Rabu, 15 Juni 2016

Reuni

Di kampung halaman JK saya bertemu dengan teman SMA, satu kelas. Kami pun dulu satu organisasi di kepramukaan. Saya sebagai ketua putri, sedangkan teman saya bendahara putra. Keakraban kami sama seperti yang lain. Kebetulan rumahnya jauh dari sekolah. Ketika jelang latihan pramuka kami terbiasa nongkrong di ruangan bersama. Makan siang, ngobrol dan melakukan aktivitas lainnya bersama membuat kami mengenal satu sama lain. Saya pikir dia agak pemalu kala itu. 2009 kami lulus. Praktis setiap anak akan memutuskan hendak kemana. Saya bersama puluhan teman mengambil tes masuk d Semarang.

Selama lebih dari 7 tahun kami menjalani hidup masing-masing. Saya sibuk dengan tugas kuliah dan organisasi. Dia entah kemana. Timbul tenggelam tapi lebih banyak menghilang. Kontak pun jarang. Apalagi untuk sekadar nongkrong dan ngopi-ngopi. Bahkan reuni yang dihelat pengurus kelas hanya menghadirkan pemain lama dan semakin sepi. Dia tidak pernah hadir.

Pada pertengahan 2015 saya ke Flores. Target saya di Indonesia timur adalah mengunjungi Makassar. Siapa yang tidak tahu kota besar Sultan Hasanudin? Inilah bandar pelabuhan terbesar di timur dengan kapal besar yang mampu mengarungi samudera. Dengan modal keberanian, saya mendarat disini sepekan yang lalu.

Siapa sangka, dia tiba-tiba aktif di sosial media dan menemukan saya. Kami akhirnya mengobrol dan merencanakan reuni. Sejak 2010, bahkan 2009 usai kelulusan kami hampir tidak bertemu. Beberapa kali kontak sosial media.  Kemudian hilang lagi. Selalu begitu.

Sepertiga ramadhan pertama, dia tidak jauh berbeda. Sekurus itu. Sediam itu. Bahkan cara berpikir dan sikapnya tidak jauh berbeda dengan yang dulu. Bagaimana dengan saya? Kami pun banyak bercerita tentang pekerjaan, keluarga, cinta, dan pengalaman selama bertahun-tahun. Dia hampir menyesal tidak mengikuti saran orang tua untuk kuliah. Namun, dia pikir sudah terlalu jauh untuk kembali belajar.

Dia berkata akan mudik awal Juli. Beruntungnya setiap Idul Fitri dia mendapat tiket gratis kembali ke Jawa. Andai uang saya cukup sudah terbelilah tiket ke rumah.

Dia 25 sekarang. Seperti lelaki dewasa pada umumnya. Bulan depan saya sudah 26. Diantara teman-teman kami beberapa sudah menikah. Bahkan memiliki anak yang lucu dan menggemaskan. Diusia kami yang sudah tidak muda lagi, bekerja pun belum seserius teman lain. Kami membicarakan peluang beberapa puluh tahun mendatang. Memikirkan akan menetap dimana dan bagaimana. Tapi seolah perenungan yang tak membuahkan jawaban. Kami pun kembali bertanya pada diri masing-masing dan diam.

Ketika saya hendak pulang, dia masih keheranan dengan kehadiran saya di kota perantauannya.

"Kok bisa sih Pie? Kamu sendiri kesini. Emang gak takut? Heran aku. Cewek lagi. Lebih herannya lagi diijinin sama orang tua kamu". Saya hanya tersenyum menanggapi deret pertanyaannya. Kemudian dia menambahkan, "Kalau ada apa-apa gimana? Kan cuma aku yang disini. Nanti khawatir juga kalau kamu kenapa-kenapa". Saya sempat terdiam untuk beberapa saat. Kemudian kembali tersenyum. Entahlah, apakah saya harus sedih atau senang dengan kekhawatirannya. Ada satu haru yang kemudian menelusup dan akhirnya saya mendadak sedih.

Dia berkata lagi "Jangan pergi-pergi sendiri lagi lain kali". Kali ini nadanya benar-benar khawatir. Saya pun terpaksa mengiyakan dan sok menasehatinya. Setelah 'say hello' gagal berkali-kali, dia beranjak juga dari tempat saya berdiri. This is the time to go home Jil.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...