Jumat, 13 Mei 2016

Ujian dan Ujian

Semester 2 merupakan masa-masa sibuk bagi yang duduk di tingkat akhir. Anak SD, SMP, hingga SMA/SMK/MA sibuk dengan persiapan ujian akhir. Jadwal berubah lebih padat, jam tambahan diberlakukan. Murid menjadi super rajin. Guru lebih panik mempersiapkan ujian yang datang bukan untuknya.

Pagi itu, sebagai seksi perbekalan alias konsumsi kami berkewajiban mengambil jatah. Janji kami akan mengambil jatah konsumsi pukul 8 pagi. Jarum menunjukkan angka 4 pada jarum panjang. Bagi saya itu suatu keterlambatan. Kami bergegas memacu sepeda motor ke tempat memesan kue. Jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolah. Kira-kira 1 kilometer dengan jalan aspal yang mulus. 

Pintu rumah terbuka menyambut kedatangan kami. Teman saya mengucapkan salam yang disahut pemilik rumah dari dalam. Saya terbiasa tepat waktu jika berjanji dengan orang yang lebih tua. Dirumah tersebut 3 orang tua bekerja membuat kue bersama. Janji kami jam 8. Pagi itu kami terlambat 20 menit. Bibi yang membuat kue mengeluh “Kami terlambat e. Mati lampu Ine”. Sedikit-sedikit saya paham bahasa yang diucapkan nyonya rumah. “Nio iwa latu. E, mana terlambat gara-gara listrik mati”. Tidak tahu harus menjawab apa, saya meraih donat di tampah dan membungkusnya dengan plastik. Donat meses yang saya bungkus mungkin 30 buah. Bahkan lebih. Selesai dengan donat saya beralih ke lapis besar. 

Bagi saya penampilan kue adalah nomor 1. Kue yang cantik lebih menarik untuk dimakan. Packaging yang pas membuatnya lebih elegan. Saya hanya membagi plastik donat menjadi dua bagian sama besar. Kemudian membalut lapis besar dengan plastik tersebut. Bibi biasa membungkusnya langsung dengan plastik yang jauh lebih besar dari ukuran lapis. Sehingga terlihat aneh dan kurang menarik. Nampaknya Bibi puas dengan penampilan lapisnya sekarang. Ia sampai berujar “Ini ilmu baru Ine. Sangat berguna. Terimakasih ya. Aaa, bagaimana membuat adonan kue yang lembut Ine?” Pujian kadang berlebihan, hingga ujungnya terasa mengganjal. Dalam hati saya menjawab “Au deh Bi. Bikin donat sendiri aja gue gak pernah”. Saya hanya menggaruk kepala kemudian “Tidak tahu Bi”. Pesanan kue saya belum juga siap. Teman saya sudah angkat tangan dari donat-donatnya. 

Hari pertama ujian dapat dilalui dengan selamat. Konsumsi pengawas terdistribusi dengan merata dan adil. Mission complete

Keterlambatan hari pertama berulang di hari kedua. Begitupun hari ketiga dan keempat. Dihari terakir, demikian adanya. Realitanya terlambat setiap hari. Saya heran melihat ini selalu terjadi? Apakah sudah menjadi budayanya?

Bibi membuat kue setiap hari untuk dijual di kota. Mereka menginginkan kue jam 1 siang. Kue masuk ke kios setiap sore hari. Begitu siklus hariannya. Saya kesal akan keterlambatan tersebut. Padahal mereka sudah menyanggupi untuk menyiapkan kue jam 8 pagi. Jika budaya ini terus berlanjut, bagaimana mereka menghadapi persaingan dengan pengusaha lain?

13 April 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...