Jumat, 13 Mei 2016

Tangis yang Tersembunyi


2.46 pm
March, 5th 2016 

Anak-anak berlarian mengejar bola voli yang disundul di tengah lapangan. Beberapa diantara mereka memilih menonton dari pinggir lapangan yang belum juga hijau meski sudah diguyur hujan hampir 1 bulan. Anak perempuan yang malas berolahraga hanya bergerombol kecil-kecil. Guru-guru belum datang untuk memulai senam. Sekolah layaknya arena bermain. Riuh.
Anak itu datang dengan senyuman lebar. Selalu begitu. Meski wajah saya tegang berkerut-kerut, ia tidak pernah lupa mengulurkan tangan dan memamerkan gigi depannya. Dia menghampiri saya sebelum anak-anak lain ramai menyalami. Ia pun sempat meminta kacang telur yang sedang saya makan. 3 orang anak datang mengambil bola. Ia pergi keluar untuk menonton. 

Meja yang terletak di dekat jendela saya ia duduki. Entah untuk alasan apa saya tidak menegurnya karena duduk di meja. Kemudian muncullah pertanyaan yang menusuk tanpa saya sadari.

“Mama kamu sudah pulangkah?” Wajahnya berubah rona sambil menggeleng.
“Pergi ke Kalimantan” Ia kembali hening dan menatap dengan kosong.
“Bapak memang dimana?”
“Bapak di Malaysia. Mama ke Kalimantan cari kerja”.
“Jadi kamu makan sama siapa?”
“Ada. Saya pergi ke Aldi. Saya kalau makan disana” Kami sama-sama hening. Menunduk dengan renungan masing-masing. Ia terlihat menutupi kesedihan dan berpura-pura baik-baik saja. Saya harus berpura-pura tidak melihat kesedihan itu. Kami seperti kikuk untuk menyambung percakapan yang jelas tidak mengenakkan itu. Akhirnya saya memiliki ide.
“Ambil sana bolanya. Main bola sepak. Atau mungkin mau main hola hop? Kamu jago mainnya kan?” Ide itu lumayan mengalihkan pembicaraan.
“Hola hop itu apa Ibu?”
“Ah. Itu plastik yang melingkar. Yang biasa kamu mainkan tu”. Suasana kembali hening.
“Malas e..” 

Anak-anak kemudian terlihat memenuhi lapangan untuk berbaris. Rupanya guru olahraga sudah datang. Anak itu bergabung dengan teman sekelasnya. 

Orang dewasa memang sering membingungkan. Apalagi bagi anak-anak. Mereka berselisih paham, bertengkar, atau berargumen seenaknya. Mereka marah. Kadang kala sambil berteriak-teriak satu sama lain. Lantas pergi. Tidak peduli dengan omongan orang banyak. Tidak bertanya bagaimana perasaan anak-anak mereka. Coba mereka bayangkan. Apakah anak mereka sudah makan? Bagaimana hidupnya sehari-hari tanpa Ayah dan Ibu? Anak sekecil itu harus melihat kesulitan orang dewasa kemudian ditinggalkan tanpa pamit.
Ia bisa tersenyum dan berpura-pura tidak ada apa-apa. Saya pun bisa demikian. Orang kebanyakan juga. Namun persoalan tidak pernah selesai. Luka tidak serta merta sembuh oleh berjalannya waktu. Ia terluka. 

Bagaimana hendak menyembuhkannya? Ia tidak tahu kepulangan seorang Ibu akan menyelesaikan persoalan atau tidak. Tetapi setidaknya ia tidak akan sendiri. Ayahnya tidak akan sendiri. Ibunya tidak akan sendiri. Mereka tidak akan sendiri-sendiri dalam usaha mempertahankan hidup.

Saya tidak tahu hatinya terbuat dari apa. Ia terlihat kuat. 

3.25 pm   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...