Jumat, 13 Oktober 2017

Makanlah, Karena Membahagiakan Mereka Perlu Energi

Pagi ini rekan seruangan saya berkata "Duuuuh laper" sebelum berangkat kunjungan ke sebuah perusahaan ternama di Jakarta. Saya meresponnya dengan "Kalau lapar makan Pak" dan sedikit ketus karena sudah paham tabiatnya. Terbiasa makan sesuka hati dan membiarkan rasa lapar begitu saja membuatnya kreatif untuk minum obat maag secara rutin.

Di waktu sore, rekan yang lain berkata serupa "Laper euy. Dari tadi belum makan" saya menimpali dengan sekenanya "Makanlah". Dia bergegas keluar ruangan untuk makan. Sekembalinya ke ruangan, mukanya terlihat lega dengan perut yang sudah terisi.

Kedua orang ini menyikapi rasa lapar dengan sikap yang berbeda dan bertolak belakang. Yang pertama mementingkan aktivitas lain setelah merasakan lapar. Sekalipun dia tahu resiko yang bisa muncul karena mengabaikan alarm fisiknya, dia tidak makan dengan segera. Yang kedua menghilangkan lapar dengan makanan yang jelas-jelas lebih solutif. Bergegas pergi ke warung makan untuk mengisi perut jauh lebih berguna daripada meminum obat yang tidak diimbangi dengan asupan makanan. Kita bisa melihat bagaimana orang memprioritaskan hal-hal yang dianggap penting dalam hidupnya dan mengesampingkan hal lain. Karakter orang memang berbeda satu dengan yang lainnya bahkan dalam menyikapi satu hal yang jelas-jelas sama. Ketika ada dua orang sedang memesan nasi goreng akan sangat mungkin keduanya memilih detail nasi goreng yang berbeda. Misalnya si A ingin nasi goreng tanpa telur dan tanpa cabai. Si B mungkin ingin nasi goreng dengan potongan sosis dan ayam didalamnya. Bahkan untuk satu menu makanan, kita bisa berbeda selera dan pilihan. Apalagi untuk hal yang lebih besar seperti kesehatan.

Dengan jam kerja dari pukul 8 pagi hingga 6 sore, kami membutuhkan banyak energi untuk menyelesaikan tugas sehari hari. Beberapa teman membawa bekal sendiri dari rumah dan memakannya bersama dengan yang lain. Ada pula yang membeli nasi di warung makan sambil menikmati kopi di siang hari yang membuat kantuk. Jelas kami butuh tenaga untuk naik turun tangga lebih dari 10 kali setiap harinya. Otomatis asupan energi harus seimbang atau tidak boleh kurang dari yang dibutuhkan. Jika tidak? Kondisi fisik melemah kemudian sakit. Hal buruk yang bisa terjadi yaitu target kerja tidak tercapai dan penghasilan menurun. Jatah anak dan istri atau orang tua tentu menjadi tidak aman. Prestasi otomatis menurun seiring dengan menurunnya kondisi fisik. Lalu siapa yang rugi? Diri sendiri dan keluarga. Lantas perusahaan? Jelas tidak mau rugi.

Sekuat-kuatnya fisik seseorang, akan tumbang dengan sendirinya jika tidak bisa menjaganya dengan baik. Atasan saya pernah berkata "Artis-artis selalu minum suplemen biar kuat. Minum vitamin, minum obat biar apa? Biar kuat dengan aktivitas yang begitu banyak. Tapi tubuh kita gak butuh itu sebenarnya. Tubuh kita butuh makan. Bukan mengganti makanan dengan vitamin. Itu yang salah kaprah".

Merenungi hal tersebut saya teringat diri saya sendiri yang dulu sering mengabaikan kesehatan. Makan semaunya, jajan sembarangan dan pola tidur yang berantakan membuat badan saya kurang fit. Ditambah dengan seringnya bepergian keluar kota menambah payah kondisi badan. Lambat laun saya berpikir untuk mengubah mindset dan kebiasaan saya. Apalagi dengan kondisi kesehatan orang tua yang semakin menurun dengan bertambahnya usia. Saya dan kakak saya tidak bisa menjaga orang tua selama 24 jam. Kami sadar bahwa bekerja keras tidak pernah cukup membuat kami bahagia. Kesehatan jauh lebih penting dari kecukupan harta. Badan yang sehat akan memudahkan kita bekerja. Dengan begitu kita memperoleh penghasilan yang dapat digunakan untuk membeli kebutuhan pokok, membiayai sekolah, membeli keperluan tersier dan sebagainya. Kita  pun harus sehat untuk bepergian dengan pasangan kita di akhir pekan.

Nyatanya benar, badan sehat melancarkan semua aktivitas. Saya merasakannya sendiri saat menyelesaikan skripsi. Badan saya drop parah selama hampir 2 minggu. Kemudian saya memutuskan untuk mudik ke Cilacap menggunakan kendaraan umum. Baru saja membonceng sepeda motor teman selama 10 menit, saya langsung muntah-muntah dipinggir jalan. Belum selesai sampai disitu, selama di mobil saya muntah berkali-kali. Nasib baik ada ibu yang mau merawat saya sampai kondisi saya membaik.

Sekarang saya lebih berpikir rasional dalam menyikapi kondisi kesehatan. Saya makan lebih teratur dan memilih makanan yang lebih bersih dan sehat. Dalam bepergian pun saya memilih waktu siang hari agar lebih aman dan nyaman di perjalanan. Semua itu demi apa? Demi kesempatan untuk membahagiakan keluarga saya dalam keadaan sehat. Setelah melihat kedua rekan kantor saya, ada reminder untuk diri saya sendiri. Bahwa untuk hidup kita tidak hanya harus bekerja keras tetapi juga harus menjaga kesehatan dengan sebaik-baiknya agar kebersamaan dengan orang tercinta menjadi lebih berkualitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...