Jumat, 15 September 2017

Mie Instan

Saya suka makan mie instan goreng dengan telur ceplok matang diatasnya. Dengan alasan kesehatan lambung, bahan pengawet yang berlimpah hingga mie instan KW yang beredar di pasaran tidak menyurutkan niat saya untuk makan mie instan. Varian mie instan goreng memang lebih menggoda saya sejak SD. Pada kondisi tertentu seperti kiriman uang belum datang, saya harus ikhlas makan mie instan dengan tanbahan kuah. 🙁

Mengapa disebut mie instan padahal kita harus repot memasaknya terlebih dahulu? Bukankah tidak jauh berbeda dengan mie telor yang biasa diiklankan di TV? Dengan menang 'lebih praktis', mie tersebut diberi label instan. Mie cup atau mie yang di gelas bagi saya lebih instan. Kita hanya menuangkan air panas dan memasukkan bumbu. Kemudian menunggu selama 3 menit (*jika tahan untuk tidak mencicipi kuahnya sedikit demi sedikit) untuk menikmati mie cup yang super instan.

Menengok kehadiran mie instan dan jenis makanan instan lainnya menjadikan manusia modern benar-benar dimanjakan. Jika ingin kosmetik tinggal klik, ingin pesan hotel tinggal klik, pergi ke kantor tinggal pesan ojek/taksi online. Fenomena "mager" alias malas bergerak atau malas gerak menjadi penyakit anak muda kekinian. Ada kemungkinan orang dewasa juga mengalaminya. Justru lebih parah dengan didukung kondisi kesehatan yang memburuk, derajat kesibukan dan keuangan yang stabil.

Segala sesuatu yang instan pada hakikatnya menjauhkan kita dari makna proses. Manusia melupakan satu fase penting dalam hidup. Dengan mengantri di gerai makanan kita belajar melakukan detail demi detail aktivitas. Kita belajar mandiri dari semua aktivitas tersebut. Nilai plus lainnya kita lebih menghargai waktu dan kemampuan. Pada saat kita di restoran atau kafe, mengamati proses kita masuk hingga keluar membutuhkan banyak variabel didalamnya. Kita memanggil pelayan untuk mengantarkan menu, berdiskusi dengan teman terkait pesanan, menunggu pesanan datang, baru kemudian kita makan dengan lahap. Tidak. Tidak berhenti sampai disitu. Kita kadang meminta tambahan minum atau meminta lada. Adakalanya kita butuh membayar dengan kartu kredit yang tentu memakan waktu seperti pembayaran tunai. Setelah pembayaran selesai kita baru bisa keluar dengan lega. Hidup ternyata merepotkan andai dipikir dan dilihat secara terperinci.

Pada era digital, kita lebih jarang menulis dengan tangan. Bon belanjaan telah digantikan struk. Tugas kuliah bisa ditumpuk keesokan hari. Hidup menjadi lebih mudah bukan? Bagaimana tulisan tangan anak muda jaman sekarang? Masih adakah yang menulis dengan sangat indah seperti orangtua/nenek mereka? Lalu mengapa mereka masih diajarkan  menulis dengan tangan jika banyak pekerjaan tulisan telah beralih ke versi digital? Ya. Menulis membuat garis sebanyak dua halaman penuh, mendatar, melengkung, vertikal begitu setiap hari. Saya mengalaminya ketika SD pada jaman dahulu. Ibu Guru membuat garis miring di papan tulis dan murid diharuskan menyalin dengan jumlah ratusan di buku. Momentum bisa membaca seolah seperti proklamasi kemerdekaan. Kami bebas dan merdeka dari garis-garis yang membentuk pagar di buku. Lega karena terbebas dari pemborosan buku, pensil dan penghapus.

Lalu apa tujuan dari semua itu? Ide jahil guru kelas? Yang pasti bukan itu. Melainkan belajar proses. Semua hal dipelajari dari yang sifatnya sederhana dan mudah. Kemudian beranjak kepada hal yang lebih sulit dan rumit serta lebih krusial. Mahasiswa akan mengeluh jika diminta mengerjakan tugas dengan tulisan tangan asli. Mereka membayangkan beban berton-ton jatuh di atas pundak. Satu alasan lucu tetapi faktual adalah mereka menganggap tulisan di kertas tugas akan memburuk seiring berjalannya waktu. Pada saat awal menulis mereka begitu percaya diri dengan penampilannya. Perlahan dan pasti tulisan tersebut berubah menjadi tidak beraturan. Akhirnya yang nampak benar-benar tulisan dari tangan yang terlanjur pegal. Kita bersyukur dengan fasilitas kehidupan modern yang sangat berguna. Mereka yang beruntung adalah mereka yang menikmati modernitas tetapi tidak meninggalkan esensi dari sebuah proses. Sementara mereka yang tenggelam, merasa diri sudah kekinian dengan meninggalkan mutiara kebebasan dan kemandirian.

Saya masih memiliki banyak mie instan di lemari. Pernah berpikir untuk menggantinya dengan bihun yang lebih sehat. Sayangnya belum terlaksana dengan baik hingga sekarang. Namun semua orang berhak berubah dari dalam niat. Semuanya bisa dimulai dari sini dan sekarang.

10.25 pm
11 September 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...