Rabu, 27 Desember 2017

Sombong dan Gosong

Pagi itu cuaca terasa sejuk berada di pedalaman Flores yang terbilang "udik" (*bahasa orang lokal). Agenda kami di dapur belum selesai dan menyisakan beberapa pekerjaan. Bayangan dapur di tlatah Flores mungkin tidak seperti kebanyakan dapur di kota besar. Di komplek asrama guru, teman saya tinggal dengan seorang ibu guru senior. Karena saya berkunjung, guru tersebut mengerjakan aktivitas lain kala itu.

Waktu sudah menunjukan pukul 6 lebih. Murid-murid sudah meramaikan sudut sekolah dengan teriakan khas remaja. Di dapur yang terbilang kecil kami memasak dengan tungku. Oh ya, di pusat Kabupaten Ende kami jarang menemukan rumah yang menggunakan gas elpiji sebagai bahan bakar. Apalagi di pedalaman dengan oto yang tidak setiap hari lewat untuk mengantarkan warga ke pasar di pusat kota. Hari itu tugas saya cukup sederhana yaitu menjaga api agar tetap menyala.

Di sebelah dapur ada ruang terbuka berbentuk panggung yang digunakan untuk mencuci sayuran dan perabot. Dapur utama pun konsepnya panggung dengan menggunakan bilik bambu sebagai dindingnya. Teman saya mencuci beberapa perabot yang akan digunakan untuk memasak. Dia berkelakar "Nih, Kak Jil lihatin ya. Pantat panci yang gosong begini bisa aku jadiin kinclong seperti baru lagi". Saya refleks tertawa mendengar pernyataannya. Fakta yang saya alami selama mencuci pantat panci adalah sangat sulit untuk membersihkan noda gosong akibat penggunaan kayu bakar pada tungku. Pasti membutuhkan waktu dan sabun atau sabut khusus perontok noda hitam tersebut. Itu pun belum tentu bersih dalam sekali dua kali gosok. Sembari menjaga api tunggu dan menggosok panci, kamu berbincang macam-macam hal dengan renyah.

Lima menit, sepuluh menit. Dia tidak tahan. "Mbak, kok iki gak iso kinclong yo? Biasane gampang eg". Dia masih dilanda cemas karena panci sulit dibersihkan meski sudah digosok berkali-kali menggunakan abu, sabun dan sabut kelapa. "Makanya jangan sombong. Niatnya jelek sih". Mukanya sedikit membenarkan ucapan saya yang agak meledek. Saya meraih panci tersebut dan mengambil alih misi mengkinclongkan panci.

Dari pengalaman tersebut, niat menjadi kunci utama dari setiap amal perbuatan. Dalam hadist, semua hal tergantung pada niat orang yang mengerjakannya. Orang yang niatnya mencari ilmu di kampus, akan mendapatkannya ketika lulus nanti. Orang yang niatnya mencari pengalaman, akan mendapatkan pengalaman. Dari kejadian teman saya, mungkin niatnya terdistorsi dengan keinginan untuk memperlihatkan sesuatu yang sulit untuk dilakukan kebanyakan orang. Dia mengaku sudah sering menggosok panci dan berhasil membuatnya kinclong (*tapi tidak seperti baru beli di pasar ya). Tak disangka, kali ini panci yang digosoknya sedikit bandel dan butuh perjuangan ekstra. Apesnya dia terlanjur omong besar didepan saya sebelumnya. Melihat wajahnya yang kecewa saya tidak tega untuk berkomentar banyak. Saya yakin dia tidak sejelek itu niatnya. Hanya ingin memperlihatkan keahlian yang dimiliki pada tamu yang datang berkunjung agar terkesan.

Setiap mengingat kejadian itu saya masih tersenyum. Bukan soal niat tetapi melihat wajah teman saya yang lucu ketika manyun gosokan pancinya yang belum berhasil. Meskipun demikian, Ibu guru senior mengapresiasi kerja kami pagi itu. Disela waktu mengajar beliau banyak bercerita tentang budaya lokal, keluarganya, dan kejadian-kejadian di sekolah selama beliau mengajar. Kami pun diundang untuk berkunjung ke rumahnya yang ada di kota. Jangan tanyakan hasil gosokan panci saya. Setidaknya saya harus belajar untuk tidak banyak omong besar.

Just do it, kata teman sesama aktivis saya dulu.

Senin, 25 Desember 2017

Lampu Hidup

Bagi mereka yang memahami esensi dari keberadaan Alquran, ia seperti lampu yang ada dirumah kita. Terangnya dalam gelap memandu kita agar tidak terantuk dan jatuh. Dengannya kita bisa membaca, bercengkrama dengan keluarga, atau melakukan berbagai aktivitas pada malam hari. Ada yang pernah berkata 'Kalau kamu sedang ada masalah, bukalah Alquran. Yakinilah. Maka kamu akan temukan jawaban atas permasalahanmu'. Aplikasi Alquran harian yang saya miliki di handphone ternyata banyak yang pas dengan kondisi keseharian saya. Tentang berbuat baik kepada sesama, balasan atas amal perbuatan kita kelak di akhirat, atau janji Allah kepada mereka yang ingkar.

Keberadaan Alquran sebagai lampu hidup bukanlah sekadar memilikinya dirumah dan memajangkan di lemari kaca. Melainkan membacanya, merenungi setiap ancaman dan teguran didalamnya, lalu menghidupkannya dalam tingkah laku sehari-hari. Lihatlah bagaimana akhlak rasulullah digambarkan sebagai Alquran. Semuanya tercantum dalam Alquran. Apabila tidak sesuai dengan ketentuan Allah, nabi diberikan teguran. 

Hanya dengan memiliki sebuah lampu, perasaan kita akan jauh lebih tentram. Entah lampu itu akan kita nyalakan atau tidak. Entah kita benar-benar menggunakannya atau hanya memilikinya. Namun kita selangkah didepan daripada mereka yang tanpa bekal dan persiapan.

Lagi-Lagi Soal Energi

Sore itu cukup terik di waktu musim penghujan ujung tahun. Baru sampai di rumah kakak, saya dikirimi foto yang nuansanya natural oleh atasan. Saya memaksakan diri untuk bertanya 'Yakin Pak yang ini mau dicetak?'. Untuk ukuran bawahan yang belum berpengalaman, saya bisa dibilang berani. Beberapa kali kesempatan saya menanyakan hal-hal pribadi seputar keyakinan, sesekali mengajak bermain kokologi atau menimpali 'kalau lapar makan Pak' dengan ekspresi datar ketika mendengar beliau mengeluh lapar.

Foto yang dengan seksama saya amati menggambarkan koordinasi antara atasan dan bawahan lantas mengingatkan saya pada sebuah percakapan. Pada hakikatnya energi seorang pemimpin menular ke semua orang. Mulai dari orang yang mengerjakan hal paling sederhana seperti office boy hingga ahli pajak, konsultan hukum dan pucuk pimpinan. Semua terkena imbas dari kesemangatan pemimpin tanpa terkecuali. Begitupun saya. Ketika pemimpin saya berapi-api, gerakan saya menjadi lebih berani dan optimis. Apa yang sekiranya sulit dan mustahil kemudian dikuatkan dengan kalimat 'Benar kan? Apa saya bilang, Allah pasti bantu orang-orang yang punya niat baik'. Lalu lahirlah harapan yang sehat dalam diri semua orang.

Kata ahli fisika, energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan tapi dapat berubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi yang lain. Yang saya yakini bahwa energi pemimpin bisa menular merupakan suatu kenyataan. Semangat adalah energi pemimpin. Lalu berpindah ke bawahan menjadi sebuah kerja keras, rasa yakin dalam diri kalau kita bisa menghasilkan sesuatu yang berharga. Dengan itu semua, pemimpin dan bawahan akan saling mendukung satu sama lain.

Kembali melihat ke dalam foto. Betapa takzim Bapak berusia 50an mendengarkan arahan dari pemimpinnya. Isinya tidak melulu soal hal strategis. Malah lebih sering hal teknis lapangan yang membutuhkan pengalaman dan perhitungan. Ketika kepatuhan menjadi nafas dari bawahan dan rasa tanggungjawab menjadi dasar pemimpin bergerak, apa yang akan terjadi kemudian?

Nurani di TransJakarta

Kemarin 22 Desember di TransJakarta,

Seorang Ibu masuk kedalam bus yang sudah penuh. Kebetulan saya duduk di belakang dan campur aduk antara bapak ibu tua muda. Ada yang beruntung dapat hot seat. Ada yang kuat untuk berdiri sambil memandangi kemacetan diluar bus. Ditengah modernitas ibukota yang semakin dewasa, mbak-mbak disebelah saya berdiri memberikan kursinya untuk seorang ibu. Selang beberapa menit kemudian masuklah ibu berumur hampir 50 dan saya melakukan hal serupa.

Banyak ketidakdewasaan dalam kehidupan dikota besar. Junkfood, overwork, hedonisme, dan individualis menyapa setiap hari di setiap ruang. Dengan masa bodoh orang yang ketus akan berkata "Gue kerja banting tulang  dari pagi sampe malem dan dapet duit, suka suka gue duitnya bakal gue apain". Kerasnya tuntutan hidup dan semua serba diukur dengan "Berapa Bang?", membuat masyarakat super realistis. Ada harga yang harus dibayar untuk setiap keinginan. Jika anak Anda ingin es krim, tak perlu susah payah. Banyak penjual yang berkeliling ke komplek perumahan. Warung atau kios pun menyediakan es krim dengan harga yang terjangkau.

Kemarin, sang Ibu yang saya tawari kursi buru-buru mengambil barang bawaan saya. Katanya 'Biar sini saya pegangi kantongnya'. What a relieve. Entahlah, saya merasa trenyuh. Kadangkala suasana dalam bis yang saling diam membuat saya menikmatinya. Semua orang sibuk dengan gadget pribadi. Adakalanya mereka sibuk menikmati kelelahan, tertidur. Mau tidak mau saya dibiasakan untuk tidak mengusik orang lain yang tidak berhubungan dengan saya. Sekalipun pada dasarnya saya juga tidak suka mengusik kehidupan orang lain. Tinggal diibukota tidak melunturkan harapan saya bahwa masih banyak kepedulian disini. Benarlah faktanya jika kehidupan tak melulu berkisah tentang kerasnya ujian atau giatnya usaha dan persaingan yang ketat tidak kenal ampun. Mereka yang memenuhi bus, kereta, angkot atau menggunakan moda transportasi online masih manusia berhati yang ramah jika disapa dan ditanya baik-baik. Mereka yang memasang muka datar dibalik pintu kaca dan hectic dengan list whatsapp di smartphone masih manusia biasa yang bisa jadi memiliki kepedulian yang lebih besar dibandingkan kita.

Ibu-ibu yang baik hati dan mbak-mbak yang langsung berdiri memberikan kursinya adalah bukti nyata tak terbantahkan bahwa ada hati yang tetap tumbuh meski berhadapan dengan masalah yang terus datang. Keduanya adalah perempuan yang memilih menyelamatkan kaumnya dalam artian yang sangat sederhana. Saya yakin berdiri didalam bus ditengah kemacetan Jakarta merupakan situasi yang tidak diinginkan semua orang. Penumpang pasti berharap mendapatkan tempat duduk. Namun banyak orang memilih untuk mendengarkan nurani mereka ketimbang bergulat dengan keegoisan diri.

Inilah masyarakat yang tumbuh ke fase yang lebih dewasa. Mematuhi aturan lalu lintas, saling membantu orang yang kesulitan, menghargai hak-hak pribadi, dan bersikap ramah dengan orang lain merupakan budaya baik. Harapannya budaya yang semakin matang dan dewasa ini menjalar ke seluruh kota hingga desa-desa. Lalu semua orang merasa nyaman karena ada perasaan didukung komunitasnya dengan budaya yang tumbuh dewasa.

Mudah-mudahan Jakarta bahagia, manusianya.

Sabtu, 18 November 2017

Be Brave Captain

Hari ini, hidup mungkin seperti menghadapi akuntansi yang tidak pernah bisa saya kuasai. Meskipun susah payah mempelajarinya, saya tidak pernah bisa memuaskan dahaga saya untuk mendapatkan nilai baik di materi tersebut. Adakalanya memang kita menghadapi sesuatu yang diluar jangkauan kita. Sekeras apapun kita berjuang, pada akhirnya kita tidak mampu mendapatkan hasil yang diharapkan. Apakah kita harus merasa berdosa untuk hal-hal diluar kemampuan kita?

Dan kita sampai pada suatu masa dimana seluruh daya yang telah kita kerahkan membuat lelah jiwa raga. Apakah kita akan mudah terjatuh Captain? Tidak. Kaki kita cukup kuat untuk berdiri diatas prinsip hidup yang kokoh lagi benar.

Hari ini, biarkan Tuhan yang mengambil alih keadaan. Sembari kita menyembuhkan diri dari rengekan batuk, rendahnya tensi, naiknya asam lambung atau masuk angin yang enggan pergi. Bukankah investasi paling berharga dijaman sekarang adalah kesehatan?

Tidurlah disamping anak-anak yang sedang tumbuh besar. Bercandalah dengan orang tua yang mulai melemah fisiknya namun tetap semangat menasehati ini dan itu. Tersenyumlah dihadapan pasangan yang senantiasa percaya kalau semuanya akan baik-baik saja. Lalu segudang energi akan kembali dan esok akan datang dengan penuh damai.

Minggu, 29 Oktober 2017

Menyasar Pisang

Selama seminggu belakangan saya melirik pisang yang dijual dipinggir jalan. Selama itu pula saya menimbang-nimbang apakah akan membeli pisang atau tidak. Berjalan setiap hari melewati pisang yang dijajakan penjual buah itu membuat saya semakin berpikir. Sebenarnya saya hanya ingin makan satu pisang, tetapi kalau membelinya satu sisir tentu akan mubadzir. Ide untuk menghabiskan pisang satu sisir dalam 2 atau 3 hari pun saya urungkan.

Setiap hari, ketika saya melewatinya saya berhasrat untuk membelinya. Biasanya saya mampir ke rumah kakak kala akhir pekan. Hampir saya wujudkan niat tersebut dan menghubungi kakak saya. Tanpa disangka, sekitar pukul 6 sore kemarin atasan mengirim pesan. Beliau meminta saya membawa pulang pisang yang dibawanya untuk HRD. Terlanjur pulang dan sudah dipastikan hanya saya yang ada dikantor sesore itu, beliau meminta saya untuk membawanya. Saya tidak menghitung jumlahnya dan memandanginya sejenak. Mungkin ada 7 pisang karena HRD berjumlah 7 orang. Saya tawarkan ke teman satu kosan, OB yang kebetulan lewat dan HRD yang satu komplek dengan saya. Alhasil saya memakan satu pisang seusai shalat maghrib, satu pisang dikala malam, dan satu lagi setelah bangun tidur pagi ini. Mengingat pisang yang sudah terlalu matang, saya pikir akan sia-sia kalau dibuang. Oleh karena itu saya putuskan untuk memakannya.

Teman HRD pernah mengatakan kalau feeling atasan saya kuat dan tajam. Beliau bisa memprediksi sesuatu sebelum terjadinya. Apa yang disampaikan sekarang, bisa saja terjadi beberapa waktu kemudian. Seperti saat briefing disuatu pagi. Beliau menyinggung permainan billiard. Siang hari ketika mengunjungi perusahaan di daerah Jakarta Utara beliau hampir tertawa terbahak-bahak menemukan hiasan dinding yang bernuansakan billiard. Sampai kebingungan itu dibawa ke kesempatan briefing selanjutnya, tawa itu masih renyah dan segar.

Kejadian pisang ini terasa aneh bagi saya. Diantara semua kebetulan yang terjadi disekitar beliau, entah karena alasan apa beliau membawa pisang ke kantor dan lupa untuk memberikannya kepada HRD. Teman satu tim saya pun tidak kembali ke kantor karena sudah terlalu sore untuk perjalanan bolak balik. Biasanya teman saya selalu stand by dengan saya sampai jam 6 lebih.

Malam itu saya tersenyum-senyum sendiri bahkan sampai saat ini. Memang tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini. Semua ada alur cerita yang sudah Tuhan tuliskan dalam lauhul mahfudz. Kita yang menjalaninya terkadang bertanya dalam hati 'aneh ya' atau 'Tuhan asik banget sih. Baru juga kepengen, udah dikasih pisang aja'. Saya tidak berucap sama sekali soal pisang, Tuhan memberikan pisang. Apalagi jika mengucap satu permintaan yang jelas dan pasti. Pasti dikabulkan baik segera maupun ditunda.

Jumat, 13 Oktober 2017

Makanlah, Karena Membahagiakan Mereka Perlu Energi

Pagi ini rekan seruangan saya berkata "Duuuuh laper" sebelum berangkat kunjungan ke sebuah perusahaan ternama di Jakarta. Saya meresponnya dengan "Kalau lapar makan Pak" dan sedikit ketus karena sudah paham tabiatnya. Terbiasa makan sesuka hati dan membiarkan rasa lapar begitu saja membuatnya kreatif untuk minum obat maag secara rutin.

Di waktu sore, rekan yang lain berkata serupa "Laper euy. Dari tadi belum makan" saya menimpali dengan sekenanya "Makanlah". Dia bergegas keluar ruangan untuk makan. Sekembalinya ke ruangan, mukanya terlihat lega dengan perut yang sudah terisi.

Kedua orang ini menyikapi rasa lapar dengan sikap yang berbeda dan bertolak belakang. Yang pertama mementingkan aktivitas lain setelah merasakan lapar. Sekalipun dia tahu resiko yang bisa muncul karena mengabaikan alarm fisiknya, dia tidak makan dengan segera. Yang kedua menghilangkan lapar dengan makanan yang jelas-jelas lebih solutif. Bergegas pergi ke warung makan untuk mengisi perut jauh lebih berguna daripada meminum obat yang tidak diimbangi dengan asupan makanan. Kita bisa melihat bagaimana orang memprioritaskan hal-hal yang dianggap penting dalam hidupnya dan mengesampingkan hal lain. Karakter orang memang berbeda satu dengan yang lainnya bahkan dalam menyikapi satu hal yang jelas-jelas sama. Ketika ada dua orang sedang memesan nasi goreng akan sangat mungkin keduanya memilih detail nasi goreng yang berbeda. Misalnya si A ingin nasi goreng tanpa telur dan tanpa cabai. Si B mungkin ingin nasi goreng dengan potongan sosis dan ayam didalamnya. Bahkan untuk satu menu makanan, kita bisa berbeda selera dan pilihan. Apalagi untuk hal yang lebih besar seperti kesehatan.

Dengan jam kerja dari pukul 8 pagi hingga 6 sore, kami membutuhkan banyak energi untuk menyelesaikan tugas sehari hari. Beberapa teman membawa bekal sendiri dari rumah dan memakannya bersama dengan yang lain. Ada pula yang membeli nasi di warung makan sambil menikmati kopi di siang hari yang membuat kantuk. Jelas kami butuh tenaga untuk naik turun tangga lebih dari 10 kali setiap harinya. Otomatis asupan energi harus seimbang atau tidak boleh kurang dari yang dibutuhkan. Jika tidak? Kondisi fisik melemah kemudian sakit. Hal buruk yang bisa terjadi yaitu target kerja tidak tercapai dan penghasilan menurun. Jatah anak dan istri atau orang tua tentu menjadi tidak aman. Prestasi otomatis menurun seiring dengan menurunnya kondisi fisik. Lalu siapa yang rugi? Diri sendiri dan keluarga. Lantas perusahaan? Jelas tidak mau rugi.

Sekuat-kuatnya fisik seseorang, akan tumbang dengan sendirinya jika tidak bisa menjaganya dengan baik. Atasan saya pernah berkata "Artis-artis selalu minum suplemen biar kuat. Minum vitamin, minum obat biar apa? Biar kuat dengan aktivitas yang begitu banyak. Tapi tubuh kita gak butuh itu sebenarnya. Tubuh kita butuh makan. Bukan mengganti makanan dengan vitamin. Itu yang salah kaprah".

Merenungi hal tersebut saya teringat diri saya sendiri yang dulu sering mengabaikan kesehatan. Makan semaunya, jajan sembarangan dan pola tidur yang berantakan membuat badan saya kurang fit. Ditambah dengan seringnya bepergian keluar kota menambah payah kondisi badan. Lambat laun saya berpikir untuk mengubah mindset dan kebiasaan saya. Apalagi dengan kondisi kesehatan orang tua yang semakin menurun dengan bertambahnya usia. Saya dan kakak saya tidak bisa menjaga orang tua selama 24 jam. Kami sadar bahwa bekerja keras tidak pernah cukup membuat kami bahagia. Kesehatan jauh lebih penting dari kecukupan harta. Badan yang sehat akan memudahkan kita bekerja. Dengan begitu kita memperoleh penghasilan yang dapat digunakan untuk membeli kebutuhan pokok, membiayai sekolah, membeli keperluan tersier dan sebagainya. Kita  pun harus sehat untuk bepergian dengan pasangan kita di akhir pekan.

Nyatanya benar, badan sehat melancarkan semua aktivitas. Saya merasakannya sendiri saat menyelesaikan skripsi. Badan saya drop parah selama hampir 2 minggu. Kemudian saya memutuskan untuk mudik ke Cilacap menggunakan kendaraan umum. Baru saja membonceng sepeda motor teman selama 10 menit, saya langsung muntah-muntah dipinggir jalan. Belum selesai sampai disitu, selama di mobil saya muntah berkali-kali. Nasib baik ada ibu yang mau merawat saya sampai kondisi saya membaik.

Sekarang saya lebih berpikir rasional dalam menyikapi kondisi kesehatan. Saya makan lebih teratur dan memilih makanan yang lebih bersih dan sehat. Dalam bepergian pun saya memilih waktu siang hari agar lebih aman dan nyaman di perjalanan. Semua itu demi apa? Demi kesempatan untuk membahagiakan keluarga saya dalam keadaan sehat. Setelah melihat kedua rekan kantor saya, ada reminder untuk diri saya sendiri. Bahwa untuk hidup kita tidak hanya harus bekerja keras tetapi juga harus menjaga kesehatan dengan sebaik-baiknya agar kebersamaan dengan orang tercinta menjadi lebih berkualitas.

Jumat, 06 Oktober 2017

Belajar dari Ketiadaan

Beberapa hari terakhir, saya terinspirasi oleh cerita dari teman saya. Ada yang menceritakan tentang kebiasaannya meminum minuman keras selagi mudanya. Ada yang bergelut dengan godaan hal-hal yang tidak baik. Ada pula yang berjuang demi mendapatkan sesuap nasi ketika masih bersekolah. So, i have my story to tell and i wish you all will inspired from it.

Di Flores yang eksotis dengan pemandangannya tak melulu seindah yang dibayangkan kedua mata. Ketersediaan air bersih di beberapa perkampungan masih menjadi kendala besar tiap kali musim kemarau. Di daerah pesisir pantai, masyarakat mengandalkan mata air yang terbatas. Di daerah pegunungan ternyata ada yang kesulitan air meskipun berada di gunung yang berudara sejuk dan memiliki banyak pepohonan. NTT yang tersohor dengan propinsi kepulauan kecil dan sulit air ternyata benar adanya karena saya mengalaminya sendiri.

Mereka menyiasati ketiadaan air dengan mengurangi intensitas mandi untuk menghemat air. Selain itu mereka mengambil air dari mata air yang jaraknya berkilo-kilo dari rumah mereka. Situasi sulit yang menjadi langganan sepanjang hidup tak menyurutkan semangat hidup mereka. Setiap keluarga harus bertahan hidup dengan setiap kesulitan yang mereka hadapi. Setiap orang mau tidak mau harus memilih untuk survive.

Membandingkan antara kampung halaman dan Flores memang begitu tidak fair. Saya masih melakukannya (*membandingkan) bahkan sampai sekarang. Di Flores, mati listrik sudah menjadi langganan setiap hari. Bahkan ada kampung yang hanya memiliki genset yang menghidupkan lampu selama 2 jam dalam 24 jam. Tetua adat yang mereka menyebut mosalaki, menyalakan televisi saat genset menyala dijam penayangan sinetron favorit.

Di kampung saya mudah sekali menemukan gerai modern di sudut-sudut jalan. Sedangkan di Flores, untuk menikmati es dung dung saja harus menunggu penjualnya naik gunung seminggu sekali. Satu hal yang saya garis bawahi dari orang Flores adalah mereka tahan banting terhadap banyak situasi sulit. Sejak kecil, meskipun bukan dari keluarga kaya saya tidak kekurangan hal-hal seperti air, listrik, dan pemenuhan kebutuhan lainnya. Pun saya tidak berlebihan dalam hal konsumsi kebutuhan hidup. Namun daya juang saya masih kalah jauh dari mereka yang terbatas listriknya, terbatas airnya, terbatas sinyalnya, dan keterbatasan barang pemuas kebutuhan. Mereka yang serba dalam keterbatasan saja bisa bertahan hidup, mengapa saya tidak bisa melakukan lebih banyak hal? Saya menerima akses listrik full 24 jam, bisa menemukan warnet dan warung atau kios dengan sangat mudah, bisa seenaknya memilih provider yang ramah dikantong dan kemudahan akses-akses lainnya.

Mengapa saya masih mengeluh ketika mati listrik, membuang-buang air sedangkan mereka justru masih bisa tertawa-tawa meskipun tidak mandi? Kita memiliki segala yang kita butuhkan apalagi di kota yang sebesar ini. Kita memiliki kendaraan yang 24 jam nonstop, memiliki akses atau kemudahan dalam memperoleh kebutuhan sehari-hari. Kita punya semuanya. Namun kita masih mengeluh dan mengeluh.

Itulah hal yang menggelitik benak saya sampai sekarang dan saya masih belajar untuk bersyukur dengan semua nikmat. Saya masih belajar untuk tidak cengeng dan lebih mandiri. Yang lebih penting lagi saya membutuhkan banyak orang untuk belajar semua itu. Tentang kerja keras, rasa bersyukur, daya juang dan sebagainya agar menjadi manusia yang lebih baik lagi.

Minggu, 24 September 2017

Listen First

Sebuah baliho besar di pinggir jalan Kabupaten Ciamis menarik perhatian saya. Pesan BNN kepada masyarakat khususnya orang tua bertuliskan 'Listen First' diikuti penjelasan singkat di bagian bawahnya. Sekilas membaca pesan itu mengingatkan saya pada masa-masa kuliah dulu. Duet Pak Sunawan dan Pak Mulawarman memang kelas golongan muda intelektual. Keduanya masih muda dan punya skill berbeda tetapi berjodoh dengan sempurna ketika bertemu di kelas. Beliau berkata yang kira-kira, "Mendengarkan adalah pekerjaan yang melelahkan. Sangat melelahkan. Butuh energi besar untuk itu". Sebuah pesan kepada orang tua yang disampaikan BNN Kabupaten Ciamis berupa kesediaan orang tua untuk mendengarkan anak-anak mereka. Hidup sebagai orang tua dipenuhi tanggung jawab untuk menafkahi dan mendidik mereka. Peran seumur hidup itu mencakup pemenuhan kebutuhan pendidikan (*formal maupun nonformal), kasih sayang, penetrasi norma dan dukungan lahir batin bagi anak-anak. Pekerjaan sehari-hari yang sudah melelahkan tak serta merta menghilangkan kewajiban parenting mereka. Bagi sebagian orang tua, istilah mendengarkan dianggap tidak begitu penting mengingat susah payahnya mereka dalam bekerja. Namun hal sederhana ini justru menjadi kebutuhan yang didambakan anak-anak. Orang tua yang tidak belajar mendengarkan anak mereka tidak akan didengarkan oleh anak mereka. Itu hukum timbal balik yang nyata dimana-mana. Nasehat dan larangan orang tua seperti angin yang berlalu tanpa bekas. Sementara anak-anak memilih alternatif lain sebagai hiburannya. Kebut-kebutan, perilaku membolos sekolah, obat-obatan, free sex, hingga kriminalitas bukan barang asing untuk mereka yang melek dunia.

Begitu sederhana perihal mendengarkan dan didengarkan. Hal tersebut ternyata berdampak besar pada perkembangan anak-anak. Mereka yang tidak mendapat simpati untuk menyampaikan isi hati dan kepala mereka bisa memilih obat-obatan terlarang sebagai pelampiasan. Bahaya besar itu dapat dihindari dengan kesediaan orang tua untuk mendengarkan anak mereka.

Saya bisa memastikan butuh energi luar biasa untuk mendengarkan seseorang. Aktivitas tersebut butuh kesediaan dari orang yang bersangkutan plus kemampuan untuk fokus. Meski tidak semua orang pandai mendengarkan, orang tua bisa menyediakan waktu untuk mulai berbicara dengan anak-anak. Obrolan bisa tentang aktivitas di sekolah, studi lanjut, teman-teman sebaya, peristiwa kekinian, cita-cita atau yang lainnya. Apabila sudah terbiasa berbicara santai tentang kegiatan sehari yang dilakukan, mendengarkan unek-unek mereka tak akan jadi masalah pelik. Nilai kehidupan yang disampaikan orang tua akan lebih mudah untuk disampaikan dan diresapi anak.

Tentu prosesnya tidak akan mudah pada awalnya. Bisa jadi ada keengganan untuk melakukannya bagi sebagian orang tua. Akan tetapi jika kita memikirkan segala yang terbaik untuk anak dan bersedia untuk memberikan yang terbaik, peran besar aktivitas mendengarkan bukan omong kosong belaka. Keberhasilan tersebut bisa dirasakan semua orang bukan hanya anak dan orang tua, tetapi juga masyarakat pada umumnya. Tumbuh kembang anak-anak yang menyenangkan adalah kabar baik untuk masa depan dan obat bagi masa lalu yang menumbuhkan harapan. Semoga.

Terimakasih BNN Kabupaten Ciamis 🙏

Sabtu, 16 September 2017

Mindset

7.56 pm

Keponakan saya memasuki tahun ketiga di sekolah dasar. Orang tuanya terbiasa memintanya belajar pada malam hari. Minimnya buku referensi yang dimiliki membuatnya berinisiatif untuk mengerjakan soal-soal latihan di lembar kerja siswa. Hal tersebut ternyata tidak disukai guru kelasnya. Murid tidak diperkenankan mengerjakan soal latihan dirumah atau sebelum ada perintah mengerjakan. Alasannya karena guru biasa menggunakan soal tersebut untuk mengisi jam mengajar. Alih-alih memberikan tugas di kelas, guru mengobrol didepan kelas. Bukan hanya saya yang gemas, orang tuanya pun menyesalkan kondisi tersebut.

Wali murid sekolah keponakan saya mayoritas bekerja sebagai buruh pabrik. Beberapa diantaranya berdagang di pasar, berjualan keliling atau membuat tenda di pinggir jalan. Saya tahu bagaimana lingkungan orang tua dan murid yang bekerja sebagai buruh. Mereka bukan orang berpendidikan tinggi yang bisa meminta anak-anaknya menjadi polisi, dokter, perawat, desainer, insinyur, tentara, atau pengacara. Bahkan ketika ada label "anak buruh ya paling jadi buruh", orang tersebut tidak akan tersinggung. Karena mungkin sedikit saja yang berusaha sungguh-sungguh mengubah nasib keturunannya. Sedangkan yang bernasib baik bisa membuat perekonomian keluarga meningkat lebih sedikit lagi jumlahnya.

Kondisi sosial ekonomi murid seharusnya menginspirasi guru untuk mendukung perkembangan prestasi siswa. Anak presiden tidak selalu menjadi presiden. Anak buruh pun tidak selalu menjadi buruh. Hanya karena mereka anak buruh yang penghasilannya pas-pasan, guru tidak berhak memutuskan harapan dan cita-cita murid. Pendidikan adalah jawaban dari segala permasalahan sosial ekonomi. Guru adalah instrumen yang memegang peran sentral bagi pengembangan diri murid. Dengan guru yang mengerti tugas pokok dan fungsinya dalam permasalahan ekonomi, orang tua memiliki harapan atas kehidupan yang lebih baik melalui anak-anak mereka.

Usia 8 tahun merupakan masa dimana anak-anak mengakses sebanyak-banyaknya informasi. Mereka melihat bagaimana guru mengajar di kelas dan mengingatnya sepanjang hidup mereka. Di saat besar dan dewasa mereka akan mengingat "Guru A mengajarnya begini, begitu. Sering meninggalkan kelas dan menyuruh murid mengerjakan tugas", "Guru B sangat galak. Murid berbicara di kelas langsung dikeluarkan atau dihukum", dan seterusnya. Anak-anak pun merekam seluruh karakter orang tua di rumah. Mereka akan membongkar ingatan mereka saat menemukan persoalan terkait. Dewasa nanti mereka akan berseloroh dengan teman-teman sekantor tentang guru mereka. Apa yang sudah kita berikan untuk murid di masa depan mereka? Ajaran yang benar pun belum tentu diterapkan dengan benar oleh mereka. Apalagi teladan dan contoh yang kurang baik.

Jika kehidupan mereka kedepan jauh lebih baik dari generasi sebelumnya, kita telah melakukan sesuatu yang berguna bagi mereka. Namun jika pada akhirnya kehidupan tak semanis harapan dan cita-cita, setidaknya kita berusaha menumbuhkan bibit-bibit tersebut dengan menyiraminya agar tetap hidup.

14 September 2017

Jumat, 15 September 2017

Kamu Boleh Milih Kok

Seorang teman bercerita tentang mantan kekasihnya yang masih 'mengganggu' meski hubungan keduanya sudah berakhir. Dengan situasi yang mengharuskan mereka untuk intens bertemu, dia kesulitan untuk menyikapi orang-orang yang ingin mendekatinya. Semua orang bermodus berharap memperoleh informasi berguna darinya. Alih-alih inhin menata hati, dia justru harus meladeni urusan yang bukan areanya lagi.

Sebal? Pasti. Jengah? Iya. Teman saya memilih untik meladeni satu per satu orang yang menanyakan mantan kekasihnya. Ketika saya bertanya bagaimana perasaannya saat ini, dia menjawab "Aku mau move on. Enyahlah segala tentangnya. Aku gak peduli dia berhubungan dengan siapa. Kenapa mereka datang ke aku sih?" Ternyata move on bukan hanya tentang hati kita terlepas dari harapan bersamanya. Ini tentang kehidupanmu yang harus terus maju kedepan. Rasa sakit yang termaafkan tentang masa lalu bersamanya. Yang paling penting adalah optimisme untuk menemukan orang baru dan jatuh cinta lagi. Ada yang mengakhiri hubungan kemudian pindah kerja atau pindah kota. Ada yang sudah berlainan kota tetapi masih terbawa perasaan dan suasana. Ada pula mereka yang setiap hari tetap berjumpa di tempat kerja atau kampus. Dengan situasi yang tidak terprediksi, kita memang tidak bisa melakukan semua hal seperti keinginan kita. Teman saya tidak bisa pindah kampus atau kota. Pun tidak bisa mengacuhkan orang-orang yang datang kepadanya. Oleh karena itu dia meladeni mereka dengan setengah hati. Saya pikir hal itu tidak menyenangkan sama sekali. Tetapi dia tidak siap dengan resiko yang mungkin diterimanya ketika mengabaikan mereka.

Dalam konteks yang lebih luas kita bertemu dengan bermacam-macam orang. Ada yang menyenangkan. Ada pula yang menjengkelkan. Mudah bagi kita untuk maju dan berkarya dengan mereka yang seide dan memiliki selera yang sama. Kita bersedia menghabiskan tenaga dan usaha demi karya yang hebat. Akan berbanding terbalik dengan mereka yang kehadirannya memperburuk mood. Satu pesan darinya selalu dipenuhi kecurigaan "ada apa lagi nih orang?", atau "dia inbox 🙄 males amat mau buka". Hal yang tidak diinginkan bukan? Ajaibnya selalubada orang yang berjodoh dengan kita dalam soal cinta, kerja dan komunitas yang lebih besar. Selebihnya? Orang-orang yang meramaikan suasana. Mereka berperan untuk melengkapi cerita agar lebih pedas, asin dan panas. Apakah kita memiliki waktu dan tenaga untuk sebuah ketidakcocokan? Dalam hidup yang serba dipenuhi tanggungjawab, membiarkan diri bersama dengan orang-orang yang kita cintai dan sebaliknya adalah satu pilihan. Kita bertanggungjawab atas pilihan kita. Dengan menyadari bahwa kita berhak memilih tanggungjawab yang sanggup kita tunaikan, kita telah menyayangi diri kita sendiri. Setidaknya kita bisa menghabiskan segala daya dan upaya untuk orang-orang terbaik di tempat terbaik.

So, don't waste your time to libe with someone you don't love.

10.21 am
8 September 2017

Kamu Boleh Milih Kok

Seorang teman bercerita tentang mantan kekasihnya yang masih 'mengganggu' meski hubungan keduanya sudah berakhir. Dengan situasi yang mengharuskan mereka untuk intens bertemu, dia kesulitan untuk menyikapi orang-orang yang ingin mendekatinya. Semua orang bermodus berharap memperoleh informasi berguna darinya. Alih-alih inhin menata hati, dia justru harus meladeni urusan yang bukan areanya lagi.

Sebal? Pasti. Jengah? Iya. Teman saya memilih untik meladeni satu per satu orang yang menanyakan mantan kekasihnya. Ketika saya bertanya bagaimana perasaannya saat ini, dia menjawab "Aku mau move on. Enyahlah segala tentangnya. Aku gak peduli dia berhubungan dengan siapa. Kenapa mereka datang ke aku sih?" Ternyata move on bukan hanya tentang hati kita terlepas dari harapan bersamanya. Ini tentang kehidupanmu yang harus terus maju kedepan. Rasa sakit yang termaafkan tentang masa lalu bersamanya. Yang paling penting adalah optimisme untuk menemukan orang baru dan jatuh cinta lagi. Ada yang mengakhiri hubungan kemudian pindah kerja atau pindah kota. Ada yang sudah berlainan kota tetapi masih terbawa perasaan dan suasana. Ada pula mereka yang setiap hari tetap berjumpa di tempat kerja atau kampus. Dengan situasi yang tidak terprediksi, kita memang tidak bisa melakukan semua hal seperti keinginan kita. Teman saya tidak bisa pindah kampus atau kota. Pun tidak bisa mengacuhkan orang-orang yang datang kepadanya. Oleh karena itu dia meladeni mereka dengan setengah hati. Saya pikir hal itu tidak menyenangkan sama sekali. Tetapi dia tidak siap dengan resiko yang mungkin diterimanya ketika mengabaikan mereka.

Dalam konteks yang lebih luas kita bertemu dengan bermacam-macam orang. Ada yang menyenangkan. Ada pula yang menjengkelkan. Mudah bagi kita untuk maju dan berkarya dengan mereka yang seide dan memiliki selera yang sama. Kita bersedia menghabiskan tenaga dan usaha demi karya yang hebat. Akan berbanding terbalik dengan mereka yang kehadirannya memperburuk mood. Satu pesan darinya selalu dipenuhi kecurigaan "ada apa lagi nih orang?", atau "dia inbox 🙄 males amat mau buka". Hal yang tidak diinginkan bukan? Ajaibnya selalubada orang yang berjodoh dengan kita dalam soal cinta, kerja dan komunitas yang lebih besar. Selebihnya? Orang-orang yang meramaikan suasana. Mereka berperan untuk melengkapi cerita agar lebih pedas, asin dan panas. Apakah kita memiliki waktu dan tenaga untuk sebuah ketidakcocokan? Dalam hidup yang serba dipenuhi tanggungjawab, membiarkan diri bersama dengan orang-orang yang kita cintai dan sebaliknya adalah satu pilihan. Kita bertanggungjawab atas pilihan kita. Dengan menyadari bahwa kita berhak memilih tanggungjawab yang sanggup kita tunaikan, kita telah menyayangi diri kita sendiri. Setidaknya kita bisa menghabiskan segala daya dan upaya untuk orang-orang terbaik di tempat terbaik.

So, don't waste your time to libe with someone you don't love.

10.21 am
8 September 2017

Mie Instan

Saya suka makan mie instan goreng dengan telur ceplok matang diatasnya. Dengan alasan kesehatan lambung, bahan pengawet yang berlimpah hingga mie instan KW yang beredar di pasaran tidak menyurutkan niat saya untuk makan mie instan. Varian mie instan goreng memang lebih menggoda saya sejak SD. Pada kondisi tertentu seperti kiriman uang belum datang, saya harus ikhlas makan mie instan dengan tanbahan kuah. 🙁

Mengapa disebut mie instan padahal kita harus repot memasaknya terlebih dahulu? Bukankah tidak jauh berbeda dengan mie telor yang biasa diiklankan di TV? Dengan menang 'lebih praktis', mie tersebut diberi label instan. Mie cup atau mie yang di gelas bagi saya lebih instan. Kita hanya menuangkan air panas dan memasukkan bumbu. Kemudian menunggu selama 3 menit (*jika tahan untuk tidak mencicipi kuahnya sedikit demi sedikit) untuk menikmati mie cup yang super instan.

Menengok kehadiran mie instan dan jenis makanan instan lainnya menjadikan manusia modern benar-benar dimanjakan. Jika ingin kosmetik tinggal klik, ingin pesan hotel tinggal klik, pergi ke kantor tinggal pesan ojek/taksi online. Fenomena "mager" alias malas bergerak atau malas gerak menjadi penyakit anak muda kekinian. Ada kemungkinan orang dewasa juga mengalaminya. Justru lebih parah dengan didukung kondisi kesehatan yang memburuk, derajat kesibukan dan keuangan yang stabil.

Segala sesuatu yang instan pada hakikatnya menjauhkan kita dari makna proses. Manusia melupakan satu fase penting dalam hidup. Dengan mengantri di gerai makanan kita belajar melakukan detail demi detail aktivitas. Kita belajar mandiri dari semua aktivitas tersebut. Nilai plus lainnya kita lebih menghargai waktu dan kemampuan. Pada saat kita di restoran atau kafe, mengamati proses kita masuk hingga keluar membutuhkan banyak variabel didalamnya. Kita memanggil pelayan untuk mengantarkan menu, berdiskusi dengan teman terkait pesanan, menunggu pesanan datang, baru kemudian kita makan dengan lahap. Tidak. Tidak berhenti sampai disitu. Kita kadang meminta tambahan minum atau meminta lada. Adakalanya kita butuh membayar dengan kartu kredit yang tentu memakan waktu seperti pembayaran tunai. Setelah pembayaran selesai kita baru bisa keluar dengan lega. Hidup ternyata merepotkan andai dipikir dan dilihat secara terperinci.

Pada era digital, kita lebih jarang menulis dengan tangan. Bon belanjaan telah digantikan struk. Tugas kuliah bisa ditumpuk keesokan hari. Hidup menjadi lebih mudah bukan? Bagaimana tulisan tangan anak muda jaman sekarang? Masih adakah yang menulis dengan sangat indah seperti orangtua/nenek mereka? Lalu mengapa mereka masih diajarkan  menulis dengan tangan jika banyak pekerjaan tulisan telah beralih ke versi digital? Ya. Menulis membuat garis sebanyak dua halaman penuh, mendatar, melengkung, vertikal begitu setiap hari. Saya mengalaminya ketika SD pada jaman dahulu. Ibu Guru membuat garis miring di papan tulis dan murid diharuskan menyalin dengan jumlah ratusan di buku. Momentum bisa membaca seolah seperti proklamasi kemerdekaan. Kami bebas dan merdeka dari garis-garis yang membentuk pagar di buku. Lega karena terbebas dari pemborosan buku, pensil dan penghapus.

Lalu apa tujuan dari semua itu? Ide jahil guru kelas? Yang pasti bukan itu. Melainkan belajar proses. Semua hal dipelajari dari yang sifatnya sederhana dan mudah. Kemudian beranjak kepada hal yang lebih sulit dan rumit serta lebih krusial. Mahasiswa akan mengeluh jika diminta mengerjakan tugas dengan tulisan tangan asli. Mereka membayangkan beban berton-ton jatuh di atas pundak. Satu alasan lucu tetapi faktual adalah mereka menganggap tulisan di kertas tugas akan memburuk seiring berjalannya waktu. Pada saat awal menulis mereka begitu percaya diri dengan penampilannya. Perlahan dan pasti tulisan tersebut berubah menjadi tidak beraturan. Akhirnya yang nampak benar-benar tulisan dari tangan yang terlanjur pegal. Kita bersyukur dengan fasilitas kehidupan modern yang sangat berguna. Mereka yang beruntung adalah mereka yang menikmati modernitas tetapi tidak meninggalkan esensi dari sebuah proses. Sementara mereka yang tenggelam, merasa diri sudah kekinian dengan meninggalkan mutiara kebebasan dan kemandirian.

Saya masih memiliki banyak mie instan di lemari. Pernah berpikir untuk menggantinya dengan bihun yang lebih sehat. Sayangnya belum terlaksana dengan baik hingga sekarang. Namun semua orang berhak berubah dari dalam niat. Semuanya bisa dimulai dari sini dan sekarang.

10.25 pm
11 September 2017

Kamis, 14 September 2017

Dari Seorang Ibu

Pekerjaan seorang Ibu sungguh tidak pernah mudah tetapi tidak boleh salah. Apalagi untuk seorang anak di masa kecilnya. Ibu tidak boleh salah dalam mengiyakan sesuatu atau melarang sesuatu. Kamu boleh salah Nak, justru kamu harus melakukan banyak kesalahan agar kamu terbiasa berjuang. Sekalipun lelah dan menjengkelkan, kamu akan lupa dengan semua itu ketika sudah dewasa nantinya. Kalau kamu ingin menangis dan berguling-guling, lakukanlah tetapi jangan pernah berhenti berjuang, belajar.

Ibu tahu kamu belum sepenuhnya paham dengan pembicaraan ini. Maka kamu hanya perlu mendengarkan dan mengingatnya.

Orang bilang menjadi pemain film atau sinetron sangat melelahkan. Menjadi Ibu persis seperti pemain sinetron yang harus stripping seumur hidup. Ibu memainkan peran yang berlaku sejak bangun tidur sampai hendak tidur. Kamu memang tidak perlu menilai apa-apa karena kamu akan menirunya entah satu atau dua kebiasaan Ibu. Entah itu kata-kata, pemikiran, senyuman, keluh kesah, canda tawa, kesedihan atau airmata. Kamu mampu menirunya dengan baik bahkan tanpa niat sekalipun. Tuhan adalah sutradaranya. Ibu harus memainkan peran untuk mengenalkanmu huruf dan angka, mengajakmu menyiram tanaman, mengantarkanmu mengaji di mushala, hingga mendongengimu dengan kisah-kisah mashyur tokoh hebat dunia. Kamu sering kali menggerutu jika mendapatkan sesuatu yang tidak seperti kehendakmu. Ibu melihatnya sekalipun kamu berlari jauh dan terisak-isak. Apakah kamu baik-baik saja? Ibu yakin kamu tidak baik-baik saja. Sayangnya Tuhan mengharuskan Ibu untuk diam dan hanya memperhatikan. Namun Dia menyuruh Ibu untuk menyiapkanmu makanan yang enak sehabis kamu menangis sejadinya.

Nak, apakah sekolahmu berjalan dengan lancar? Apakah teman-temanmu di sekolah mengasyikkan? Ibu tidak tahu bagaimana mendidik yang baik dan benar. Oleh karena itu Ibu meminta bantuan kepada sekolah untuk mengajarimu banyak hal tentang hidup. Kamu boleh mengajukan protes atas hal-hal yang tidak sesuai. Jangan hanya diam. Kalau gurumu memberikanmu banyak hal berguna, berterimakasihlah dengan prestasi yang membanggakan. Andai jaman memberikan keleluasaan pada Ibu untuk mendidikmu, tentu sudah Ibu lakukan sejak dulu. Ibu ajari berkebun, membaca buku-buku ilmu pengetahuan dan dongeng menakjubkan dari seluruh dunia, mengenal masyarakat dari dekat, mengimani 1 Tuhan, membuat berbagai barang, berbelanja di pasar tradisional, dan belajar apapun yang kamu suka. Namun kemajuan jaman mengharuskanmu memasuki lembaga pendidikan dan belajar di sana. Kamu tidak boleh tertinggal dalam komunitas usiamu. Setidaknya kamu akan belajar bagaimana hidup ditengah teman-teman seusiamu dan meneriakkan "2+2=4" bersama mereka.

Sekolah tidak hanya mengajarkan angka melainkan etika. Di sekolah kamu akan bertemu dengan berbagai macam orang kemudian berdebat, bertengkar, bermain dan berkembang bersama. Akan ada teman yang malas belajar dan berangkat sekolah. Yang lain tahunya bermain dan bermain ketika guru menerangkan pelajaran di depan kelas. Kamu akan menjadi seperti apa? Pilihlah sosok hebat di sekolahmu. Sosok itu bisa jadi guru yang menyenangkan ketika mengajarimu atau teman yang solid tetapi baik.

Ingatlah bahwa selalu ada hal yang kurang baik yang terjadi di rumah atau di sekolahmu. Satu-satunya yang harus kamu lakukan adalah bersikap dengan baik dan benar. Jika Ibumu marah-marah setiap hari, hiburlah. Kamu bisa membantu dengan tidak mengotori rumah, makan dengan baik dan tidak membuat gaduh. Adakalanya Ibu lelah dengan pekerjaan di rumah. Kamu mungkin lelah dengan pelajaran di sekolah. Bukankah kita seharusnya bekerjasama agar lelah kita bisa hilang tanpa marah-marah dan jengkel? Mudah-mudahan kita bisa saling berbicara dengan baik. Jika ada sesuatu yang kurang menyenangkan di sekolah, selesaikan dengan baik. Minta tolonglah kepada teman atau gurumu. Andaipun belum terselesaikan, kamu bisa minta tolong pada Ibu. Dengan senang hati Ibu akan menolongmu. Apapun yang kamu hadapi di sekolah, Ibu akan berdiri di tempat yang tepat. Ibu akan marah pada hal yang salah dan akan memuji pada hal baik. Jangan menawar hal semacam itu dengan Ibu karena Ibu harus menjalankan peran dari Tuhan.

Di tengah kehidupan yang keras, kamu harus kuat. Berjuanglah dengan sungguh-sungguh. Beranilah memiliki mimpi besar bagaimanapun keadaanmu kini. Mimpi itu ibarat cahaya yang akan menuntunmu ke jalan yang benar. Jangan berpikir untuk hari ini dan besok tapi berpikirlah untuk 20 atau 30 tahun lagi. Dengan begitu kamu akan melakukan hal yang sangat perlu untuk masa depanmu sembari meninggalkan godaan-godaan yang datang silih berganti. Ibu akan melihatmu dari sini. Tentu doa Ibu tidak terlihat, tidak terdengar dan tidak terasa tetapi itu yang akan sampai kepada Tuhan. Kamu akan jatuh dan bangun bahkan ketika kamu sudah dewasa. Pada saat itu tambahlah mimpimu dan usahamu. Doa ibu akan sampai kepada Tuhan. Apa yang kamu takutkan?

Nak, hari ini Ibu masih menyebalkan. Besok Ibu masih menyebalkan. Ibu mohon, bicarakanlah sesuatu yang berguna atas kehidupan kita kepada orang lain. Marahmu, tuangkanlah kepadaku. Kekhawatiranmu, lepaskanlah kepadaku.

Nak, salah Ibu terlalu banyak bahkan lebih banyak dari hal baik yang Ibu mampu berikan. Maafkan mimpi-mimpimu yang terhalang karena Ibu. Maafkan kesempatan yang terlewatkan karena Ibu. Tumbuhlah dengan baik. Hidulah dengan sebaik-baiknya. Itu semua akan membuat Tuhanmu suka dan ridha.

Jilvia Indyarti
*Terinspirasi dari kisah nyata 👒

Rabu, 16 Agustus 2017

Buku Tulis Putih Biru

.. Hai teman, apa kabar? Lama tak kudengar suaramu. Apa harimu bermentari, apakah malammu dihiasi mimpi? ( 🎶 Hai by Monita Tahalea)

Duluuuu sekali, lebih dari 10 tahun yang lalu sekolah paling kece itu membuat aturan murid membeli buku tulis dari sekolah. Dengan penuh antusias, murid membeli dan memberi nama buku mereka masing-masing. Saling memamerkan dengan anak sekolah sebelah dan tentu saja membanggakan almamater sendiri.

Duluuuu sekali, lebih dari 10 tahun lalu. Disalah satu ruang kelasnya yang berseberangan dengan ruang guru, cerpen-cerpen ala putih biru tercipta dengan lancarnya. Obrolan tentang Sassy Girl Chun Yang atau Itazura Na Kiss menjadi trending topic setiap hari dari bintang kelas.

Sejarah adalah salah satu dari subject yang saya minati. Mind map dari keseluruhan konsep memenuhi buku oranye nyentrik tersebut. Sesekali dihiasi informasi menarik diluar konteks materi yang dipaparkan. I love history so much. Meski otak saya terbatas mengingat detail peristiwa bersejarah, dongengan masa lalu selalu membuat mata membelalak. Entah itu kudeta, silsilah raja-raja Hindu/Budha, atau bebatuan prasejarah yang berbeda nama dan bentuknya.

Duluuuu sekali, tidak pernah berpikir 'who am i?' Masalah terbesar adalah pelajaran dan tugas matematika. Sesekali guru yang galak dan kurang mengasyikkan dalam pemberian materi. Haha. Jujur sekali. But that's true. Saya mengalami sendiri menjadi murid dan guru. Tahu bagaimana tipikal guru yang dirindu atau membuat stres ketika membagikan ilmu. Bermimpi menjadi guru tidak pernah terbayangkan, tahu-tahu menyandang gelar S.Pd. Kadang hidup memang tak tertebak.

Satu demi satu orang yang dulu saya jumpai setiap hari bermunculan dengan wajah lama mereka. Teman satu bangku, guru-guru yang cantik, dan orang memukau yang terlihat manis dari kejauhan. Lalu ada sepeda yang terparkir rapi disebelah lapangan basket, meja-meja yang sempat menjadi alas tidur ketika Perjusami, atau pohon rindang dipinggir halaman yang jadi tempat berteduh ketika berseragam PKS saat upacara bendera.

Apa yang mereka lakukan sekarang? Bagaimana hidup mereka? Apakah ingatan yang muncul ketika bertemu dengan saya? Berapa kali mengunjungi sekolah usai lulus tahun 2006? Semoga mereka baik-baik saja, begitupun saya.

... dimanapun kalian berada kukirimkan terimakasih untuk warna dalam hidupku dan banyak kenangan indah. Kau melukis aku.. ( 🎶 Monokrom by Tulus)

Memandangi wajah-wajah yang entah seperti apa hari ini, menyadarkan diri dari rutinitas. Itu sudah lama sekali. Akhirnya, tidak ada hadiah paling indah untuk masa lalu selain hidup sebaik-baiknya hari ini dan disini. Bagaimanapun rupa hidup kita, bukankah kita sangat layak untuk hidup sebaik-baiknya?

Sabtu, 05 Agustus 2017

Bahasa Asing

Beberapa orang teman atau kenalan saya sudah mengelilingi Eropa. Mereka memperoleh beasiswa studi lanjut atau mencari nafkah dengan bekerja. Yang pergi ke negara seperti Australia, Amerika, Jepang, kebanyakan karena berkah kuliah. Sisanya berlibur ke Malaysia, Singapura atau Thailand untuk pengalaman dan refreshing. Orang Indonesia senang sekali bepergian ke luar negeri. Selain ingin mencoba obyek wisatanya, ada juga yang bepergian karena gengsi. Alasan kedua kurang mengenakkan sepertinya. Tetapi justru inilah yang melanda sebagian besar orang. Baik dengan tujuan domestik maupun mancanegara. Gengsi karena teman-teman pamer foto liburan di suatu tempat indah. Mupeng (muka pengen) melihat postingan kuliner aneh dari rekan kerja yang sedang piknik. Kualitas wisata/piknik/traveling/bepergian/liburan orang Indonesia masih seputar ingin dihargai. Katakanlah pergi ke Singapura agar bisa dibilang kekinian atau up to date. Meskipun ada beberapa yang benar-benar piknik berkualitas dengan mempelajari budaya setempat, kondisi sosial dan potensi yang ada dari obyek tersebut. Ini traveling atau penelitian? Hehe.

Pada saat kita mengunjungi suatu tempat asing kendala pertama adalah bahasa. Apakah orang lokal mampu berbahasa Inggris? Agen travell akan menenangkan kita dengan, "Tidak perlu repot, ada tour guide yang siap menjelaskan panjang lebar tentang destinasi yang kita tuju". Tour guide bertugas sebagai pemandu yang tugasnya meliputi hal-hal yang umum. Mengenai kehidupan orang lokal yang setiap hari berada disitu tentu akan berbeda perspektifnya dibandingkan tour guide yang bisa jadi sama-sama orang Indonesia. Penggunaan travel guide atau buku panduan untuk traveller sangat membantu jika digunakan dengan baik. Kita bisa mengajak orang lokal berbicara dengan panduan tersebut. Informasi yang didapat tentu tidak seluas yang kita bayangkan jika kita mengetahui bahasa mereka. Ketika menggunakan panduan, obrolan akan terarah sesuai dengan yang tertera dibuku. Lain halnya jika kita bisa berbahasa lokal. Tidak perlu banyak-banyak, asal tahu sedikit dan paham sopan santun. Obrolan tidak sekaku dalam buku panduan, kita pun bisa menanyakan hal-hal sederhana yang tidak ada di panduan.

Saya belajar bahasa Inggris sejak usia sekolah dasar. Proses itu dimulai pada kelas 4 dimana vocabulary yang digunakan sangat dasar dan sederhana. Pembelajaran itu terus berlanjut hingga pendidikan tinggi dan sampai sekarang. Dengan proses yang panjang itu belum juga membekali diri saya dengan kemampuan conversation yang bagus. Pronouncation masih salah disana sini, grammar tak tentu arahnya, dan sejauh ini saya belum berani mengambil tes TOEFL/IELTS. Beberapa jurusan  di kampus mensyaratkan lulus TOEFL dengan skor yang ditentukan. Beruntungnya jurusan saya tidak memberlakukannya.

Bagi saya bahasa bukan sekadar mata kuliah yang melengkapi transkrip nilai. Saat menyadari bahwa bahasa merupakan jembatan pertama dalam bersosialisasi, saya lebih bersemangat belajar bahasa asing. Sampai detik ini, bahasa Jepang beserta kanjinya sedang saya pelajari sedikit demi sedikit. Pengalaman belajar memang melelahkan tetapi hasil dari itu semua membuat saya bahagia. Saya mulai menghafal hiragana dan katakana dengan sungguh-sungguh pada akhir 2016. Saya masih sering lupa dengan huruf-huruf tersebut karena banyak variasi pengembangannya. Belum genap kemampuan hiragana dan katakana, saya memberanikan diri masuk ke kanji. Sembari menghafal keduanya, satu per satu kata dari kanji saya coba hafalkan. Jujur, awalnya agak merepotkan saat kita menghafal kata demi kata karena tidak semua kata dituliskan dengan hiragana dan katakana. Selain menyusahkan, ternyata belajar kanji lebih memudahkan dalam hal penulisan dan penerjemahan/pemaknaan kata.

Hari-hari saya dipenuhi dengan kanji dan hiragana. Sesekali diselingi dengan tenses dan membuka materi pada waktu SMA. Menyenangkan sekali. Dengan kapasitas otak yang semakin terbatas seiring bertambahnya usia, saya butuh waktu lebih lama untuk belajar lagi. Jika masih diberikan kesempatan untuk terus belajar, bahasa Arab dan Ibrani akan menambah kesibukan diantara kanji dan grammar. Mudah-mudahan Allah ridha dengan semua ikhtiyar ini. Aamiin

Selasa, 01 Agustus 2017

Let's Talk

Tanpa ragu saya mengetik sebuah pesan kepada seorang teman. "I feel lonely to fight, to search anything, to enjoy the life". Dengan bijaksana, sang penerima membalas "Please talk". Ternyata hidup begitu sederhana untuk dijalani. Banyak orang yang hidup dengan menghadapi apa yang ada didepan matanya. Mereka mengerjakan apa-apa yang dibutuhkan saat itu. Memang benar sebuah nasihat lama yang mengatakan "Tuhan memberikan segala yang kita butuhkan. Tidak kurang dan tidak lebih. Pas". Saat perlu teman untuk curhat dan meminta saran, kita punya daftar nama yang bisa kita ketuk pintunya. Merekalah orang terdekat yang siap menjadi pendengar (*yang baik).

Kapasitas otak kita sangat terbatas untuk menyimpan memori kehidupan. Mau tidak mau otak harus selektif memilah mana informasi yang dianggap penting dan mana yang bisa dilupakan. Jika otak manusia yang super canggih memiliki keterbatasan, jiwa dan hati kita pun demikian. Keduanya memiliki kapasitas maksimum menampung beban hidup. Informasi dalam otak bisa dilupakan. Sedangkan isi dalam jiwa dan hati butuh disalurkan secara tepat. Ya. Disalurkan secara tepat kedalam bentuk lain.

Seorang kepala rumah tangga yang mempunyai banyak beban pikiran cenderung sensitif terhadap kesalahan. Apabila melihat ketidakberesan niscaya mampu menyulut emosi negatif. Pelampiasan emosi yang tidak tepat akan merusak hubungan orang tersebut dengan rekan kerja maupun orang rumah. Lain halnya dengan seorang ibu rumah tangga yang satu hari penuh mengurus rumah. Dalam kondisi lelah dan membutuhkan istirahat, ia bisa saja marah-marah dengan mainan anak yang berantakan atau justru memarahi anaknya yang tidak membereskan mainannya. Kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga tersebut sama-sama lelah secara fisik. Munculnya keadaan yang tidak diharapkan memicu rasa kesal dan intoleran terhadap orang lain sehingga membuat mereka menjadi marah.

Emosi yang muncul dari dalam diri seseorang tidak boleh ditahan atau dipelihara. Semua itu hanya butuh disalurkan. Just share it. Bentuk penyaluran emosi dapat berupa kegiatan olahraga, masak memasak, berkebun, atau mengunjungi kerabat. Yang paling mudah dilakukan adalah katarsis, yaitu proses pelepasan ketegangan yang ada dalam diri. Bisa berupa mencurahkan isi hati kepada teman dekat atau menulis buku harian. Dengan katarsis kita akan mengurangi sedikit demi sedikit ketegangan dalam diri. Membagi perasaan kepada orang yang kita percaya akan mengembalikan kepercayaan diri dan mengembangkan pikiran positif. Sehingga langkah-langkah yang akan diambil lebih bijaksana dan bertanggungjawab.

Sebagian orang memandang curhat sebagai suatu aib. Dimana kita menampakkan kelemahan kita (*mungkin juga kelemahan orang lain) didepan orang lain. Namun kita tidak pernah tahu kapasitas maksimum diri kita untuk menanggung beban psikologis yang ada. Alih-alih ingin terlihat kuat, kita justru menyiksa diri dengan tangisan dan amarah yang tertunda. Let's talk about life. Teman mungkin tidak bisa membantu menyelesaikan persoalan kita tetapi mereka menyediakan tempat yang lapang agar kita dapat menyalurkan emosi yang senantiasa tumbuh dalam diri. Jika kita merasa takut untuk berbagi, kita harus memiliki pikiran untuk takut terhadap resiko yang mungkin muncul suatu hari nanti. Kita hanya harus memilih orang yang tepat untuk kita percaya. Mereka adalah orang-orang yang melapangkan diri kita dan membiarkan kita menjadi apa adanya. Mereka bijak untuk menjaga kehormatan kita dihadapan dunia. So, let's talk.

From 26th July 2017

Senin, 31 Juli 2017

The Power of Saying NO

Setiap orang pernah berada dalam kondisi tidak bisa mengiyakan permintaan orang lain. Dalam kehidupan yang serba mudah tanpa disadari, rasa tidak enak kepada teman sejawat atau atasan seringkali membuat kita melakukan hal-hal yang tidak kita kehendaki. Diantaranya adalah hange out ditengah kondisi keluarga tengah berhemat atau membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan karena dipaksa teman. Patti Breitman dan rekannya pernah membuat terbitan dengan judul 'How to Say No Without Feeling Guilty' yang berisi tentang salah satu bentuk assertive training. Mereka memberikan inspirasi dan masukan agar seseorang dapat menolak sesuatu yang tidak sesuai dengan dirinya tanpa merasa bersalah dan tidak enak kepada orang lain. Tulisan ini membuat kita sadar bahwa mengatakan TIDAK bukan berarti sebuah bencana bagi suatu hubungan.

Kata TIDAK merupakan hal yang sangat sulit dilakukan terutama bagi mereka kaum melankolis. Mengapa sulit? Karena kata TIDAK memiliki kekuatan yang membahagiakan dan membahayakan. Kita bahagia jika menolak ajakan teman untuk makan siang ditengah masa berhemat. Dikatakan membahayakan karena kata TIDAK berpotensi menyakiti perasaan orang lain yang berharap kepada kita.

Meskipun memiliki dua sisi berkebalikan, adakalanya kita harus mengatakan TIDAK agar kita dapat menyelesaikan urusan yang lebih mendesak untuk dilakukan dan itu dianggap lebih membahagiakan daripada harus melakukan sesuatu tanpa perasaan ikhlas. Apabila kita melakukan sesuatu dengan terpaksa, kita menjadi terbebani oleh hal tersebut. Makan siang yang semestinya mampu mengembalikan energi justru menambah hal yang tidak diinginkan. Dengan mengatakan TIDAK, kita dapat memangkas segala kesibukan, menciptakan waktu luang dan kepuasan untuk melakukan target kita.

Sekalipun saya belum menemukan penelitian yang mendukung, namun kata TIDAK menjadi bentuk penolakan paling sarkas dan jahat bagi sebagian orang. Dibalik anggapan jahat tersebut, kita tentu memiliki alasan yang masuk akal. Pada prinsipnya sesuatu yang dikerjakan dengan penuh keikhlasan akan berbuah manis. Seperti kita dengan senang hati memberikan sebagian bekal makan siang kita kepada teman sebelah. Kita menjadi lebih akrab dengan mereka dan berpeluang membuka hubungan yang lebih berkualitas. Mengatakan TIDAK pun harus diungkapkan dengan tegas. Kita tidak boleh plin plan dalam menolak. Penjelasan yang masuk akal akan membuat orang lain merasa fair.

Breitman memberikan masukan  bermanfaat bagi mereka yang ingin belajar mengatakan TIDAK dengan lebih baik. Ada 5 hal yang harus diperhatikan agar kita lebih siap mengatakan TIDAK. Kelima hal tersebut yaitu:
1. Semua orang pasti pernah kecewa.
2. Belajarlah untuk menerima jawaban TIDAK.
3. Belajar dari orang lain.
4. Katakan saja.
5. Tirulah orang lain sampai bisa.
Nah, awalnya memang sulit dilakukan. Akan ada rasa canggung, tidak enak hati, takut dan perasaan semacam itu. Tetapi kita bisa memilih untuk terus belajar. Semakin kita memahami konsepnya, kita lebih siap untuk melatihnya step by step.

*tulisan ini sepenuhnya hasil dari membaca dan mengambil poin besar, kalau terasa sangat text book saya mohon maaf :)

Kamis, 27 Juli 2017

Pesan Kematian

Ketika sedang melihat timeline twitter ada sebuah postingan yang menyebut kamboja. Bunga yang lebih akrab dilihat orang didaerah pemakaman ini memang yang saya maksudkan. Siapapun akrab dengan bunga cantik berwarna putih dengan aksen yang berbeda-beda. Ada yang putih dengan aksen kekuning-kuningan. Ada pula yang putih dengan aksen merah muda. Keduanya sama menawannya. Apalagi jika di potret oleh fotografer profesional. Kamboja yang teronggok di atas tanah basah pun mampu membuat mata terpana. Tidak hanya di area pemakaman, kamboja dapat ditemukan di taman-taman kota atau taman bunga.

Di Ende, Flores saya melihat bunga kamboja di sebuah rumah di depan gang basecamp. Satu pohon kamboja yang berguguran bunganya membuat diri merasa terbawa suasana. Penampakan pohonnya berbatang keabu-abuan seperti kering tapi masih bisa tumbuh dengan baik. Daunnya yang hijau lebih sering rontok dan menyisakan bunga yang berjatuhan setiap hari. Saya tidak tahu filosofi bunga kamboja di pemakaman. Sebagian besar pengurus pemakaman muslim di Indonesia menumbuhkan kamboja di banyak sudutnya. Kami menyapa yang punya rumah dengan panggilan No'o. Dalam bahasa Indonesia kita biasa memanggil Bibi, Bulek, Budhe atau Tante pada nyonya rumah. No'o selalu menyapa tiap saya berangkat ke sekolah. Pun ketika saya pergi atau pulang dari bepergian. Beliau ramah dan sering menawari kami untuk mampir sambil mengobrol.

Dibawah kamboja No'o ada makam yang setiap hari kami lewati. Letaknya cukup strategis, di halaman rumah yang tidak memiliki taman atau tanaman lain kecuali kamboja tersebut. Setiap hari kami melewatinya dan melihat kamboja yang bunganya berjatuhan di atas makam. Sesekali pikiran berkelana memikirkan mati ketika melihat bunga-bunga itu berserakan di tanah. Kamboja adalah pengingat kematian. Bahwa segala yang hidup akan mati pada akhirnya seperti gugurnya bunga dan daunnya yang sudah layu. Manusia akan mati. Tanpa tahu kapan, dimana dan bagaimana.

Pertama kali melihat makam dipekarangan rumah, kami sempat parno. Antara berpikir bahwa hal tersebut aneh dan perasaan takut akan kejadian-kejadian mistis. Setelah melihatnya ada di sebagian besar rumah warga, kami mulai terbiasa. Meskipun ada rasa was was ketika mendengar upacara kematian di sebelah rumah saat bertandang ke salah satu kampung. Lonceng Romo begitu nyaring di telinga saat prosesi pemakaman. Perbedaan keyakinan tidak meluluhkan rasa aneh dalam diri. Kami tidak mengimani apa yang mereka yakini. Mereka pun demikian. Hanya saja, yang namanya kematian tetaplah kematian. Menjadi pengingat setiap yang orang bahwa hidup akan diakhiri dengan mati.

Saya berkesempatan mengunjungi Kampung Wolotopo yang 100% Katholik. Jaraknya cukup dekat dari kota kabupaten yaitu sekitar 15 menit perjalanan menggunakan sepeda motor. Kami melihat makam di teras rumah, di samping rumah atau di pekarangan. Bentuknya pun sudah dibuat sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk duduk-duduk di kala siang hari. Nisannya ada yang dihias dengan keramik warna warni dengan gambar Bunda Maria ditengahnya. Ada pula yang polos dan cukup menggunakan adukan semen. Awalnya merasa kikuk untuk duduk bercengkrama diatas makam sesepuh. Karena mereka terbiasa dan menganggapnya tidak apa-apa, kami pun berusaha tidak kikuk lagi.

Lain di Ende, lain pula di Tana Toraja. Saya menginap di rumah seorang kenalan selama 2 minggu di Enrekang yang kebetulan keturunan Toraja, Sulawesi Selatan. Sambil menanti datangnya Idul Fitri, keluarga teman saya berbaik hati membawa saya ke Toraja. Kunjungannya hanya satu malam dan berpesiar hanya ke bukit Yesus dan pasar tradisional di Makale. Tana Toraja memiliki pemandangan yang menakjubkan. Sejuk dengan hutan tropis di kanan kiri. Selain itu persawahan yang menguning begitu semarak menyambut siapapun yang datang. Rumah khas orang Toraja bernama tongkonan yang secara khusus digunakan untuk menyimpan jenazah keluarga. Teman saya berkata 'kami susah payah kerja hanya untuk mempersiapkan upacara kematian'. Ternyata upacara kematian tidaklah semurah yang dibayangkan. Butuh ratusan juta untuk mengurus jenazah keluarga sampai benar-benar dimakamkan. Adik teman saya menceritakan bahwa jenazah kerabat yang baru meninggal disemayamkan selama berhari-hari didalam rumah. Sebelum disimpan di dalam tongkonan atau sembari menunggu upacara kematian kolektif yang diselenggarakan masyarakat adat setempat.

Setelah melihat makam di teras rumah di Ende, kemudian melihat tongkonan yang diperuntukkan bagi jenazah keluarga di Tana Toraja, saya merasa begitu relijiusnya masyarakat kita. Kita betul-betul memaknai kematian sebagai tahap kehidupan yang sakral. Diiringi dengan doa-doa memohon ampunan dan upacara yang khidmat, kita diminta untuk sadar akan panjangnya proses kehidupan. Bahwa setelah kematian, ada masa untuk benar-benar menghadap Tuhan yang Maha Pencipta. Mereka yang telah pergi meninggalkan kita selalu membawa pesan 'innalillahi wa ina ilaihi roji'un' — sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan hanya kepada Nya lah kami kembali — Bagaimanakah kita yang masih hidup menerima pesan itu? Semoga ibadah dan doa-doa yang kita panjatkan diterima Allah yang Maha Rahiim.

Jumat, 21 Juli 2017

Undangan dan Mengundang

Pagi ini pembicaraan seputar kabar pernikahan sedikit menggelitik di akal pikiran. Saya menanyakan perihal undangan dari teman SMA kepada teman sebangku. Awalnya dia bertanya-tanya kemungkinan alasan tidak diterimanya undangan tersebut. Bisa jadi calon mempelai tidak mengundang semua teman satu kelasnya karena sedang merantau. Atau sebab lainnya seperti lupa karena persiapan pernikahan menyita banyak energi dan pikiran. Setelah berkelakar ini itu dan memikirkan hal lain dia merasa bersyukur. Jatah 1 undangan tersalurkan untuk susu anak. Dia lebih realistis mengira bahwa calon mempelai tidak tahu dirinya sudah kembali ke kampung halaman.

Yang mengganjal adalah pesta pernikahan seorang teman sekelas yang simpang siur kabarnya. Yang ditanya tidak pernah menjawab dengan pasti kapan waktunya. Selalu menghindar dan menyediakan jawaban yang menyebalkan. Akhirnya teman saya gondok sambil mengomel di chatt yang dia tulis. Entah karena dia menganggap pertemananya cukup dekat atau hanya ingin tetap berinteraksi (*eksis) dengan teman sekolah.

Dua pernikahan yang merupakan kabar bahagia bagi teman sekelas seyogyanya menjadikan komunikasi lebih berkualitas. Dimana kabar satu teman menjaga keberlanjutan percakapan di grup sosial media. Masa sekarang ditandai dengan kabar pernikahan. Sesekali diselingi wajah-wajah lucu menggemaskan dari mereka yang menikah lebih dulu. Akan ada masanya dimana setiap orang unjuk kesuksesannya. Si A sudah membeli kendaraan roda empat. Si B sudah mengantarkan anaknya masuk SD. Si C, Si D dan seterusnya.

Kembali lagi kepada jengkelnya teman sebangku saya. Rasa jengkelnya ibarat dalam kisah percintaan disebut 'bertepuk sebelah tangan'. Dimana seseorang yang ingin menunjukkan perasaannya ternyata ditolak. Sakit? Tentu. Tetapi apakah itu akan menghambat hidupmu? Saya pikir kita akan melupakan hal-hal yang tidak terlalu penting bagi kita. Ditolak tidak selalu hadir dalam percintaan. Dalam keluarga, ada anak yang ditolak orangtuanya saat meminta dibantu mengerjakan PR. Di sekolah, ada murid yang dibiarkan begitu saja ketika kelakuannya diluar kendali. Di tempat kerja, ada teman yang berusaha join dengan kelompok tertentu tetapi selalu diacuhkan dan tidak pernah dimintai pendapat. Penolakan selalu ada disekitar kita. Kapanpun dan dimanapun. Pada kasus teman saya, dia ditolak calon mempelai (*sebenarnya sudah akad nikah) dengan tidak memberinya kabar berita pesta pernikahan.

Berhubungan dengan teman memang ada tingkat kedekatannya. Ada yang hanya kenal nama. Ada pula yang setiap hari chat di handphone. Ada yang rela datang jauh-jauh untuk mengunjungi temannya. Ada pula yang tidak saling bertemu meski satu kota.

Kekecewaan teman saya karena tidak diundang dan tidak dianggap sebenarnya wajar. Dia memandang 'kita teman, sudah selayaknya saling memberi kabar. Apalagi ini berita besar. Apa salahnya mengirim undangan walau via inbox?'. Dia sangat menghargai undangan dari temannya. Sesederhana apapun pesta pernikahan yang digelar. Dia merasa senang bertemu dengan teman lama sambil bercengkrama tentang kehidupan sekarang.

Teman semacam ini layak dipertahankan sampai kakek nenek. Mereka tidak menetapkan standar yang tinggi dalam pertemanan. Bahkan cenderung royal. Kelemahannya mungkin rasa kepemilikan yang terlampau besar. Sehingga hal mengecewakan baginya akan dianggap sesuatu yang besar dan penting. Padahal ini hanya pesta pernikahan. Hidup akan terus berlanjut. Akan ada anak-anak yang lahir. Kemudian masa kanak-kanak hingga mereka menikah.

Orang yang menikah punya harapannya masing-masing mengenai konsep pernikahan mereka. Teman sekelas yang lain tidak mengadakan resepsi. Yang lain rela mengadakan pesta yang wah demi momen sekali seumur hidup. Perihal undang mengundang pun demikian. Ada kendala teknis seperti lupa, terlalu sibuk dengan waktu yang mepet atau mereka tahu teman-temannya tidak ada dirumah. Perkara yang sederhana bukan?

Ini bukan perkara yang hebat lagi prinsipil. Setiap hari kita mungkin menjumpainya disekitar rumah. Namun kita bisa memilih untuk menganggapnya sebagai bumbu kehidupan. Ada bumbu yang pedas menggoda. Ada yang manis menggigit. Semuanya enak. Kita diminta untuk menikmatinya. Jangan sampai terlalu banyak cabai yang akhirnya membuat perut mulas atau terlalu banyak gula yang akhirnya terkena diabetes. Na'udzubillah.

The last, semoga mereka yang menggenapkan separuh keimanan bisa menggenapkan separuh keimanan lainnya dengan taqwa yang sebenar-benarnya serta sakinah mawaddah dan warahmah kehidupan rumah tangganya. Aamiin allahuma aamiin

Rabu, 19 Juli 2017

I am Not Running Again

Sore ini Fina merengek lagi tentang roomate-nya. Kejengkelannya sudah dipendamnya sejak 6 bulan yang lalu. Ia memiliki teman seruangan yang dianggapnya tidak peka dan hedonis. Alih-alih menarik meja untuk diskusi dengannya, ia memilih untuk kabur atau tetap berada diluar ruangannya sampai benar-benar harus pulang.

Hal ini sangat mengganggunya meski bisa dihindari. Umpamanya kita takut tikus yang memasuki lemari, kita justru menutup rapat dan mengunci lemari tersebut. Kemudian memilih pergi. Bukankah itu tidak membantu sama sekali? Mengapa tidak meminta tolong orang lain untuk memeriksa isi dalam lemari? Atau kita bisa sok berani dengan mengeluarkannya dari sana.

Ditengah kehidupan yang serba mudah dan praktis ini orang-orang lebih memilih jalan yang mudah dilalui. Tidak peduli apakah lebih efisien atau tidak. Tidak mau tahu apakah solutif atau destruktif. Kebanyakan dari kita tidak mau repot menggunakan akal pikiran, tenaga dan waktu untuk menyelesaikan sampai tuntas masalah yang ada.

Fina memilih kabur dan menghindari masalahnya dengan dalih 'tidak mau merusak hubungan yang sudah ada'. Dengan begitu, ia malah menyiksa dirinya sendiri. Ia sadsr bahwa kejengkelannya logis bahwa ketidakpekaan roomate-nya membuat Fina tidak nyaman. Sayangnya, ia memilih 'mundur sebelum bertanding'.

Bagaimana kita hendak membangun sebuah hubungan jika enggan bersikap terbuka? Saling menyapa, pinjam meminjam barang, bertukar cerita, berbagi makanan atau bepergian bersama adalah tanda kedekatan hubungan. Itu pola yang sehat dan dianjurkan. Apabila kita merasa tidak nyaman dengan sesuatu hal, kita bisa mengutarakannya melalui instant messaging, berbicara langsung atau mediasi dengan pihak ketiga. Ketakutan akan retaknya hubungan memang manusiawi. Kita cemas dengan resiko bahwa mereka tidak mau berteman lagi. Kita juga cemas dengan ketidaknyamanan yang ada. Satu hal yang pasti adalah kita tidak bisa memaksakan setiap kondisi akan berjalan baik-baik saja. Akan ada masanya silang pendapat. Pertengkaran itu hal yang lumrah. Dalam sebuah pertemanan kita selalu belajar lebih tahu tentang mereka. Selanjutnya kita akan belajar untuk memahami bagaimana seharusnya sikap kita setelah mengetahui karakter mereka. Hal itu terjadi sepanjang waktu. Suka atau tidak suka.

Ah iya. Ada pertanyaan yang tiba-tiba menggelitik dalam kepala.

'Seberapa jauh kamu menghargai mereka sebagai teman? Apakah kamu mendengarkan ocehan tidak penting dari mereka? Apakah kamu menyapa mereka, menawari cemilan, mengajak hange out?'

Saya pikir semua hal kembali pada diri kita. Bagaimana kita memandang sebuah hubungan, bagaimana menjaganya, dan bagaimana kita menempatkannya dalam hirarki prioritas.

Fina tidak menyatakan dengan terang-terangan bagaimana pandangannya terhadap suatu hubungan. Namun ia merasa telah menjadi korban. Siapa yang akan nyaman dengan perlakuan dianggap remeh, diacuhkan dan tidak dihargai? Dalam 6 bulan kedepan Fina akan tetap bersama roomate-nya. Saya tidak tahu tindakan apa yang akan diambilnya jika temannya tidak berubah. Saya harap dia tidak lari (*lagi) darinya dan lebih bijaksana dalam menghadapinya.

Tetap semangat Fina.

*Namanya disamarkan ya demi kebaikan bersama 👒

Minggu, 04 Juni 2017

INI KELUARGA, BUKAN BADAN USAHA

Meskipun belum berkeluarga, saya memiliki keluarga seperti kebanyakan orang. Ada orang tua, kakak adik dan seorang nenek dari ibu. Keluarga besar kami hidup di kampung dan tinggal dalam jarak yang berdekatan bahkan bertetangga satu sama lain. Peristiwa apapun akan cepat terdengar oleh saudara kami. Keluarga yang sakit, membeli perabot atau kendaraan hingga menu masakan hari ini bisa kami ketahui dengan cepat. Jangan tanyakan bagaimana respon cepat antar keluarga jika ada sebuah kabar. Sigapnya keluarga lebih cepat dari akun BNPB Pusat. Hehe.

Suasana hidup yang bersama tak berarti kami tidak mandiri. Setiap kepala keluarga memiliki fungsinya sebagai pencari nafkah. Istri dan anak bisa membantu dengan bekerja sambilan untuk membantu perekonomian keluarga. Dalam momen pernikahan atau proses kelahiran, keluarga dekatlah yang justru paling lelah membantu ini dan itu.

Apa yang menyebabkan kita begitu dermawan kepada keluarga sendiri? Mengapa kita tidak pernah perhitungan terhadap mereka? Karena kita adalah keluarga, bukan badan usaha yang fokus pada laba. Dalam keadaan senang ataupun sedih, keluarga ibarat rumah yang selalu menerima kita beserta segudang persoalan yang mengikuti.

Nyatanya, kita tidak memikirkan untung rugi saat berbuat baik kepada keluarga sendiri. Apakah kita mempertaruhkan pekerjaan demi menghadiri sebuah pesta, menghabiskan tabungan untuk saudara yang membutuhkan atau mungkin bersedia menelpon dahulu ditengah jadwal akhir pekan yang hiruk pikuk. Saya berpikir bahwa uang habis atau tenaga terkuras habis demi mengurusi keluarga bukan hal yang merugikan sama sekali. Sayangnya kita lebih sering memutuskan untuk travelling ke luar negeri atau piknik ke pulau kecil nan eksotis daripada pulang atau mengunjungi saudara kandung.

Karena keluarga bukan badan usaha yang mengedepankan laba, kita sebagai bagian didalamnya tidak perlu khawatir jika melakukan banyak hal besar dalam hidup demi mereka. Apakah cita-cita hidup akan terhalang karena membantu keluarga? Apakah uang yang habis tidak akan kembali sebagai tetes-tetes rejeki? Apakah kita kehilangan lebih banyak daripada yang kita peroleh? Toh semuanya demi keluarga. Mengapa risau untuk hal-hal yang bisa dilakukan dan memperoleh pahala?

Ditulis sebelum Raamadhan dan diselesaikan 9 Ramadhan 1438 H

Selasa, 09 Mei 2017

Akhir Hidup

Memasuki usia 27 tahun, aneka rupa pertanyaan mengenai hidup semakin meruncing. Tentang pernikahan, keluarga, berbakti kepada orang tua, religiusitas, konsistensi karir dan ranah sosial publik. Bagian mana yang terjangkau lebih dulu. Sisi mana yang masih terseok-seok. Apa yang sudah didapatkan selama lebih dari seperempat abad. Ramainya dunia pertemanan, relasi dan profesionalitas justru menenggelamkan diri pada kuantitas heningan yang semakin sering berkunjung. Bagaimana hidupmu Jilvia?

Sepanjang hidup yang entah akan sampai angka keberapa, kita selalu kurang puas terhadap hasil. Manusia memang tidak pernah puas terhadap suatu pencapaian. Ketika sudah memiliki rumah, kita ingin mengisi garasi dengan mobil. Ketika sudah S1, banyak usia baru menapaki 20an sudah menetapkan target ingin ambil magister atau program profesi.

Pada usia yang masih terhitung belasan, saya pernah memiliki sebuah harapan. Terpengaruh tontonan televisi yang sudah global pada saat itu. Saya berharap jika kematian telah datang, keluarga akan  memakamkan jenazah saya dibawah pohon kamboja. Agar guguran daun dan bunganya bisa menyejukkan gundukan tanah itu. Dimasa labil yang sungguh ceria, saya memikirkan kematian. Darimanapun asal ide itu saya merasa terlalu menjiwai tontonan saya. Sekalipun itu hal yang wajar bagi mahluk yang dijanjikan kepastian mati.

Berdiri diatas kaki sendiri membuat pandangan saya lebih jauh tapi terbatas. Akan menikahi orang yang seperti apa, akan bertemu dengan tetangga yang bagaimana, dan akan akan yang lain masih memenuhi kepala siang dan malam. Krisis seperempat abad sudah berjalan agak jauh. Sayangnya krisis fase berikutnya begitu mengganggu pikiran. Dimana saya akan mati dan dimakamkan? Bagaimana saya membekali anak cucu dengan ilmu? Bagaimana kehidupan mereka setelah saya mati? Ah. Saya terlalu memusingkan hari yang belum tentu jadi hak milik.

Orang-orang berkata kita harus menikmati hidup dan semua partisinya. Tenggelamlah dalam kebaikan dunia, perjuangkanlah akhirat. Tapi apakah kamu memikirkan bagaimana kamu akan mati? Maksudnya dalam keadaan apa nyawa akan tercabut dari jasad?

Pertanyaan seperti itu benar-benar mencekik. Sampai susah tidur. Sunguh-sungguh berpikir.

Jilvia Indyarti 👒

Selasa, 25 April 2017

Terimakasih

Terimakasih,
Karena dalam banyak kesempatan kamu begitu baik terhadapku.
Karena dalam setiap luka yang kamu berikan, aku selalu bisa berpikir jernih untuk tidak membalasnya dengan keburukan.

Terimakasih,
Karena aku bisa mengenal seseorang yang mampu menunjukkan kesalahanku. Orang lain hanya memujiku dan mengagumi keberanianku. Tetapi kamu justru menghinaku dengan sarkasnya.

Kamu berkata kita bisa menjadi teman setelah hari ini. Sungguh lega mendengarnya. Maka aku memilih untuk memenuhi permintaanmu. Menjadi teman baik pun adalah penghargaan besar bagiku. Sejak saat itu aku mulai menanamkan dalam otakku untuk memaafkan segala macam ejekanmu. Aku harus berpikir bahwa persimpangan yang kita temukan justru membawa perbedaan rute dan itu tidak jadi soal. Toh dunia tidak seluas yang kita bayangkan. Aku mulai menumbuhkan niat untuk menjadi teman baikmu. Jika suatu saat kamu memanggil atau membutuhkan bantuan, aku akan disana. Meskipun hanya melihatmu dari kejauhan atau berdiri dihadapanmu dan tersenyum.

Menjadi temanmu, aku tidak merasa berkecil hati. Mungkin dulu cinta begitu egois. Perlahan, hatiku mulai lapang. Udara bisa memasuki ruang-ruang didalamnya. Aku hidup kembali setelah kemarahan membuat penuh sesak dan aku kehilangan kendali.

Terimakasih.
Maafkan aku yang belajar sangat lambat. Apakah kamu masih mau menjadi temanku? Aku bukannya terlanjur putus asa dan tidak menemukan orang lain sehingga menanyakan hal itu. Bagiku, permintaan itu ibarat sebuah kepercayaan. Mana bisa aku menolaknya? Seburuk apapun diriku, aku tidak ingin mengecewakan kepercayaan orang terhadapku. Karena aku tahu menumbuhkan rasa percaya bukan hal yang mudah.

Terimakasih,
Aku tidak tahu apakah aku bahagia atau tidak saat ini. Apakah aku akan baik-baik saja atau tidak esok hari. Yang aku tahu, aku memiliki seorang teman disana. Aku tidak mengkhawatirkan apa-apa lagi sekarang.

Rabu, 19 April 2017

Selamat Datang Gubernur (DKI Jakarta) Baru

Demam politik ibukota negara mengalahkan isu nasional dan lokal seantero negeri. Sebagian isu tenggelam entah untuk sementara atau selamanya. Energi, waktu dan usaha banyak terkuras untuk pilkada DKI. Orang yang punya hak pilih dan memiliki calon idaman boleh saja bicara dan berharap realistis terhadap momen tersebut. Namun tidak lantas menutup diri dan mencemooh opini dari warga luar Jakarta. As we know, ibukota negara memiliki porsi yang lebih besar dalam berbagai hal daripada kota lainnya. Anggaran pembangunan, kesempatan kerja, permasalahan sosial, kriminalitas, hingga sektor wisata bersatu padu menciptakan nuansa khas kota metropolitan. Wajar dan sah sah saja jika banyak opini dan analisis ilmiah dari berbagai kalangan untuk Jakarta. Rasa kepemilikan sebagian orang atas Jakarta sebagai ibukota negara memunculkan kepedulian untuk sekadar berbicara.

Hasil hitung cepat yang ditayangkan stasiun televisi swasta menyebutkan paslon norut 3 mengungguli paslon norut 2. Selisihnya lebih dari 10%. Dengan legowonya ucapan selamat mengalir dari paslon petahana. Meskipun rilis resmi dari KPU belum diterbitkan, masyarakat Indonesia pada umumnya dan Jakarta pada khususnya sudah percaya dengan lembaga survei yang memberikan hasil pilkada. Kita belum lupa dengan pilpres dan pilkada serentak beberapa waktu yang lalu dimana lembaga survei memberikan gambaran hasil pencoblosan dengan cepat. Layar di televisi mulai menampilkan hasil penghitungan di TPS sampel pada siang hari dan menjelang malam sudah terlihat hasilnya hampir 100%.

Terlepas dari demam pilkada dan quick count, kita tentu menyambut gubernur baru dengan harapan baru. Siapapun paslon pilihan kita dan sekecil apapun respect kita pada paslon terpilih, harapan itu selalu ada. Kecewa dengan paslon kita yang kalah merupakan hal yang wajar. Bangga dengan pencapaian hasil penghitungan suara juga tak bisa terbantahkan. Dalam dua kondisi itu kita selalu menemukan harapan kepada gubernur baru. Tentang kemajuan pembangunan kota, kesejahteraan warga, keamanan dan ketenangan serta kemudahan dalam beraktivitas. Sekalipun tidak memiliki hak pilih dalam pilkada DKI Jakarta, saya menaruh harapan yang besar bahwa gubernur terpilih mampu membangun Jakarta lebih baik lagi. Kita bisa melihat Surabaya yang dinahkodai Bu Risma atau Pak Ridwan Kamil di Bandung yang mengangkat nama kota masing-masing menjadi lebih baik di mata publik. Mereka gigih membangun citra positif dan rasa bangga dalam diri warganya. Kerja keras itu tidak hanya berasal dari sosok pemimpinnya saja melainkan seluruh jajaran pemerintahan yang kompak untuk maju bersama. Jakarta telah menemukan pemimpinnya yang baru. Gaya yang berbeda dan khas akan muncul. Kebijakan baru akan diterbitkan dan disosialisasikan. Kita akan kembali bekerja atau sekolah lagi besok. Seperti jargon Pak Ahok, 'Kerja Pagi' dengan mulai 'Berlari untuk Berbagi' (*tulisan di t-shirt Pak Sandiaga). Kontribusi kita tidak hanya sumbangan suara tapi lebih dari itu. Apa yang bisa kita lakukan? Banyak. Seperti bekerja dengan sebaik-baiknya, buang sampah pada tempatnya, memberi masukan kepada pemerintah, menggunakan kendaraan umum ke kantor, menjaga keamanan di lingkungan rumah, dan sebagainya. Itu hal-hal kecil yang bisa kita lakukan sehari-hari.

Pak Ahok berkata #JakartaPunyaSemua yang dibutuhkan warga untuk bangun dan membangun Jakarta. Yang kita butuhkan adalah kerja pagi dengan mulai berlari untuk berbagi. Saya bukan warga Jakarta tapi saya peduli dengan perkembangan Jakarta. Tinggal selama beberapa bulan di Jakarta menciptakan keterikatan emosional dalam diri saya. Hiruk pikuknya selalu membuat semangat dalam menjalani hidup. Jakarta keras, banyak orang berkata demikian. Disana kamu hanya ingin bekerja sebaik-baiknya sebagai apapun itu. Jakarta punya semua untuk membangun manusia dan budayanya.

Setelah ritme lari kembali normal, kita akan kembali ke Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur yang tengah bersiap menyambut tokoh terbaiknya tahun depan. Seperti Jakarta yang mendapat dukungan dari banyak pihak, kami pun ingin didukung secara sehat dalam mencari pemimpin daerah yang membangun manusia dengan manusiawi dan menciptakan peradaban yang lebih baik. Doakan kami!

Jumat, 31 Maret 2017

Traveller dan "Daerah Abu-Abu"

Sore ini, diajari percaya kepada orang lain dan sabar menghadapi sesuatu. Seorang laki-laki yang mungkin umurnya tidak beda jauh dengan saya hendak menuju satu tempat. Dia bertanya kepada kondektur bus tentang tempat tujuan. Terlihat agak cemas karena ekspektasi rutenya tidak seperti bayangannya, tangannya aktif memegang smartphone dan menghubungi seseorang. Sepertinya baru pertama kali melewati rute ini dan berasal dari tempat yang jauh. Dalam percakapan telponnya diperkirakan dia berasal dari Jawa Tengah bagian selatan.

Kondektur bus sempat membercandai si laki-laki. Meskipun demikian, nampaknya dia justru semakin panik. Sebagai penumpang paling cantik, saya menyimak dengan seksama. Ingin tertawa tapi merasa tidak etis. Tujuannya saya tahu persis sudah tidak jauh. Suasana kian dramatis ketika matahari mulai turun dan kondektur belum memberikan kode. Karena Tuhan Maha Penyayang, tibalah di kawasan yang dimaksud. Kondektur berteriak semangat dan si laki-laki segera bersiap turun. Matahari semakin rendah di tepi barat. Sementara tujuan saya masih lumayan jauh.

Well, saya masih bisa berkata 'Hello, ini masih di Jawa lho ya Mas  Yang kendaraan umumnya bejibun dan orangnya beraktivitas dimana-mana'. Kita sering merasa takut, cemas, dan khawatir terhadap segala sesuatu yang tidak kita ketahui. Arah, nasib, kesempatan bahkan perasaan yang masih abu-abu memberikan alasan terbaik untuk membuat kita cemas. Apakah akan segera sampai? Apakah ada kesempatan untuk berusaha lagi? Apakah perasaan ini dibalas? Dan deretan apakah-apakah lain yang kian menggelisahkan. Kemudian tidak ada hal yang dapat kita lakukan selain terus melaju dan bersabar. Pertanyaan 'apakah' yang mencuat akan terjawab misalnya dengan 'kamu sudah sampai', 'selamat Pak, anda dipromosikan', atau 'mungkin kita belum berjodoh'. Sebahagia atau sesedih apapun jawaban yang kita dapatkan toh sudah menghilangkan ketakutan kekanak-kanakan yang akut. Kita bersyukur, bahwa kecemasan singkat itu menjadi cerita konyol dimasa depan.

Semakin sering kita takut, seyogyanya semakin membuat kita belajar untuk tetap tenang dalam hidup. Setiap peristiwa bisa dikisahkan dan setiap kisah mengandung hikmah. Hari ini mungkin kita merasa kesal tapi esok atau besok kita akan menertawakan ketakutan tersebut. Ketika menggelandang ke Celebes, saya sejujurnya takut. Bepergian seorang diri ke tempat yang sama sekali belum pernah dikunjungi benar-benar mengerikan. Kamu tidak tahu angkutan umum, kamu tidak kenal siapapun, dan kamu tidak bersama siapapun. Yang bisa kamu lakukan adalah bertahan hidup dengan berani bertanya dan berusaha. Saya bertanya, merepotkan banyak orang dan saling bertukar cerita dengan orang sana. Ada yang memandang takjub. Ada pula yang sampai khawatir berlebihan dengan menasehati ini itu. Faktanya, mereka sangat ramah kepada pendatang atau pelancong. Sebagai pelancong saya merasa di terima dengan baik di kota terbesar di kawasan Indonesia bagian timur tersebut.

Bukan hanya sampai Makattah (*sebutan lama untuk Ujungpandang/Makassar), tetapi diijinkan sampai Tana Toraja dan menghirup sejenak udara sejuknya. Disana saya memperoleh keluarga baru yang baik hati menerima saya selama 2 minggu. Pengalaman ketiadaan air seperti di NTT, mandi di kali yang benar-benar gila atau menaiki bukit berbatu yang terjal dengan nekat. Semuanya sangat diluar ekspektasi dan tetap menyenangkan. Kuncinya kita harus berani untuk berpetualang yang serba tidak pasti. Kita juga harus berani mendapatkan hal-hal yang jauh dibawah ekspektasi. Akhirnya kita mendapatkan pengalaman baru dengan bertemu orang baru. Semangat kembali terisi dan kita siap menjalani rutinitas.

Semoga menginspirasi untuk pergi lagi :)🙂

Rabu, 29 Maret 2017

Prinsip dan Prioritas

Suatu sore ada seorang ibu yang mengantarkan undangan pernikahan ke rumah. Karena masih satu komplek, tanpa basa basi beliau menyodorkannya kemudian bergegas pergi dengan setumpuk undangan lain. Bentuk undangannya ternyata sangat sederhana.

Dulu saya dan teman-teman sering berseloroh "Besok aku bikin undangan kaya undangan rapat di balai desa. Modal potokopi doang, sebar". Sontak kami pun tertawa karena seterbatas apapun kemampuan ekonomi masyrakat kami, undangan paling tidak menggunakan kertas yang agak tebal. Entah itu undangan paling murah di percetakan atau undangan yang mirip undangan pesta ulang tahun anak-anak. Undangan seperti ini dijual di toko-toko ATK. Bentuk fisiknya seperti undangan biasa. Hanya saja ada bagian yang harus kita isi nama pengantin, waktu resepsi, nama keluarga dan alamat yang dituju. Kalau undangan yang ditulis ada 200 buah, otomatis kita menulis sebanyak itu. Harganya lebih murah dibandingkan dengan undangan yang harus memesan di percetakan. Warna, ukuran, motif/gambar yang ada bisa pilih sesuka hati (*dengan catatan ada di stok). Satu-satunya kelemahannya adalah butuh kekuatan ekstra untuk menulis sejumlah keperluan pengantin. Sayangnya, kemajuan dunia percetakan menggerus model undangan tersebut.

Kembali ke fokus pembicaraan.

Undangan ini seperti undangan pada umumnya. Ukurannya normal bagi sebuah undangan dan disampul plastik. Hanya saja, undangan ini di fotokopi. Ya. Difotokopi dengan kertas F4 warna kuning kemudian dimasukan ke dalam plastik transparan. Tertegun. Dalam hati terbersit pertanyaan "Apa karena masih 1 komplek?". Sekali lagi, di kampung saya lebih berat tuntutannya. Andai saya ingin mengadakan pesta pernikahan, minimal saya menggunakan undangan yang dijual di toko atau memesan undangan paling murah dipercetakan. Selain itu, urusan sajian bisa diatur ala kadarnya dengan menu yang biasa disantap orang kampung. Maka pinjam meminjam beras, tepung, gula dan sebagainya sudah biasa terjadi. Setelah pesta usai, penyelenggara mengembalikan semua pinjaman dari amplop yang diterima.

Orang ini, sungguh percaya diri di tengah kehidupan kota pinggiran yang keras. Ia mampu menampilkan dirinya tanpa merasa malu akan dikucilkan. Pun ia menghargai tetangga dengan tetap mengundang ala kadarnya. Dewasa ini sangat jarang orang yang menunjukkan eksistensinya tanpa ribut dengan penilaian orang. Dibalik semua itu, ada banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi. Misalnya karena jarak yang dekat, budget terbatas, keinginan pribadi dan sebagainya. Saya sendiri melihatnya sebagai sebuah kejujuran untuk menunjukkan diri tanpa berlebihan dalam bersolek.

Kita senantiasa ingin tampil baik didepan semua orang. Dalam segala hal meliputi cara berpakaian, aksesoris, tutur kata, gaya hidup, dan lingkungan sosial.

Standar yang berlebihan bukan sekadar tuntutan pribadi melainkan harapan berlebihan dari semua orang. Keduanya membuat kita selalu berusaha untuk tampil sempurna dan sesuai dengan harapan orang-orang. Kondisi tersebut membuat kita menambah alokasi anggaran demi menunjang penampilan. Pakaian, kosmetik, aksesoris dan kendaraan yang layak publish dibanggakan. Bukan hanya dalam hal personal tapi juga dalam hal hunian dan perabot yang dipaksa akselerasi demi harga diri.

Realita yang ada di sekitar kita menunjukkan tidak semua orang berpenghasilan cukup. Beberapa orang memiliki trik dengan mengurangi pengeluaran dibidang lain. Yang lain rela menerapkan sistem kredit untuk barang tertentu.

Apa yang sebaiknya kita lakukan untuk tidak menuruti pencitraan yang berlebihan?

Kita bisa memilih jadi diri sendiri yang apa adanya atau menjadi orang lain yang tidak pernah selesai mewujudkan harapan semua orang. Kita ingin membahagiakan semua orang tetapi yang bisa kita lakukan adalah melakukan usaha terbaik. Menjadi diri sendiri memang memiliki tantangan yang tidak mudah. Namun menjadi sosok ideal yang diharapkan juga bukan solusi jitu. Just be yourself. Ditengah kehidupan bermasyarakat yang keras kita hanya diharuskan memberikan yang terbaik dari apa yang kita miliki. Tentu akan sangat merepotkan jika terus menerus menuruti harapan orang lain. Pun terkesan tidak menghargai jika kita memberikan sesuatu yang asal. Maka dari itu, prinsip hidup memiliki peran untuk mendasari tindakan kita. Prinsip tersebut seperti membantu tetangga yang membutuhkan, membagi makanan yang kita masak, atau membiarkan anak-anak bermain bersama. Selayaknya kita tidak latah untuk berperilaku dan berpenampilan seperti trend kekinian. Selain menghindari diri dari sifat latah alias ikut-ikutan, kita tentu memiliki prioritas dalam hidup. Diantara prioritas tersebut antara lain membeli rumah/memperbaiki bagian yang rusak, menyiapkan dana pendidikan anak, umrah/haji, investasi kesehatan, kendaraan dan kebutuhan sehari-hari. Sebab kalau kita selalu ikut-ikutan trend kekinian, bukan tidak mungkin kitalah yang menjadi korban. Misalnya kebutuhan untuk membeli perabot yang dibutuhkan keluarga justru tertunda gara-gara membeli barang yang tidak begitu mendesak.

Bijak dalam menjadi diri sendiri tidak membuat kita buruk. Dengan menjadi diri sendiri yang memiliki prinsip dan prioritas kita tidak terbebani dengan pandangan orang lain. Mereka tidak akan ambil pusing dengan sikap kita jika komunikasi yang sehat kita tumbuhkan. Orang yang berprinsip sudah tahu apa yang diinginkan dalam hidup baik jangka panjang maupun jangka pendek. Sehingga tidak perlu memasang telinga dan mata 24 terhadap sangkaan orang sekitar.

Rabu, 22 Maret 2017

Aloha Ully Bontot

Oke, untuk perempuan yang berdiri disebelah saya. Mungkin kamu gak punya instagram atau bahkan gak tertarik sama sekali soal dunia diluar nyatamu. Pun nomor telponmu saja aku gak punya. Tapi demi melampiaskan emosi yang mendera, aku coba mengutarakan apa yang terasa sekarang.

Faktanya, aku bukan teman yang terbaik bahkan untuk membantumu aku bukan orang-orang yang pertama sigap. Kamu justru seringkali membantu dalam penyelesaian tugas kuliah, menyemangati saat masa skripsi, dan menemani keliling Semarang berkali-kali. Dulu pernah berpikir, kamu memang begitu. Sekarang aku sadar, syarat yang aku bebankan sebagai teman yang loyal terlalu tinggi buatmu. Maka kamu terlihat kurang terbuka, keras kepala atau cenderung malas-malasan. Seharusnya aku minta maaf dari dulu. Konyolnya, baru sekarang terbersit pikiran semacam itu.

Ya. Hari ini dan hari- hari yang telah lewat aku sudah merasa rindu dengan kamu. Baru mau 3 tahunan sih ya. Tapi kamu yang tanpa kabar selalu berhasil membuat penasaran. Ya. Penasaran. Aku pikir rindu atau semacamnya. Ternyata hanya penasaran belaka. Penasaran bagaimana hidupmu sekarang, penasaran bagaimana keluargamu, penasaran bagaimana rupa wajahmu, dan penasaran-penasaran lain yang berkembang pasti.

Hai, kamu apa kabar? Aku bahkan lupa menanyakannya. Mudah-mudahan kamu baik dan sehat. Maaf atas semua perlakuan yang kurang menyenangkan selama tahun-tahun pertemanan silam. Aku tahu ada banyak hal yang tiap harinya kamu lakukan dan pikirkan ketimbang mengingat-ingat teman kuliahmu. Aku juga sekali dua kali terpikir tentang kamu. Gak menjanjikan rindu, tapi kamu tetap tinggal untuk dikenang sebagai teman baik.

Kalau ada yang menyampaikan curhatan ini sama kamu, aku berterimakasih sekali. Kalau gak ada pun, aku cukup lega mengucap nama kamu di salah satu harapan. Semoga kamu bahagia.

Minggu, 19 Maret 2017

Freeze You Out

— Jangan pernah lari dari apapun. Kamu tidak bisa membantu apa-apa dengan itu semua dan orang lain pun tidak bisa membantumu —

Seketika Nazuma berhenti mendengar Kashiwagi sensei mengucapkannya. Kemudian sadar bahwa yang bisa dilakukannya kini adalah bernyanyi sebaik-baiknya untuk memberikan kabar baik bagi guru yang dihormatinya.

Jangan lari lagi, dari siapapun dan apapun. Hadapilah. Sesakit apapun rasa sendirimu. Semenyakitkan apapun perlakuan orang yang tak sengaja melukaimu. Karena tidak semua hal baik harus terjadi. Kadang kita melalui masa yang abu-abu. Tidak bahagia. Pun menderita. Tapi tidak semengerikan sebuah bencana. Ada masa dimana kita diminta berjalan terus dengan kuat. Kita diharuskan melupakan sisi rasa dan rupa diri. Lupakan sejenak kita sangat perasa. Hingga badai berlalu, hingga matahari bersinar lagi dengan hangat.

I am not running again. Even though i'm scared baby. And i won't freeze you out like i have been [ Sia. Freeze You Out ].

*Terinspirasi dari lagu barat dan film Jepang.

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...