Sabtu, 30 Agustus 2014

Kotak Isi Roti



Pagi itu seorang senior angkatan 2007 menghadapi sidang skripsi. Ia tampak lugu dan pendiam. Sejak mengurus sidang saya 3 bulan yang lalu, Ia sering muncul di kampus. Bertegur sapa kami jarang. Berinteraksi pun ala kadarnya. Kami adalah senior dan junior yang bertemu terpaksa karena satu alasan yang sama, skripsi.

Dosen penguji dan panitia ujian sudah berada dalam ruang sidang. Saya datang ketika Ia tengah menanti dosen yang terakhir. Wajahnya gelisah, start sidang sudah melenceng dari ketetapan. Ia sempat bertanya kepada saya seputar suasana di dalam ruang, pertanyaan dosen, dan poin revisi yang saya terima. Rupanya hal itu tidak mengurangi ketegangan yang dirasakannya.

Detik demi detik menanti dosen. Akhirnya orang yang ditunggu datang juga. Ketegangan itu semakin memuncak dalam raut muka dan dinginnya telapak tangan. Bagaimanapun, sidang skripsi ini harus terjadi. Tidak boleh tertunda atau gagal.

Sang senior memasuki ruang sidang. Beberapa orang teman yang menunggu cemas di kursi lobby. Saya yang kebetulan menunggu PD1 ikut merasakan ketegangan teman-teman. Bahkan ada teman satu angkatan sang senior yang menyempatkan diri untuk datang di sidang temannya. Saya pikir karena memang tinggal beberapa orang saja yang harus lulus sebelum tanggal 30 September. Deadlock angkatan 2007.

Satu setengah jam berlalu. Ia keluar dengan wajah lega. Ah, rasanya wajah itu tidak pernah berubah. Santai dan tegang tidak ada bedanya. Akhirnya kotak-kotak yang sedari tadi tergeletak di atas kursi aluminium ditawarkan kepada teman-teman yang lain.

Pertama kali melihat kotak dengan ukuran 20x20cm semua orang akan berpikir isinya chiffon, cake atau roti sobek ukuran agak besar. Semenjak saya datang pun pikiran akan tertuju pada sebentuk kue basah atau bread yang cara makannya harus dipotong terlebih dahulu. Begitu saya menanyakan isi dari kotak-kotak itu, Ia polos menjawab “Dimakan aja, masih banyak kok yang lain.”

Ngeeeeek, begitu kotak saya buka, menyeruaklah empat biji roti segenggaman tangan. Roti-roti itu begitu cantik merayu tetapi apa daya saya terlanjur shock. Khawatir dengan respon dosen yang membuka kotak itu dan berniat memakan barang satu atau dua biji isi dalam kotak. Mungkin mereka berpikir ulang untuk mengambilnya. Bisa jadi ilfeel melihat pertama kali penampilannya.

Saya bergegas menanyakan senior yang kebetulan mendapatkan jadwal sidang skripsi pekan depan. “Ini seriusan yang di dalam isinya sama?.” Enteng saja sang senior tersebut menjawab, “Iya, kenapa? Ga enak ya? Aku nyobain kok gak terlalu enak. Tapi kebanyakan temen-temen belinya itu. Menurutmu gimana?”.

“Masih bisa diganti ga? Kalau bisa sih diganti. Masa iya makanan buat dosen isinya begitu?”. Sang senior masih penasaran dan antusias. “Masih bisa sih kayaknya. Emang kenapa?” Sontak saya dengan raut muka sedih menjelaskan bagaimana cara menyajikan kudapan untuk dosen saat sidang skripsi.  

-----------------------------------------------------------------

Urusan makanan atau dapur sangat identik dengan perempuan. Saya sepakat dengan pernyataan itu. Seiring perkembangan budaya jaman, istilah gender dan pekerjaan sudah bergeser ke arah yang lebih baik di mana makanan sudah menjadi pengetahuan yang general. Artinya semua orang harus paham atau setidaknya mau belajar tentang table manner meskipun sekilas mata. Saya paham, bahwa tidak semua laki-laki mau susah payah mengerti makanan, dapur, urusan pekerjaan rumah tangga. Namun memiliki pengetahuan tentang hal itu tidak akan membuat laki-laki rugi kok. Serius.

Untuk aktor-aktor yang berada dalam cerita di atas saya mohon maaf apabila kurang berkenan hingga malu. Saya tidak menyebut nama kan? Tolong dimaafkan kesalahan junior yang satu ini ya kakak-kakak. Akhirnya “Selamat atas kelulusannya. Semoga ilmunya bermanfaat.”

@Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memasuki Kota yang Baru

Langit masih gelap kala itu. Dengan sayup-sayup adzan diujung pengeras suara menandakan shubuh sudah tiba. Masjid agung terlihat ramai pengu...