Tuhan memberikan
apa-apa yang kita butuhkan, bukan apa-apa yang kita inginkan. Sekuat apapun
kita meminta hidayah, ia akan datang saat Tuhan telah menghendaki kita. Sekeras
apapun usaha kita menolak kehadiran Nya, apabila Dia telah menunjukmu maka
tidak ada yang tidak mungkin.. Bahkan ketika kamu telah mengafirkan diri dalam
sekafir-kafirnya mahluk.
AC menimbulkan monopoli
keramaian diruang penuh pustaka ini. Obrolan demi obrolan tetap saja mengalir
meski panas tak bisa dikompromikan dengan AC. Didalam sini, mencuat
perbincangan tentang Tuhan. Apa yang menarik? "Ketidakpedulian manusia
apakah jadi hamba yang baik atau sebaliknya".
Adzan dhuhur
berkumandang. Mari kita lihat siapa yang bergegas menggelar sajadah dan
menikmati sujud tengah hari. Dari balik jendela kaca, pembesar kampus beranjak
dari meja kerjanya untuk menghadirkan diri dalam barisan shaf Nya.
12.15 pm.
Shalat di mushala ini
seperti seorang diri ditengah keramaian. Tidak ada jamaah yang dikenali kecuali
pembesar yang tadi terlihat berjalan menuju mushala. Ia membawa serta staf TU
yang hanya beberapa jumlahnya. Itulah pemimpin meski tidak mengimami shalat
berjamaah tetapi ia mengajak pada kebaikan. Mendadak ingat Jokowi yang menurut
warga tidak pernah sekalipun mengimami shalat padahal dia muslim.
Wajah-wajah abangan
yang kian hari kian memuakkan karena menjadi media darling. Mari berhitung kebaikan dari mantan wali kota Solo
itu. Sudah berapa banyak hati rakat yang terbeli dengan pencitraan menjijikkan
setiap harinya. Toh akhirnya loyalitas rakyat Jakarta yang pragmatis tidak
terbeli dengan murahannya dalam waktu singkat. Mereka lebih kritis dan terbuka
terhadap akses informasi. Heterogenitas masyarakat menyebabkan penilaian publik
menjadi lebih beragam. Tentu lebih kompleks menilai sebuah kepemimpinan yang
dijalankan seorang muslim ditengah kota metropolitan.
Mushala masih ramai
oleh jamaah. Serambinya terisi oleh mahasiswa yang ingin istirahat dalam jeda
kuliah atau sekadar duduk-duduk sekejap menikmati angin. Lama tidak memasuki
kelas dan merasakan euforia shalat dhuhur berjamaah, kini semuanya asing.
Disini perdebatan soal
Tuhan menemukan jalur tulisnya. memposisikan Tuhan sebagai pemilik nyawa memang
sulit karena kadang logika keTuhanan tidak membumi seperti rumput. Ia tersekat
oleh hijab-hijab kader dakwah dari realitasnya di kampus. Lihatlah bagaimana hidayah
diperoleh dengan mudahnya oleh mereka sementara menjadi isu utopis bagi
mahasiswa diatas sana, diruang berisi ratusan pustaka.
Menganggap Tuhan
sebagai pemilik ruh kita bahkan belum sampai dalam pemikiran laki-laki barusan.
Ia berkata "Ini pilihan hidupku. Meski orang tuaku menentang dan orang
tuanya pernah melabrakku karena hubungan sejenis". Entah, saya harus cukup
mental untuk mendengar pendapat yang lebih menohok daripada yang tadi.
Kemudian ia bercerita
tentang mimpi dimana ia menikah dengan pasangan sejenisnya di Belanda. Mereka
yang tersesat dalam hubungan sejenis, pertentangan dengan orang tua dan jarak
dengan orang disekitarnya memang bukan siapa-siapa melainkan orang-orang yang
kita kenal. Dengan lantang ia mengatakan; "Aku ga peduli mau masuk neraka
atau surga. Kalau masuk neraka memangnay kenapa? Yang penting sekarang aku
bahagia". Ruh seolah membeku dan hening sesaat. "Ini pilihan hidupku.
Aku ga peduli dengan omongan orang".
Meski telinga masih
mendengarkan tetapi hati sudah mengutuk diri sendiri. Saya sangat sulit mencari
hidayah, mungkin hari ini pun belum peka terhadap hidayah. Namun melihatnya
semakin jauh dari sini saya hanya bisa mendoakan, "Semoga Allah
menyelamatkanmu".