakan dan sok menasehatinya. Setelah 'say hello' gagal berkali-kali, dia beranjak juga dari tempat saya berdiri. This is the time to go home Jil.



Jumat, 10 Juni 2016

Di Kota Bersejarah nan Megah

Sejak dibeli Sabtu, 4 Juni tiket kapal gagal hangus. Lambelu yang gagah mengantarkanku pada pulau yang menyerupai huruf K besar. Selasa siang, saya diantar Arin, Alfin dan Ernawati (*Cupang) ke Port of L. Say Maumere. Ada sebersit haru, sedih, senang dan perasaan tidak percaya. Mereka yang baik hati mengantarkan saya jauh-jauh meski rute yang dilewati lumayan menantang. Saya sampai berkata 'Kalian cepat pulang, nanti aku bisa sedih kalau kalian masih disini'. Drama-drama terus berlanjut. Waktu yang semakin sore mengharuskan teman-teman saya pulang ke Maurole.

Di masa penantian tersebut saya berkeliling sambil memotret, memakan bekal saya di pinggir dermaga, dan menghubungi beberapa orang. Kenekatan itu belum menimbulkan efeknya. Senja turun menandakan waktu berbuka puasa. Penumpang memenuhi peron pelabuhan dengan ditemani kopi. Pukul 6 lewat, penumpang berbondong-bondong mendekati dermaga. Kapal yang entah seperti apa belum menampakkan ujung moncongnya. 45 menit kemudian, bayangan di kaca memantulkan kilatan cahaya. Apa itu kapalnya? Penumpang lain tetap berduyun mendekati dermaga. Saya memastikan kapal tengah bersandar. Selama di Jawa sudah 3 kali saya naik kapal dengan rute yang berbeda. Ketika menyeberang ke Bali, menyeberangi laut Jawa ke Karimun Jawa, dan selat Sunda menuju Sumatera. Kapal yang pernah saya naiki besarnya sedang saja. Kali ini kapal yang akan membawa saya berlayar sungguh besar. Memang tidak sebesar kapal pesiar tetapi saya merasa senang melihatnya.

Dengan berebut naik tangga, akhirnya saya masuk kapal. Mengikuti arahan petugas kelas ekonomi. Berebut lagi mendapatkan tempat tidur. Setelah mencari dan mencari, saya menemukan posisi yang baik. Disebelah saya ada perempuan seumuran dan yang masih kuliah. Bermodalkan tampang lusuh dan lugu, saya berhasil meminta anak kuliahan tersebut mencarikan tempat tinggal. 

Pelabuhan Makassar yang besar dan megah menyambut saya. Keramaiannya sungguh membangunkan saya dari heningnya Ende. Ini kota terbesar di Indonesia timur. Peti kemas bertumpuk-tumpuk di sepanjang pelabuhan. Kendaraan berplat DD mendominasi jalan raya. Inilah kampung halaman wapres RI. Kotanya belum banyak dipenuhi gedung pencakar langit. Beberapa skyacrapper merupakan hotel dan kawasan komersil, bukan kantor pemerintahan setempat.

Saya sampai di jantungnya cotto, konro dan es pisang ijo. Waw., wisata kuliner dimulai.

Pencarian tempat tinggal yang serba cepat memaksa saya membayar tarif seperti di Jakarta. Kenalan anak kuliah yang membantu saya menemukan tempat tinggal, tidak dapat memberikan tumpangan untuk sementara. Alhamdulillah, tempat yang saya dapatkan berada dalam lingkungan yang baik. Orangnya pun baik-baik.

*Ditulis beberapa hari setelah sampai Makassar

Minggu, 05 Juni 2016

So hot, Maumere

Wilayah administrasi Ende memiliki batas paling timur yaitu Kecamatan Kotabaru. Beberapa bulan yang lalu wilayah tersebut diterjang banjir bandang yang masih tersisa kerusakannya sampai hari ini. Dibeberapa titik terdapat sampah banjir berupa batang kayu yang hanyut terbawa air. Jarak dari Ende ke Maumere 147 kilometer dengan melalui perbukitan, gunung dan dataran pantai. Setelah memulai 82 kilometer dari Ende kemarin, saya masih memiliki 65 kilometer lagi.

Matahari sudah sumringah sejak pagi. Kami meninggalkan Maurole pukul 7.30. Kilometer pertama aman jaya dengan sedikit berhadapan dengan jalab retak dan debu. Kelokan perbukitan bervariasi ketinggiannya membuat kami harus ekstra hati-hati. Kelokan menanjak, turunan tajam, belokan ekstrem, dan semak rindang mewarnai rute ke Maumere. Kotabaru memiliki area pantai yang terkena abrasi cukup parah hingga menggerus aspal jalanan. Meskipun tembok penahan abrasi masih kokoh, beberapa sudah berlubang dan rusak. Bahkan jalan aspal tersebut amblas tidak beraturan.

Usai melewati abrasi pantai, kami sedikit lega dengan kondisi jalan yang lebih baik. Bukit-bukit yang kami tinggalkan menyisakan pemandangan menakjubkan dibelakang. Udara tidak sepanas Maurole. Pun tidak sesejuk Bajawa. Namun kelokan hijau menyegarkan pandangan.

Kami memilih berhenti di bukit salib. Menanjaki bukit kecil tersebut untuk menikmati lanskap pantai dari ketinggian minimalis. Bertemu dengan pasangan muda yang mengunjungi bukit salib, kami memuncak bersama.

Yeeeeeay, tidak berapa lama kami sudah memasuki area kota Maumere. Ide untuk mampir di rekan guru teman saya masih ada. Kebetulan beliau tinggal di Maumere. Kami menyengajakan mampir setelah mengingat jalan masuk ke alamatnya. Berhasil! Kami menemukan rumah rekan guru yang dimaksud. Karena ada kebutuhan yang harus dicari, kami meminta ijin pergi keluar.

Maumere lebih ramai dari Ende dan Bajawa. Tata kotanya sudah baik dan teratur. Pohon-pohon di jalan protokol lumayan banyak. Fasilitas umum yang ada tergolong lengkap. Akhirnya kami menemukan Gramedia. Sedikit mahal dari harga di Jawa memang. Tapi cukup berhasil mengobati kerinduan akan glamouritas kampung halaman.

Ini Maumere. Pelabuhan pertama yang akan memindahkan saya ke Celebes. Semoga Makassar bersahabat dan memberikan kesempatan berkarya lebih banyak.

Sabtu, 04 Juni 2016

Maurole!!!

Musim libur telah tiba. Jelang ramadhan 1437 H beserta berakhirnya tahun ajaran 2015/2016 merupakan bonus plus-plus. Prakiraan libur dan agenda sekolah telah jauh hari direncanakan. Akhir semester ini saya memutuskan untuk libur full. Satu bulan yang penuh pahala saya harap bisa maksimalkan dengan aktivitas bermakna di suatu tempat baru.

Tempat baru itu adalah Makassar. Ya, kota terbesar di Indonesia timur dengan sapaan lama 'Ujung Pandang'. Saya belum pernah mengunjunginya. Pun membayangkannya selalu gagal karena setiap kota selalu berkembang disana-sininya. Usai mempertimbangkan banyak hal, akhirnya saya berangkat ke kantor Pelni. Saya bertanya pada orang-orang yang sedang menunggu kantor buka. Yang pada akhirnya, saya berhasil mendapatkan tiket Lambelu seharga Rp. 173.000 plus biaya admin menjadi 177.000 dan Rp. 1000 yang direlakan karena tidak ada kembalian. Di dalam tiket tertera bahwa saya mendapatkan jadwal pelayaran pada 7 Juni 2016 lusa.

Bermodalkan niat kuat dan restu orang tua serta pakdhe-budhe, saya bergegas menuju pantai utara Flores. Saya harus menyusuri tebing curam untuk mendapatkan kapal yang dimaksud.

Lepas tengah hari yang panas, sepeda motor kesayangan saya pacu dengan laju sedang. Meninggalkan Ende yang membentang di pantai selatan Flores kemudian menyusuri kelok-kelok lembah menuju pantai utara.

Rutenya melewati Ende—Detusoko—Wewaria—Maurole. Percayalah, hanya Detusoko yang menawarkan udara sejuk dan menyegarkan sepanjang jalan. Jika kita lepas dari Detusoko, udara perlahan mengering dan berdebu. Kelilipan wajar. Haus lumrah. Ini Flores Bung. Wewaria lebih hangat dari Detusoko. Kebetulan hari sedang cerah (*panas) karena lewat tengah hari. Silau matahari membuat lelah. Kondisi jalanan yang diperbaiki pada beberapa ruas melambatkan laju kendaraan.

Wajah mendadak sumringah ketika melihat tulisan MAUROLE. Kecamatan ini ternyata cukup memanjang sehingga membuat saya belum juga sampai di daerah tujuan. Oh God. Mata merah akibat kelilipan kembali memerah dengan semburan debu dari otto kayu (*truk yang dibuat komersil dengan ditambahkan papan kayu untuk duduk penumpang). Saya berteriak dalam hati "Mana kotanyaaaaa? Kenapa belum sampai juga?".

Sampai saya melihat dari kejauhan kelokan pantai pasir putih, harapan mencuat. Disusul dengan armada batubara di pantai untuk PLTU. Ahaaa!! Saya sebentar lagi sampai.

Butuh 8 menit lagi untuk sampai ke kosan Arin. Malunya di 'ciye ciye' anak muda didekat pertigaan kos Arin. Selidik punya selidik, mereka adalah murid Arin. Ckckckck.

Karena hari sudah sore, Arin membawa saya ke pantai. Amboooooi. Pantai sare! (pantai indah). Surutnya permukaan air laut sampai membuat tanjung-tanjung mini di pantai. It's great. Allah Maha Indah dengan ciptaan Nya.

Ini Maurole, seluruh sudut pantainya adalah anugerah.

* Ditulis ketika lampu sudah mati. Arin sudah pulas tidur. Terimakasih Arin yang bersedia memberikan bantuan menginap dan merawat Rio selama saya pergi. Ika yang sudah menemani di Pelni dan membagi kue sarapan paginya.

Jumat, 13 Mei 2016

Morning Lounge

Aroeboesman Airport. 7.38 am

Matahati sudah meninggi ditimur dan mengungguli buki-bukit yang berbaris di depan mata. Kesibukan bandara terlihat di pintu arrival. petugas berlalu lalang membawa ini dan itu. Salah satu maskapai sudah memarkiran armadanya di samping pagar pembatas. Jadwal penerbangan maskapai terbaik negeri masih satu jam lagi. Di bandara yang kecil ini, penumpang bisa check-in bahkan di menit-menit terakhir. 

Waktu di ponsel menunjuk angka 7 lebih 45 menit. Seorang yang saya tunggu belum nampak juga. Penumpang sudah mulai ramai memenuhi pintu check-in. Jadwal take off maskapai tertentu sepertinya tinggal menunggu menit. Koper-koper sudah menumpuk di sana sini. Paket yang akan dikirimkan sudah menggunung di samping saya. 

Kedatangan dan keberangkatan selalu menyenangkan terutama bagi supir travel, tukang ojek dan penumpang. Mereka yang akan berangkan entah dalam keadaan terpaksa atau bahagia toh akan menanti kepulangannya. Mereka yang baru saja sampai mungkin sedang mengumpulkan segenap kekuatan dan rencana-rencana baru. Kita tidak dapat membayangkan betapa senangnya penyedia jasa transportasi yang mendapatkan orderan. Pun dengan mereka yang menemukan sana saudara di tengah kerumuman. 

 Matahari sudah setinggi itu di atas kepala. Menggugurkan kesan hangatnya menjadi lebih menyengat. Langit cukup bersahabat meski bersih tanpa awan. Saya pun akan disini untuk ‘berangkat’ pada purnama ke enam tahun ini. Sama seperti mereka yang menanti kepulangan setelah sekian lama. Pada akhirnya, sejauh apapun perjalanan yang kita tempuh akan ada lonceng kepulangan yang menyenangkan. Bukankah akan ada pelukan hangat jika kita sampai rumah?

Setiap orang yang merantau akan kembali ke rumah asalnya. Mereka membawa pulang berbagai hasil perjuangan salama masa perantauan. Alasan merantau bermacam-macam pula dari setiap orang. Sebagian bersar dari mereka menginginkan sesuatu yang lebih baik dalam hidupnya. Baik dalam hal ekonomi, pendidikan, kondisi hati atau hal lainnya. Pada intinya perantau pergi dari tempat asalnya dengan membawa alasan masing-masing tujuan masing-masing. Jangan ditanya perginya seseorang untuk merantau akan berapa lama. Bisa setahun, 5 tahun, 10 tahun bahkan berpuluh-puluh tahun. 

Ruang informasi belum mengumumkan apa-apa. Penumpang sudah agak lelah menunggu sambil berdiri. Ah ya. Ada beberapa yang memilih untuk jongkok. Sebagian yang lain berbincang dengan orang yang disebelahnya. Ketika angin tiba-tiba berhembus, sejuknya adalah sesuatu yang sangat disyukuri. 

Apakah saya harus menelpon orang yang saya tunggu?

Bandara yang kecil ini tidak terlalu sibuk dan padat. Hal inilah yang membuatnya lebih ‘sederhana’. Kita tidak perlu menunggu berjam-jam untuk penerbangan yang hanya sekitar 45 menit dari satu bandara ke bandara yang lain. Kita bisa check-in dengan lebih santai karena letaknya di tengah kota pantai ini. 

Satu maskapai sepertinya akan take off dalam beberapa menit lagi. Menunggu orang yang datang dan belum memberi kabar memang membosankan. Jari-jari hanya bisa menggeser layar sentuh. Untuk beramah tamah dengan orang-orang rasanya berlebihan. 

8.18 am

Tangis yang Tersembunyi


2.46 pm
March, 5th 2016 

Anak-anak berlarian mengejar bola voli yang disundul di tengah lapangan. Beberapa diantara mereka memilih menonton dari pinggir lapangan yang belum juga hijau meski sudah diguyur hujan hampir 1 bulan. Anak perempuan yang malas berolahraga hanya bergerombol kecil-kecil. Guru-guru belum datang untuk memulai senam. Sekolah layaknya arena bermain. Riuh.
Anak itu datang dengan senyuman lebar. Selalu begitu. Meski wajah saya tegang berkerut-kerut, ia tidak pernah lupa mengulurkan tangan dan memamerkan gigi depannya. Dia menghampiri saya sebelum anak-anak lain ramai menyalami. Ia pun sempat meminta kacang telur yang sedang saya makan. 3 orang anak datang mengambil bola. Ia pergi keluar untuk menonton. 

Meja yang terletak di dekat jendela saya ia duduki. Entah untuk alasan apa saya tidak menegurnya karena duduk di meja. Kemudian muncullah pertanyaan yang menusuk tanpa saya sadari.

“Mama kamu sudah pulangkah?” Wajahnya berubah rona sambil menggeleng.
“Pergi ke Kalimantan” Ia kembali hening dan menatap dengan kosong.
“Bapak memang dimana?”
“Bapak di Malaysia. Mama ke Kalimantan cari kerja”.
“Jadi kamu makan sama siapa?”
“Ada. Saya pergi ke Aldi. Saya kalau makan disana” Kami sama-sama hening. Menunduk dengan renungan masing-masing. Ia terlihat menutupi kesedihan dan berpura-pura baik-baik saja. Saya harus berpura-pura tidak melihat kesedihan itu. Kami seperti kikuk untuk menyambung percakapan yang jelas tidak mengenakkan itu. Akhirnya saya memiliki ide.
“Ambil sana bolanya. Main bola sepak. Atau mungkin mau main hola hop? Kamu jago mainnya kan?” Ide itu lumayan mengalihkan pembicaraan.
“Hola hop itu apa Ibu?”
“Ah. Itu plastik yang melingkar. Yang biasa kamu mainkan tu”. Suasana kembali hening.
“Malas e..” 

Anak-anak kemudian terlihat memenuhi lapangan untuk berbaris. Rupanya guru olahraga sudah datang. Anak itu bergabung dengan teman sekelasnya. 

Orang dewasa memang sering membingungkan. Apalagi bagi anak-anak. Mereka berselisih paham, bertengkar, atau berargumen seenaknya. Mereka marah. Kadang kala sambil berteriak-teriak satu sama lain. Lantas pergi. Tidak peduli dengan omongan orang banyak. Tidak bertanya bagaimana perasaan anak-anak mereka. Coba mereka bayangkan. Apakah anak mereka sudah makan? Bagaimana hidupnya sehari-hari tanpa Ayah dan Ibu? Anak sekecil itu harus melihat kesulitan orang dewasa kemudian ditinggalkan tanpa pamit.
Ia bisa tersenyum dan berpura-pura tidak ada apa-apa. Saya pun bisa demikian. Orang kebanyakan juga. Namun persoalan tidak pernah selesai. Luka tidak serta merta sembuh oleh berjalannya waktu. Ia terluka. 

Bagaimana hendak menyembuhkannya? Ia tidak tahu kepulangan seorang Ibu akan menyelesaikan persoalan atau tidak. Tetapi setidaknya ia tidak akan sendiri. Ayahnya tidak akan sendiri. Ibunya tidak akan sendiri. Mereka tidak akan sendiri-sendiri dalam usaha mempertahankan hidup.

Saya tidak tahu hatinya terbuat dari apa. Ia terlihat kuat. 

3.25 pm   

Variasi Kelas

Saya hendak menghitung sudah berapa purnama terlewatkan di pulau bunga. Delapan atau sembilan? Lalu berapa purnama sungguhan yang saya lewatkan dengan khusyuk dan syukur? Apakah sekalipun pernah mentadaburi semua hal yang nampak di langit Nya? Orang bilang, ini bagian dari potongan-potongan surganya yang indah. Ya. Mereka seharusnya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana menghirup setiap oksigen dan menyerap sinar UV yang memapar diri setiap hari. Masih bersyukur dengan anugerah pulau ini? Saya bisa meloncat kegirangan melihat air laut yang membiru meski terpapar sinar UV yang jahat. Apakah itu salah satu tanda bahagia?

Disini saya bertemu banyak orang dengan karakter yang berbeda-beda. Mereka hidup dengan nilai yang dipelajari sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang ada. Ketika saya berbicara dengan A, arah pembicaraan sudah dapat ditebak. Ketika saya berbicara dengan B, nuansa emosi dan segala macam perasaan lebih mendominasi. Saya pikir hidup saya terlalu serius sehingga mereka yang duduk-duduk berbincang tidak saya dekati. Buku dan buku menjadi alasan duduk yang paling menyenangkan bagi saya. Sampai disini apakah itu salah?
Guru, PNS, pedagang, maupun mahasiswa memiliki area hidup yang unik. Kita akan membicarakan gaji, kenaikan pangkat, dan murid-murid jika berdekatan dengan guru. Mereka mengeluh tentang pendapatan yang tidak seberapa dan tanggungjawab yang luar biasa. Murid membuat ulah yang memalukan sekolah. Semua hal di sekolah dibicarakan panjang lebar penuh dengan emosi. Sesekali kami membicarakan tas keluaran terbaru, make up yang cocok di wajah, khimar ala artis hingga sepatu. Kami memasuki kelas pada jam yang diberikan kepala sekolah. Beberapa guru mata pelajaran UN bisa panik dengan persiapan ujian yang tinggal 1 bulan lagi. 

Ende adalah sebuah kabupaten besar yang tergolong ramai dan berkembang dengan pesat. Saya berkenalan dengan PNS dari beberapa instansi berbeda. Kami mendiskusikan perkembangan daerah, peluang membangun wilayah ini, dan karakter masyarakat. Mereka lebih terbuka dan fair membicarakan diri (orang Ende-Lio) mereka. Saya melihat, diskusi dengan mereka lebih mengena dan bertanggungjawab karena mereka mewakili instansi yang dibawa. Tinggal memilih instansi mana dan kita kan mendapatkan akses untuk belajar. 

Lain guru, lain PNS. Lain pula pedagang atau pengusaha. Dengan mengedepankan kualitas, harga menjadi urusan kedua. Kekayaan tenun di Ende dan budaya yang dimilikinya menjadikan bisnis dan pariwisata merupakan peluang yang menjanjikan. Inilah yang dikejar pengusaha dibidang kerajinan dan oleh-oleh. Apabila menyasar keuntungan, kita harus pandai pula melihat dimana pusat uang. Artinya langsung membidik wisatawan dengan menawarkan barang-barang baik dan eksklusif. Turis domestik dan mancanegara yang mengunjungi Kelimutu pasti singgah di Ende dan berkeliling di sekitar pusat kota. Terkadang mereka tinggal di Ende untuk beberapa hari dan mengunjungi perkampungan dan pesta atau ritual adat. 

Ada banyak orang dan bidang pekerjaan yang digeluti masyarakat Ende. Bagaimana karakter mahasiswa, pemuda, anak sekolah, masyarakat umum? Sebagian dari mereka menunjukkan diri mereka dengan jujur bahkan sejak pertama kali berjumpa orang baru. Mereka terbuka kepada pendatang. Bergaul dengan orang yang berbeda-beda merupakan kekayaan yang sangat berharga selama di Ende. Tidak hanya sekolah dan murid. Kami bisa membicarakan sosiologi, pariwisata, pertambangan, dan sebagainya. Bukankah ini kesempatan emas untuk belajar dan berkembang?

Maka kunjungi Ende dan rasakan bagaimana rupa-rupa orangnya menyapamu! See you later.

April, 11th 2016


Ujian dan Ujian

Semester 2 merupakan masa-masa sibuk bagi yang duduk di tingkat akhir. Anak SD, SMP, hingga SMA/SMK/MA sibuk dengan persiapan ujian akhir. Jadwal berubah lebih padat, jam tambahan diberlakukan. Murid menjadi super rajin. Guru lebih panik mempersiapkan ujian yang datang bukan untuknya.

Pagi itu, sebagai seksi perbekalan alias konsumsi kami berkewajiban mengambil jatah. Janji kami akan mengambil jatah konsumsi pukul 8 pagi. Jarum menunjukkan angka 4 pada jarum panjang. Bagi saya itu suatu keterlambatan. Kami bergegas memacu sepeda motor ke tempat memesan kue. Jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolah. Kira-kira 1 kilometer dengan jalan aspal yang mulus. 

Pintu rumah terbuka menyambut kedatangan kami. Teman saya mengucapkan salam yang disahut pemilik rumah dari dalam. Saya terbiasa tepat waktu jika berjanji dengan orang yang lebih tua. Dirumah tersebut 3 orang tua bekerja membuat kue bersama. Janji kami jam 8. Pagi itu kami terlambat 20 menit. Bibi yang membuat kue mengeluh “Kami terlambat e. Mati lampu Ine”. Sedikit-sedikit saya paham bahasa yang diucapkan nyonya rumah. “Nio iwa latu. E, mana terlambat gara-gara listrik mati”. Tidak tahu harus menjawab apa, saya meraih donat di tampah dan membungkusnya dengan plastik. Donat meses yang saya bungkus mungkin 30 buah. Bahkan lebih. Selesai dengan donat saya beralih ke lapis besar. 

Bagi saya penampilan kue adalah nomor 1. Kue yang cantik lebih menarik untuk dimakan. Packaging yang pas membuatnya lebih elegan. Saya hanya membagi plastik donat menjadi dua bagian sama besar. Kemudian membalut lapis besar dengan plastik tersebut. Bibi biasa membungkusnya langsung dengan plastik yang jauh lebih besar dari ukuran lapis. Sehingga terlihat aneh dan kurang menarik. Nampaknya Bibi puas dengan penampilan lapisnya sekarang. Ia sampai berujar “Ini ilmu baru Ine. Sangat berguna. Terimakasih ya. Aaa, bagaimana membuat adonan kue yang lembut Ine?” Pujian kadang berlebihan, hingga ujungnya terasa mengganjal. Dalam hati saya menjawab “Au deh Bi. Bikin donat sendiri aja gue gak pernah”. Saya hanya menggaruk kepala kemudian “Tidak tahu Bi”. Pesanan kue saya belum juga siap. Teman saya sudah angkat tangan dari donat-donatnya. 

Hari pertama ujian dapat dilalui dengan selamat. Konsumsi pengawas terdistribusi dengan merata dan adil. Mission complete

Keterlambatan hari pertama berulang di hari kedua. Begitupun hari ketiga dan keempat. Dihari terakir, demikian adanya. Realitanya terlambat setiap hari. Saya heran melihat ini selalu terjadi? Apakah sudah menjadi budayanya?

Bibi membuat kue setiap hari untuk dijual di kota. Mereka menginginkan kue jam 1 siang. Kue masuk ke kios setiap sore hari. Begitu siklus hariannya. Saya kesal akan keterlambatan tersebut. Padahal mereka sudah menyanggupi untuk menyiapkan kue jam 8 pagi. Jika budaya ini terus berlanjut, bagaimana mereka menghadapi persaingan dengan pengusaha lain?

13 April 2016

Sekadar Hadir



Di sekolah saya yang lama, kewajiban guru BK untuk hadri setiap hari sangat ditekankan. Tidak ada jatah free untuk guru baru. Bahkan yang lebih senior hanya mendapat jatah free setengah hari dalam 6 hari kerja. Apabila jumlah guru BK mencukupi untuk dibagi shift masuk maka peluang memperoleh free day semakin besar.

Pekerjaan sehari-hari cukup santai, menurut saya. Meskipun banyak sekali hal yang sebenarnya bisa dikerjakan. Tetapi target sekolah tidak muluk-muluk membuat kami sering bingung. Berkali-kali mengajukan proposal kegiatan, pihak yayasan selalu menolak. Alasannya bermacam-macam seperti dana, waktu, kendala teknis atau kesesuaian isi kegiatan. Kami mengisi hari efektid dengan mengumpulkan ide kegiatan sebanyak-banyaknya.

Bosan? Pasti. lelahnya sebanding dengan guru lain yang mengajar di kelas. Teman saya mengeluh tetapi mengerti alasan kehadiran kami. Sesenggang appaun waktu kami di seklah, kami harus siaga setiap saat. Fungsi pendampingan terhadap murid yang tiba-tiba bermasalah merupakan tanggungjawab kami. Beberapa siswa datang dan sekadar bercerita tentang guru yang membosankan. Ada pula yang hanya mampir untuk menyapa atau membolos dari pelajaran tertentu. Satu hal yang ditekankan yaitu “kami harus ada dan tetap hadir”.

Dalam kehadiran kita di sekolah setiap harinya, selalu ada sapa dengan murid. Pukul 6 pagi kami mulai mengenali si tukang dandan, si rajin, putri terlambat dan julukan aneh lainnya. Murid SMK pandai bersilat lidah. Mereka yang terlambat terus memohon dibukakan pintu gerbang. Kami tidak menemukan kejadian lucu tersebut jika masuk beberapa hari saja. Maka kami hadir setiap hari untuk membersamai mereka. 

Apakah kita masih bertanya untuk apa hadir setiap hari? Kami memang tidak banyak melakukan hal-hal besar. Ide-ide kami terhalang perijinan dan berakhir di atas meja Kepala Sekolah. Semua hal yang kami lakukan sifatnya sebatas membantu. Kami tumbuh dan berkembang bersama mereka. Saling tahu kalau juara kelas XI AP seringkali mengenakan soft lens. Saya tahu kemarin pagi si A diantar pacarnya yang kuliah di kampus XX. Begitulah kami mengenal murid kami yang super unik.

Keakraban dengan murid bisa dilanjut ke jejaring sosial media, BBM. Mereka ABG labil yang ekspresif. Sama-sama saling komentar status dan menyemangati. Ada juga murid yang meminta kopdar di luar sekolah. Alumni yang memiliki kontak BBM saya pun masih sering menyapa dengan panggilan “Ibu baru”. Kesemuanya itu adalah dampak dari kehadiran baik di dunia nyata maupun dunia maya. 

Lambat laun mereka percaya kalau kita ada untuk mereka. Meskipun butuh proses yang tidak sebentar. Kami harus mencitrakan diri secara positif dan terbuka terhadap mereka. Mau tidak mau mereka mengenal kita dan sebaliknya. 

Di tempat yang jauh dari murid bergincu, saya semakin sadar untuk senantiasa hadir. Tidak peduli betapa kosongnya hari karena jam masuk kelas hanya 4 jam pelajaran per minggunya. Tidak peduli berapa lama dan lelahnya jarak tempuh yang harus dilalui setiap harinya. Jika setiap hari saya bisa melihat mereka belajar bersikap, apapun untuk mereka. Karena sungguh kehadiran saya tidak pernah sia-sia. Mereka belajar, begitupun saya. 

Nangapanda, February 24th 2016

Sejuta Harapan



Matahari bersinar tegas pagi ini. Seolah membalas dendam atas guyuran hebat kemarin sore. Tanah tidak sebasah ketika kami meninggalkan barisan bukit kecil. Ajaibnya, rumput yang berderet dipinggiran jalan begitu hidup. Mereka terlihat benar-benar baru dan segar. kemudian harapan menyerak diantara senyum yang mengambang.

Sebuah buku berjumlah 425 halaman mendekam hangat diatas punggung. Didalamnya terkuak aneka rupa sistem hidup. Pembicaraan seputar politik kampung, uang, pernikahan dan adat mengallir seadanya. Semua isi dibahas tuntas dan menimbulkan beberapa pertanyaan. Namun justru sebuah kesenangan tersendiri untuk membiarkan pikiran berkelana dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Yang menarik selain menemukan pertanyaan-pertanyaan ajaib. Aku menemukan teman bicara yang sepadan. Untuk sama-sama terbuka dengan wawasan, membagi ilmu yang dimiliki dan memberi dukungan atas usaha sendiri. Ini semacam hadiah yang menyenangkan dari membaca. 

Kita selalu ingin mendapatkan teman bicara yang sesuhu. Mengerti apa yang kita harapkan dan bayangkan. Tentu teman-teman seperti itu tidak banyak dan tidak semua tempat menampilkan sosok-sosok tersebut. Namun sungguh membahagiakan jika menemukannya ditengah kesendirian pikiran.

Nangapanda
March, 16th 2016

Dermaga Hujan


5.07 pm
March, 3rd 2016

Tiga lelaki melayangkan tendangan kesana kemari di tengah hujan. Tumpahan laut entah berwarna abu-abu atau masih tetap biru. Yang pasti mereka merapat ke bibir pantai dengan disertai tekanan angin yang lebih kencang. Ah. Rupanya hujan menghentikan tendangan segerombolan lelaki itu. Dermaga basah. Kapal yang tengah bersandar tetap diam. Lebih banyak air turun. Lebih banyak yang senang. Hujan adalah berkah. Mikail turun dan menyampaikan rezeki. 

Segera jala ditebar dengan sampan sederhana. Derasnya segera mereda. Suasana mendadak tidak bising oleh rintik yang menghujam. Angin lebih bersahabat dan ombak telah kembali menjadi himne abadi. Anak-anak kembali berlarian di pantai. Sementara badan kapal dimuati lagi dengan kendaraan, barang-barang dan awak kapal. Kapan kapal meninggalkan dermaga? Peluit panjang akan berbunyi sebgaai tanda bahwa jangkar telah diangkat. 

Hujan hanya sebentar mengguyur dermaga. Toh memang tidak selamanya hujan turun. Sebagai kota di tepi pantai selatan Flores, jauh di selatan sana ada tempat yang jauh lebih maju. Lebih bising dan lebih modern. Australia. Tentu jaraknya amat jauh dari dermaga ini. Bahkan orang-orang pun tidak peduli ada apa disana. Kesibukan dermaga, terminal, bandara terasa sibuk ala kadarnya. Semua berangkat dan pergi membawa urusan masing-masing. 

Tengoklah mereka yang berlalu lalang di pelabuhan. Hidup yang sibuk dari satu dermaga ke dermaga berikutnya. Pun dengan mereka yang menebar jala di perairan dalam itu. Semua orang bekerja keras. Mereka memiliki harapan ini dan itu. Semua orang memang harus bekerja keras demi sesuatu. Hujan adalah harapan bagi mereka. Benderang adalah harapan yang lain.

Matahari tinggal sejengkal di sebelah barat. Dermaga terlihst sibuk dijadikan tontonan. Banyak hal telah nampak bersiap menyambut malam. Esok akan menyajikan ujian kerja yang lebih menantang. Seperti kapal yang bersiap menantang ombak mungkin juga hujan akan menantang di siang bolong. 

Hei, matahari benar-benar nyaris tenggelam. Sedangkan kaki ini enggan melangkah barang sejengkal. Apakah tidak ada penangguhan? Aku masih ingin hujan disini tetapi aku juga ingin segera bertemu dengan Nya. Ombak terdengar mengusir, mengingatkan waktu sudah habis.
Dalam hidup, seringkali kita menjumpai hal-hal yang membuat kita harus beranjak. Aku menyukai duduk di sini tetapi bertemu dengan Nya pun bukan hal yang tidak kusenangi. Dermaga ini seolah menjadi hak. Kemudian aku sadar bahwa sesuatu yang memang milik kita tidak akan jatuh ke tangan siapapun juga. Maka pembatasan hak adalah kebijaksanaan. Kita selalu berharap hak kita cukup. Tuhanpun memberikan sesuatu yang cukup.

Aku akan beranjak dalam hitungan menit. Segala sesuatu mesti sesuai dengan kadarnya. Hakku telah di penuhi. Maka han Nya akan segera kupenuhi. Aku dan dermaag hujan telah bercengkrama. Kami melihat dan merasakan banyak hal. Senja ini bukankah sesuatu yang harus disyukuri.

Terimakasih sudah memberikan tempat.

6.05 pm

Karena Lukanya Ada Didalam



Anak yang terluka meringis menahan sakit di pipi. Beberapa rekan lain hanya menggerutu dengan bahasa yang sulit dimengerti. Guru yng menangani keluar arena dan mempercayakan kepada saya.
“Kalau Andi memukul kamu, apakah kamu marah?”.
“Pastilah Bu”. Seorang anak menjawab.
“Bagaimana kalau saya yang cekik kamu Farid? Kamu marah?”.
“Tidak Bu”. Mereka menjawab secara serempak dan lebih perlahan.
“Kalian tidak salah apa-apa. Saya suka saja dan langsung mencekik. Kalian akan marah?”
“Tidak Bu”.
“kenapa? Kan saya salah”.
“Karena Ibu, guru”. Suara itu perlahan menghilang.
“Kalau saya guru, saya juga bisa salah. Pak Heri, Pak Faisal atau yang lain bisa salah juga”. Suasana masih diam dan mereka saling pandang satu sama lain. Masih dengan bahasa yang tidak saya mengerti, mereka riuh kembali.

“Kalian pun demikian. Dia bisa mencekik kamu, menampar atau apapun itu. Coba lihat luka yang disini (menunjuk pelipis yang lecet). Bisa hilang dalam dua minggu saja. Kalau lukanya didalam sini (menunjuk dada), kalian susah menyembuhkannya. Dan dia memiliki luka didalam sini.

Pikiran saya bercabang-cabang. Teringat sebuah judul film Korealama berjudul “Happiness for Sale”. Alasan kita tidak menyukai orang mungkin sayangat sepele. Namun kita mencela dan menunjuk tepat di hatinya. Sakitnya ada di dalam. Bukan luka seperti di pelipis atau tangan. Kita dengan mudah menyembuhkan luka di tangan sementara luka di hati, apakah kita benar-benar tahu jika itu sudah sembuh? Sulit sekali menyembuhkan luka di hati. Bahkan beberapa orang membutuhkan waktu seumur hidup untuk melakukannya. 

Ende,
March 8th2016

Kamis, 12 Mei 2016

Masyarakatpun Berkembang



Perkembangan yang cepat memberikan kemudahan dalam berbagai lini kehidupan. Didukung dengan birokrasi yang semakin terintegrasi, pelayanan publik semakin meningkat. Dengan sistem perijinan satu pintu, memudahkan investor untuk datang dan membangun pusat industri baru.

Kota tumbuh dan berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Pusat industri diarahkan semakin juah dari pemukinan dan perkantoran. Kemduian muncullah daerah penyangga. Di daerah sekitar kota menjadi sasaran pembangunan pemukiman baru yang lebih ramah. Pesatnya pembangunan di daerah perkotaan dan sekitarnya sering tida dibarengi dengan pertumbuhan di pedesaan dan daerah yang agak terpencil. Alasannya macam-macam mulai dari jarak yang jauh. Sistem birokrasi di daerah yang berbelit-belit, masyarakat setempat yang belum siap serta potensi daerah yang belum tergali. Sederet kondisi di lapangan melahirkan ketimpangan sosial, ekonomi, budaya, politik, dan sebagainya. Inilah yang kita sebut dengan disparitas. 

Secara sederhana kita dapat membagi masyarakat ke dalam tiga jenis berdasarkan tingkat kemajuannya. Yang pertama, yaitu masyarakat pedesaan. Mereka adalah mayoritas masyarakat Indonesia yang mendiami wilayah-wilayah yang merata dari Sabang sampai Merauke. Sebagian besar masyarakat Indonesia tinggal di desa-desa dan kota kecil yang masih memanfaatkan produksi pertanian lokal. Yang kedua, yaitu masyarakat transisi. Mereka adalah masyarakat yang sudah mengenal kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan dan mendapatkan akses. Dilihat dari jaraknya ke kota, masyarakat transisi tinggal tidak jauh dari kota. Akses jalan raya yang sudah baik, sistem transportasi yang mulai menggeliat serta aktivitas masyarakat yang berpusat di kota. Sebagai daerah yang telah berkembang melebihi pedesaan, masyarakat transisi belum memiliki sumber daya yang memadai untuk berdiri sendiri. Dari aspek pendidikan, sebagian masyarakat memperoleh pendidikan tinggi. Hal tersebut menyebabkan mereka mencari pekerjaan di kota atau wilayah lain. SDM yang dimiliki baru memenuhi kuota dalam pos-pos tertentu. Dari aspek ekonomi, masyarakat yang memiliki keterampilan lebih akan mencari pekerjaan di kota yang lebih baik. Biaya hidup yang harus ditanggung tidak semurah di desa sehingga memaksa mereka untuk mencari penghasilan di kota. Potensi daerah belum tergali sepenuhnya tetapi masyarakat terlanjur menikmati fasilitas kota. Gaya hidup mulai berubah. Sedikit demi sedikit, masyarakat transisi belajar gaya hidup konsumtif. Kebutuhan sandang, papan dan kebutuhan tersier justru lebih penting dari kebutuhan hidup dasar. Yang ketiga, yaitu masyarakat kota. Fasilitas hidup di daerah perkotaan bisa dibilang lengkap. Sistem ekonomi, transportasi, birokrasi. budaya dan yang lainnya berkembang pesat. Aktivitas sehari-hari cenderung padat dan melelahkan. Permasalahan yang timbul di kota antara lain polusi, sampah, kemacetan, biaya hidup yang tinggi, angka kriminalitas yang tinggi dan sebagainya. Masyarakat kota yang telah lama tinggal dan menetap memiliki budaya tersendiri. Mereka keras, acuh, hedonis, konsumtif dan gila kerja. Persoalan yang dihadapi setiap hari mengharuskan warga kota gila kerja. Persaingan mendapatkan pekerjaan tidaklah mudah sehingga pekerjaan yang sudah didapatkan cenderung dipertahankan. Yang tidak cocok dengan pekerjaannya bisa memilih untuk pindah. Namun berganti pekerjaan yang belum pasti sangat tidak dianjurkan. 

Pada perkembangan selanjutnya daerah penyangga memiliki peran yang signifikan sebagai alternatif mengembangkan industri dan pemukiman. Kota akan berkembang tanpa diributi dengan polusi pabrik, wira-wiri kendaraan ekspedisi dan pemukiman kumuh. Masyarakat di deaerah transisi yang tidak siap secara pendidikan, keterampilan, dan nilai-nilai hidup akan mengalami cultural shock (gegar budaya). Mereka terjebak pada kondisi tidak bisa menolak perkembangan dan tidak punya bekal untuk bertahan. Sedangkan masyarakat pedesaan perlahan mendapatkan akses untuk bergegas menuju masyarakat transisi.

Jika masyarakat kota berkembang dengan baik maka akan memberikan dampak baik pula bagi masyarakat transisi dan pedesaan. Jika perkembangnya buruk bukan tidak mungkin dampaknya justru jauh lebih buruk. Oleh karena itu semua orang harus berbenah dan belajar. Kita mempersiapkan diri untuk berkembang dan menghadapi tantangan jaman. 

Nangapanda,
February 25th 2016

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...