Kamis, 20 Maret 2014

Bicara tentang Tuhan



Tuhan memberikan apa-apa yang kita butuhkan, bukan apa-apa yang kita inginkan. Sekuat apapun kita meminta hidayah, ia akan datang saat Tuhan telah menghendaki kita. Sekeras apapun usaha kita menolak kehadiran Nya, apabila Dia telah menunjukmu maka tidak ada yang tidak mungkin.. Bahkan ketika kamu telah mengafirkan diri dalam sekafir-kafirnya mahluk.

AC menimbulkan monopoli keramaian diruang penuh pustaka ini. Obrolan demi obrolan tetap saja mengalir meski panas tak bisa dikompromikan dengan AC. Didalam sini, mencuat perbincangan tentang Tuhan. Apa yang menarik? "Ketidakpedulian manusia apakah jadi hamba yang baik atau sebaliknya".

Adzan dhuhur berkumandang. Mari kita lihat siapa yang bergegas menggelar sajadah dan menikmati sujud tengah hari. Dari balik jendela kaca, pembesar kampus beranjak dari meja kerjanya untuk menghadirkan diri dalam barisan shaf Nya.

12.15 pm.

Shalat di mushala ini seperti seorang diri ditengah keramaian. Tidak ada jamaah yang dikenali kecuali pembesar yang tadi terlihat berjalan menuju mushala. Ia membawa serta staf TU yang hanya beberapa jumlahnya. Itulah pemimpin meski tidak mengimami shalat berjamaah tetapi ia mengajak pada kebaikan. Mendadak ingat Jokowi yang menurut warga tidak pernah sekalipun mengimami shalat padahal dia muslim.

Wajah-wajah abangan yang kian hari kian memuakkan karena menjadi media darling. Mari berhitung kebaikan dari mantan wali kota Solo itu. Sudah berapa banyak hati rakat yang terbeli dengan pencitraan menjijikkan setiap harinya. Toh akhirnya loyalitas rakyat Jakarta yang pragmatis tidak terbeli dengan murahannya dalam waktu singkat. Mereka lebih kritis dan terbuka terhadap akses informasi. Heterogenitas masyarakat menyebabkan penilaian publik menjadi lebih beragam. Tentu lebih kompleks menilai sebuah kepemimpinan yang dijalankan seorang muslim ditengah kota metropolitan.
Mushala masih ramai oleh jamaah. Serambinya terisi oleh mahasiswa yang ingin istirahat dalam jeda kuliah atau sekadar duduk-duduk sekejap menikmati angin. Lama tidak memasuki kelas dan merasakan euforia shalat dhuhur berjamaah, kini semuanya asing.

Disini perdebatan soal Tuhan menemukan jalur tulisnya. memposisikan Tuhan sebagai pemilik nyawa memang sulit karena kadang logika keTuhanan tidak membumi seperti rumput. Ia tersekat oleh hijab-hijab kader dakwah dari realitasnya di kampus. Lihatlah bagaimana hidayah diperoleh dengan mudahnya oleh mereka sementara menjadi isu utopis bagi mahasiswa diatas sana, diruang berisi ratusan pustaka.

Menganggap Tuhan sebagai pemilik ruh kita bahkan belum sampai dalam pemikiran laki-laki barusan. Ia berkata "Ini pilihan hidupku. Meski orang tuaku menentang dan orang tuanya pernah melabrakku karena hubungan sejenis". Entah, saya harus cukup mental untuk mendengar pendapat yang lebih menohok daripada yang tadi.

Kemudian ia bercerita tentang mimpi dimana ia menikah dengan pasangan sejenisnya di Belanda. Mereka yang tersesat dalam hubungan sejenis, pertentangan dengan orang tua dan jarak dengan orang disekitarnya memang bukan siapa-siapa melainkan orang-orang yang kita kenal. Dengan lantang ia mengatakan; "Aku ga peduli mau masuk neraka atau surga. Kalau masuk neraka memangnay kenapa? Yang penting sekarang aku bahagia". Ruh seolah membeku dan hening sesaat. "Ini pilihan hidupku. Aku ga peduli dengan omongan orang".

Meski telinga masih mendengarkan tetapi hati sudah mengutuk diri sendiri. Saya sangat sulit mencari hidayah, mungkin hari ini pun belum peka terhadap hidayah. Namun melihatnya semakin jauh dari sini saya hanya bisa mendoakan, "Semoga Allah menyelamatkanmu".



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...