Jumat, 21 Juli 2017

Undangan dan Mengundang

Pagi ini pembicaraan seputar kabar pernikahan sedikit menggelitik di akal pikiran. Saya menanyakan perihal undangan dari teman SMA kepada teman sebangku. Awalnya dia bertanya-tanya kemungkinan alasan tidak diterimanya undangan tersebut. Bisa jadi calon mempelai tidak mengundang semua teman satu kelasnya karena sedang merantau. Atau sebab lainnya seperti lupa karena persiapan pernikahan menyita banyak energi dan pikiran. Setelah berkelakar ini itu dan memikirkan hal lain dia merasa bersyukur. Jatah 1 undangan tersalurkan untuk susu anak. Dia lebih realistis mengira bahwa calon mempelai tidak tahu dirinya sudah kembali ke kampung halaman.

Yang mengganjal adalah pesta pernikahan seorang teman sekelas yang simpang siur kabarnya. Yang ditanya tidak pernah menjawab dengan pasti kapan waktunya. Selalu menghindar dan menyediakan jawaban yang menyebalkan. Akhirnya teman saya gondok sambil mengomel di chatt yang dia tulis. Entah karena dia menganggap pertemananya cukup dekat atau hanya ingin tetap berinteraksi (*eksis) dengan teman sekolah.

Dua pernikahan yang merupakan kabar bahagia bagi teman sekelas seyogyanya menjadikan komunikasi lebih berkualitas. Dimana kabar satu teman menjaga keberlanjutan percakapan di grup sosial media. Masa sekarang ditandai dengan kabar pernikahan. Sesekali diselingi wajah-wajah lucu menggemaskan dari mereka yang menikah lebih dulu. Akan ada masanya dimana setiap orang unjuk kesuksesannya. Si A sudah membeli kendaraan roda empat. Si B sudah mengantarkan anaknya masuk SD. Si C, Si D dan seterusnya.

Kembali lagi kepada jengkelnya teman sebangku saya. Rasa jengkelnya ibarat dalam kisah percintaan disebut 'bertepuk sebelah tangan'. Dimana seseorang yang ingin menunjukkan perasaannya ternyata ditolak. Sakit? Tentu. Tetapi apakah itu akan menghambat hidupmu? Saya pikir kita akan melupakan hal-hal yang tidak terlalu penting bagi kita. Ditolak tidak selalu hadir dalam percintaan. Dalam keluarga, ada anak yang ditolak orangtuanya saat meminta dibantu mengerjakan PR. Di sekolah, ada murid yang dibiarkan begitu saja ketika kelakuannya diluar kendali. Di tempat kerja, ada teman yang berusaha join dengan kelompok tertentu tetapi selalu diacuhkan dan tidak pernah dimintai pendapat. Penolakan selalu ada disekitar kita. Kapanpun dan dimanapun. Pada kasus teman saya, dia ditolak calon mempelai (*sebenarnya sudah akad nikah) dengan tidak memberinya kabar berita pesta pernikahan.

Berhubungan dengan teman memang ada tingkat kedekatannya. Ada yang hanya kenal nama. Ada pula yang setiap hari chat di handphone. Ada yang rela datang jauh-jauh untuk mengunjungi temannya. Ada pula yang tidak saling bertemu meski satu kota.

Kekecewaan teman saya karena tidak diundang dan tidak dianggap sebenarnya wajar. Dia memandang 'kita teman, sudah selayaknya saling memberi kabar. Apalagi ini berita besar. Apa salahnya mengirim undangan walau via inbox?'. Dia sangat menghargai undangan dari temannya. Sesederhana apapun pesta pernikahan yang digelar. Dia merasa senang bertemu dengan teman lama sambil bercengkrama tentang kehidupan sekarang.

Teman semacam ini layak dipertahankan sampai kakek nenek. Mereka tidak menetapkan standar yang tinggi dalam pertemanan. Bahkan cenderung royal. Kelemahannya mungkin rasa kepemilikan yang terlampau besar. Sehingga hal mengecewakan baginya akan dianggap sesuatu yang besar dan penting. Padahal ini hanya pesta pernikahan. Hidup akan terus berlanjut. Akan ada anak-anak yang lahir. Kemudian masa kanak-kanak hingga mereka menikah.

Orang yang menikah punya harapannya masing-masing mengenai konsep pernikahan mereka. Teman sekelas yang lain tidak mengadakan resepsi. Yang lain rela mengadakan pesta yang wah demi momen sekali seumur hidup. Perihal undang mengundang pun demikian. Ada kendala teknis seperti lupa, terlalu sibuk dengan waktu yang mepet atau mereka tahu teman-temannya tidak ada dirumah. Perkara yang sederhana bukan?

Ini bukan perkara yang hebat lagi prinsipil. Setiap hari kita mungkin menjumpainya disekitar rumah. Namun kita bisa memilih untuk menganggapnya sebagai bumbu kehidupan. Ada bumbu yang pedas menggoda. Ada yang manis menggigit. Semuanya enak. Kita diminta untuk menikmatinya. Jangan sampai terlalu banyak cabai yang akhirnya membuat perut mulas atau terlalu banyak gula yang akhirnya terkena diabetes. Na'udzubillah.

The last, semoga mereka yang menggenapkan separuh keimanan bisa menggenapkan separuh keimanan lainnya dengan taqwa yang sebenar-benarnya serta sakinah mawaddah dan warahmah kehidupan rumah tangganya. Aamiin allahuma aamiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...