Selasa, 05 Juli 2016

Aku tidak Pulang

Sejauh apapun kau pergi, kembalilah pulang ke rumahmu.

Momentum Idul Fitri identik dengan mudik dan silaturahim. Kue dan aneka hidangan tumpah ruah di atas meja. Gelas-gelas dicuci bersih. Puasa tinggal 1 hari lagi. Rumah berbenah, masjid dibersihkan untuk menyambut Hari Raya nan Agung. I'tikaf tinggal penutupnya bagi para perindu Nya.

Mudik terasa sekali bagi saya yang 5 kali ramadhan berpuasa di Semarang. Dengan jarak 7-8 jam perjalanan normal, rasanya wajar kalau menyebutnya mudik seperti orang kebanyakan. Rute yang melawan arus mudik pada umumnya membuat saya tidak kentara terkena kemacetan. Pernah satu kali ketika mudik harus duduk diantara tumpukan barang-barang di bus. Berdiri kuat diantara pemudik yang terpaksa menaiki bus ekonomi yang penuh sesak. 2015, saya menunaikan Ramadhan dirumah setelah resign dari pekerjaan lama.

Sepanjang Juli 2015 hingga Juli 2016 ada berbagai peristiwa yang saya lewatkan. Pernikahan teman dekat yang tidak bisa didatangi, kelulusan teman sekampus yang meriah, kondisi keuangan yang pailit, beberapa berita kematian yang mengagetkan hingga sesuatu yang membuat diri rasanya ingin mati saja. Tawa tak bisa disembunyikan dan airmata seenaknya mengalir tanpa malu. Begitulah setahun yang mengharukan. Saya belum melihat apakah setahun ini membuat kerutan diwajah atau tidak. Tapi ada sesuatu dalam diri yang berubah. Mungkin karena saya sudah meninggalkan usia seperempat abad. Hehe.

Pulang adalah keharusan bagi saya. Alarm akan berbunyi jika saya sudah homesick. Saya beberapa kali sakit ringan seperti masuk angin, maag, atau anemia. Sampai pada suatu kali saya hampir 3 minggu unfit. Seminggu mulai ambruk, seminggu tidak berdaya, dan seminggu pertahanan tubuh memburuk. Agak berlebihan memang, saya hanya berpikir akan sekarat saja. Thank God. Setelah memaksakan diri untuk kembali hidup normal, saya perlahan mau makan dan minum obat. Vonis dokter jatuh secara mengerikan. Kurang gizi, kelelahan, dan stres. Meski agak malu mengakuinya saya berpikir wajar saya ambruk. Pola makan yang 'semau gue' dan rutinitas yang melelahkan mengikis stamina. Masih ada 4 bulan lebih untuk pulang. Saya memutuskan untuk sehat.

Memasuki Juli 2016 yang nano-nano, rasanya keinginan pulang tak terbendung.
Apalah daya, kaki malah sampai di Toraja. Antara percaya dan tidak percaya. Hidup memang misterius. Tidak menyangka bisa berkunjung ke tempat sekeren ini. Saya harus bersyukur banyak-banyak. Fix. Idul Fitri dirayakan bersama dengan orang-orang yang baru dikenal seminggu-dua minggu.

Bagaimana rasanya? Kadang rindu, lebih sering takut. Orang-orang yang saya temui berkata kalau saya pemberani. Justru disaat itulah saya merasa takut parah. Timbul dalam benak saya 'Mau sampai kapan seperti ini terus?' Adakalanya kesepian dalam perjalanan jauh dan melelahkan ini. Bosan? Sesekali. Namun banyak hal baru dan menginspirasi setiap saat. Cerita terus mengalir, potret menggambarkan banyak budaya. Bisa saja tiba-tiba rindu orang rumah. Kemudian lanskap sejuta pesona mendadak hampa. Ternyata rindu tak semudah itu disingkirkan dari benak.

Saya tidak tahu bagaimana rasanya besok malam. Pun tidak hendak membayangkan bagaimana Rabu pagi. Biarkan tangis pecah. Rindu akan membuncah. Saya hanya harus bersyukur. Bulan depan saya berkesempatan pulang memeluk realitas. Bertemu dengan orang tua luar biasa dan saudara-saudara. Saya percaya, seluruh hari tetap baik adanya. Kapanpun saya kembali akan ada sambutan hangat disana.

Pak, Bu. Taqabalallahu mina waminkum, taqabbal ya kariim. Aamiin. Mohon maaf lahir dan batin. Tunggulah kepulangan anakmu dari tanah seberang. Bahagia ya disana..

Ramadhan ke 29.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...