Selasa, 27 Desember 2011

Tantangan Lembaga Kemahasiswaan Unnes di Tahun 2012


Sekadar mengingat apa yang disampaikan salah satu kawan seperjuangan di BEM Seluruh Indonesia. Ada beberapa tingkatan dalam gerakan mahasiswa di Indonesia yang sampai saat ini berkembang. Lembaga Kemahasiswaan sebagai basis gerakan mahasiswa didalam kampus memiliki empat tingkatan. Yang pertama gerakan mahasiswa sebagai komunikator, gerakan mahasiswa berfungsi menyambungkan mahasiswa dengan birokrat. Segala yang terjadi baik ditataran fakultas maupun universitas sekadar dikomunikasikan oleh Lembaga Kemahasiswaan kepada birokrat. Fungsi yang kedua yaitu advokasi, gerakan mahasiswa menyalurkan aspirasi mahasiswa dan “memperjuangkannya” diranah yang lebih tinggi. advokasi yang seringkali dilakukan yaitu tentang SPL, biaya PPL-KKN, skripsi, dan wisuda. fungsi yang ketiga yaitu instrumentasi konfrontasi dimana gerakan mahasiswa aktif dalam melakukan advokasi dengan berbagai eklektasi/mix and match berbagai strategi. Yang terakhir yaitu penegakan peraturan. Secara tegas gerakan mahasiswa berusaha menegakkan peraturan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan amanah UUD ’45. Gerakan mahasiswa di Unnes dapat dikatakan masih berada ditataran advokasi karena baru melangkan pada tahap lobbying kebijakan karena secara umum Lembaga Kemahasiswaan yang ada belum mampu menyentuh permasalahan dasar sehingga gerakan yang diusung mahasiswa belum sanggup menerapkan instrumentasi konfrontasi.

Terpilihnya wakil-wakil mahasiswa dalam Lembaga Kemahasiswaan periode 2012 memberikan PR berharga yang masih berkutat pada persoalan klasik seputar kampus. berikut dipaparkan persoalan yang dihadapi Lembaga Kemahasiswaan:
1.       Kaderisasi dalam lembaga kemahasiswaan merupakan segi fundamental dimana kokohnya fungsionaris ditakar secara kasat mata. Profesionalisme internal biasanya terukur dari standar minimal seorang kader. Jika standar minimal seorang Ketua BEM Fakultas adalah pernah mengikuti Pelatihan Kepemimpinan Manajemen Mahasiswa Tingkat Dasar (*atau yang setara dengan itu) maka sudah selayaknya hal tersebut diterapkan kepada fungsionaris sebagai perpanjangan tangan dari pimpinan Lembaga Kemahasiswaan di tingkat fakultas. Selama ini standar kaderisasi sedikit dilupakan pimpinan lembaga sebagai akibat dari kesenjangan antara kebutuhan kader dengan realita ketersediaan kader di lapangan. Kaderisasi menjadi tantangan Lembaga kemahasiswaan yang pertama dan mendasar.
2.      Tingkat partisipasi mahasiswa dalam memasuki Lembaga Kemahasiswaan semakin terlihat memprihatinkan dari tahun ke tahun. Animo yang minim dari mahasiswa disebabkan banyak faktor diantaranya minat mahasiswa yang rendah terhadap kegiatan Lembaga Kemahasiswaan. Selama ini kegiatan yang ditawarkan oleh lembaga kemahasiswaan kurang menarik perhatian sehingga mahasiswa pun enggan ‘menengok’ kegiatan tersebut. tantangan kedua ini menuntut totalitas dan profesionalisme Lembaga Kemahasiswaan untuk terus berbenah diri dan kreatif mengembangkan inovasi kegiatan sehingga mampu mengikis apatisme mahasiswa.
3.       Sebagai kampus yang mulai gencar menunjukkan eksistensi, Unnes memiliki harapan untuk memiliki nama dikancah nasional. Dengan prestasi tingkat nasional baik di bidang akademik dan non akademik sudah menjadi modal untuk go public bagi Unnes. Lembaga Kemahasiswaan dirasa urgent untuk melakukan hal serupa dengan persiapan sedini mungkin. Mengapa perlu? Karena dengan posisinya dimata masyarakat yang cukup eksis, Unnes sudah memiliki kepercayaan atau trust. Sekalipun berbagai kendala menghadang fungsionaris LK untuk melebarkan sayap. Namun sekali lagi hal itu tidak lantas membuat mereka stagnan dengan posisi saat ini.

Manajemen internal, format gerakan pembaharuan di tahun 2012 dan etika dengan birokrasi juga bukan hal sepele untuk digarap pimpinan Lembaga Kemahasiswaan. Dengan berpijak pada kepentingan mahasiswa pada khususnya dan rakyat pada umumnya, kesemangatan fungsionaris LK perlu dipertahankan selama 2012. Dari Unnes untuk Indonesia Tersenyum yang siap membangun manusia Indonesia yang madani. amin

Kamis, 22 Desember 2011

Perempuan #2


Kini ia ada disini dengan rupa yang semakin menunjukkan usia separuh baya. Ia lebih banyak memendamnya atau marah-marah menjengkelkan jika sedang ingin diperhatikan. Ia bisa mengeluh dengan cinta yang terbagi tidak adil. Kadang kekanak-kanakan bila dipikir. Tapi begitulah adanya, ia tidak belajar mengungkapkan cinta dan keinginan disekolahnya dulu.

Sepasang bola mata ini terkantuk-kantuk mengartikan cintanya yang tak kunjung termaknai dalam baris kalimat. Kemana harus dimuarakan saat karya ini tak bisa nyata-nyata ditunjukkan karena merasa malu. Yang kuingat, waktu itu tubuhku tak bisa menopang kelelahan ini. Ia terjaga untuk sekadar memastikan bahwa aku baik-baik saja. Sekadar memberi selimut untuk menghilangkan rasa dingin. Ia memilih untuk mengkhawatirkan daripada mempercayakanku pada orang lain.

Ia ada disini tanpa pernah mengecup keningku lagi. Tanpa pernah memelukku lagi. Bukan karena rasa itu lenyap. Bukan. Mungkin karena usiaku sudah terlampau dewasa untuk dimanjakan dengan belaian.atau mungkin cinta yang ia yakini tak mampu dibaca oleh kode atau simbol apapun didunia. Rasanya percuma untuk menerjemahkannya dalam bahasa ilmiah. Karena sekali lagi, ia tidak belajar cinta dan percintaan dalam hiruk pikuk kelas.

Ia sesekali memintaku untuk memasukkan benang-benang ke lubang jarum. Kadangkala memintaku untuk membacakannya tulisan mungil dilembar kertas. Kendati pun paham apa yang dilakukannya satu hari itu, tetap saja ketika fajar mengantarkan hati ini untuk tunduk diatas sajadah ia telah terjaga. Ia membangunkan. Ia memasak. Ia membersihkan rumah. Ia membuka jendela.

Adakah rasa cinta itu masih tertunda hingga mengendap diawan dan jatuh sebagai titik-titik hujan? Mungkin saja Tuhan menguji dengan keraguan. Bagaimana bukan cinta jika masih saja menangis karena kerinduan yang tertahan? Bagaimana bukan cinta jika sakit itu juga terasa manakala ia tersakiti, sedih dan kebingungan? Aku tak hendak menerka karena jawabannya sudah mendekat kepadaku bahkan sebelum aku bertanya.

Inilah cinta yang terkadang malu-malu untuk diungkapkan dalam bentuk kata. Cinta untuknya diam-diam meratap dan berarak disanjungkan dalam bentuk doa. Biar kepayahannya meluluhkan kekuatan lahir, Tuhan menguatkannya lewat senyumanku. Beribu pujian pun tak setara dengan tindakannya. Namun sesekali amat perlu agar ia tersadar bahwa kepayahannya membangun sosok manusia benar-benar luar biasa.

Terimakasih ibu. . .
Sosokmu tidak layak untuk diragukan dan disetarakan dengan apapun karena ketika aku mencari pembanding, segala yang ku lihat yang kudengar dan yang kurasakan tiada lebih dashyat dari apa yang kau beri. .
Bukan melemahkan sosok pendampingmu, tetapi kalian tidak bisa dibandingkan begitu saja dalam kalimat. Kalian memiliki tempat yang berbeda dan luar biasa sekali Tuhan yang memberikan ruang dihati ini agar bisa memeluk cinta kalian. .

Dan Tuhan, apakah ia baik-baik saja?

Senin, 19 Desember 2011

Perempuan #1


Cinta ini menggelisahkan aku, membuat aku gila
Andai kita terpisah mati rasa-rasaku
cinta ini membodohkan aku, menutup akal sehatku
andai engkau tak disisi risau isi jiwaku  

Ia tidak menemaniku bermain seperti anak-anak lain memainkan tali, mengantarkan ke sekolah seperti anak seusiaku, atau membelikan boneka-boneka mungil layaknya anak perempuan. Perempuan-perempuan yang bercengkrama setiap pagi pun berkelakar tidak mengenakkan. Mereka yang sangat peduli dengan apa yang terjadi disekitarnya dan menaruh perhatian lebih padaku. Masa lalu yang sudah usang pun seringkali dibicarakan meski aku tak sekalipun menanggapinya dengan seksama. Sambil berlalu biasanya kubalas senyuman datar karena masa lalu yang mereka bicarakan berada diluar kendaliku. Masa lalu siapa dan apa? Aku tidak diberikan kuasa untuk mengetahuinya sampai belasan tahun lamanya, lebih tepatnya tidak pernah mendapatkan jawaban memuaskan dari siapapun.

Saat itu tidak sempat bertanya untuk apa dan mengapa. Saat itu disuapi oleh perempuan lain yang tak pernah ku kenal sebelumnya. Saat itu perannya digantikan orang lain. Saat itu aku pun tak sempat berpikir tentang rasa. Tak cukup akal untuk berdiskusi ikhwal kepergian, tuntutan dan keadaan. Perempuan itu memberikan hatinya, aku begitu menikmati tanpa sadar keberadaannya. Menerima atau menolak menjadi hal yang sangat bias. Perempuan itu tidak meminta apa-apa, tapi aku melihatnya mengharapkan sesuatu.

Sempat menyalahkan keadaan, yang menjauhkanku dengannya tanpa perasaan. Mengapa harus pergi tatkala diri ini butuh. Mengapa harus digantikan dengan orang lain yang bukan siapa-siapa. Terheran dan tak bisa apa-apa. Lagi-lagi keadaan yang berkuasa sedang waktu terus meminta keputusan. Menjatuhkan pilihan dan memisahkan untuk sementara. Jauh, jiwa dan raga.

Aku hanya ingat beberapa hal. Aku bermain dengan teman-teman sebayaku. Bersekolah sewajarnya anak-anak yang lain. Aku pun tidak memikirkan apa yang tengah terjadi. Hanya tahu tanpa pernah diberitahu lebih pasti. Suatu saat aku bertanya mengapa dan ada apa. Sayangnya jawaban itu tersimpan rapat. Alasan klasik yang mereka berikan cukup membuatku tertidur pulas. Akhirnya belajar mencintainya dalam kisah yang dituturkan guru dikelas tentang ia dan kemuliaannya.

Hingga kini ia belum memenangkan hati ini sepenuhnya dan mungkin ia tak pernah berpikir untuk memenangkannya karena baginya ini bukanlah persaingan, pertandingan, atau perjudian. Ini tentang cinta setulus jiwa yang tak hanya cukup diungkap lewat kata. Tidak bisa terdeskripsikan cintanya dengan detail karena bahkan amarahnya menyisakan doa kebaikan. Bagaimana mengungkapkan cinta jika setiap pikir, rasa dan tingkah itu dilungkupi cinta?

Mungkin ia merasakan sakitnya, kelelahan dibawah tekanan dan merindukan kehidupan yang pada umumnya. Aku bahkan tahu ia kelelahan dalam jauh. Menahan keterasingan yang menyesakkan sementara kepulangan bukan hal sepele dan mudah terjadi. Ia bertahan lebih lama dari yang dikira. Sayangnya aku tidak bisa membedakan mana rindu, mana butuh. Peran itu sekali lagi digantikan oleh orang yang tak pernah ku kenal sebelumnya. Bukan siapa-siapa. Hanya saja aku tidak bisa menolak kehadirannya. Entah menerima atau tidak peduli. Siapa yang hendak menaruh perhatian dengan anak ingusan yang berseragam putih merah?

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...