Kamis, 22 Desember 2011

Perempuan #2


Kini ia ada disini dengan rupa yang semakin menunjukkan usia separuh baya. Ia lebih banyak memendamnya atau marah-marah menjengkelkan jika sedang ingin diperhatikan. Ia bisa mengeluh dengan cinta yang terbagi tidak adil. Kadang kekanak-kanakan bila dipikir. Tapi begitulah adanya, ia tidak belajar mengungkapkan cinta dan keinginan disekolahnya dulu.

Sepasang bola mata ini terkantuk-kantuk mengartikan cintanya yang tak kunjung termaknai dalam baris kalimat. Kemana harus dimuarakan saat karya ini tak bisa nyata-nyata ditunjukkan karena merasa malu. Yang kuingat, waktu itu tubuhku tak bisa menopang kelelahan ini. Ia terjaga untuk sekadar memastikan bahwa aku baik-baik saja. Sekadar memberi selimut untuk menghilangkan rasa dingin. Ia memilih untuk mengkhawatirkan daripada mempercayakanku pada orang lain.

Ia ada disini tanpa pernah mengecup keningku lagi. Tanpa pernah memelukku lagi. Bukan karena rasa itu lenyap. Bukan. Mungkin karena usiaku sudah terlampau dewasa untuk dimanjakan dengan belaian.atau mungkin cinta yang ia yakini tak mampu dibaca oleh kode atau simbol apapun didunia. Rasanya percuma untuk menerjemahkannya dalam bahasa ilmiah. Karena sekali lagi, ia tidak belajar cinta dan percintaan dalam hiruk pikuk kelas.

Ia sesekali memintaku untuk memasukkan benang-benang ke lubang jarum. Kadangkala memintaku untuk membacakannya tulisan mungil dilembar kertas. Kendati pun paham apa yang dilakukannya satu hari itu, tetap saja ketika fajar mengantarkan hati ini untuk tunduk diatas sajadah ia telah terjaga. Ia membangunkan. Ia memasak. Ia membersihkan rumah. Ia membuka jendela.

Adakah rasa cinta itu masih tertunda hingga mengendap diawan dan jatuh sebagai titik-titik hujan? Mungkin saja Tuhan menguji dengan keraguan. Bagaimana bukan cinta jika masih saja menangis karena kerinduan yang tertahan? Bagaimana bukan cinta jika sakit itu juga terasa manakala ia tersakiti, sedih dan kebingungan? Aku tak hendak menerka karena jawabannya sudah mendekat kepadaku bahkan sebelum aku bertanya.

Inilah cinta yang terkadang malu-malu untuk diungkapkan dalam bentuk kata. Cinta untuknya diam-diam meratap dan berarak disanjungkan dalam bentuk doa. Biar kepayahannya meluluhkan kekuatan lahir, Tuhan menguatkannya lewat senyumanku. Beribu pujian pun tak setara dengan tindakannya. Namun sesekali amat perlu agar ia tersadar bahwa kepayahannya membangun sosok manusia benar-benar luar biasa.

Terimakasih ibu. . .
Sosokmu tidak layak untuk diragukan dan disetarakan dengan apapun karena ketika aku mencari pembanding, segala yang ku lihat yang kudengar dan yang kurasakan tiada lebih dashyat dari apa yang kau beri. .
Bukan melemahkan sosok pendampingmu, tetapi kalian tidak bisa dibandingkan begitu saja dalam kalimat. Kalian memiliki tempat yang berbeda dan luar biasa sekali Tuhan yang memberikan ruang dihati ini agar bisa memeluk cinta kalian. .

Dan Tuhan, apakah ia baik-baik saja?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...