2.46
pm
March,
5th 2016
Anak-anak
berlarian mengejar bola voli yang disundul di tengah lapangan. Beberapa
diantara mereka memilih menonton dari pinggir lapangan yang belum juga hijau
meski sudah diguyur hujan hampir 1 bulan. Anak perempuan yang malas berolahraga
hanya bergerombol kecil-kecil. Guru-guru belum datang untuk memulai senam.
Sekolah layaknya arena bermain. Riuh.
Anak
itu datang dengan senyuman lebar. Selalu begitu. Meski wajah saya tegang
berkerut-kerut, ia tidak pernah lupa mengulurkan tangan dan memamerkan gigi
depannya. Dia menghampiri saya sebelum anak-anak lain ramai menyalami. Ia pun
sempat meminta kacang telur yang sedang saya makan. 3 orang anak datang
mengambil bola. Ia pergi keluar untuk menonton.
Meja
yang terletak di dekat jendela saya ia duduki. Entah untuk alasan apa saya
tidak menegurnya karena duduk di meja. Kemudian muncullah pertanyaan yang
menusuk tanpa saya sadari.
“Mama
kamu sudah pulangkah?” Wajahnya berubah rona sambil menggeleng.
“Pergi
ke Kalimantan” Ia kembali hening dan menatap dengan kosong.
“Bapak
memang dimana?”
“Bapak
di Malaysia. Mama ke Kalimantan cari kerja”.
“Jadi
kamu makan sama siapa?”
“Ada.
Saya pergi ke Aldi. Saya kalau makan disana” Kami sama-sama hening. Menunduk
dengan renungan masing-masing. Ia terlihat menutupi kesedihan dan berpura-pura
baik-baik saja. Saya harus berpura-pura tidak melihat kesedihan itu. Kami
seperti kikuk untuk menyambung percakapan yang jelas tidak mengenakkan itu.
Akhirnya saya memiliki ide.
“Ambil
sana bolanya. Main bola sepak. Atau mungkin mau main hola hop? Kamu jago
mainnya kan?” Ide itu lumayan mengalihkan pembicaraan.
“Hola
hop itu apa Ibu?”
“Ah.
Itu plastik yang melingkar. Yang biasa kamu mainkan tu”. Suasana kembali
hening.
“Malas
e..”
Anak-anak
kemudian terlihat memenuhi lapangan untuk berbaris. Rupanya guru olahraga sudah
datang. Anak itu bergabung dengan teman sekelasnya.
Orang
dewasa memang sering membingungkan. Apalagi bagi anak-anak. Mereka berselisih
paham, bertengkar, atau berargumen seenaknya. Mereka marah. Kadang kala sambil
berteriak-teriak satu sama lain. Lantas pergi. Tidak peduli dengan omongan
orang banyak. Tidak bertanya bagaimana perasaan anak-anak mereka. Coba mereka
bayangkan. Apakah anak mereka sudah makan? Bagaimana hidupnya sehari-hari tanpa
Ayah dan Ibu? Anak sekecil itu harus melihat kesulitan orang dewasa kemudian
ditinggalkan tanpa pamit.
Ia
bisa tersenyum dan berpura-pura tidak ada apa-apa. Saya pun bisa demikian.
Orang kebanyakan juga. Namun persoalan tidak pernah selesai. Luka tidak serta
merta sembuh oleh berjalannya waktu. Ia terluka.
Bagaimana
hendak menyembuhkannya? Ia tidak tahu kepulangan seorang Ibu akan menyelesaikan
persoalan atau tidak. Tetapi setidaknya ia tidak akan sendiri. Ayahnya tidak
akan sendiri. Ibunya tidak akan sendiri. Mereka tidak akan sendiri-sendiri
dalam usaha mempertahankan hidup.
Saya
tidak tahu hatinya terbuat dari apa. Ia terlihat kuat.
3.25
pm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar