Jumat, 10 Juni 2016

Di Kota Bersejarah nan Megah

Sejak dibeli Sabtu, 4 Juni tiket kapal gagal hangus. Lambelu yang gagah mengantarkanku pada pulau yang menyerupai huruf K besar. Selasa siang, saya diantar Arin, Alfin dan Ernawati (*Cupang) ke Port of L. Say Maumere. Ada sebersit haru, sedih, senang dan perasaan tidak percaya. Mereka yang baik hati mengantarkan saya jauh-jauh meski rute yang dilewati lumayan menantang. Saya sampai berkata 'Kalian cepat pulang, nanti aku bisa sedih kalau kalian masih disini'. Drama-drama terus berlanjut. Waktu yang semakin sore mengharuskan teman-teman saya pulang ke Maurole.

Di masa penantian tersebut saya berkeliling sambil memotret, memakan bekal saya di pinggir dermaga, dan menghubungi beberapa orang. Kenekatan itu belum menimbulkan efeknya. Senja turun menandakan waktu berbuka puasa. Penumpang memenuhi peron pelabuhan dengan ditemani kopi. Pukul 6 lewat, penumpang berbondong-bondong mendekati dermaga. Kapal yang entah seperti apa belum menampakkan ujung moncongnya. 45 menit kemudian, bayangan di kaca memantulkan kilatan cahaya. Apa itu kapalnya? Penumpang lain tetap berduyun mendekati dermaga. Saya memastikan kapal tengah bersandar. Selama di Jawa sudah 3 kali saya naik kapal dengan rute yang berbeda. Ketika menyeberang ke Bali, menyeberangi laut Jawa ke Karimun Jawa, dan selat Sunda menuju Sumatera. Kapal yang pernah saya naiki besarnya sedang saja. Kali ini kapal yang akan membawa saya berlayar sungguh besar. Memang tidak sebesar kapal pesiar tetapi saya merasa senang melihatnya.

Dengan berebut naik tangga, akhirnya saya masuk kapal. Mengikuti arahan petugas kelas ekonomi. Berebut lagi mendapatkan tempat tidur. Setelah mencari dan mencari, saya menemukan posisi yang baik. Disebelah saya ada perempuan seumuran dan yang masih kuliah. Bermodalkan tampang lusuh dan lugu, saya berhasil meminta anak kuliahan tersebut mencarikan tempat tinggal. 

Pelabuhan Makassar yang besar dan megah menyambut saya. Keramaiannya sungguh membangunkan saya dari heningnya Ende. Ini kota terbesar di Indonesia timur. Peti kemas bertumpuk-tumpuk di sepanjang pelabuhan. Kendaraan berplat DD mendominasi jalan raya. Inilah kampung halaman wapres RI. Kotanya belum banyak dipenuhi gedung pencakar langit. Beberapa skyacrapper merupakan hotel dan kawasan komersil, bukan kantor pemerintahan setempat.

Saya sampai di jantungnya cotto, konro dan es pisang ijo. Waw., wisata kuliner dimulai.

Pencarian tempat tinggal yang serba cepat memaksa saya membayar tarif seperti di Jakarta. Kenalan anak kuliah yang membantu saya menemukan tempat tinggal, tidak dapat memberikan tumpangan untuk sementara. Alhamdulillah, tempat yang saya dapatkan berada dalam lingkungan yang baik. Orangnya pun baik-baik.

*Ditulis beberapa hari setelah sampai Makassar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...