Senin, 19 Desember 2011

Perempuan #1


Cinta ini menggelisahkan aku, membuat aku gila
Andai kita terpisah mati rasa-rasaku
cinta ini membodohkan aku, menutup akal sehatku
andai engkau tak disisi risau isi jiwaku  

Ia tidak menemaniku bermain seperti anak-anak lain memainkan tali, mengantarkan ke sekolah seperti anak seusiaku, atau membelikan boneka-boneka mungil layaknya anak perempuan. Perempuan-perempuan yang bercengkrama setiap pagi pun berkelakar tidak mengenakkan. Mereka yang sangat peduli dengan apa yang terjadi disekitarnya dan menaruh perhatian lebih padaku. Masa lalu yang sudah usang pun seringkali dibicarakan meski aku tak sekalipun menanggapinya dengan seksama. Sambil berlalu biasanya kubalas senyuman datar karena masa lalu yang mereka bicarakan berada diluar kendaliku. Masa lalu siapa dan apa? Aku tidak diberikan kuasa untuk mengetahuinya sampai belasan tahun lamanya, lebih tepatnya tidak pernah mendapatkan jawaban memuaskan dari siapapun.

Saat itu tidak sempat bertanya untuk apa dan mengapa. Saat itu disuapi oleh perempuan lain yang tak pernah ku kenal sebelumnya. Saat itu perannya digantikan orang lain. Saat itu aku pun tak sempat berpikir tentang rasa. Tak cukup akal untuk berdiskusi ikhwal kepergian, tuntutan dan keadaan. Perempuan itu memberikan hatinya, aku begitu menikmati tanpa sadar keberadaannya. Menerima atau menolak menjadi hal yang sangat bias. Perempuan itu tidak meminta apa-apa, tapi aku melihatnya mengharapkan sesuatu.

Sempat menyalahkan keadaan, yang menjauhkanku dengannya tanpa perasaan. Mengapa harus pergi tatkala diri ini butuh. Mengapa harus digantikan dengan orang lain yang bukan siapa-siapa. Terheran dan tak bisa apa-apa. Lagi-lagi keadaan yang berkuasa sedang waktu terus meminta keputusan. Menjatuhkan pilihan dan memisahkan untuk sementara. Jauh, jiwa dan raga.

Aku hanya ingat beberapa hal. Aku bermain dengan teman-teman sebayaku. Bersekolah sewajarnya anak-anak yang lain. Aku pun tidak memikirkan apa yang tengah terjadi. Hanya tahu tanpa pernah diberitahu lebih pasti. Suatu saat aku bertanya mengapa dan ada apa. Sayangnya jawaban itu tersimpan rapat. Alasan klasik yang mereka berikan cukup membuatku tertidur pulas. Akhirnya belajar mencintainya dalam kisah yang dituturkan guru dikelas tentang ia dan kemuliaannya.

Hingga kini ia belum memenangkan hati ini sepenuhnya dan mungkin ia tak pernah berpikir untuk memenangkannya karena baginya ini bukanlah persaingan, pertandingan, atau perjudian. Ini tentang cinta setulus jiwa yang tak hanya cukup diungkap lewat kata. Tidak bisa terdeskripsikan cintanya dengan detail karena bahkan amarahnya menyisakan doa kebaikan. Bagaimana mengungkapkan cinta jika setiap pikir, rasa dan tingkah itu dilungkupi cinta?

Mungkin ia merasakan sakitnya, kelelahan dibawah tekanan dan merindukan kehidupan yang pada umumnya. Aku bahkan tahu ia kelelahan dalam jauh. Menahan keterasingan yang menyesakkan sementara kepulangan bukan hal sepele dan mudah terjadi. Ia bertahan lebih lama dari yang dikira. Sayangnya aku tidak bisa membedakan mana rindu, mana butuh. Peran itu sekali lagi digantikan oleh orang yang tak pernah ku kenal sebelumnya. Bukan siapa-siapa. Hanya saja aku tidak bisa menolak kehadirannya. Entah menerima atau tidak peduli. Siapa yang hendak menaruh perhatian dengan anak ingusan yang berseragam putih merah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...