Senin, 25 Desember 2017

Nurani di TransJakarta

Kemarin 22 Desember di TransJakarta,

Seorang Ibu masuk kedalam bus yang sudah penuh. Kebetulan saya duduk di belakang dan campur aduk antara bapak ibu tua muda. Ada yang beruntung dapat hot seat. Ada yang kuat untuk berdiri sambil memandangi kemacetan diluar bus. Ditengah modernitas ibukota yang semakin dewasa, mbak-mbak disebelah saya berdiri memberikan kursinya untuk seorang ibu. Selang beberapa menit kemudian masuklah ibu berumur hampir 50 dan saya melakukan hal serupa.

Banyak ketidakdewasaan dalam kehidupan dikota besar. Junkfood, overwork, hedonisme, dan individualis menyapa setiap hari di setiap ruang. Dengan masa bodoh orang yang ketus akan berkata "Gue kerja banting tulang  dari pagi sampe malem dan dapet duit, suka suka gue duitnya bakal gue apain". Kerasnya tuntutan hidup dan semua serba diukur dengan "Berapa Bang?", membuat masyarakat super realistis. Ada harga yang harus dibayar untuk setiap keinginan. Jika anak Anda ingin es krim, tak perlu susah payah. Banyak penjual yang berkeliling ke komplek perumahan. Warung atau kios pun menyediakan es krim dengan harga yang terjangkau.

Kemarin, sang Ibu yang saya tawari kursi buru-buru mengambil barang bawaan saya. Katanya 'Biar sini saya pegangi kantongnya'. What a relieve. Entahlah, saya merasa trenyuh. Kadangkala suasana dalam bis yang saling diam membuat saya menikmatinya. Semua orang sibuk dengan gadget pribadi. Adakalanya mereka sibuk menikmati kelelahan, tertidur. Mau tidak mau saya dibiasakan untuk tidak mengusik orang lain yang tidak berhubungan dengan saya. Sekalipun pada dasarnya saya juga tidak suka mengusik kehidupan orang lain. Tinggal diibukota tidak melunturkan harapan saya bahwa masih banyak kepedulian disini. Benarlah faktanya jika kehidupan tak melulu berkisah tentang kerasnya ujian atau giatnya usaha dan persaingan yang ketat tidak kenal ampun. Mereka yang memenuhi bus, kereta, angkot atau menggunakan moda transportasi online masih manusia berhati yang ramah jika disapa dan ditanya baik-baik. Mereka yang memasang muka datar dibalik pintu kaca dan hectic dengan list whatsapp di smartphone masih manusia biasa yang bisa jadi memiliki kepedulian yang lebih besar dibandingkan kita.

Ibu-ibu yang baik hati dan mbak-mbak yang langsung berdiri memberikan kursinya adalah bukti nyata tak terbantahkan bahwa ada hati yang tetap tumbuh meski berhadapan dengan masalah yang terus datang. Keduanya adalah perempuan yang memilih menyelamatkan kaumnya dalam artian yang sangat sederhana. Saya yakin berdiri didalam bus ditengah kemacetan Jakarta merupakan situasi yang tidak diinginkan semua orang. Penumpang pasti berharap mendapatkan tempat duduk. Namun banyak orang memilih untuk mendengarkan nurani mereka ketimbang bergulat dengan keegoisan diri.

Inilah masyarakat yang tumbuh ke fase yang lebih dewasa. Mematuhi aturan lalu lintas, saling membantu orang yang kesulitan, menghargai hak-hak pribadi, dan bersikap ramah dengan orang lain merupakan budaya baik. Harapannya budaya yang semakin matang dan dewasa ini menjalar ke seluruh kota hingga desa-desa. Lalu semua orang merasa nyaman karena ada perasaan didukung komunitasnya dengan budaya yang tumbuh dewasa.

Mudah-mudahan Jakarta bahagia, manusianya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...