Kamis, 23 Juni 2016

Kuda dan Rumah Panggung

Inilah Jeneponto, salah satu kabupaten Sulawesi Selatan. Induk semang saya di Makassar mewanti-wanti untuk makan sup daging kuda. Yihaaaa, makanan apa itu? Agak kikuk juga pertama kali mendengar sup daging kuda. Biasanya kuda dipakai untuk transportasi, hobi, mahar atau mas kawin, dan peternakan. Ternyata ada di daerah Sulawesi yang memakan kuda sebagai kebiasaan lokal. Mengesankan (bukan mengenaskan lho ya).

Untuk dapat menjangkau daerah ini kita tidak perlu susah payah mengingat rute atau peta. Hanya jalan lurus saja. Jika ada pertigaan atau perempatan ambillah jalan lurus. Kebetulan saya berkesempatan membawa sepeda motor teman saya. Memang benar. Jalannya lurus mendatar. Aman untuk pengendara amatir atau yang tidak terbiasa berkendara jauh. Kita akan disuguhi pemandangan kebun semangka, persawahan, pasar dan sesekali penjual buah-buahan dipinggir jalan. Jika ingin berhenti sejenak dan shalat, ada tersedia banyak masjid di sepanjang jalan yang dilalui. Pun dengan gerai alfamart/indomart dan SPBU.

Saya diberitahu teman saya bahwa di Jeneponto mayoritas rumahnya berupa rumah panggung. Ia menceritakan betapa susahnya jika hendak ke kamar kecil pada tengah malam. Dalam benak saya sudah muncul model rumah panggung seperti apa yang ada disana. Imajinasi dan realita nyatanya berbeda lumayan jauh. Teman saya memiliki rumah panggung tetapi tidak digunakan sehari-hari. Fungsinya lebih pada ruang penyimpanan perkakas rumah tangga dan sembako. Keluarganya memiliki 'rumah batu' atau rumah tembok yang umum dimiliki orang modern. Masyarakat berkeyakinna bahwa kearifan lokal nenek moyang harus dilestarikan. Meskipun mereka memiliki rumah permanen, mereka tetap membangun rumah panggung. Sesederhana apapun bentuknya. Dari rumah panggung yang saya lihat di sepanjang jalan, ada beberapa yang sudah berarsitektur modern. Kayu bagian depan rumah diukir dengan sangat cantik bahkan ada yang megah. Beberapa menggunakan kaca jendela yang beraneka rupa, memiliki halaman yang cukup luas dan berpagar semen. Kekayaan lokal yang begitu kaya dari masyarakat Jeneponto.

Kemana mata memandang, ada rumah panggung. Dari yang sederhana hingga yang megah. Tidak sedikit yang memiliki armada roda empat dan desain rumah yang wah. Disisi lain, kehidupan sosial masyarakat dikatakan mampu karena banyak yang sudah ke tanah suci dan memiliki mobil. Rata-rata masyarakatnya bekerja sebagai pengusaha. Generasi mudanya sudah dikenalkan usaha dan pekerjaan sejak usia remaja hingga menjelang dewasa. Tidak heran jika pendidikan di kampung teman saya tidak begitu menggembirakan. Mereka bekerja dengan baik dan mampu membuat rumah panggung yang bagus. Namun sebagian anak-anak tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi sekalipun mampu. Hal inilah yang disesalkan teman saya dari kampungnya.

Dari Makassar yang eksotis dengan Losari dan kehidupan metropolitannya, Jeneponto menghadirkan pemandangan pantai-rumah panggung-kuda-tambak garam. Luar biasa. Suasana perkampungan yang khas dan dialek Makassar yang kental.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...