Minggu, 16 Juli 2023

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengunjung dengan mayoritas datang dari luar kota. Satu per satu orang masuk kebarisan shaf, mengikuti imam yang sudah lebih dulu bertakbir. Semuanya asing, serba baru.

Berbicara tentang perpindahan, hal yang tidak bisa dikompromi adalah segala sesuatunya lahir dari keputusan diri sendiri. Setiap orang yang memutuskan untuk datang kesini tidak perlu lagi berkomentar tentang minimnya fasilitas, cuaca yang lebih terik, atau makanan yang rasanya amat jauh dari kecapan sehari-hari di tanah asal. Kita tidak pernah bisa memilih konsekuensi dari pilihan yang sudah kita buat. Tidak mungkin meminta enak-enaknya saja atau menghilangkan salah satu konsekuensi yang tidak kita inginkan. 

Kita tidak pernah tahu cerita yang akan terjadi esok jika tidak pernah memulai hari ini. Apakah akan sama atau justru menampilkan banyak hal baru yang tidak terduga. Siapa yang hendak bertaruh nasib? Siapa yang hendak mencoba? Apakah kita memiliki hal-hal yang rentan hilang ketika hidup benar-benar menjatuhkan ke titik nadir? Semua orang ternyata bertaruh apapun demi menjalani hidup yang seperti adanya hidup. Ini bukan waktunya bermanis-manis membuat rencana agar bisa bertahan. Toh tidak akan ada yang menahanmu disini kecuali diri sendiri dan tagihan demi tagihan yang harus dibayar. 

Langit pernah hujan, seringkali terik diatas kepala. Terbangun oleh adzan shubuh yang nyaring cukup membantu ritme hidup yang baru. Hari yang melelahkan dimulai dengan satu surah yang menenangkan. Sungguh tangguh orang di luar sana yang rela bangun pagi, bepergian ke luar kota setiap hari demi nafkah yang mungkin harus dipaksa cukup setiap bulannya. Tidak ada yang bersantai di tempat yang jauh dari rumah yang nyaman. Dimana letak bahagia? Bukan dari senyum setiap hari yang mengembang. Apalagi dari lezatnya makanan yang dilahap setiap hari. Mata yang terbuka, lalu seharian berjuang selalu menerima bahwa hidup tidak mudah tetapi masih bisa dijalani dengan tabah. Mereka pergi dan pulang dengan harapan yang penuh dan hati yang teguh.

Burung-burung hinggap diantara besi yang menyembul keluar dari sisa bangunan yang belum selesai. Bebas dengan tujuan yang jelas. Mereka hidup di tengah kota yang orang bilang serba terbatas. Maka, akupun bisa bertahan seperti burung-burung yang hinggap diantara besi-besi dan makan dengan hati yang tenang. Tanpa khawatir akan kelaparan atau kehabisan energi untuk berjuang. Semua orang bisa bahagia dan hidup selayaknya. Tentu pilihan demi pilihan akan tersedia selama tidak menutup pintu rapat-rapat. 

Perpindahan memang melelahkan, bahkan membuat cemas. Semuanya serba abu-abu dan kamu tidak tahu harus merasa seperti apa. Berhenti bertanya apakah menyenangkan, apakah semuanya baik-baik saja? Kamu bingung, kamu berekspektasi semuanya dibawah kendalimu. Tapi hidup tidak sesederhana itu diatur tanganmu yang sangat mungil. Lalu apa yang bisa dilakukan selayaknya manusia selain berusaha untuk tetap ada? Eksistensi membutuhkan pengorbanan yang tidak murah dan kamu tidak pernah memilih untuk mundur dari arena. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...