Kamis, 27 Juli 2017

Pesan Kematian

Ketika sedang melihat timeline twitter ada sebuah postingan yang menyebut kamboja. Bunga yang lebih akrab dilihat orang didaerah pemakaman ini memang yang saya maksudkan. Siapapun akrab dengan bunga cantik berwarna putih dengan aksen yang berbeda-beda. Ada yang putih dengan aksen kekuning-kuningan. Ada pula yang putih dengan aksen merah muda. Keduanya sama menawannya. Apalagi jika di potret oleh fotografer profesional. Kamboja yang teronggok di atas tanah basah pun mampu membuat mata terpana. Tidak hanya di area pemakaman, kamboja dapat ditemukan di taman-taman kota atau taman bunga.

Di Ende, Flores saya melihat bunga kamboja di sebuah rumah di depan gang basecamp. Satu pohon kamboja yang berguguran bunganya membuat diri merasa terbawa suasana. Penampakan pohonnya berbatang keabu-abuan seperti kering tapi masih bisa tumbuh dengan baik. Daunnya yang hijau lebih sering rontok dan menyisakan bunga yang berjatuhan setiap hari. Saya tidak tahu filosofi bunga kamboja di pemakaman. Sebagian besar pengurus pemakaman muslim di Indonesia menumbuhkan kamboja di banyak sudutnya. Kami menyapa yang punya rumah dengan panggilan No'o. Dalam bahasa Indonesia kita biasa memanggil Bibi, Bulek, Budhe atau Tante pada nyonya rumah. No'o selalu menyapa tiap saya berangkat ke sekolah. Pun ketika saya pergi atau pulang dari bepergian. Beliau ramah dan sering menawari kami untuk mampir sambil mengobrol.

Dibawah kamboja No'o ada makam yang setiap hari kami lewati. Letaknya cukup strategis, di halaman rumah yang tidak memiliki taman atau tanaman lain kecuali kamboja tersebut. Setiap hari kami melewatinya dan melihat kamboja yang bunganya berjatuhan di atas makam. Sesekali pikiran berkelana memikirkan mati ketika melihat bunga-bunga itu berserakan di tanah. Kamboja adalah pengingat kematian. Bahwa segala yang hidup akan mati pada akhirnya seperti gugurnya bunga dan daunnya yang sudah layu. Manusia akan mati. Tanpa tahu kapan, dimana dan bagaimana.

Pertama kali melihat makam dipekarangan rumah, kami sempat parno. Antara berpikir bahwa hal tersebut aneh dan perasaan takut akan kejadian-kejadian mistis. Setelah melihatnya ada di sebagian besar rumah warga, kami mulai terbiasa. Meskipun ada rasa was was ketika mendengar upacara kematian di sebelah rumah saat bertandang ke salah satu kampung. Lonceng Romo begitu nyaring di telinga saat prosesi pemakaman. Perbedaan keyakinan tidak meluluhkan rasa aneh dalam diri. Kami tidak mengimani apa yang mereka yakini. Mereka pun demikian. Hanya saja, yang namanya kematian tetaplah kematian. Menjadi pengingat setiap yang orang bahwa hidup akan diakhiri dengan mati.

Saya berkesempatan mengunjungi Kampung Wolotopo yang 100% Katholik. Jaraknya cukup dekat dari kota kabupaten yaitu sekitar 15 menit perjalanan menggunakan sepeda motor. Kami melihat makam di teras rumah, di samping rumah atau di pekarangan. Bentuknya pun sudah dibuat sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk duduk-duduk di kala siang hari. Nisannya ada yang dihias dengan keramik warna warni dengan gambar Bunda Maria ditengahnya. Ada pula yang polos dan cukup menggunakan adukan semen. Awalnya merasa kikuk untuk duduk bercengkrama diatas makam sesepuh. Karena mereka terbiasa dan menganggapnya tidak apa-apa, kami pun berusaha tidak kikuk lagi.

Lain di Ende, lain pula di Tana Toraja. Saya menginap di rumah seorang kenalan selama 2 minggu di Enrekang yang kebetulan keturunan Toraja, Sulawesi Selatan. Sambil menanti datangnya Idul Fitri, keluarga teman saya berbaik hati membawa saya ke Toraja. Kunjungannya hanya satu malam dan berpesiar hanya ke bukit Yesus dan pasar tradisional di Makale. Tana Toraja memiliki pemandangan yang menakjubkan. Sejuk dengan hutan tropis di kanan kiri. Selain itu persawahan yang menguning begitu semarak menyambut siapapun yang datang. Rumah khas orang Toraja bernama tongkonan yang secara khusus digunakan untuk menyimpan jenazah keluarga. Teman saya berkata 'kami susah payah kerja hanya untuk mempersiapkan upacara kematian'. Ternyata upacara kematian tidaklah semurah yang dibayangkan. Butuh ratusan juta untuk mengurus jenazah keluarga sampai benar-benar dimakamkan. Adik teman saya menceritakan bahwa jenazah kerabat yang baru meninggal disemayamkan selama berhari-hari didalam rumah. Sebelum disimpan di dalam tongkonan atau sembari menunggu upacara kematian kolektif yang diselenggarakan masyarakat adat setempat.

Setelah melihat makam di teras rumah di Ende, kemudian melihat tongkonan yang diperuntukkan bagi jenazah keluarga di Tana Toraja, saya merasa begitu relijiusnya masyarakat kita. Kita betul-betul memaknai kematian sebagai tahap kehidupan yang sakral. Diiringi dengan doa-doa memohon ampunan dan upacara yang khidmat, kita diminta untuk sadar akan panjangnya proses kehidupan. Bahwa setelah kematian, ada masa untuk benar-benar menghadap Tuhan yang Maha Pencipta. Mereka yang telah pergi meninggalkan kita selalu membawa pesan 'innalillahi wa ina ilaihi roji'un' — sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan hanya kepada Nya lah kami kembali — Bagaimanakah kita yang masih hidup menerima pesan itu? Semoga ibadah dan doa-doa yang kita panjatkan diterima Allah yang Maha Rahiim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...