Selasa, 27 Desember 2011

Tantangan Lembaga Kemahasiswaan Unnes di Tahun 2012


Sekadar mengingat apa yang disampaikan salah satu kawan seperjuangan di BEM Seluruh Indonesia. Ada beberapa tingkatan dalam gerakan mahasiswa di Indonesia yang sampai saat ini berkembang. Lembaga Kemahasiswaan sebagai basis gerakan mahasiswa didalam kampus memiliki empat tingkatan. Yang pertama gerakan mahasiswa sebagai komunikator, gerakan mahasiswa berfungsi menyambungkan mahasiswa dengan birokrat. Segala yang terjadi baik ditataran fakultas maupun universitas sekadar dikomunikasikan oleh Lembaga Kemahasiswaan kepada birokrat. Fungsi yang kedua yaitu advokasi, gerakan mahasiswa menyalurkan aspirasi mahasiswa dan “memperjuangkannya” diranah yang lebih tinggi. advokasi yang seringkali dilakukan yaitu tentang SPL, biaya PPL-KKN, skripsi, dan wisuda. fungsi yang ketiga yaitu instrumentasi konfrontasi dimana gerakan mahasiswa aktif dalam melakukan advokasi dengan berbagai eklektasi/mix and match berbagai strategi. Yang terakhir yaitu penegakan peraturan. Secara tegas gerakan mahasiswa berusaha menegakkan peraturan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan amanah UUD ’45. Gerakan mahasiswa di Unnes dapat dikatakan masih berada ditataran advokasi karena baru melangkan pada tahap lobbying kebijakan karena secara umum Lembaga Kemahasiswaan yang ada belum mampu menyentuh permasalahan dasar sehingga gerakan yang diusung mahasiswa belum sanggup menerapkan instrumentasi konfrontasi.

Terpilihnya wakil-wakil mahasiswa dalam Lembaga Kemahasiswaan periode 2012 memberikan PR berharga yang masih berkutat pada persoalan klasik seputar kampus. berikut dipaparkan persoalan yang dihadapi Lembaga Kemahasiswaan:
1.       Kaderisasi dalam lembaga kemahasiswaan merupakan segi fundamental dimana kokohnya fungsionaris ditakar secara kasat mata. Profesionalisme internal biasanya terukur dari standar minimal seorang kader. Jika standar minimal seorang Ketua BEM Fakultas adalah pernah mengikuti Pelatihan Kepemimpinan Manajemen Mahasiswa Tingkat Dasar (*atau yang setara dengan itu) maka sudah selayaknya hal tersebut diterapkan kepada fungsionaris sebagai perpanjangan tangan dari pimpinan Lembaga Kemahasiswaan di tingkat fakultas. Selama ini standar kaderisasi sedikit dilupakan pimpinan lembaga sebagai akibat dari kesenjangan antara kebutuhan kader dengan realita ketersediaan kader di lapangan. Kaderisasi menjadi tantangan Lembaga kemahasiswaan yang pertama dan mendasar.
2.      Tingkat partisipasi mahasiswa dalam memasuki Lembaga Kemahasiswaan semakin terlihat memprihatinkan dari tahun ke tahun. Animo yang minim dari mahasiswa disebabkan banyak faktor diantaranya minat mahasiswa yang rendah terhadap kegiatan Lembaga Kemahasiswaan. Selama ini kegiatan yang ditawarkan oleh lembaga kemahasiswaan kurang menarik perhatian sehingga mahasiswa pun enggan ‘menengok’ kegiatan tersebut. tantangan kedua ini menuntut totalitas dan profesionalisme Lembaga Kemahasiswaan untuk terus berbenah diri dan kreatif mengembangkan inovasi kegiatan sehingga mampu mengikis apatisme mahasiswa.
3.       Sebagai kampus yang mulai gencar menunjukkan eksistensi, Unnes memiliki harapan untuk memiliki nama dikancah nasional. Dengan prestasi tingkat nasional baik di bidang akademik dan non akademik sudah menjadi modal untuk go public bagi Unnes. Lembaga Kemahasiswaan dirasa urgent untuk melakukan hal serupa dengan persiapan sedini mungkin. Mengapa perlu? Karena dengan posisinya dimata masyarakat yang cukup eksis, Unnes sudah memiliki kepercayaan atau trust. Sekalipun berbagai kendala menghadang fungsionaris LK untuk melebarkan sayap. Namun sekali lagi hal itu tidak lantas membuat mereka stagnan dengan posisi saat ini.

Manajemen internal, format gerakan pembaharuan di tahun 2012 dan etika dengan birokrasi juga bukan hal sepele untuk digarap pimpinan Lembaga Kemahasiswaan. Dengan berpijak pada kepentingan mahasiswa pada khususnya dan rakyat pada umumnya, kesemangatan fungsionaris LK perlu dipertahankan selama 2012. Dari Unnes untuk Indonesia Tersenyum yang siap membangun manusia Indonesia yang madani. amin

Kamis, 22 Desember 2011

Perempuan #2


Kini ia ada disini dengan rupa yang semakin menunjukkan usia separuh baya. Ia lebih banyak memendamnya atau marah-marah menjengkelkan jika sedang ingin diperhatikan. Ia bisa mengeluh dengan cinta yang terbagi tidak adil. Kadang kekanak-kanakan bila dipikir. Tapi begitulah adanya, ia tidak belajar mengungkapkan cinta dan keinginan disekolahnya dulu.

Sepasang bola mata ini terkantuk-kantuk mengartikan cintanya yang tak kunjung termaknai dalam baris kalimat. Kemana harus dimuarakan saat karya ini tak bisa nyata-nyata ditunjukkan karena merasa malu. Yang kuingat, waktu itu tubuhku tak bisa menopang kelelahan ini. Ia terjaga untuk sekadar memastikan bahwa aku baik-baik saja. Sekadar memberi selimut untuk menghilangkan rasa dingin. Ia memilih untuk mengkhawatirkan daripada mempercayakanku pada orang lain.

Ia ada disini tanpa pernah mengecup keningku lagi. Tanpa pernah memelukku lagi. Bukan karena rasa itu lenyap. Bukan. Mungkin karena usiaku sudah terlampau dewasa untuk dimanjakan dengan belaian.atau mungkin cinta yang ia yakini tak mampu dibaca oleh kode atau simbol apapun didunia. Rasanya percuma untuk menerjemahkannya dalam bahasa ilmiah. Karena sekali lagi, ia tidak belajar cinta dan percintaan dalam hiruk pikuk kelas.

Ia sesekali memintaku untuk memasukkan benang-benang ke lubang jarum. Kadangkala memintaku untuk membacakannya tulisan mungil dilembar kertas. Kendati pun paham apa yang dilakukannya satu hari itu, tetap saja ketika fajar mengantarkan hati ini untuk tunduk diatas sajadah ia telah terjaga. Ia membangunkan. Ia memasak. Ia membersihkan rumah. Ia membuka jendela.

Adakah rasa cinta itu masih tertunda hingga mengendap diawan dan jatuh sebagai titik-titik hujan? Mungkin saja Tuhan menguji dengan keraguan. Bagaimana bukan cinta jika masih saja menangis karena kerinduan yang tertahan? Bagaimana bukan cinta jika sakit itu juga terasa manakala ia tersakiti, sedih dan kebingungan? Aku tak hendak menerka karena jawabannya sudah mendekat kepadaku bahkan sebelum aku bertanya.

Inilah cinta yang terkadang malu-malu untuk diungkapkan dalam bentuk kata. Cinta untuknya diam-diam meratap dan berarak disanjungkan dalam bentuk doa. Biar kepayahannya meluluhkan kekuatan lahir, Tuhan menguatkannya lewat senyumanku. Beribu pujian pun tak setara dengan tindakannya. Namun sesekali amat perlu agar ia tersadar bahwa kepayahannya membangun sosok manusia benar-benar luar biasa.

Terimakasih ibu. . .
Sosokmu tidak layak untuk diragukan dan disetarakan dengan apapun karena ketika aku mencari pembanding, segala yang ku lihat yang kudengar dan yang kurasakan tiada lebih dashyat dari apa yang kau beri. .
Bukan melemahkan sosok pendampingmu, tetapi kalian tidak bisa dibandingkan begitu saja dalam kalimat. Kalian memiliki tempat yang berbeda dan luar biasa sekali Tuhan yang memberikan ruang dihati ini agar bisa memeluk cinta kalian. .

Dan Tuhan, apakah ia baik-baik saja?

Senin, 19 Desember 2011

Perempuan #1


Cinta ini menggelisahkan aku, membuat aku gila
Andai kita terpisah mati rasa-rasaku
cinta ini membodohkan aku, menutup akal sehatku
andai engkau tak disisi risau isi jiwaku  

Ia tidak menemaniku bermain seperti anak-anak lain memainkan tali, mengantarkan ke sekolah seperti anak seusiaku, atau membelikan boneka-boneka mungil layaknya anak perempuan. Perempuan-perempuan yang bercengkrama setiap pagi pun berkelakar tidak mengenakkan. Mereka yang sangat peduli dengan apa yang terjadi disekitarnya dan menaruh perhatian lebih padaku. Masa lalu yang sudah usang pun seringkali dibicarakan meski aku tak sekalipun menanggapinya dengan seksama. Sambil berlalu biasanya kubalas senyuman datar karena masa lalu yang mereka bicarakan berada diluar kendaliku. Masa lalu siapa dan apa? Aku tidak diberikan kuasa untuk mengetahuinya sampai belasan tahun lamanya, lebih tepatnya tidak pernah mendapatkan jawaban memuaskan dari siapapun.

Saat itu tidak sempat bertanya untuk apa dan mengapa. Saat itu disuapi oleh perempuan lain yang tak pernah ku kenal sebelumnya. Saat itu perannya digantikan orang lain. Saat itu aku pun tak sempat berpikir tentang rasa. Tak cukup akal untuk berdiskusi ikhwal kepergian, tuntutan dan keadaan. Perempuan itu memberikan hatinya, aku begitu menikmati tanpa sadar keberadaannya. Menerima atau menolak menjadi hal yang sangat bias. Perempuan itu tidak meminta apa-apa, tapi aku melihatnya mengharapkan sesuatu.

Sempat menyalahkan keadaan, yang menjauhkanku dengannya tanpa perasaan. Mengapa harus pergi tatkala diri ini butuh. Mengapa harus digantikan dengan orang lain yang bukan siapa-siapa. Terheran dan tak bisa apa-apa. Lagi-lagi keadaan yang berkuasa sedang waktu terus meminta keputusan. Menjatuhkan pilihan dan memisahkan untuk sementara. Jauh, jiwa dan raga.

Aku hanya ingat beberapa hal. Aku bermain dengan teman-teman sebayaku. Bersekolah sewajarnya anak-anak yang lain. Aku pun tidak memikirkan apa yang tengah terjadi. Hanya tahu tanpa pernah diberitahu lebih pasti. Suatu saat aku bertanya mengapa dan ada apa. Sayangnya jawaban itu tersimpan rapat. Alasan klasik yang mereka berikan cukup membuatku tertidur pulas. Akhirnya belajar mencintainya dalam kisah yang dituturkan guru dikelas tentang ia dan kemuliaannya.

Hingga kini ia belum memenangkan hati ini sepenuhnya dan mungkin ia tak pernah berpikir untuk memenangkannya karena baginya ini bukanlah persaingan, pertandingan, atau perjudian. Ini tentang cinta setulus jiwa yang tak hanya cukup diungkap lewat kata. Tidak bisa terdeskripsikan cintanya dengan detail karena bahkan amarahnya menyisakan doa kebaikan. Bagaimana mengungkapkan cinta jika setiap pikir, rasa dan tingkah itu dilungkupi cinta?

Mungkin ia merasakan sakitnya, kelelahan dibawah tekanan dan merindukan kehidupan yang pada umumnya. Aku bahkan tahu ia kelelahan dalam jauh. Menahan keterasingan yang menyesakkan sementara kepulangan bukan hal sepele dan mudah terjadi. Ia bertahan lebih lama dari yang dikira. Sayangnya aku tidak bisa membedakan mana rindu, mana butuh. Peran itu sekali lagi digantikan oleh orang yang tak pernah ku kenal sebelumnya. Bukan siapa-siapa. Hanya saja aku tidak bisa menolak kehadirannya. Entah menerima atau tidak peduli. Siapa yang hendak menaruh perhatian dengan anak ingusan yang berseragam putih merah?

Rabu, 21 September 2011

Penelitian Survei


Survei ialah pengamatan / penyelidikan yang kritis untuk mendapatkan keterangan yang terang dan baik terhadap daerah tertentu dan didalam suatu daerah tertentu (Margono:2005)
Dalam pengertian lain, penelitian survei adalah penelitian pengamatan yang berskala besar yang dilakukan pada kelompok-kelompok manusia (Saslow:1982 dalam  Irawan Soehartono:2000).

Tujuan survei:
1.      mendapatkan gambaran yang mewakili daerah itu dengan benar.
2.      Mengumpulkan data yang berkenaan dengan sikap, nilai, kepercayaan, pendapat, pendirian,keinginan, cita-cita, perilaku, kebiasaaan, dll.
3.      melakukan analisis yang disebut dengan metode survei analitik (untuk menarik kesimpulan guna mendapat arti yang lebih jauh yang tersembunyi dibalik data.

Jenis-jenis survei :
-          Cross sectional survey
Survei yang membandingkan dua kelompok orang atau lebih untuk melihat perbedaan yang ada pada kelompok-kelompok tersebut.
-          Survei longitudinal
o   Studi panel---survei dilakukan dalam waktu yang lama dengan mengajukan pertanyan lagi kepada responden yang sama.
o   Studi kecenderungan---pertanyaan tentang tpoik yang sama ditanyakan lagi tetapi tidak kepada responden yang sama dengan survei sebelumnya.
Metodologi penelitian survei menurut Kerlinger (667:2000)sebagai berikut:
1.      Identifikasi masalah umum dan khusus
2.      Sampel dan rencana sampling
3.      Penyusunan skedul wawancara dan instrumen-instrumen lainnya
4.      analisis
Sedangkan Sukmadinata (88:2009) menyebutkan metode survei ada dua yaitu :
1.      Wawancara langsung
Wawancara langsung merupakan cara yang cukup efektif untuk mendapatkan jawaban yang lengkap. Kesulitan wawancara langsung adalah dibutuhkan waktu yang cukup lama dan biaya yang besar sebab cakupan daerah survei yang cukup luas.
Kelebihan wawancara menurut Rea dan Parker dalam Sukmadinata:2009 yaitu :
a.       Flexibility : pengumpulan data cukup fleksibel, pertanyaan dapat disampaikan secara lisan maupun tertulis, dijawab pada saat itu juga, beberapa pertanyaan yang ambigu dapat diperjelas.
b.      Great complexity : peneliti dapat mengajukan pertanyaan yang agak kompleks, dalam pelaksanaannya dapat diuraikan dan dijelaskan.
c.       Ability yo contact : memungkinkan mengumpulkan dta dari sampel yang sulit dihubungi dengan telpon atau surat, seperti para tahanan, narapidana, para gelandangan, nelayan dsb.
d.      High response rate : kemungkinan memberi jawaban lebih besar dibandingkan dengan penyampaian angket melalui pos.
e.       Assurance that instructions are followed : kemungkinan responden akan menjawab seperti yang telah diharapkan lebih besar.
Selain kelebihan, Rea dan Parker juga menyebutkan kelemahan wawancara langsung :
a.       High cost : membutuhkan biaya yang relatif lebih tinggi
b.      Interviewer bias : kemungkinan ada bias karena hubungan dengan orang-orang yang baru dikenal. Pewawancara kadang-kadang tidak netral, cenderung mengarah pada keadaan tertentu.
c.       Respondent’s reluctante to cooperate : ada rasa enggan dari responden untuk menerima wawancara langsung.
d.      Greater stress : wawancara langsung dapat menimbulkan rasa tertekan atau kecemasan pada responden.
e.       Less anonymity : kurang bersifat rahasia karena pewawancara bertemu langsung dengan responden.
f.       Personal safety : pertemuan dua orang yang belum saling mengenal mengganggu kenyamanan pribadi.
2.      Pengedaran angket
Pengedaran melalui angket merupakan cara yang paling efektif karena dalam waktu yang relatif singkat jawaban dari responden dapat diperoleh. Hambatan pengedaran angket pada kelompok adalah biasanya mereka berkumpul pada satu tempat yang berkegiatan padat dan tidak dapat diganggu seperti sekolah dan perusahaan.
Cara lainnya yaitu dengan angket pos. Cara ini merupakan yang paling murag. Kelemahan utama pada cara ini adalah sebagian angket tidak kembali. Kelemahan lain adalah pertanyaan yang kurang jelas atau tidak dipahami mungkin ditebak atau tidak dijawab.
Beberapa kelebihan angket melalui pos.
a.       Cost saving : pengumpulan data menggunakan pos lebih hemat dibandingkan cara lain.
b.      Convenience : memberi keleluasaan kepada responden sesuai waktu yang dimiliki.
c.       Ample amount of time : waktu yang diberikan kepada responden cukup panjang.
d.      Authoritative impression : peneliti menyusun isi dan bentuk angket sebaik-baiknya sehingga angket tersebut menumbuhkan kepercayaan pada responden untuk menjawabnya.
e.       Anonimity : kerahasiaan terjamin karena responden tidak bertemu langsung dengan peneliti.
f.       Reduced interviewer bias : karena pertanyaan dan ptunjuk telah disusun dengan lengkap dan jelas mungkin tidak ada hambatan berarti.
Disamping kelebihan angket yang disampaikan melalui pos memiliki beberapa kelemahan :
a.       Lower response rate than other method : kemungkinan jumlah angket tidak kembali cukup besar.
b.      Comparatively long time period : membutuhkan waktu yang relatif lama.
c.       Self selection : angket melalui pos tidak bisa kembali seluruhnya karena tidak paham petunjuknya, tidak ada waktu untuk menjawabnya.
d.      Lack of interviewer involvement : keterlibatan peneliti kecil sekali sehingga kesulitan responden tidak dapat dipecahkan.
e.       Lack on open ended questions : pertanyaan-pertanyaan dibentuk dalam bentuk angket tertutup, padahal untuk hal-hal tertentu diperlukan jawaban terbuka.
Sukmadinata (88:2009) menyebutkan angkah-langkah yang harus ditempuh dalam melakukan penelitian survei :
1.      Merumuskan tujuan
Tujuan umum berisi rumusan yang lebih bersifat umum tentang apa yang ingin dicapai dengan penelitian ini, sedang tujuan khusus berisi rumusan tentang sasaran-sasaran lebih spesifik yang ingin dicapai.
2.      Memilih sumber dan populasi target
Keluasan wilayah, penyebaran populasi dan besarnya populasi akan mempengaruhi waktu, dana, jumlah, dan jumlah personil yang diperlukan. Berbagai sumber daya ini perlu dirumuskan bersamaan dengan penentuan populasi target.
3.      Pemilihan teknik dan pengembangan instrumen pengumpulan data
Untuk memperoleh data yang obyektifdan akurat diperlukan instrumen penelitian yang valid. Instrumen yang valid memberikan jawaban yang tepat atau tidak multitafsir dari responden.
4.      Petunjuk pengisian
Responden mengisi atau menjawab pertanyaan yang sesuai dengan penafsirannya dari angket yang ada. Petunjuk pengisian harus jelas dan berisi instruksi yang mudah dipahami responden.
5.      Penentuan sampel
Sampel harus mewakili populasi baik dalam jumlah maupun karakteristiknya. Dalam setiap strata dan klaster diambil jumlah sampel yang proporsional berdasarkan besarnya populasi. Selain jumlah dan karakteristiknya, pertimbangan kemampuan responden mengisi instrumen juga perlu dicermati.
6.      Pembuatan alamat
Dalam metode angket melalui pos, alamat responden maupun alamat peneliti sangat memegang peranan penting. Buatlah alamat yang jelas dan gunakan alamat yang mudah dijangkau petugas kantor pos.
7.      Uji coba
Uji coba dilakukan terhadap kelompok orang dari populasi target tetapi bukan sampel yang akan mengisi instrumen. Hal ini dimaksudkan agar pertanyaan dalam instrumen dapat dipahami oleh responden saat pengambilan data. Uji coba dilakukan dengan dua cara yaitu melalui pos dan penyampaian langsung. Uji coba melalui pos memberikan masukan tentang kejelasan petunjuk pengisian, memberikan sampel berapa persen responden yang mengembalikan angket tepat waktu, terlambat dan tidak megumpulkan angket sama sekali. Uji coba langsung memberikan masukan tentang petunjuk pelaksanaan dan rentang waktu yang digunakan untuk mengisi angket.
8.      Tidak lengkap dan tidak mengembalikan
Dalam metode angket pos, seringkali responden tidak mengembalikan instrumen. Rata-rata yang kembali dan terjawab dengan lengkap adalah 70% dan itu termasuk kategori cukup baik. Apabila kurang dari 70% termasuk kurang berhasil dan harus ada kegiatan lanjutan untuk mengirimkan angket pada sampel lainnya.
9.      Tindak lanjut
Jumlah angket kembali yang kurang dari 70% harus dilakukan kegiatan lanjutan setelah satu atau dua minggu. Responden yang dikirimi angket dapat orang yang sama yang tidak mengembalikan atau responden baru. Kalau bisa dijangkau, responden yang mengembalikan kurang lengkap dapat didatangi langsung untuk melengkapi jawaban. Baik pada penyampaian angket pertama maupun yang kedua, jumlah angket yang dikirimkan lebih banyak dari jumlah sampel yang diperlukan sekitar 30%-40%.

Rea dan Parker dalam Sukmadinata (90:2009) menyebutkan langkah-langkah survei sebagai berikut :
1.      Identification of the focus of the study and method of research
2.      The research schedule and budget
3.      Establishment of an information base
4.      The sampling frame
5.      Determination of sample size and sample selection
6.      Design of the survey instrument
7.      Pretest of survey instrumen
8.      Selection and training of interviewers
9.      Implementation of th survey
10.  Codification of the completed questionnairs and computerized data entry
11.  Data analysis and final report



REFERENSI
Kerlinger, F.N. 2000. Asas-Asas Penelitian Behavioral Edisi Ketujuh (terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Margono. 2005. Metode Penelitian Pendidikan . Rineka Cipta. Jakarta.
Suhartono, Irawan. 2000. Metode Penelitian Sosial. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Sukadinata, N.S. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Selasa, 20 September 2011

Sekolah Kader Bangsa


Mahasiswa Baru 2011 disambut dengan berbagai kegiatan yang membangun wawasan dan karakter mereka akan dunia kampus. Rangkaian kegiatan mulai dari Program Pengenalan Akademik, Makrab, hingga Unnes Fair digelar untuk mengenalkan kondisi kekampusan kepada mahasiswa. Sedangkan kegiatan yang dikemas khusus untuk menbangun karakter calon pemimpin kampus sangat terbatas. Apalagi kebutuhan akan aktivis yang berkarakter merupakan seuatu yang harus dipenuhi lembaga kemahasiswaan. Training Kader Bangsa (TKB) lahir dalam suasana kampus yang haus akan pengisi pos-pos lembaga kemahasiswaan tersebut. Dalam prosesnya, penekanan TKB yaitu pada penumbuhkan karakter bangsa yang dimiliki Indonesia sejak dahulu.

Sekolah Kader Bangsa (SKB) adalah salah satu pendidikan karakter mahasiswa yang dilaksanakan oleh Departemen Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa (Dept.PSDM) BEM KM Unnes. Dalam prosesnya, SKB memberikan substansi karakter yang harus dimiliki aktivis sebagai bekal awal memasuki dunia kampus sehingga mampu menyikapi fenomena yang ada disekitarnya dengan baik. Bekal tersebut akan bermanfaat ketika mahasiswa aktif pada lembaga kemahasiswaan atau unit kegiatan mahasiswa sehingga mampu beradaptasi lebih tepat.

SKB memiliki alur kaderisasi yang bertahap dimana pada masing-masing tahapakan berbeda konten yang disampaikan. Sesi awal SKB dimulai dengan Training Kader Bangsa (TKB) yang akan di laksanakan pada pertengahan Oktober 2011. TKB memberikan bekal bagi mahasiswa baru untuk memiliki karakter bangsa yang sudah mendarah daging pada jaman dulu. Namun pada satu dekade terakhir mengalami degradasi yang signifikan oleh arus globalisasi. Dengan adanya TKB diharapkan mahasiswa mampu mengenali dirinya sebagai bagian dari bangsa ini untuk dapat berkontribusi melalui aspek profesionalitasnya.

TKB yang berlangsung singkat dilanjutkan dengan sesi berikutnya yaitu SKB yang merupakan inti dari pendidikan karakter mahasiswa. SKB berisi materi-materi kepemimpinan, public speaking, problematika bangsa kontemporer, dan konsep diri. Materi tersebut diberikan dalam waktu 8 kali pertemuan sehingga diharapkan mampu diserap mahasiswa dengan baik. Setelah mengikuti SKB, sudah saatnya anggota yang telah menempuh TKB dan SKB dikukuhkan dalam suatu kegiatan dimana nantinya akan ada beberapa yang dinyatakan gugur dan ada yang dinyatakan lolos.

Rangkaian SKB dibuat mendasarkan pada kebutuhan aktivis pada LK dan UKM yang tengah mengalami masa krisis kader. Apatisme mahasiswa semakin meninggi dengan menurunnya antusiasme mahasiswa mengikuti kegiatan kemahasiswaan mulai dari tingkat jurusan hingga universitas. Krisis aktivis ini dipicu oleh banyak hal diantaranya kemajuan TI sehingga mahasiswa lebih asyik bergelut dengan dunia maya daripada bersosialisasi. Degradasi nilai juga mempengaruhi antusiasme mahasiswa dalam LK. Norma-norma yang berkembang dimasyarakat sudah dikesampingkan sebagian kalangan dengan dalih modernisasi. Sebenarnya menyikapi fenomena ini tidak mesti dari sisi negative saja. Memang mereka memiliki alasan untuk tidak memilih LK sebagai sebuah aktivitas membangun. Alangkah lebih baiknya waktu yang ada dimanfaatkan untuk kegiatan bermanfaat agar kompetensi mahasiswa meningkat.

Jumat, 09 September 2011

Alur Kaderisasi


Alur Kaderisasi

Untuk melahirkan pemimpin-pemimpin organisasi/lembaga kemahasiswaan dibutuhkan masa pembentukan yang tidak singkat. Proses itu berlangsung terus selama mahasiswa menempuh masa pendidikan dikampus. Selama ini seringkali ditemui kader yang tidak memahami jobdresc-nya dengan baik karena proses kaderisasi yang cacat. Kader merupakan sosok yang berkembang diantara rekan-rekan mahasiswa lainnya dan mengalami masa seperti mahasiswa pada umumnya. Yang menjadi pembedanya adalah kader dididik pada organisasi/lembaga kemahasiswaan yang memiliki mekanisme kaderisasi. Mekanisme (alur) kaderisasi ini akan memudahkan kader dalam meningkatkan kualitas soft skill mereka. Sehingga mereka akan mengikuti alur yang benar jika ingin kualitasnya meningkat dan berkembang dengan baik.

Dalam pembentukannya, kader memiliki alur sederhana yang akan menempa kedewasaan mereka dalam mengelola dan mengembangkan organisasi. Setiap jenjang yang dilalui merupakan penyesuaian bagi kedewasaan kader dimana tugas dan peran yang diemban akan berbeda dari jenjang ke jenjang. Semakin meningkat jenjangnya, semakin meningkat pula tugas dan peran yang harus dilaksanakan kader. Hal ini dapat dijadikan tantangan tersendiri bagi kader bahwa kesempatan belajar lebih banyak pada setiap jenjang akan digunakan sebagai penempa kualitas untuk bekal bermanfaat ditingkat selanjutnya.

Kebutuhan dan ketersediaan kader pada kenyataannya kurang begitu menggembirakan pada beberapa kurun waktu tahun terakhir. Antuasiame mahasiswa untuk aktif dalam organisasi/lembaga kemahasiswaan menurun tajam. Ada banyak sebab yang melatarbelakangi realita ini diantaranya meningkatnya teknologi informasi dimana memanjakan mahasiswa dengan game online, facebook, twitter dsb, tugas perkuliahan yang menumpuk dan kondisi organisasi/lembaga kemahasiswaan yang stagnan dalam menyajikan program kerja pada mahasiswa. Adanya jurang pemisah antara kebutuhan dan ketersediaan kader mengakibatkan alur kaderisasi banyak diabaikan aktivis sehingga menempatkan kader secara acak bahkan kadangkala mengacuhkan potensi dasar kader dalam penempatan. Dampak bagi kader dapat dilihat dari kerja nyata kader yang kurang memuaskan atau sepatutnya saja. Dampak lain yang perlu diwaspadai yaitu kedewasaan yang tidak berkembang baik karena kapasitas yang minim dalam mengelola organisasi/lembaga kemahasiswaan.

Penyebab utama dari ketidakteraturan alur ini yaitu tidak adanya rule yang mengatur kaderisasi umum bagi lembaga kemahasiswaan. Kebanyakan kampus memiliki tradisi atau adat dalam kaderisasi yang belum teratur. Sekalipun ada kampus yang secara tertulis memiliki alur kaderisasi yang jelas. Kaderisasi yang dimaksudkan kampus-kampus adalah ketika open recruitment pengurus baru atau pengenalan organisasi/lembaga kemahasiswaan pada mahasiswa baru. Padahal kaderisasi merupakan sebuah proses dimana kader dibentuk dan dididik agar menjadi kader yang handal dan mumpuni. Rule dapat dibuat oleh lembaga legislatif mahasiswa atau yang satu fungsi dengan lembaga tersebut sehingga mengikat seluruh elemen lembaga kemahasiswaan yang ada dikampus baik ditataran prodi/jurusan, fakultas maupun universitas. Dengan adanya aturan tersebut, alur kaderisasi setidaknya dapat dipantau terkait kebutuhan kader pada jenjang tertentu maupun jika menemui kendala ditengah jalan.
Harapan yang rasionalistis jika masing-masing kampus memiliki rule yang mengatur alur kaderisasi secara umum sehingga dapat digunakan dalam Keluarga Mahasiswa (KM/Kema). Dengan adanya alur kaderisasi bagi organisasi/lembaga kemahasiswaan, kebutuhan dan ketersediaan kader akan terpantau. Selain itu kaderisasi akan lebih matang dan kokoh jika memiliki sistem yang didukung semua organisasi/lembaga kemahasiswaan yang ada dikampus.

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...