Sabtu, 16 September 2017

Mindset

7.56 pm

Keponakan saya memasuki tahun ketiga di sekolah dasar. Orang tuanya terbiasa memintanya belajar pada malam hari. Minimnya buku referensi yang dimiliki membuatnya berinisiatif untuk mengerjakan soal-soal latihan di lembar kerja siswa. Hal tersebut ternyata tidak disukai guru kelasnya. Murid tidak diperkenankan mengerjakan soal latihan dirumah atau sebelum ada perintah mengerjakan. Alasannya karena guru biasa menggunakan soal tersebut untuk mengisi jam mengajar. Alih-alih memberikan tugas di kelas, guru mengobrol didepan kelas. Bukan hanya saya yang gemas, orang tuanya pun menyesalkan kondisi tersebut.

Wali murid sekolah keponakan saya mayoritas bekerja sebagai buruh pabrik. Beberapa diantaranya berdagang di pasar, berjualan keliling atau membuat tenda di pinggir jalan. Saya tahu bagaimana lingkungan orang tua dan murid yang bekerja sebagai buruh. Mereka bukan orang berpendidikan tinggi yang bisa meminta anak-anaknya menjadi polisi, dokter, perawat, desainer, insinyur, tentara, atau pengacara. Bahkan ketika ada label "anak buruh ya paling jadi buruh", orang tersebut tidak akan tersinggung. Karena mungkin sedikit saja yang berusaha sungguh-sungguh mengubah nasib keturunannya. Sedangkan yang bernasib baik bisa membuat perekonomian keluarga meningkat lebih sedikit lagi jumlahnya.

Kondisi sosial ekonomi murid seharusnya menginspirasi guru untuk mendukung perkembangan prestasi siswa. Anak presiden tidak selalu menjadi presiden. Anak buruh pun tidak selalu menjadi buruh. Hanya karena mereka anak buruh yang penghasilannya pas-pasan, guru tidak berhak memutuskan harapan dan cita-cita murid. Pendidikan adalah jawaban dari segala permasalahan sosial ekonomi. Guru adalah instrumen yang memegang peran sentral bagi pengembangan diri murid. Dengan guru yang mengerti tugas pokok dan fungsinya dalam permasalahan ekonomi, orang tua memiliki harapan atas kehidupan yang lebih baik melalui anak-anak mereka.

Usia 8 tahun merupakan masa dimana anak-anak mengakses sebanyak-banyaknya informasi. Mereka melihat bagaimana guru mengajar di kelas dan mengingatnya sepanjang hidup mereka. Di saat besar dan dewasa mereka akan mengingat "Guru A mengajarnya begini, begitu. Sering meninggalkan kelas dan menyuruh murid mengerjakan tugas", "Guru B sangat galak. Murid berbicara di kelas langsung dikeluarkan atau dihukum", dan seterusnya. Anak-anak pun merekam seluruh karakter orang tua di rumah. Mereka akan membongkar ingatan mereka saat menemukan persoalan terkait. Dewasa nanti mereka akan berseloroh dengan teman-teman sekantor tentang guru mereka. Apa yang sudah kita berikan untuk murid di masa depan mereka? Ajaran yang benar pun belum tentu diterapkan dengan benar oleh mereka. Apalagi teladan dan contoh yang kurang baik.

Jika kehidupan mereka kedepan jauh lebih baik dari generasi sebelumnya, kita telah melakukan sesuatu yang berguna bagi mereka. Namun jika pada akhirnya kehidupan tak semanis harapan dan cita-cita, setidaknya kita berusaha menumbuhkan bibit-bibit tersebut dengan menyiraminya agar tetap hidup.

14 September 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...