Rabu, 27 Desember 2017

Sombong dan Gosong

Pagi itu cuaca terasa sejuk berada di pedalaman Flores yang terbilang "udik" (*bahasa orang lokal). Agenda kami di dapur belum selesai dan menyisakan beberapa pekerjaan. Bayangan dapur di tlatah Flores mungkin tidak seperti kebanyakan dapur di kota besar. Di komplek asrama guru, teman saya tinggal dengan seorang ibu guru senior. Karena saya berkunjung, guru tersebut mengerjakan aktivitas lain kala itu.

Waktu sudah menunjukan pukul 6 lebih. Murid-murid sudah meramaikan sudut sekolah dengan teriakan khas remaja. Di dapur yang terbilang kecil kami memasak dengan tungku. Oh ya, di pusat Kabupaten Ende kami jarang menemukan rumah yang menggunakan gas elpiji sebagai bahan bakar. Apalagi di pedalaman dengan oto yang tidak setiap hari lewat untuk mengantarkan warga ke pasar di pusat kota. Hari itu tugas saya cukup sederhana yaitu menjaga api agar tetap menyala.

Di sebelah dapur ada ruang terbuka berbentuk panggung yang digunakan untuk mencuci sayuran dan perabot. Dapur utama pun konsepnya panggung dengan menggunakan bilik bambu sebagai dindingnya. Teman saya mencuci beberapa perabot yang akan digunakan untuk memasak. Dia berkelakar "Nih, Kak Jil lihatin ya. Pantat panci yang gosong begini bisa aku jadiin kinclong seperti baru lagi". Saya refleks tertawa mendengar pernyataannya. Fakta yang saya alami selama mencuci pantat panci adalah sangat sulit untuk membersihkan noda gosong akibat penggunaan kayu bakar pada tungku. Pasti membutuhkan waktu dan sabun atau sabut khusus perontok noda hitam tersebut. Itu pun belum tentu bersih dalam sekali dua kali gosok. Sembari menjaga api tunggu dan menggosok panci, kamu berbincang macam-macam hal dengan renyah.

Lima menit, sepuluh menit. Dia tidak tahan. "Mbak, kok iki gak iso kinclong yo? Biasane gampang eg". Dia masih dilanda cemas karena panci sulit dibersihkan meski sudah digosok berkali-kali menggunakan abu, sabun dan sabut kelapa. "Makanya jangan sombong. Niatnya jelek sih". Mukanya sedikit membenarkan ucapan saya yang agak meledek. Saya meraih panci tersebut dan mengambil alih misi mengkinclongkan panci.

Dari pengalaman tersebut, niat menjadi kunci utama dari setiap amal perbuatan. Dalam hadist, semua hal tergantung pada niat orang yang mengerjakannya. Orang yang niatnya mencari ilmu di kampus, akan mendapatkannya ketika lulus nanti. Orang yang niatnya mencari pengalaman, akan mendapatkan pengalaman. Dari kejadian teman saya, mungkin niatnya terdistorsi dengan keinginan untuk memperlihatkan sesuatu yang sulit untuk dilakukan kebanyakan orang. Dia mengaku sudah sering menggosok panci dan berhasil membuatnya kinclong (*tapi tidak seperti baru beli di pasar ya). Tak disangka, kali ini panci yang digosoknya sedikit bandel dan butuh perjuangan ekstra. Apesnya dia terlanjur omong besar didepan saya sebelumnya. Melihat wajahnya yang kecewa saya tidak tega untuk berkomentar banyak. Saya yakin dia tidak sejelek itu niatnya. Hanya ingin memperlihatkan keahlian yang dimiliki pada tamu yang datang berkunjung agar terkesan.

Setiap mengingat kejadian itu saya masih tersenyum. Bukan soal niat tetapi melihat wajah teman saya yang lucu ketika manyun gosokan pancinya yang belum berhasil. Meskipun demikian, Ibu guru senior mengapresiasi kerja kami pagi itu. Disela waktu mengajar beliau banyak bercerita tentang budaya lokal, keluarganya, dan kejadian-kejadian di sekolah selama beliau mengajar. Kami pun diundang untuk berkunjung ke rumahnya yang ada di kota. Jangan tanyakan hasil gosokan panci saya. Setidaknya saya harus belajar untuk tidak banyak omong besar.

Just do it, kata teman sesama aktivis saya dulu.

Senin, 25 Desember 2017

Lampu Hidup

Bagi mereka yang memahami esensi dari keberadaan Alquran, ia seperti lampu yang ada dirumah kita. Terangnya dalam gelap memandu kita agar tidak terantuk dan jatuh. Dengannya kita bisa membaca, bercengkrama dengan keluarga, atau melakukan berbagai aktivitas pada malam hari. Ada yang pernah berkata 'Kalau kamu sedang ada masalah, bukalah Alquran. Yakinilah. Maka kamu akan temukan jawaban atas permasalahanmu'. Aplikasi Alquran harian yang saya miliki di handphone ternyata banyak yang pas dengan kondisi keseharian saya. Tentang berbuat baik kepada sesama, balasan atas amal perbuatan kita kelak di akhirat, atau janji Allah kepada mereka yang ingkar.

Keberadaan Alquran sebagai lampu hidup bukanlah sekadar memilikinya dirumah dan memajangkan di lemari kaca. Melainkan membacanya, merenungi setiap ancaman dan teguran didalamnya, lalu menghidupkannya dalam tingkah laku sehari-hari. Lihatlah bagaimana akhlak rasulullah digambarkan sebagai Alquran. Semuanya tercantum dalam Alquran. Apabila tidak sesuai dengan ketentuan Allah, nabi diberikan teguran. 

Hanya dengan memiliki sebuah lampu, perasaan kita akan jauh lebih tentram. Entah lampu itu akan kita nyalakan atau tidak. Entah kita benar-benar menggunakannya atau hanya memilikinya. Namun kita selangkah didepan daripada mereka yang tanpa bekal dan persiapan.

Lagi-Lagi Soal Energi

Sore itu cukup terik di waktu musim penghujan ujung tahun. Baru sampai di rumah kakak, saya dikirimi foto yang nuansanya natural oleh atasan. Saya memaksakan diri untuk bertanya 'Yakin Pak yang ini mau dicetak?'. Untuk ukuran bawahan yang belum berpengalaman, saya bisa dibilang berani. Beberapa kali kesempatan saya menanyakan hal-hal pribadi seputar keyakinan, sesekali mengajak bermain kokologi atau menimpali 'kalau lapar makan Pak' dengan ekspresi datar ketika mendengar beliau mengeluh lapar.

Foto yang dengan seksama saya amati menggambarkan koordinasi antara atasan dan bawahan lantas mengingatkan saya pada sebuah percakapan. Pada hakikatnya energi seorang pemimpin menular ke semua orang. Mulai dari orang yang mengerjakan hal paling sederhana seperti office boy hingga ahli pajak, konsultan hukum dan pucuk pimpinan. Semua terkena imbas dari kesemangatan pemimpin tanpa terkecuali. Begitupun saya. Ketika pemimpin saya berapi-api, gerakan saya menjadi lebih berani dan optimis. Apa yang sekiranya sulit dan mustahil kemudian dikuatkan dengan kalimat 'Benar kan? Apa saya bilang, Allah pasti bantu orang-orang yang punya niat baik'. Lalu lahirlah harapan yang sehat dalam diri semua orang.

Kata ahli fisika, energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan tapi dapat berubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi yang lain. Yang saya yakini bahwa energi pemimpin bisa menular merupakan suatu kenyataan. Semangat adalah energi pemimpin. Lalu berpindah ke bawahan menjadi sebuah kerja keras, rasa yakin dalam diri kalau kita bisa menghasilkan sesuatu yang berharga. Dengan itu semua, pemimpin dan bawahan akan saling mendukung satu sama lain.

Kembali melihat ke dalam foto. Betapa takzim Bapak berusia 50an mendengarkan arahan dari pemimpinnya. Isinya tidak melulu soal hal strategis. Malah lebih sering hal teknis lapangan yang membutuhkan pengalaman dan perhitungan. Ketika kepatuhan menjadi nafas dari bawahan dan rasa tanggungjawab menjadi dasar pemimpin bergerak, apa yang akan terjadi kemudian?

Nurani di TransJakarta

Kemarin 22 Desember di TransJakarta,

Seorang Ibu masuk kedalam bus yang sudah penuh. Kebetulan saya duduk di belakang dan campur aduk antara bapak ibu tua muda. Ada yang beruntung dapat hot seat. Ada yang kuat untuk berdiri sambil memandangi kemacetan diluar bus. Ditengah modernitas ibukota yang semakin dewasa, mbak-mbak disebelah saya berdiri memberikan kursinya untuk seorang ibu. Selang beberapa menit kemudian masuklah ibu berumur hampir 50 dan saya melakukan hal serupa.

Banyak ketidakdewasaan dalam kehidupan dikota besar. Junkfood, overwork, hedonisme, dan individualis menyapa setiap hari di setiap ruang. Dengan masa bodoh orang yang ketus akan berkata "Gue kerja banting tulang  dari pagi sampe malem dan dapet duit, suka suka gue duitnya bakal gue apain". Kerasnya tuntutan hidup dan semua serba diukur dengan "Berapa Bang?", membuat masyarakat super realistis. Ada harga yang harus dibayar untuk setiap keinginan. Jika anak Anda ingin es krim, tak perlu susah payah. Banyak penjual yang berkeliling ke komplek perumahan. Warung atau kios pun menyediakan es krim dengan harga yang terjangkau.

Kemarin, sang Ibu yang saya tawari kursi buru-buru mengambil barang bawaan saya. Katanya 'Biar sini saya pegangi kantongnya'. What a relieve. Entahlah, saya merasa trenyuh. Kadangkala suasana dalam bis yang saling diam membuat saya menikmatinya. Semua orang sibuk dengan gadget pribadi. Adakalanya mereka sibuk menikmati kelelahan, tertidur. Mau tidak mau saya dibiasakan untuk tidak mengusik orang lain yang tidak berhubungan dengan saya. Sekalipun pada dasarnya saya juga tidak suka mengusik kehidupan orang lain. Tinggal diibukota tidak melunturkan harapan saya bahwa masih banyak kepedulian disini. Benarlah faktanya jika kehidupan tak melulu berkisah tentang kerasnya ujian atau giatnya usaha dan persaingan yang ketat tidak kenal ampun. Mereka yang memenuhi bus, kereta, angkot atau menggunakan moda transportasi online masih manusia berhati yang ramah jika disapa dan ditanya baik-baik. Mereka yang memasang muka datar dibalik pintu kaca dan hectic dengan list whatsapp di smartphone masih manusia biasa yang bisa jadi memiliki kepedulian yang lebih besar dibandingkan kita.

Ibu-ibu yang baik hati dan mbak-mbak yang langsung berdiri memberikan kursinya adalah bukti nyata tak terbantahkan bahwa ada hati yang tetap tumbuh meski berhadapan dengan masalah yang terus datang. Keduanya adalah perempuan yang memilih menyelamatkan kaumnya dalam artian yang sangat sederhana. Saya yakin berdiri didalam bus ditengah kemacetan Jakarta merupakan situasi yang tidak diinginkan semua orang. Penumpang pasti berharap mendapatkan tempat duduk. Namun banyak orang memilih untuk mendengarkan nurani mereka ketimbang bergulat dengan keegoisan diri.

Inilah masyarakat yang tumbuh ke fase yang lebih dewasa. Mematuhi aturan lalu lintas, saling membantu orang yang kesulitan, menghargai hak-hak pribadi, dan bersikap ramah dengan orang lain merupakan budaya baik. Harapannya budaya yang semakin matang dan dewasa ini menjalar ke seluruh kota hingga desa-desa. Lalu semua orang merasa nyaman karena ada perasaan didukung komunitasnya dengan budaya yang tumbuh dewasa.

Mudah-mudahan Jakarta bahagia, manusianya.

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...