Rabu, 29 Maret 2017

Prinsip dan Prioritas

Suatu sore ada seorang ibu yang mengantarkan undangan pernikahan ke rumah. Karena masih satu komplek, tanpa basa basi beliau menyodorkannya kemudian bergegas pergi dengan setumpuk undangan lain. Bentuk undangannya ternyata sangat sederhana.

Dulu saya dan teman-teman sering berseloroh "Besok aku bikin undangan kaya undangan rapat di balai desa. Modal potokopi doang, sebar". Sontak kami pun tertawa karena seterbatas apapun kemampuan ekonomi masyrakat kami, undangan paling tidak menggunakan kertas yang agak tebal. Entah itu undangan paling murah di percetakan atau undangan yang mirip undangan pesta ulang tahun anak-anak. Undangan seperti ini dijual di toko-toko ATK. Bentuk fisiknya seperti undangan biasa. Hanya saja ada bagian yang harus kita isi nama pengantin, waktu resepsi, nama keluarga dan alamat yang dituju. Kalau undangan yang ditulis ada 200 buah, otomatis kita menulis sebanyak itu. Harganya lebih murah dibandingkan dengan undangan yang harus memesan di percetakan. Warna, ukuran, motif/gambar yang ada bisa pilih sesuka hati (*dengan catatan ada di stok). Satu-satunya kelemahannya adalah butuh kekuatan ekstra untuk menulis sejumlah keperluan pengantin. Sayangnya, kemajuan dunia percetakan menggerus model undangan tersebut.

Kembali ke fokus pembicaraan.

Undangan ini seperti undangan pada umumnya. Ukurannya normal bagi sebuah undangan dan disampul plastik. Hanya saja, undangan ini di fotokopi. Ya. Difotokopi dengan kertas F4 warna kuning kemudian dimasukan ke dalam plastik transparan. Tertegun. Dalam hati terbersit pertanyaan "Apa karena masih 1 komplek?". Sekali lagi, di kampung saya lebih berat tuntutannya. Andai saya ingin mengadakan pesta pernikahan, minimal saya menggunakan undangan yang dijual di toko atau memesan undangan paling murah dipercetakan. Selain itu, urusan sajian bisa diatur ala kadarnya dengan menu yang biasa disantap orang kampung. Maka pinjam meminjam beras, tepung, gula dan sebagainya sudah biasa terjadi. Setelah pesta usai, penyelenggara mengembalikan semua pinjaman dari amplop yang diterima.

Orang ini, sungguh percaya diri di tengah kehidupan kota pinggiran yang keras. Ia mampu menampilkan dirinya tanpa merasa malu akan dikucilkan. Pun ia menghargai tetangga dengan tetap mengundang ala kadarnya. Dewasa ini sangat jarang orang yang menunjukkan eksistensinya tanpa ribut dengan penilaian orang. Dibalik semua itu, ada banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi. Misalnya karena jarak yang dekat, budget terbatas, keinginan pribadi dan sebagainya. Saya sendiri melihatnya sebagai sebuah kejujuran untuk menunjukkan diri tanpa berlebihan dalam bersolek.

Kita senantiasa ingin tampil baik didepan semua orang. Dalam segala hal meliputi cara berpakaian, aksesoris, tutur kata, gaya hidup, dan lingkungan sosial.

Standar yang berlebihan bukan sekadar tuntutan pribadi melainkan harapan berlebihan dari semua orang. Keduanya membuat kita selalu berusaha untuk tampil sempurna dan sesuai dengan harapan orang-orang. Kondisi tersebut membuat kita menambah alokasi anggaran demi menunjang penampilan. Pakaian, kosmetik, aksesoris dan kendaraan yang layak publish dibanggakan. Bukan hanya dalam hal personal tapi juga dalam hal hunian dan perabot yang dipaksa akselerasi demi harga diri.

Realita yang ada di sekitar kita menunjukkan tidak semua orang berpenghasilan cukup. Beberapa orang memiliki trik dengan mengurangi pengeluaran dibidang lain. Yang lain rela menerapkan sistem kredit untuk barang tertentu.

Apa yang sebaiknya kita lakukan untuk tidak menuruti pencitraan yang berlebihan?

Kita bisa memilih jadi diri sendiri yang apa adanya atau menjadi orang lain yang tidak pernah selesai mewujudkan harapan semua orang. Kita ingin membahagiakan semua orang tetapi yang bisa kita lakukan adalah melakukan usaha terbaik. Menjadi diri sendiri memang memiliki tantangan yang tidak mudah. Namun menjadi sosok ideal yang diharapkan juga bukan solusi jitu. Just be yourself. Ditengah kehidupan bermasyarakat yang keras kita hanya diharuskan memberikan yang terbaik dari apa yang kita miliki. Tentu akan sangat merepotkan jika terus menerus menuruti harapan orang lain. Pun terkesan tidak menghargai jika kita memberikan sesuatu yang asal. Maka dari itu, prinsip hidup memiliki peran untuk mendasari tindakan kita. Prinsip tersebut seperti membantu tetangga yang membutuhkan, membagi makanan yang kita masak, atau membiarkan anak-anak bermain bersama. Selayaknya kita tidak latah untuk berperilaku dan berpenampilan seperti trend kekinian. Selain menghindari diri dari sifat latah alias ikut-ikutan, kita tentu memiliki prioritas dalam hidup. Diantara prioritas tersebut antara lain membeli rumah/memperbaiki bagian yang rusak, menyiapkan dana pendidikan anak, umrah/haji, investasi kesehatan, kendaraan dan kebutuhan sehari-hari. Sebab kalau kita selalu ikut-ikutan trend kekinian, bukan tidak mungkin kitalah yang menjadi korban. Misalnya kebutuhan untuk membeli perabot yang dibutuhkan keluarga justru tertunda gara-gara membeli barang yang tidak begitu mendesak.

Bijak dalam menjadi diri sendiri tidak membuat kita buruk. Dengan menjadi diri sendiri yang memiliki prinsip dan prioritas kita tidak terbebani dengan pandangan orang lain. Mereka tidak akan ambil pusing dengan sikap kita jika komunikasi yang sehat kita tumbuhkan. Orang yang berprinsip sudah tahu apa yang diinginkan dalam hidup baik jangka panjang maupun jangka pendek. Sehingga tidak perlu memasang telinga dan mata 24 terhadap sangkaan orang sekitar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...