Rabu, 29 Mei 2019

Sebuah Catatan Tentang Depresi

Jika depresi punya wajah, dia akan menampakkan sisi gelap dan terang. Seperti langit yang segera hujan dan yang tergambar adalah mendung yang menyelimut diatas kepala.

Jila depresi punya wajah, kita seringkali melihat gelap dan dingin. Otak kita seolah sudah terprogram, hujan akan turun beberapa saat lagi. Kita diprogram untuk bersiap-siap menggunakan payung atau jas hujan. Sedikit sekali yang berencana menyambut tetesnya tanpa alat perlindungan diri.

Jika depresi punya wajah, kita seakan menutupinya dengan logika aib. Dimana harus ditutup, harus disembunyikan dan segala sesuatu yang bermakna buruk. Hidup yang berat.

Jika depresi bisa disembunyikan, semua orang akan terlihat senyumannya. Tanpa peduli mereka nyaris tak bernyawa dan hidup sekadar hidup. Kita bersama mereka tapi mereka tidak bersama kita. Muncullah duniaku, duniamu. Tidak terhubung satu sama lain. Secara emosi.

Maaf

Hai Diri,

Maafkanlah dirimu sebelum memaafkan orang lain.

Rabu, 03 April 2019

Random [sebuah puisi]


Detak jantung masih saja tidak beraturan meski sudah merapal doa paling dianjurkan. Dengan menyingkirkan lapar dan keringat pikirku akan membantu tetapi sama saja.

Kekhawatiran yang berlebihan beradu kuat dengan kekecewaan. Lalu terbitlah situasi plin plan yang menggemaskan.

Tuhan memberi petunjuk melalui youtube dengan relaksasi sebelum tidur, ceramah ulama yang suaranya lembut, program talkshow inspiratif hingga film bertemakan cinta dan remaja. Hasilnya?

NIHIL

Menyadari bebalnya diri seolah rasanya mau menyerah dam berhenti, tiba-tiba kamu lewat persis didepanku tanpa mau tahu. Sedetik dua detik terasa menyenangkan.

Kemudian teriakan orang-orang mengembalikan kesadaran akan kekhawatiran, kekecewaan dan sedikit penyesalan.

🍁

Kamis, 31 Januari 2019

Kebaikan. Kebaikan. Lagi lagi kebaikan

Akhir pekan yang cukup padat membuat saya pulang agak terlambat. Kolega di kantor yang tersisa hanya 2 orang ekspatriat yang tinggal di asrama. Mereka pulang setelah semua orang beranjak dari kursi dan langit sudah gelap. Saya shalat maghrib di kantor karena adzan sudah berkumandang 15 menit yang lalu.

Kendaraan yang padat merayap di hari Jumat malam adalah situasi biasa. Ditambah lokasi kantor yang berdekatan dengan pintu tol membuat jalanan selalu ramai. Saya harus mengetok angkot karena supirnya tidak melihat saya memberhentikannya. Di kantong ada uang 5000 dan 2 koin 500. Jumlahnya cukup untuk sampai rumah. Teringat handphone yang baru saya beli 2 minggu sebelumnya dan kurang beberapa aksesoris, saya melaju sampai counter.

Awalnya jengkel juga dengan pemilik counter yang tidak mengabari soal kekurangan aksesoris. Setelah bertanya penjaga counter, pemiliknya ramah menyapa. Saya tidak jadi untuk marah atau komplain. Kadang perlakuan kita mempengaruhi reaksi orang lain ya. Bersikap baiklah terlebih dahulu dan lihat betul situasinya sekarang. Mungkin kejengkelan kita hanya karena ketidaktahuan semata. Entah cuma trik penjualan atau memang si pemilik berbaik hati memberi bonus. Dia memberikan tongsis gratis untuk saya. Sebenarnya dipikir-pikir saya seharusnya dapat bonus yang lebih dari sekadar tongsis lho. Memory card mungkin akan sebanding dengan harga handphone saya. But please, ini contoh pelanggan yang kurang bersyukur. Berhubung pemiliknya lumayan ramah, saya terpaksa berbincang lebih lama sambil menunggu handphone dihandle penjaga counter.

Di tempat saya tinggal, ada begitu banyak pondok pesantren yang berkembang. Lokasi tepatnya sebagian besar memasuki perkampungan yang harus diakses dengan naik ojek. Saya pulang naik angkot yang berisikan ibu-ibu, santri, anak muda usia 20an dan bapak pulang yang baru pulang kerja. Sayangnya uang saya tidak ada kembalian. Supir angkot mana mungkin menukar keluar, dia bertanya pada penumpang lain apakah memiliki uang receh. Tak ada satu pun yang memilikinya. Ada seorang santri yang berinisiatif membayarkannya. Katakanlah saya harus membayar 3000rupiah, dia berbaik hati menawarkan diri untuk membayarnya. Tidak saling kenal, bahkan tidak saling menyapa. Situasinya mengalir begitu saja. Saya yang agak bingung merasa tertolong. Pertolongan sederhana yang benar-benar membantu. Saya punya uang yang lebih besar dari 3000 tapi uang saya tidak berguna saat itu. Aneh ya? 🤔 Sesuatu yang membuat otak berpikir keras, bagaimana bisa? Namun saya sangat bersyukur karena masih ada orang yang bersedia membantu sekalipun tidak kenal.

Mengingati ini saya pernah mengalami kejadian serupa dengan posisi sebaliknya. Dalam perjalanan ke kantor tinggallah saya dengan seorang perempuan di angkot. Uangnya 100 ribu yang mana supir angkot tidak memiliki kembalian karena baru berangkat dari rumah. Dialog keduanya singkat tapi tidak menyelesaikan persoalan. Akhirnya saya memberikan 10 ribu kepada supir angkot. Habis perkara. Saya turun sebelum perempuan tadi turun dan dia belum menyadarinya. Semua perbuatan kita ternyata kembali lagi kepada kita. Mungkin tidak persis sama tapi mengajarkan kebaikan yang sama-sama berharga.

Saya sampai di rumah sekitar pukul 8 dan mendapati rumah dalam keadaan sepi. Kakak saya sedang keluar untuk belajanja bulanan. Belum juga mandi, makan, dan beberes kakak saya pulang membawa mie goreng. Dia mengatakan mie gorengnya tidak seenak malam sebelumnya. Mie yang direbus terasa belum matang sempurna. Sekalipun menyesalkan mie yang jauh dari ekspektasi, kami menghabiskannya juga beramai-ramai. Hehe. Sudah kenyang, saya masih sempat mandi dan menyapa teman di whats app sebelum beranjak tidur di hampir tengah malam.

Satu hari yang melelahkan dan berakhir dengan mengesankan. Tuhan Maha Pemurah. Lalu saya menyadari bahwa kebaikan yang Tuhan berikan tidak hanya sekali dua kali diberikan. Melainkan berkali-kali sampai kita meleleh dibuatnya. Sampai kita keheranan, kok bisa? Sampai kita berpikir bahwa hanya kekuasaan Maha Luas yang bisa melakukannya. Tugas kita? Taat.

HARGAI FASEMU

Di sebuah perjalanan pulang kerja dalam sebuah angkot. Seorang laki-laki muda 20tahunan melintas. Mengenakan celana selutut dan kemeja dengan ransel di punggung. Didalam angkot saya bersama dengan beberapa anak SMA yang mengenakan seragam. Kebetulan angkot yang saya tumpangi melewati pintu tol. Berhamburan pekerja-pekerja pabrik dari sebuah bus antar jemput karyawan.

Saya mengingat bagaimana dulu ketika kuliah. Begitu bangganya dengan status mahasiswa meski minim prestasi. Kuliah, pergi ke perpustakaan, mengikuti seminar/pelatihan, bahkan turun ke jalan sama sekali bukan hal yang ajaib. Lelahpun terbayar dengan banyaknya teman dan sesekali curhatan bebas entah beretika atau hanya melepaskan keruwetan pikiran. Tapi saya merasa keren dengan semua itu. Merasa beruntung dengan banyaknya kemudahan hidup. Semua hal yang terjadi bukan tanpa campur tangan Tuhan. Saya keren, apalagi Tuhan saya yang membuat saya keren. Pasti jauh jauh jauh lebih keren dari semua bayangan saya.

Melihat orang-orang yang berada di fase mereka seolah jadi pengingat. Mereka juga keren di fase hidup yang tengah mereka jalani. Meski dibayangi ujian nasional atau ulangan semester yang mempertaruhkan harga diri mereka tetap keren. Meski disambut dengan riuhnya anak-anak dirumah yang merengek minta dibelikan gadget padahal gaji sudah habis mereka tetap tangguh. Meski dihantui isu PHK masal mereka tetap berjuang dengan kepala terangkat.

Mereka adalah manusia yang terus bertahan hidup dan menerima alur yang diberikan Tuhan. Sesekali mengeluh, lain kali menangis marah. Tapi mereka tetaplah keren karena sudah berjuang susah payah untuk kehidupan mereka. Kita memilih untuk bekerja keras ditengah nuansa hati yang berantakan karena kehilangan orang terdekat. Lihat lagi, bagaimana rupamu kini. Tidak terlalu buruk bukan? Kulit yang kering karena paparan sinar matahari setiap waktu adalah bukti bahwa kita sungguh-sungguh memperjuangkan hidup. Wajah yang mulai mengeriput adalah bukti sah bahwa kita telah melalui banyak hal dalam waktu yang tidak sebentar. Lalu kita masih merasa diri tidak berharga?

Lihat lagi kedalam diri. Kamu keren sekali sudah sejauh ini berjalan. Ada banyak orang yang mungkin merasa berat untuk terus berjalan dan berjuang. Sebagian mereka memarahi orang lain atas kondisi mereka, sebagian lagi justru berani menyalahkan Tuhan. Lihatlah wajahmu di cermin. Kamu akan tahu lelah yang tertinggal diwajahmu adalah penggugur dosa jika kamu mau ikhlas menerima.

Sabtu, 12 Januari 2019

Menentukan arah || tulisan untuk diri di usia 40

Akan ada hari yang monoton. Menjalani hari yang begitu lagi, begitu lagi. Menghadapi orang itu lagi, itu lagi. Sesekali ada rasa bosan. Lain waktu ada keinginan untuk berteriak atau mencaci.

Ya. Akan ada hari yang monoton. Matahari yang terbit dari timur, penjual sayur yang menata dagangan dan tersenyum padamu, atau supir angkot yang menungguimu terengah-engah menanjaki jalanan komplek. Kamu pun tetap makan dengan kotak nasi yang sama, isi yang sama. Menu seperti biasa. Menu yang itu lagi, itu lagi.

Bagaimana dan apa selanjutnya kamu selalu berharap, "Semoga hari ini baik-baik saja". Seiring dengan rutinitas yang memenuhi hari-harimu, kamu sudah hafal dialog demi dialog yang harus terjadi. Sampai kamu menyadari, waktu berlalu setahun sepuluh tahun. Lihatlah dirimu yang sekarang. Umurmu semakin bertambah dan teman-temanmu entah bagaimana rupanya.

Lalu kamu merasa tidak melakukan apa-apa dalam hidup. Sebuah cahaya menuntunmu untuk keluar rumah. Angin sore yang basah menginspirasi kamu untuk pindah rumah ke sebuah kota yang tenang. Bisikan mereka di sepanjang jalan pulang membuatmu untuk memikirkan berganti pekerjaan.

Jika itu tidak berat untuk dijalani, lakukanlah.

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...