Semester 2 merupakan masa-masa
sibuk bagi yang duduk di tingkat akhir. Anak SD, SMP, hingga SMA/SMK/MA sibuk
dengan persiapan ujian akhir. Jadwal berubah lebih padat, jam tambahan
diberlakukan. Murid menjadi super rajin. Guru lebih panik mempersiapkan ujian
yang datang bukan untuknya.
Pagi itu, sebagai seksi
perbekalan alias konsumsi kami berkewajiban mengambil jatah. Janji kami akan
mengambil jatah konsumsi pukul 8 pagi. Jarum menunjukkan angka 4 pada jarum
panjang. Bagi saya itu suatu keterlambatan. Kami bergegas memacu sepeda motor
ke tempat memesan kue. Jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolah. Kira-kira 1
kilometer dengan jalan aspal yang mulus.
Pintu rumah terbuka menyambut
kedatangan kami. Teman saya mengucapkan salam yang disahut pemilik rumah dari
dalam. Saya terbiasa tepat waktu jika berjanji dengan orang yang lebih tua.
Dirumah tersebut 3 orang tua bekerja membuat kue bersama. Janji kami jam 8.
Pagi itu kami terlambat 20 menit. Bibi yang membuat kue mengeluh “Kami
terlambat e. Mati lampu Ine”. Sedikit-sedikit saya paham bahasa yang diucapkan
nyonya rumah. “Nio iwa latu. E, mana terlambat gara-gara listrik mati”. Tidak
tahu harus menjawab apa, saya meraih donat di tampah dan membungkusnya dengan
plastik. Donat meses yang saya bungkus mungkin 30 buah. Bahkan lebih. Selesai
dengan donat saya beralih ke lapis besar.
Bagi saya penampilan kue adalah
nomor 1. Kue yang cantik lebih menarik untuk dimakan. Packaging yang pas
membuatnya lebih elegan. Saya hanya membagi plastik donat menjadi dua bagian
sama besar. Kemudian membalut lapis besar dengan plastik tersebut. Bibi biasa
membungkusnya langsung dengan plastik yang jauh lebih besar dari ukuran lapis.
Sehingga terlihat aneh dan kurang menarik. Nampaknya Bibi puas dengan
penampilan lapisnya sekarang. Ia sampai berujar “Ini ilmu baru Ine. Sangat
berguna. Terimakasih ya. Aaa, bagaimana membuat adonan kue yang lembut Ine?”
Pujian kadang berlebihan, hingga ujungnya terasa mengganjal. Dalam hati saya
menjawab “Au deh Bi. Bikin donat sendiri aja gue gak pernah”. Saya hanya
menggaruk kepala kemudian “Tidak tahu Bi”. Pesanan kue saya belum juga siap.
Teman saya sudah angkat tangan dari donat-donatnya.
Hari pertama ujian dapat dilalui
dengan selamat. Konsumsi pengawas terdistribusi dengan merata dan adil. Mission complete.
Keterlambatan hari pertama
berulang di hari kedua. Begitupun hari ketiga dan keempat. Dihari terakir,
demikian adanya. Realitanya terlambat setiap hari. Saya heran melihat ini
selalu terjadi? Apakah sudah menjadi budayanya?
Bibi membuat kue setiap hari
untuk dijual di kota. Mereka menginginkan kue jam 1 siang. Kue masuk ke kios
setiap sore hari. Begitu siklus hariannya. Saya kesal akan keterlambatan
tersebut. Padahal mereka sudah menyanggupi untuk menyiapkan kue jam 8 pagi.
Jika budaya ini terus berlanjut, bagaimana mereka menghadapi persaingan dengan
pengusaha lain?
13 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar